• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH PENGGUNAAN DAN PENGUASAAN SUMBERDAYA ALAM

Kota Baubau dalam sejarahnya merupakan pusat kesultanan Buton. Untuk itu, dalam menguraikan penguasaan sumberdaya alam pada bagian ini akan diulas tentang deskripsi masyarakat “orang Buton”8 terhadap sumberdaya alamnya. Pemaknaan sumberdaya alam yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hubungan orang Buton dengan tanahnya. Zahari (1977) menyatakan bahwa rakyat mempunyai hak penuh di dalam kerajaan untuk berkebun maupun tempat untuk membangun rumah atas petunjuk serta izin dari syarat kampungnya. Sementara MNF (44)9mengatakan bahwa:

“ ... Pada prinsipnya semua tanah dalam wilayah kedaulatan kesultanan buton itu merupakan milik negara atau hak negara kesultanan ketika itu kecuali tanah katampai merupakan hak milik pribadi atas pemberian kesultanan....”.

Dalam konteks tersebut maka yang akan diulas pada bagian ini yaitu sejarah penggunaan dan penguasaan tanah. Hal ini untuk menggambarkan perubahan- perubahan struktur agraria di lokasi penelitian baik itu secara hukum maupun secara sosial budaya. Sumberdaya agraria yang dimaksud yaitu merujuk pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Mengutip seperti yang dikatakan oleh Tjondronegoro (2008) bahwa dalam pasal 2 UUPA tersebut tidak hanya bidang tanah, tetapi juga segala kekayaan yang tumbuh di atas permukaan maupun yang terkandung dibawah permukaan; dengan perkataan lain hutan dan pertambangan adalah kekayaan bumi yang dimiliki bangsa Indonesia dan hanya hak mengelolanya saja yang diberikan kepada negara c.q pemerintah. Karena itulah, bumi tidak bisa diperjualbelikan atau disewakan tanpa persetujuan bangsa.

Berangkat dari hal tersebut, maka pada era kesultanan (1511-1960) seperti yang disampaikan oleh RFT (54)10, MNF (44)11 dan Zahari, 1977)12 bahwa masyarakat Kota Baubau (orang Buton) mengenal 4 (Empat) jenis klasifikasi penggunaan dan penguasaan lahan secara tradisional yaitu tanah Turakia, tanah Ome, tanah Katampai dan tanah Kaombo.

Tanah Turakia

Tanah turakia merupakan tanah pemberian dari kesultanan yang dialokasikan untuk pemukiman penduduk (termasuk lokasi pemakaman didalamnya) secara kolektif. Tanah tersebut secara secara turun temurun digunakan oleh garis keturunan yang mendiami lebih awal pada tanah tersebut. Jika ditinggalkan oleh yang mendiami lebih awal maka tanah ini dapat berpindah tangan kepada pihak lain dengan persetujuan syarat (aturan) kadie. Semua kadie13(wilayah) kesultanan

8 Penyebutan “orang Buton” disini karena semua yang mendiami wilayah bekas kesultanan buton tidak

terkecuali Baubau yang saat ini menjadi satu administrasi pemerintahan sendiri secara genetika menyebut dirinya sebagai orang Buton (secara etnis merupakan suku Buton)

9

Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA. MNF (44). Budayawan Kota Baubau, yang saat ini menjadi anggota DPRD Kota Baubau (2009-2014)

10Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA RFT (54) 11

Catatan harian. Sejarah Penggunaan dan Penguasaan SDA MNF (44). Budayawan Kota Baubau, yang saat ini menjadi anggota DPRD Kota Baubau (2009-2014)

12

Bahan tertulis dari La Adi Ma Faoke dan La Hude Ma Aadi

13

Kadie merupakan daerah setingkat propinsi, pemerintah wilayah kadie masuk kedalam satu kesatuan wilayah dengan pemerintahan kesultanan Buton. Pemerintahan kadie, juga diatur khusus melalui undang-

memiliki turakia masing-masing. Hak penguasaannya merupakan milik kesultanan (kingdom state property) yang diatur berdasarkan hukum adat kesultanan (Undang-undang Martabat Tujuh14) dan penguasaan oleh masyarakat sebagai hak pakai/garap.

