PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)
DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
PINCE SISKA ANALIA 060200238
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI)
DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965
SKRIPSI
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
PINCE SISKA ANALIA 060200238
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Internasional
H. Sutiarnoto, S.H., M.Hum NIP. 195610101986031003
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Abdul Rahman S.H., M.H. Arif, S.H., M.H.
NIP. 195710301984031002 NIP. 196403301993031002
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Penulis bersyukur pada akhirnya Skripsi yang berjudul: “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga Puluh September 1965” ini telah selesai. Adapun penulisan skripsi sesuai judul tersebut, selain guna memenuhi syarat kelulusan kegiatan akademik, juga dilatarbelakangi pelanggaran HAM terhadap orang-orang yang diduga anggota dan simpatisan PKI yang merupakan pelanggaran HAM berat dan telah berlangsung selama puluhan tahun di Indonesia tidak pernah mendapat penyelesaian hukum yang jelas dari pemerintah Indonesia sejak masa rezim orde baru hingga kini, masa yang diklaim sebagai pascareformasi. Keadaan ini menjadi sebuah kontradiksi dengan fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen internasional terkait perlindungan HAM.
Penulis menyadari masih terdapat kekurangan baik dari segi teknis maupun dari segi substantif, karena itu penulis mengundang kritik dan saran konstruktif positif dari berbagai pihak demi kelayakan skripsi ini sebagai sebuah karya ilmiah yang baik dan berguna. Penulis berterima kasih kepada:
1. Bapak Sutiarnoto, S.H., M.Hum, Ketua Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memperhatikan dan memberi semangat bagi para mahasiswa departemen hukum internasional, termasuk penulis
2. Bapak Abdul Rahman, S.H., M.H., Dosen Pembimbing I penulis, yang telah meluangkan waktunya bagi penulis dalam mendiskusikan skripsi ini
3. Bapak Arif, S.H., M.H., Sekretaris Departemen Hukum Internasional Universitas Sumatera Utara yang juga merupakan dosen pembimbing II penulis yang telah banyak membagikan ilmu-ilmu dan berbagai pengalaman yang berharga yang inspiratif pada tiap kuliah serta memberikan berbagai masukan dalam penulisan skripsi ini
4. Bapak Hermansyah, S.H., M.Hum, Dosen Penasehat Akademik Penulis
cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini, Mimi Priscilia yang selalu memperhatikan dan memotivasi penulis dengan cara yang anggun (ha ha), Ressi Dwiyana yang menjadi Nande yang gemar ‘merepeti’ penulis di sela-sela kebaikan hatinya mengajak penulis berkelana dari satu tempat dan informasi aneh ke tempat dan informasi (lebih) aneh lainnya, ketiga ladies ini sangat berjasa dalam menekan biaya-pengeluaran-makan-sampai-puas penulis (ha ha), Anto, Manambus Pasaribu, Sahat Hutagalung, Saurlin Siagian, dan Randy Hutagaol yang banyak memotivasi dan menyediakan waktu untuk membagi pengetahuan mereka terhadap keingintahuan penulis, dan Niar Sijabat yang membantu penulis meminjam referensi dari perpustakaan BAKUMSU; Bapak Jiman Karo-karo dari KPP HAM 1965, Bapak Khairuman dari KPP HAM Nusantara, serta Bapak Sjahriar Sandan, S.H. yang banyak memberikan informasi bagi penulis terkait skripsi ini; Zainal Abidin dari Kedai Buku Titik Koma yang banyak membantu penulis dalam memberikan referensi buku-buku kiri yang tidak diterbitkan lagi serta banyak meluangkan waktu untuk membagikan berbagai informasi dan pengetahuannya yang luas bagi penulis
6. Keluarga penulis: Alce Mogendo, Ibu penulis; N Keliat dan Wallia Liman, Bapak Tengah dan Mama Tengah penulis; Deni Tancanguru Keliat dan Lilis Suryani, Abdiel Keliat dan Nomi Sinulingga, Pera Keliat, dan Peni Keliat, saudara-saudara penulis, yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan nasehat bagi penulis dalam menyelesaikan studi
dengan berbaik hati telah menemani penulis dalam melakukan wawancara dengan informan terkait skripsi ini
8. Friska Sitanggang, Kakak Kelompok penulis yang sangat relijius sekaligus fun dan sahabat-sahabat di KK “Putri Sion” yang berperan penting dalam pengolahan dan pertumbuhan spiritual penulis: Corry Aruan, Devi Matondang, Imelda Situmorang, Meilina Marbun, dan Verawaty Aruan
