• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4. Analisis Kaedah Hak Hukum terhadap Pemegang Saham Minoritas Setelah mengemukakan studi kepustakakaan yang mebahas mengena

2.4.1. Sejarah Pergumulan Memikirkan Hak atas Pemegang Saham Minoritas

Pergumulan pemikiran tentang bagaimana sistem hukum di muka bumi ini memberikan perhatian terhadap isu perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu sesungguhnya, seperti telah Penulis kemukakan di atas, terjadi di mana saja, khususnya dalam konteks penelitian ini terjadi di Indonesia, maupun di Inggris dan Skotlandia.

Hal seperti itu terbukti dengan apa yang sudah Penulis kemukakan di atas, sudah mulai dipikirkan oleh para ahli yang melakukan spesialisasi dalam melihat aspek perlindungan terhadap pemegang saham minoritas itu, terutama ahli hukum perusahaan di Indonesia dan juga di Inggris dan Skotlandia.

Di Indonesia, Tri Budiono, kajian yang paling kontemporer mnegenai aspek perbadingan hukum atas perlindungan terhadap pemagang saham minoritas ini, seperti dikemukakan di atas, mengemukakan bahwa prinsip hak suara yang dianut dalam UU PT adalah satu saham satu suara (one share one vote). Prinsip inilah yang seringkali disebut sebagai demokrasi perusahaan atau demokrasi kapitalisme. Apabila dilihat dari sejarah perkembangannya,

57 demokrasi perusahaan atau demokrasi kapitalisme ini mengadopsi demokrasi politik yang berbasiskan pada orang (one man one vote). Tetapi dalam demokrasi perusahaan, basis orang (one man one vote) dimodifikasi menjadi basis uang (one share one vote) yang terpresentasikan dalam bentuk share (stock). Dari aspek ini, mempersamakan (satuan) orang dengan (satuan) uang sejatinya, menurut Tri Budino, sesuatu yang berada di luar kaedah hukum namun aspek politik, merupakan bentuk dehumanisasi. Demokrasi perusahaan, telah melahirkan tirani mayoritas yang berada di tangan pemegang saham mayoritas. Satu orang pemegang saham yang memiliki saham Perseroan 51% dapat mengalahkan 1000 orang yang apabila dikalkulasi jumlah saham yang dimilikinya hanya 49%. Kondisi demikian sejatinya telah melahirkan kesempatan penyalahgunaan posisi –khususnya yang dapat dilakukan oleh pemegang saham mayoritas- yang dapat merugikan pemegang saham minoritas.

Kondisi ini, seperti telah diungkapkan dalam Bab I, merujuk Tri Budiono, masih diperparah oleh peran yang dilakukan oleh pengurus Perseroan (Direksi) dan Dewan Komisaris yang cenderung berfihak pada pemegang saham mayoritas. Pemegang saham minoritas yang secara posisional jauh lebih lemah apabila dibandingkan dengan pemegang saham mayoritas, sangat sulit ketika mereka harus berhadapan dengan konspirasi pemegang saham mayoritas Direksi dan Dewan Komisaris. Hal lain yang turut memperlemah kedudukan pemegang saham minoritas adalah prinsip persona standi in judicio (capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk

58 mewakili Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan. Secara normatif, posisi ini hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas.59 Meskipun kutipan di atas tampak menyesali keadaan tirani mayoritas dalam suatu perseroan terbatas, namun penulis yang pandangannya Penulis kutip itu, mungkin secara sengaja menyembunyikan kaedah hukum bisnis internasional yang secara historis sudah mulai bertumbuh di dalam penelitian itu dapat dirujuk untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas yang berinvestasi dalam suatu perseroan terbatas.

Sebelum itu, orang lainnya juga yaitu Rudhi Prasetya mengemukakan pandangannya mengenai aspek sejarah bagaimana Indonesia yang didikte oleh hukum memikirkan cara yang terbaik dalam rangka menanggapi persoalan atau legal isu kepentingan dari pemegang saham minoritas (minority interests) tersebut mengemukakan keluhan yang sama dengan kaedah yang dia pinjam dari Belanda yang dinamakan dengan enqueterech dalam memberikan perlindungan dimaksud.

Dalam penjelasan umum undang-undang Perseroan Terbatas, menurut Rudhi Prasetya, berkali-kali dijelaskan bahwa, dalam menyusun undang- undang ini sangat diperhatikan untuk memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas. Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap pengambilan keputusan dalam PT berlaku asas pemungutan suara (vooting). Dalam hubungan ini maka akan menjadi sangat lebih kedudukan seorang

59

59 pemegang saham yang prosentase dari saham yang dimilikinya lebih kecil dari presentase pemegang saham lainnya. Dalam hubungan inilah memang diperlukan adanya mekanisme yang melindungi kepentingan pemegang saham minoritas yang bisa tertindas itu. Saya melihat memang telah dirasakan perlu sekali adanya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas60 tersebut.

