• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

3. Sejarah Perkembangan Ejaan di Indonesia

Ejaan dalam bahasa Indonesia diubah, dikembangkan, dan disempurnakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usaha tersebut menghasilkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang PUEBI. Pengubahan, pengembangan, dan penyempurnaan ejaan dalm bahasa Indonesia dilakukan selama 114 tahun, dimuali dari 1901 sampai dengan 2015. Selama itu, berbagai nama disematkan pada ejaan bahasa kita. Untuk memberikan gambaran perkembangan ejaan di Indonesia berdasarkan tahun penetapannya, (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016).

Berikut akan disajikan yang menunjukkan tahun-tahun penting perjalanan ejaan bahasa Indonesia. Penjelasan detil tentang tahun-tahun tersebut dan peristiwa yang terjadi hingga ciri-ciri setiap ejaan akan dibahas pada bagian berikut ini:

a. Tahun 1901 Ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin sesuai rancangan Ch. A. van Ophuijsen

b. Tahun 1938 Ejaan Indonesia lebih diinternasionalkan sesuai keputusan dalam Konggres Bahasa Indonesia pertama

c. Tahun 1947 Ejaan Republik sesuai SK Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19 Maret nomor 264/Bhg.A d. Tahun 1956 Rumusan patokan baru peraturan ejaan praktis sesuai

SK Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19 Juli 1956 nomor 4487/S

e. Tahun 1966 Konsep Ejaan yang Disempurnakan sesuai SK Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19 September 1967 nomor 062/1967

f. Tahun 1972 Ejaan yang Disempurnakan (EYD) disahkan dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972 nomor 03/A.I/72 dan didukung dengan Keputusan Presiden Nomor 57 tahun 1972 Dilanjutkan dengan pengesahan Pedoman umum Ejaan yang Disempurnakan dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 12 Oktober 1972 nomor 156/P/1972

g. 1988 Pedoman Umum EYD edisi kedua sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor 0543a/U/1987 tanggal 9 September 1987

h. Tahun 2009 Pedoman Umum EYD edisi ketiga sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 46 tahun 2009

i. Tahun 2015 Pedoman Umum EYD diganti dengan nama PUEBI sesuai dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 50 tahun 2015.

Perkembangan ejaan dan ciri-cirinya, Ejaan bahasa Indonesia dilaksanakan dalam sembilan tahun-tahun penting, seperti pada keterangan diatas, dapat dikelompokkan menjadi tujuh macam berdasarkan nama ejaan yang dihasilkan. Ketujuh nama ejaan bahasa Indonesia tersebut meliputi: (1) Ejaan van Ophuijsen, (2) Ejaan Republik,

(3) Ejaan Pembaharuan, (4) Ejaan Melindo, (5) Ejaan Baru, (6) EYD, dan (7) PUEBI (Erikha, 2015). Ketujuh nama ejaan tersebut akan dijelaskan kondisinya dan ciri-ciri khususnya sebagai berikut:

a. Ejaan van Ophuijsen

Bahasa Melayu ditulis menggunakan aksara Jawi atau Arab Gundul. Aksara teersebut tidak lagi digunakan pada bahasa Melayu. Kondisi tersebut terjadi akibat pengaruh budaya Eropa yang datang di Nusantara. Pengaruh tersebut membuat Bahasa Melayu menggunakan aksara latin.

Perkembangan aksara dari aksara Jawi menjadi aksara latin terjadi karena usaha gigih Belanda. Menurut Erikha (2015) terdapat empat alasan mengapa terjadi perubahan aksara tersebut, yaitu (1) penyederhanaan huruf vokal e,i,o menjadi vokal a dan u, (2) kekhawatiran Belanda terhadap ancaman kekuatan Islam, (3) politik etis, dan (4) politik bahasa. Alasan pertama, para ahli bahasa Belanda menganggap ketidaksesuaian pengunaan vokal. Vokal e, i, o ditulis samadengan vokal a dan u.

Alasan kedua, Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam (budaya Arab) di Nusantara dengan cara mengganti cara penulisan bahasa Melayu karena mereka merasa takut dengan militansi umat Islam. Alasan ketiga, pemerintah kolonial memiliki program politik etis di Nusantara. Program tersebut berisi kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat Nusantara. Pertimbangannya, bahasa Melayu harus distandarkan agar proses pendidikan berjalan tertib dan

lancar. Alasan keempat, Belanda membuat standar bahasa dengan menggunakan bahasa Melayu pada sekolah milik pribumi agar bisa meluaskan kekuasaan mereka dan menyatukan Nusantara. Dengan demikian, Belanda telah melakukan politik bahasa, yaitu membuat standar untuk bahasa Melayu. Bahasa Melayu diharapkan menjadi bahasa resmi yang digunakan di seluruh kegiatan kehidupan di Nusantara.

b. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)

Setelah mengalami perkembangan, kedudukan Ejaan van Ophuijsen digantikan oleh Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik,tetapi lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.Ejaan Republik diresmikan sebagai acuan ejaan baku bahasa Melayu untuk mengurangi pengaruh dominasi Belanda yang diwakili dalam ejaan van Ophuijsen.