9. Sahabat-sahabat primat penulis semasa kuliah: PEMAKE: Devi, sahabat sepenanggungan penulis yang sama-sama ‘terpaksa’ menyelesaikan skripsi dalam kurun waktu 1 bulan, yang sering menyemangati penulis dengan kiriman pesan-pesan singkat romantisnya yang sama sekali tidak romantis dan selama bertahun-tahun selalu berusaha menanamkan doktrin shopaholic ke dalam diri penulis, yang ia tidak ketahui ialah paham tersebut tidak akan pernah bersemi di hati seseorang yang berpegang teguh pada mazhab-hemat-eksploitatif (ha ha), Maria, yang senantiasa (berusaha) menjadi konsultan mode dan gaya hidup dan hampir selalu bersedia menjadi ‘abang ojek’ tanpa tanda jasa, juga sebagai pemasok catatan kuliah bagi penulis, Meilina yang bertahun-tahun menjadi ATM pribadi terdekat bagi penulis (ha ha) dan selalu menjadi sosok yang lemah lembut di PEMAKE, Paulina yang mengajarkan penulis bahwa penguasa totaliter sadis seperti Joseph Stalin pun tidak ada apa-apanya jika ditandingkan dengan perempuan penganut aliran ‘agmon-histeris-bagai-banteng-badak-ngamuk-attack’ seperti dia, bravo, Paul!, dan Randi yang selalu mengerti segala hal yang kompatibel dengan penulis (No words can say, Ran, ha ha), termasuk selalu menjadikan penulis sebagai (korban) pembaca awal draft sajak-sajak aneh buatannya (ha ha),
10.Sahabat-sahabat penulis, partners in science sekaligus partners in crime: Ismed Tampubolon dan Suhardi Fonger, para lelaki brilian yang lucu dan baik hati yang sangat berperan penting sebagai ‘pengintai’ bagi penulis dalam kuliah-kuliah di mana penulis harus mengulang (ha ha), senang rasanya selalu menertawakan hal-hal konyol di sela-sela pengerjaan berbagai karya tulis ilmiah bersama kalian
11.Sahabat-sahabat penulis di Tim Perpustakaan KMK FH: Liza Sitanggang, Anita Sagala, Iche Trisnawaty, Nova, Andryanto Pasaribu, Mey Oncy, dan Obbie Afri yang sangat kooperatif dan bersahabat. Hampir tidak ada beban yang berarti dalam pelaksanaan program-program yang terpaksa berkejar-kejaran dengan kala selama bekerja sama dengan orang-orang gila seperti kalian (ha ha)
skripsi ini, Siska Siagian yang ‘ke-Jeng Kelin-an’ dan lengkingan Mezzo Sopran-nya sering menghebohkan suasana penulisan skripsi ini, Yanta Ginting dan Randi Saputra yang selalu memberi jasa setir di saat-saat genting, Siska Nora, Jaswinder Jit yang selalu bersedia meminjamkan catatan kuliahnya, Verawaty Aruan yang selalu penulis ganggu jam tidurnya dengan pertanyaan-pertanyaan darurat nan genting, Dumaria Manalu,Witra Sinaga; kawan-kawan dari departemen Hukum Internasional yang ramah dan bersahabat: Vera, Ruth Yenni, Dendi, Leslie, Rendie, Grath, Meici, Riko, Samuel, Debora, Rentha dan kawan 2006 lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu; kawan-kawan dari angkatan 2007, 2008, hingga 2009
13.Kawan-kawan penulis di UKM KMK FH USU; USU Inkubator Sains, tempat penulis belajar menulis dan bekerja tim: Suwanto Ong, Nurbetty Aisha, Ami, Howard, dan Renatha; kawan-kawan penulis di USU Society for Debate, a comfortable place for debating about thinking and thinking about debating; dan kawan-kawan penulis di GMKI
Medan, Maret 2010
Hormat Penulis,
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ……….……….. ii
Kata Pengantar ………..………. iii
Daftar Isi ………...…... v
Daftar Singkatan ... xi
Abstrak ………..….. xii
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang ……… 13
I.2. Perumusan Masalah ……… 20
I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ……….. 20
I.4. Keaslian Penulisan ……… 21
I.5. Tinjauan Kepustakaan ………... 22
I.6. Metode Penulisan ………..…… 26
I.7. Sistematika Penulisan ………... 28
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional …………..……… 30
II.3. Konvensi Anti Penyiksaan ……….. 41
II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum
Internasional dan Hukum Nasional ……….… 42
II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional
dan Hukum Nasional ………. 42
II.4.2. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
dalam Hukum Internasional
dan Hukum Nasional ……….. 45
II.5. Peran Negara dan Aktor Non-Negara sebagai
Pelanggar HAM ………..……. 52
II.6. Tanggung Jawab Individu ……… 55
II.7. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam
Taraf Nasional ………...… 56
II.7.1. Pengadilan HAM Ad Hoc ………….... 56
II.7.2. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi …. 58
II.8. Penyelesaian Pelanggaran HAM dalam