Terlebih-lebih manakala kita melihat praktek go-publik PT-PT yang ada di Indonesia, rata-rata atas saham yang listing dan dijual memasuki bursa tersebut keseluruhannya tidak lebih dari 30% dari seluruh saham yang ditempatkan. Tujuh puluh prosen dari saham yang ada masih tetap dikuasai

dan dipegang oleh para pendiri atau yang dinamakan pula “pemegang saham utama”. Pada hal para pemegang saham minoritas sebersar 20% tersebut

tersebar luas di antara publik. Telah lama melalui berbagai tulisan saya, telah saya ingatkan perlu adanya suatu lembaga yang memberikan perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dari kekalahannya dalam pemungutan suara dalam RUPS, seperti yang di negara Belanda dinamakan enqueterech.

Adapun menurut Rudhi Prasetya, sebagaimana telah dikemukakan pula juga oleh Penulis dalam Bab I, pada intinya, lembaga ini memberikan hak kepada pemegang saham minoritas untuk memohon melalui Pengadilan

60

Hal ini di dalam Literatur di Inggris disebut dengan isu protection of minority interests. Hasil penelitian individual yang dilakukan oleh Jeferson Kameo SH., LL.M., Ph.D dalam suatu kasus yang sangat terkenal yaitu Foss v Harbottle yang diputus dalam tahun 1843 di Inggris membuktikan bahwa apa yang dikemukakan oleh Dr. Parsetyo di atas itu sudah dipikirkan di Inggris dengan istilah protection of minority interests. Prinsip itu dibangun

sebagai pengecualian atas “kemutlakan” majority rule yang mendapat ekspresi dalam Foss v Harbottle (1843) 2 Hare 461., dirujuk dari penelitian individuil di atas yang tidak dipublikasikan.

60 untuk dilakukannya pemeriksaan pada perseroan berhubung terdapat dugaan adanya kecurangan-kecurangan atau hal-hal yang disembunyikan oleh pemegang saham mayoritas. Mengapa melalui pengadilan? Dipikirkan, di satu pihak perlu diberikannya perlindungan terhadap pemegang saham minoritas, tetapi di lain pihak kemungkinan dapat disalahgunakan oleh para competitor (pesaing dagang), yang dengan sengaja membeli sejumlah saham kecil semata-mata untuk mengetahui rahasia perusahaan. Dengan permohonan melalui hakim, dapat diharapkan hakim akan berperan untuk menapis, sampai sejauh mana memang beralasan permintaan pemeriksaan pemegang saham

bersangkutan”61

.

Seperti ungkapan dalam kutipan di atas, satu hal yang memperlemah posisi dari pemegang saham minoritas yaitu prinsip persona standi in judicio (capacity standing in court or in judgement), yaitu hak untuk mewakili Perseroan baik di depan maupun di luar pengadilan, dimana secara normatif, posisi tersebut hanya terbuka pada pemegang saham mayoritas. Disamping hal-hal seperti yang telah Penulis kemukakan di atas, yang sudah terlebihdahulu Penulis singgung dalam Bab I Skripsi ini62, khusus mengenai bagaimana hukum memberikan perindungan terhadap hak pemegang saham minoritas yang berdimensi hukum perdagangan internasional, termasuk di dalamnya persona standi in judicio, terungkap dari kutipan di atas, terkesan

61

Prof. Dr. Rudhi Prasetya, S.H., Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm., 229-231.

62

61 belum diperhatikan secara serius dalam sistem hukum pada umumnya, menurut penulis di atas, apalagi oleh sistem hukum positif Indonesia, demikian kata penulis tersebut. Itulah sebabnya di bawah ini analisis disusun oleh Penulis dengan maksud membahas dan menemukan cara yang ada, di balik kaedah hukum perdagangan internasional yang sudah dikenal dalam rangka memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas dalam suatu perseroan terbatas, dalam hal ini khususnya dalam memberikan perlindungan kepada pemegang saham minotiras dalam suatu bisnis atau transaksi/perdagagnan internasional.

Penulis, berasumsi bahwa secara historis, sudah lama sejatinya, termasuk yang secara implisit terkandung di dalam Pasal 1365 KUHPerdata, PMH, ada perkembagan pemikiran dan pergulatan untuk menghadirkan kaedah perlindungan hukum itu dalam sistem hukum di Indonesia. Dimensi terakhir dari analisis sisi historis pergulatan pemikiran mengenai bagaimana hukum memberikan perlindungan kepada pemegang saham minoritas tersebut adalah bahwa apabila dibandingkan antara sistem hukum Inggris dan apalagi Skotlandia dengan sistem hukum Indonesia, maka Inggris dan Skotlandia, dilihat dari tahun kasus Landmark dimana hak pemegang saham minoritas persona standi in judicio mulai dipikirkan oleh para hakim, sebagaimana dikemukakan di atas, jauh lebih dahulu memikirkan mengenai hal itu. The rule in Foss v Harbottle misalnya sudah diputus atau dibuat pada tahun 1843, sedikit lebih tua dari lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah yang sudah diberlakukan juga kepada golongan Timur Asing dan lain-lain di

62 Hindia Belanda dalam tahun 192563, namun agak lebih muda jika dibandingkan dengan pembentukan peraturan hukum perdata yang dilakukan oleh Napoleon sebelumnya.

2.4.2. Hakikat Hak terhadap Pemegang Saham Minoritas (Suatu Kontrak)

Dokumen terkait