Ejaan Republik lebih dikenal dengan nama Ejaan Soewandi karena menteri yang mengesahkan ejaan Republik bernama Mr. Soewandi. Mr. Soewandi adalah ahli hukum dan notaris pertama bumiputera yang menjabat dalam Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, dan Kabinet Sjahrir III (Opie, 2015). Soewandi memperoleh gelar sarjana hukum dan ijazah notaris dari sekolah pangreh praja. Soewandi kemudian dicalonkan menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sjahrir. Pada Kabinet Sjahrir I (14 November 1945 - 12 Maret 1946) dan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 22 Juni 1946) Soewandi menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27 Juni 1947) ia menjabat

sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Saat itulah ia menyusun ejaan yang lebih sederhana agar mudah digunakan oleh penutur bahasa Melayu. Ejaan Soewandi akhirnya digunakan untuk menggantikan Ejaan van Ophuijsen. Ejaan Republik disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19 Maret 1947 nomor 264/Bhg.A

c. Ejaan Pembaharuan

Ejaan ini urung diresmikan. Namun, ejaan ini diduga menjadi pemantik awal diberlakukannya EYD tahun 1972 (Erikha, 2015). Ejaan Pembaharuan direncanakan untuk memperbarui Ejaan Republik. Pembaruan ejaan ini dilandasi oleh rasa prihatin Menteri Moehammad Yamin akan kondisi bahasa Indonesia yang belum memiliki kejatian. maka diadakanlah Kongres Bahasa Indonesia kedua di Medan. Medan dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia digunakan dengan baik oleh masyarakat. Pada kongres tersebut diusulkan perubahan ejaan dan perlu adanya badan yang menyusun peraturan ejaan yang praktis bagi bahasa Indonesia. Selanjutnya, dibentuk panitia oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan. Keberadaan panitia tersebut diperkuat dengan surat keputusan tanggal 19 Juli 1956, nomor 44876/S (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016).

Panitia tersebut beranggotakan Profesor Prijono dan E. Katoppo (Admin Padamu, 2016). Panitia tersebut berhasil merumuskan aturan baru pada tahun 1957. Aturan baru tersebut tidak diumumkan, tetapi menjadi bahan penyempurnaan pada EYD yang diresmikan pada tahun 1972. Panitia tersebut membuat aturan tentang satu fonem diwakili dengan satu huruf. Penyederhanaan ini sesuai dengan itikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai dalam keseharian (Erikha, 2016). Selain aturan satu fonem satu huruf, terdapat pula aturan bahwa gabungan huruf ditulis menjadi satu huruf.

d. Ejaan Melindo

Ejaan Melindo merupakan bentuk penggabungan aturan penggunaan huruf Latin di Indonesia dan aturan penggunaan huruf latin oleh Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1959. Hal ini bermula dari peristiwa Kongres Bahasa Indonesia Kedua yang dilaksanakan tahun 1954 di Medan. Malaysia sebagai salah satu delegasi yang hadir memilikikeinginan untuk menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957. Kedua pemerintah (Indonesia dan Malaysia) menandatangani kesepakatan untuk merumuskan aturan ejaan yang dapat dipakai bersama, kesepakatan itu terjadi pada tahun 1959. Akan tetapi, karena terjadi masalah politik antara Indonesia dan Malaysia pemikiran merumuskan ejaan bersama tidak dapat dilaksanakan. Situasi politik antara Indonesia dan Malaysia sedang memanas. Indonesia sedang terpengaruh Moskow-Peking-Pyongyang. Sedangkan Malaysia sedang

condong kepada Inggris. Akhirnya pembahasan Ejaan Melindo tidak dilanjutkan.

e. Ejaan Baru

Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyusun program pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Program tersebut dijalankan oleh Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Program tersebut berisi konsep ejaan yang menjadi awal lahirnya EYD. Konsep tersebut dikenal dengan nama Ejaan Baru atau Ejaan LBK. Konsep ejaan ini disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, SarinoMangunpranoto, pada tahun 1966 dalam surat keputusannya tanggal 19 September 1967, No. 062/1967. Konsep Ejaan Baru terus ditanggapi dan dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun. Menurut Erikha (2015) “pada intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidah saja”.

f. EYD

Ejaan Yang Disempurnakan atau dikenal dengan EYD mengalami beberapa perubahan dari masa ke masa, yaitu tahun 1972, tahun 1988, dan tahun 2009 (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Masing-masing masa memiliki ciri khusus. Perkembangan EYD pada ketiga kurun waktu tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut.