Tanah turakia mulai terjadi perubahan penggunaan sebagaimana pada era kesultanan (1511-1960) yaitu terjadi pada era Soekarno (1961-1965) dimana sebagian lahan dialokasikan untuk pemukiman dan sebagian untuk perkebunan. Penguasaanya sebagai state property. Pada era Soeharto (1965-1998) sebagian penggunaanya dialokasikan untuk hutan produksi dan hutan lindung, penguasaannya sebagai hak milik negara (state property)15. Kemudian sebagian untuk pemukiman warga dan penguasaanya sebagai hak milik pribadi (private properti right). Perubahan ini dipengaruhi ketika negara mengeluarkan kebijakan tentang kehutanan (UU No 5 tahun 1967) dan legitimasi negara dalam memberikan sertifikasi tanah sebagai hak milik pribadi (1972 untuk di lokasi studi). Sejak adanya legitimasi oleh negara inilah sehingga tanah turakia tidak ada lagi di lokasi studi kecuali di kawasan keraton (common property) yang bukan merupakan lokasi studi.

Pada era otonomi daerah (1999-2013), ketika pemerintah Kota Baubau memberikan izin usaha pertambangan eksplorasi (dahulu kuasa pertambangan eksplorasi) kepada PT BIS, maka PT BIS melakukan pembelian (transfers) lahan kepada masyarakat. Hal inilah sehingga penggunaan dan penguasaan lahan masyarakat terjadi perubahaan. Tepatnya pada tahun 2007 sebagian lahan pemukiman masyarakat (Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio) dialokasikan untuk jalan tambang menuju lokasi pertambangan (eksplorasi dan eksploitasi). Kemudian pada tahun 2012 sebagian lahan pemukiman masyarakat (Kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea) penggunaannya untuk jalan tambang PT BIS (transportasi menuju terminal khusus). Penguasaanya sebagai hak milik swasta (private ownership).

Tanah Ome

Tanah ome merupakan tanah yang penggunaanya untuk perkebunan, setelah sekian kali panen kawasan tersebut ditinggalkan oleh pemakainya. Tanaman yang diperbolehkan untuk ditanam pada lahan ini yaitu tanaman jangka pendek (musiman). Pada waktu tertentu dalam siklus perladangan tanah ome dapat dibuka kembali untuk kegiatan perkebunan oleh masyarakat yang pernah berkebun di lokasi ome tersebut. Sebaliknya, bagi masyarakat yang belum pernah berkebun di lokasi ome tidak diperbolehkan kecuali mendapatkan Izin dari masyarakat sebelumnya yang pernah (terakhir) berkebun di lokasi ome tersebut atas persetujuan syarat (aturan) kadie. Hak penguasaannya tanah milik kesultanan (kingdom state property) dan penguasaan masyarakat dengan hak pakai/garap.

undang yang di sebut dengan Syarana Kadie (Hasimin.AM, 2009). Kesultanan Buton membagi wilayah kadienya menjadi 72 kadie.

14

Undang-undang ini dibuat pada tahun 1610 pada masa kesultanan La Elangi atau gelar kesultanan : Sultan Dayanu Ikhsanuddin (1578-1615)

15

Tanah turakia yang dijadikan sebagai hutan produksi dan hutan lindung ini karena masyarakat yang mendiaminya ketika itu telah meninggalkan lahan tersebut dan membangun pemukiman baru. Namun bagi masyarakat tetap dianggap sebagai turakia (bekas pemukiman penduduk).

Berkaitan dengan hal tersebut diatas, Zahari (1977) menyatakan bahwa kalau seseorang pindah ke kampung lain jelasnya diluar dari kadienya16, baik sendiri maupun secara kelompok untuk berkebun maka kepada mereka itu diwajibkan untuk membayar sewa tanah kepada syarat dari kadie tempatnya membuka kebun dengan perimbangan hasil yang diperolehnya 1 : 12 artinya tiap 120 biji jagung maka sewa tanahnya10 biji. Namun kalau mereka itu pindah dan menjadi warga dari kadie itu maka tidak diwajibkan lagi untuk membayar sewa tanah.

