• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM

II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM

Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III), International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Ekosob) dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) yang ditetapkan melalui resolusi majelis umum PBB 2200 A (XXI), serta Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen HAM internasional lain yang ada merupakan penjabaran dari The International

Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga merupakan bagian dari international customary law (Hukum kebiasaan internasional) Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional.

Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini, justru ditekankan adanya peran kekuasaan publik untuk mengambil

langkah-langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.18

Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara Negara-negara blok timur dan blok barat. Negara-Negara-negara blok timur (Uni soviet) lebih mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok barat (Amerika Serikat) justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh Negara-negara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya perang dingin.19

18

Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate. 1997. The United Nations

and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman 135-136

19

Saafroedin Bahar. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30

Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya sendiri, oleh karena itu ia disebut sebagai Third-Generation Solidarity.

Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi beberapa kategori hak:20

1. Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya, yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain:

a. Pengakuan atas martabat (Pasal 1)

b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 2) c. Jaminan atas kebutuhan (Pasal 3)

d. Terhindar dari perbudakan (Pasal 4)

e. Perlindungan atas tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan (Pasal 5)

f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara (Pasal 15)

2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan suatu sistem hukum pada manusia, yaitu:

a. Persamaan di depan hukum (Pasal 6)

b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9) c. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10) d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11)

e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara (Pasal 12)

20

3. Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak dimaksud antara lain:

a. Hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18) b. Hak menyatakan pikiran secara bebas (Pasal 19) c. Berkumpul dan berserikat (Pasal 20)

d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah (Pasal 21)

4. Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial, dan budaya:

a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat sosial lainnya (Pasal 22-25)

b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal 26-29)

Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu. Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas. Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun 1980-1990, Indonesia masih berkilah bahwa kalaupun ada hak asasi, maka budaya

timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi.21

Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No. 50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz, Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi.22

Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya, hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan utama, yakni: 23

a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam, dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke

21

Tristam Moeliono. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. Diakses tanggal 28 Februari 2010

22

Teguh Sulistia. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007. Halaman 29

23

Adnan Buyung Nasution, dkk. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi

Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM

b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah Negara

c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM, bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib sendiri (self determination) tidak pernah diatur dalam konstitusi Negara-negara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan mendapat tempat dalam hukum internasional HAM

II.3. Konvensi Anti Penyiksaan

Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih dipraktekkan secara luas hingga saat ini. Penyiksaan dilakukan oleh banyak

Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi dikenai sanksi.24

Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol, pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture, cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada 22 Mei 1985 dengan mandat untuk “….mencari dan menerima informasi yang dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi Non-Pemerintah….” Dan untuk ‘merespon secara efektif’ informasi yang terkait dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture (CAT) setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk

24

Dr. Lyal S. Sunga. 1992. Individual Responsibility in International Law for Serious

memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme pengawasan.25

Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang

Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah:

“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”

II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

25

Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.26

Black’s Law Dictionary memberikan defenisi dari genosida (genocide) sebagai: “an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national, ethnic, racial, or religious group”

II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

27

Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II. Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-fondasi penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. 28

26

Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”.

Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa untuk Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa penghancuran ras, agama, atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah

Februari 2010 27

Bryan A. Garner (Editor in chief). Op. cit. Halaman 694. 28

Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. 2008. Melampaui Warisan Nuremberg:

Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional.

hukum bangsa-bangsa.29

“Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial of the right to live of individual human beings; such denial of the right of existence shocks the conscience of mankind, results in great losses to humanity in the form of cultural and other contributions represented by these human groups, and is contrary to moral law and to the spirit and aims of the United Nations”

Pada 11 Desember 1946, Majelis Umum PBB mengadopsi Resolusi 96 yang berkaitan dengan genosida ini:

30

a. Membunuh anggota-anggota dari kelompok tersebut

Dalam Resolusi ini pengaturan mengenai bagaimana sebenarnya kejahatan genosida itu dipraktekkan belum lengkap, sekilas terlihat bahwa ketentuan ini mengatur semua tindakan yang dianggap menghalangi hak asasi manusia tanpa ada indikator yang jelas tentang sejauh mana kriminalisasi dari tindakan genosida itu.

Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide dalam pasal 2 menyatakan bahwa genosida adalah tindakan-tindakan yang disengaja untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian kelompok nasional, etnik, ras, atau agama seperti:

b. Menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang serius terhadap anggota-anggota kelompok tersebut

c. Dengan sengaja menimbulkan kepada kelompok keadaan hidup yang diperkirakan membawa penghancuran seluruh atau sebagian kelompok tersebut secara fisik

29

Kurt Mundorff. “Other Peoples’ Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e)”. Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter 2009. Halaman 73

30

d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran dalam kelompok tersebut

e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok lainnya

Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida.

Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma.

II.4.2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara menggunakan konsep-konsep tentang kemanusiaan untuk menjustifikasi peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan peperangan, yang berpuncak pada pemasukan prinsip jus in bello dalam

perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag tentang hukum dan kebiasaan perang.31

“Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.”

Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907 yang berisi:

32 Dalam frase “laws of humanity”, hukum kemanusiaan dipahami sebagai suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut.33

31

Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman 71-72 32

Erikson Hasiholan Gultom. 2006. Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dan

Peradilan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timor Timur: Tinjauan Hukum Internasional Terhadap Kompetensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Mengadili Individu-individu yang Bertanggung Jawab atas Terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan dan Relevansinya dengan Peradilan Kasus Timor Timur Sekitar Masa Referendum 1999. Jakarta: Tatanusa. Halaman 39

33 Ibid

Pada perkembangannya, Piagam Nuremberg yang membentuk Mahkamah Militer Internasional Nuremberg, dalam pasal 6 (c) mendefinisikan kejahatan kemanusiaan sebagai:

“Pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil, sebelum atau selama perang, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, rasa atau agama sebagai pelaksanaan dari atau berhubungan dengan setiap kejahatan yang berada di dalam yurisdiksi pengadilan tersebut baik yang melanggar ataupun tidak hukum Negara setempat di mana ia dilakukan…”

Rumusan pasal inilah yang merupakan preseden pertama kalinya dalam hukum pidana internasional positif di mana istilah khusus “kejahatan terhadap kemanusiaan” diperkenalkan dan didefenisikan, namun, sebagaimana yang telah dikatakan di dalam pasal 2, konsep ini bukanlah merupakan suatu hal yang baru, begitu pula dengan gagasan atau ide tentang melindungi orang-orang sipil di masa perang. Dan yang paling penting diketahui, Piagam ini muncul pertama kalinya dan dipergunakan sebagai contoh (model) dan dasar hukum bagi perkembangan-perkembangan lain selanjutnya.34

Pada tahun 1951, Komisi Hukum Internasional merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagai:35

Dalam ketentuan yang dihasilkan berikutnya yang terkait dengan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan ini, seperti Statuta International Criminal Tribunal of Yugoslavia (ICTY) masih berpedoman pada Piagam Nuremberg, barulah pada Statuta International Criminal Tribunal for Rwanda

“Tindakan-tindakan yang tidak manusiawi yang dilakukan oleh para penguasa suatu Negara atau oleh individu-individu perseorangan terhadap suatu populasi sipil seperti pembunuhan, atau pemusnahan, atau perbudakan, atau deportasi, atau persekusi-persekusi atas dasar-dasar politik, ras, agama, atau budaya, bilamana tindakan-tindakan demikian dengan kejahatan-kejahatan lain yang didefenisikan dalam pasal ini”

34 Ibid 35

Report of the International Law Commission, UN GAOR 6th Sess, Supp. No. 9 (A/1858) (1951), Vol. II, hal. 123-144, 136 sebagaimana dikutip oleh Ibid. Halaman 45

(ICTR) pada pasal 3 mensyaratkan bahwa kejahatan kemanusiaan yang dimaksud tersebut harus dilakukan sebagai bagian dari suatu serangan yang meluas dan sistematis terhadap populasi sipil, pasal tersebut juga mencantumkan persyaratan kalau seluruh perbuatan-perbuatan tersebut harus telah dilakukan atas dasar-dasar kebangsaan, politik, suku, rasial, atau agama. Selain itu, baru pada ICTR lah persyaratan tentang harus adanya hubungan kejahatan tersebut dengan konflik bersenjata dihapuskan.36

a. Pembunuhan

Era selanjutnya adalah pembentukan Statuta Roma pada 1998. Dalam Pasal 7 Statuta Roma disebutkan bahwa kejahatan kemanusiaan adalah kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas dan sistematik yang ditujukan kepada seuatu kelompok sipil, dengan mengetahui adanya serangan itu. Adapun yang termasuk dalam lingkup kejahatan kemanusiaan menurut pasal 7 Statuta Roma adalah:

b. Pemusnahan c. Perbudakan

d. Deportasi atau pemindahan paksa penduduk

e. Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional

f. Penyiksaan

36

g. Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat

h. Persekusi (Penganiayaan) terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender, sebagai didefenisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diijinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dalam setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi mahkamah

i. Penghilangan paksa j. Kejahatan apartheid

k. Perbuatan tidak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik

Sedangkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 9 merujuk pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan yang sama dengan isi pasal 7 Statuta Roma, kecuali poin (k) yang tidak disertakan

Dokumen terkait