Berawal dari Ejaan Baru atau Ejaan LBK sebagai cikal bakal konsep EYD yang konsepnya diperkenalkan oleh Lembaga Bahasa dan Kesastraan, konsep EYD terus ditanggapi dan dibahas kalangan luas diseluruh tanah air selama beberapa tahun.

Konsep EYD akhirnya dilengkapi pada pelaksanaan Seminar Bahasa Indonesia di Puncak pada tahun 1972. EYD merupakan hasil kinerja panitia yang diatur dalam surat keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972, No. 03/A.I/72. Bertepatan dengan hari Proklamasi Kemerdekaan tahun itu juga, diresmikanlah aturan ejaan yang baru berdasarkan keputusan Presiden, No. 57 tahun 1972, dengan nama EYD. Agar EYD dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD).

Pedoman tersebut dipaparkan lebih rinci dalam Pedoman Umum. Pedoman umum disusun oleh Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusan Nomor 156/P/1972 tanggal 12 Oktober 1972. Untuk memenuhi kebutuhan penutur yang selalu berkembang seuai dengan zamannya, maka dibutuhkan perbaikan dari EYD. Pada tahun 1988 lahirlah EYD edisi kedua.Pedoman hasil revisi EYD pertama ini diterbitkan atas dasar Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0543a/U/1987 pada tanggal 9 September 1987. EYD edisi ketiga diterbitkan pada tahun 2009 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor

46.Peraturan Menteri ini berlaku sejak 31 Juli 2009 dan menggantikan peraturan yang lama yakni Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. (Woenarso, 2013). PUEYD edisi ketiga ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan masyarakat berbahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ada banyak hal yang diatur dalam lampiran Peraturan Menteri tersebut. Secara umum, ada empat hal utama yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri tersebut: pemakaian huruf, penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan. Dari empat hal tersebut yang menjadi ciri khusus PUEYD edisi tahun 2009 ada empat. (Karyati, 2016)

g. PUEBI

Penyempurnaan terhadap ejaan bahasa Indonesia dilakukan oleh lembaga resmi milik pemerintah yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usaha tersebut menghasilkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia. Pada tahun 2016 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Anis Baswedan, aturan ejaan yang bernama PUEYD diganti dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia(Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016).

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia selanjutnya dikenal dengan singkatan PUEBI. Terdapat banyak perubahan dari EYD ke PUEBI.

Berikut ciri khusus PUEBI pada permendikbud Nomor 50 tahun 2015 Terdapat banyak perubahan dari EYD ke PUEBI.

a) Pada huruf vokal, untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar digunakan diakritik yang lebih

b) Pada huruf konsonan terdapat catatan penggunaan huruf q dan x yang lebih rinci

Perubahan ini dilakukan sebagai dampak meluasnya ranah pemakaian bahasa seiring kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan seni. Ada tiga hal perubahan yang terjadi pada PUEBI. Perubahan tersebut meliputi penambahan huruf diftong, penggunaan huruf tebal, serta penggunaan huruf kapital. Perbedaan lebih rinci antara EYD dengan PUEBI telah diteliti oleh Mahmudah. Menurut Mahmudah (2016: 145-147) terdapat tujuh perbedaan secara substantif, yaitu: (a) pemakaian huruf, (b) kata depan, (c) partikel, (d) singkatan dan akronim, (e) angka dan bilangan, (f) kata ganti ku-, kau-, ku, -mu, dan –nya; (g) kata si dan sang. Adapun latar belakang dari perubahan ini antara lain karena : 1. Adanya Kemajuan dalam Berbagai Ilmu

Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni yang semakin maju, membuat penggunaan bahasa Indonesia dalam berbagai hal semakin meluas juga baik secara tulisan maupun lisan. Ini yang menjadi salah satu alasan kenapa perlunya perubahan pada ejaan bahasa Indonesia.

2. Memantapkan Fungsi Bahasa Indonesia

Ejaan bahasa Indonesia perlu disempurnakan untuk memantapkan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa Negara.(TERRA, 2018)

Dokumen terkait