Bagi kaum bangsawan (kaomu dan walaka)17 dapat membuka tanah perkebunan di kadie dengan tidak dikenakan sewa tanah tetapi juga harus melalui persetujuan dari syarat kampung. Apabila tanah perkebunan ditinggalkan oleh kedua kaum tersebut yang dikarena hukum adat, maka tanah beserta isinya kembali menjadi milik dari kadie. Bekas pemiliknya dapat mengambil hasilnya apabila berada kembali dalam kadie itu. Untuk suku “laporo”18 tanah perkebunan diberikan kesempatan dimana saja di dalam kerajaan tetapi harus dengan sepengetahuan dan petunjuk dari syarat kadie

Pada era kesultanan (1511-1960) sebagaimana telah diuraikan diatas bahwa tanah ome merupakan tanah yang dialokasikan untuk perkebunan dengan penguasaan kingdom state property. Pada era Soekarno (1945-1965) penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan yaitu sebagian dialokasikan untuk perkebunan dan sebagaian dialokasikan untuk pemukiman warga serta sebagian lagi yang sudah tidak digunakan menjadi hutan. penguasaannya sebagai hak milik negara (state property). Kemudian pada era Soeharto (1965-1998), Penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan yaitu sebagian untuk hutan produksi dan hutan lindung yang penguasanya sebagai hak milik negara (state property) yang dilegitimasi melalui hukum positif. Sebagian penggunaannya menjadi perkebunan dan pertanian masyarakat yang penguasaanya sebagai hak milik pribadi (private property right) dan telah dilegitimasi oleh pemerintah melalui sertifikasi tanah. ). Sejak legitimasi oleh negara tersebut, tanah ome tidak ada lagi di lokasi studi.

Pada era otonomi daerah (1999-2013) ditandai dengan masuknya pihak swasta untuk melakukan pemanfaatan sumberdaya alam (bahan tambang nikel). Hal ini mengakibatkan sebagian kebun (ome) masyarakat (Kelurahan Kaisabu Kecamatan Sorawolio dan masyarakat Kelurahan Lowu-Lowu dan Kolese Kecamatan Lea-Lea) terjadi perubahaan penggunaan yaitu sebagai jalan tambang baik itu menuju lokasi pertambangan (jalan masuk) maupun jalan menuju terminal khusus dan digunakan sebagai terminal khusus. Pengusaaan tanah tersebut menjadi hak milik swasta (private ownership)

Tanah Katampai

Tanah katampai merupakan tanah hak milik pribadi ( private property right) yang diberikan oleh sultan kepada tokoh-tokoh tertentu karena dinilai berjasa bagi

16

Kadie merupakan daerah setingkat propinsi, pemerintah wilayah kadie masuk kedalam satu kesatuan wilayah dengan pemerintahan kesultanan Buton. Pemerintahan kadie, juga diatur khusus melalui undang- undang yang di sebut dengan Syarana Kadie (Hasimin.AM, 2009). Kesultanan Buton membagi wilayah kadienya menjadi 72 kadie yaitu 2 kadie didalam pusat kesultanan dan 70 kadie diluar pusat pemerintahan kesultanan.

17

Kaomu dan Walaka yaitu kelompok bangsawan Buton

negara (kesultanan)19. Dalam sejarah kesultanan Buton terdapat 5 (lima) orang

yang mendapatkan tanah katampai yaitu Abdullah20, Wa Ode Wau21, La Garuda22, La Mbalao23, dan La Saompula24. Setelah ke 5 orang yang mendapatkan tanah katampai meninggal maka tanah tersebut dimiliki oleh hak warisnya (keturunan). Ketika pemilik tersebut meninggal maka diserahkan kepada hak warisnya (keturunannya). Masyarakat di lokasi studi ketika itu, dialokasikan untuk perkebunan dan penguasaannya sebagai hak pakai.

Penggunaan lahan tersebut terjadi perubahan pada era Soekarno (1961-1965) yaitu sebagian dialokasikan untuk kebun dan sebagian untuk hutan. Penguasaan lahan tersebut pada era ini sebagian sebagai state property (untuk hutan) dan sebagian private property (untuk perkebunan). Pada era Soeharto (1965-1998), terjadi perubahan penggunaan yaitu sebagian dialokasikan untuk perkebunan (penguasaaanya private property) dan sebagian untuk hutan produksi dan hutan lindung (penguasanya sebagai state property right). Semua penguasaan tersebut telah dilegitimasi oleh negara dan sejak proses legitimasi tersebutlah tanah katampai sudah tidak ada di lokasi studi, namun beberapa yang merupakan turunan dari pemilik tanah katampai (Wa Ode Wau) masih menganggap bahwa di lokasi pertambangan merupakan katampai Wa Ode Wau.

Pada era otonomi daerah (1999-2013) penggunaan lahan yang dialokasikan untuk hutan produksi pada era Soeharto oleh pemerintah daerah sebagian dialokasikan untuk tambang dan penguasaanya sebagai hak milik swasta (private ownership).

Tanah Kaombo

Tanah kaombo merupakan sebuah kawasan hutan yang tidak boleh diganggu (keramat), termasuk sumberdaya yang ada dalam hutan tersebut. Penggunaan sumberdaya yang ada dalam wilayah kaombo dilakukan hanya mendukung untuk

19

Dalam sejarah kesultanan buton (1542-1960) yang mendapatkan tanah katampai (hak milik pribadi pemberian sultan) yaitu sebanyak 5 (lima) orang yaitu Abdullah, Wa Ode Wau, La Garuda, La Mbalao, dan La Saompula. Diokasi penelitian merupakan katampai Wa Ode Wau (dimasa itu). Katampai Wa Ode Wau : diberikan tanah dengan hak katampai karena jasa serta pengorbanannya atas harta bendanya guna untuk kepentingan di dalam pembuatan benteng keraton Buton. Pembuatan benteng keraton buton dibangun pada masa sultan ke 6 (enam) yaitu La Buke atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Gafurul Waduudu (1632-1645) (Zahari, 1977).

20

Katampai mojina kalau Abdullah : diberikan karena jasanya mengalahkan musuh kerajaan melalui kekuatan ilmu kebathinan yang dimilikinya dan dapat mengobati putra Sultan Dayanu Iksanuddin dari penyakitnya dimasa kanak-kanak yang menurut riwayat orang-orang tua telih meninggal, tetapi dihidupkan kembali melalui benang. Pemberian tanah kepada Abdullah berlangsung pada masa kesultanan La Elangi atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Dayanu Iksanuddin (sultan ke 4, 1578-1615) (Zahari, 1977).

21 Katampai Wa Ode Wau : diberikan tanah dengan hak katampai karena jasa serta pengorbanannya atas

harta bendanya guna untuk kepentingan di dalam pembuatan benteng keraton Buton. Pembuatan benteng keraton buton dibangun pada masa sultan ke 6 (enam) yaitu La Buke atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Gafurul Waduudu (1632-1645) (Zahari, 1977).

22

Katampai Bontona Laompo La Garuda : diberikan sibidang tanah karena jasanya menyelamatkan kerjaan dari serangan bajak laut di daerah Daonawajo yang mendapat serangan dari bajak laut dan membawa banyak korban serta kerugian dari penduduk. Pemberian tanah ini berlangsung pada masa kesultanan La Awu atau nama gelar kesultanan Sultan Malik Sirullah (sultan ke 9,1654-1664) (Zahari, 1977).

23 Katampai Bontona Gundu-Gundu Mancuana La Mbalao : diberikan tanah kerena jasanya dengan

keberaniannya mengalahkan musuh kerajaan sehingga terjaminlah ketentraman dalam kesultanan. Pemberian tanah kepada La Mbalao berlangsung pada masa kesultanan La Tumpamana atau nama gelar kesultanan disebut Sultan Zainuddin (sultan ke 12, 1680-1689) (Zahari, 1977).

24 Katampai Bontogena Wantiro La Saompula : diberikan tanah karena jasanya pada masa kesultanan La

kepentingan-kepentingan kolektif berdasarkan kesepakatan para tetua adat yaitu untuk kepentingan bersama misalnya untuk pembangunan mesjid atau tempat pertemuan (baruga). Setiap kadie memiliki kaombo masing-masing yang dipelihara oleh syarat (aturan) kadie. Penguasaan tanah kaombo merupakan tanah milik kesultanan (Kingdom state property).

Tanah tersebut pada era Soekarno (1945-1965) tidak terjadi perubahan penggunaan dan penguasaan (seperti halnya pada era kesultanan). Ketika era Soeharto (1965-1998) terjadi perubahaan penggunaan lahan yaitu dialokasikan untuk hutan produksi dan hutan lindung. Namun bagi masyarakat sekitar masih menganggap lokasi tersebut merupakan tanah kaombo yang tidak diperbolehkan untuk diganggu. Penguasanya telah dilegitimasi oleh negara sebagai hak milik negara (state property right). Pada era Otonomi Daerah lahan tersebut sebagian oleh pemerintah daerah dialokasikan sebagai tambang sehingga penguasaannya sebagian menjadi hak milik swasta (private ownership). Kemudian pada era otonomi daerah (1999-2013) penggunaan hutan produksi pada era Soeharto oleh pemerintah daerah dialokasikan untuk tambang dan penguasaanya menjadi hak milik swasta (private ownership).

Ikhtisar

Pemaknaan sumberdaya alam yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu hubungan orang Buton dengan tanahnya (kepemilikan hak atas tanah). Pada era kesultanan (1511-1960) terdapat 4 (empat) jenis pemanfaatan dan penguasaan tanah oleh masyarakat yaitu pertama ; tanah turakia, pemanfaatanya dialokasikan untuk pemukiman penduduk dan kak penguasaannya merupakan milik kesultanan (kingdom state property), kedua ; tanah ome, merupakan tanah bekas perkebunan (dialokasikan untuk perkebunan) dan penguasaanya sebagai kingdom state property, ketiga; tanah katampai, merupakan tanah yang diberikan oleh sultan kepada seseorang (tokoh) yang dianggap berjasa pada kesultanan (dialokasikan untuk pemukiman dan perkebunan) dan pengusaannya sebagai hak milik pribadi (private property right), dan keempat; tanah kaombo, merupakan tanah yang pemanfaatannya dilakukan secara kolektif/bersama untuk kepentingan bersama dan penguasaannya sebagai kingdom state property.

Dari kesemua jenis tanah tersebut diatas kemudian mengalami pergeseran pemanfaatan dan penguasaan ketika legitimasi negara akan sumberdaya alam mulai berlaku. Pada era Soekarno (1960-1965) menjadi benih terjadinya klaim penguasaan atas tanah dari hak pakai milik kesultanan menjadi hak milik pribadi oleh masyarakat dari keempat jenis tanah tersebut. Kemudian pada era Soeharto (1965-1998) tepatnya pada tahun 1967 merupakan awal legitimasi negara terhadap tanah yang tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat baik itu bekas pemukiman (turakia), perkebunan (ome), katampai maupun kaombo untuk ditetapkan sebagai hutan produksi dan hutan lindung.

Akibat pergeseran pemanfaatan dan penguasaan tersebut sehingga pada era otonomi daerah (1999-2013) pemerintah daerah Kota Baubau mengalokasikan kawasan hutan produksi sebagai kawasan pertambangan dengan penguasaan lahan menjadi milik swasta (private ownership). Hal ini dilakukan untuk melegitimasi Surat Keputusan Walikota tentang Kuasa Eksplorasi yang diberikan kepada pihak swasta untuk melakukan eksplorasi Nikel. Dikawasan pertambangan tersebut bagi komunitas dianggap sebagai hutan kaombo.

Dokumen terkait