Taraf Internasional ………. 60
II.8.1. The International Bill of
Human Rights ……… 61
II.8.2. Pengadilan Internasional ……….... 67
II.8.2.1. Pengadilan Permanen …….…. 67
II.8.2.2. Pengadilan Ad Hoc ……….… 68
BAB III GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER
III.1. Sejarah Singkat PKI ………..… 76
III.2. Latar Belakang Gerakan
Tiga Puluh September ……….... 78
BAB IV PELANGGARAN HAM TERHADAP PKI
DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER IV.1. Bentuk-bentuk Pelanggaran HAM Terhadap
Para Anggota dan Simpatisan PKI ………...…. 87
IV.1.1. Pendiskreditan Secara Politik,
Sosial, Ekonomi, dan Budaya ……….... 88
IV.1.2. Pembunuhan Massal ……… 94
IV.1.3. Penahanan Paksa dan Penyiksaan
Para Tahanan ………..……… 101
IV.1.4. Pelecehan Seksual Terhadap
Perempuan ……….…. 105
IV.2. Hubungan Antara Hukum Nasional dan
Hukum Internasional dengan Pelanggaran HAM
Terhadap Para Anggota dan Simpatisan PKI …… 107
IV.3. Implementasi Hukum Nasional dan Hukum
Internasional Atas Pelanggaran HAM Terhadap
Para Anggota dan Simpatisan PKI Dalam
IV.3.1. Penyelesaian dalam Taraf Nasional ……. 115
IV.3.1.1. Pengadilan HAM Ad Hoc …. 116
IV.3.1.2. KKR ………...… 118
IV.3.2. Penyelesaian dala Taraf Internasional …. 119
BAB V KESIMPULAN
V.1. Kesimpulan ………...… 121
V.2. Saran ………...…….. 124
DAFTAR SINGKATAN
AD Angkatan Darat
CAT Convention Against Torture atau Convention Against Torture and Other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
CC Comite Central
DUHAM Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia
G30S Gerakan Tiga Puluh September
Gerwani Gerakan Wanita Indonesia
HAM Hak Asasi Manusia
ICC International Criminal Court
ICTR International Criminal Tribunal for Rwanda ICTY International Criminal Tribunal of Yugoslavia
ISDV Indische Sociaal-Democratische Vereniging
KKR Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Konvensi Ekosob Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Konvensi Sipol Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PKI Partai Komunis Indonesia
RPKAD Resimen Para Komando Angkatan Darat
SCSL Special Court for Sierra Leone
SI Sarekat Islam
UNTAET United Nation Transitional Administration in East Timor
PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI) DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965
ABSTRAKSI
*) Abdul Rahman S.H., M.H. **) Arif S.H., M.H.
***) Pince Siska Analia
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai instrumen internasional dalam bidang HAM ternyata tidak menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM Negara terhadap warganya, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat oleh Negara di masa lalu yang tidak diproses melalui hukum. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang korbannya sangat massif adalah pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan Tiga puluh September 1965.
Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang diterima oleh para anggota dan simpatisan PKI, bagaimana relativitas antara hukum nasional dan hukum internasional dengan pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI.
Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang data-datanya bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah bahwa bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap para anggota dan simpatisan PKI antara lain berupa pendiskreditan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, pembunuhan massal, penahanan paksa dan penyiksaan para tahanan politik, serta pelecehan seksual, Hal itu menyalahi ketentuan dalam hukum nasional dan internasional, sedangkan implementasi dari hukum nasional untuk penyelesaian kasus tersebut adalah dengan menuntut individu yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM tersebut ke pengadilan HAM ad hoc, sedangkan dalam hukum internasional, adalah dengan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan campuran di Indonesia. Adapun saran yang diperoleh dari skripsi ini adalah hendaknya pemerintah Indonesia secara serius mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu secara serius.
Kata Kunci: Pelanggaran HAM, PKI, Hukum Internasional
*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II
UNTAET United Nation Transitional Administration in East Timor
PELANGGARAN HAM TERHADAP PARTAI KOMUNIS INDONESIA (PKI) DALAM GERAKAN TIGA PULUH SEPTEMBER 1965
ABSTRAKSI
*) Abdul Rahman S.H., M.H. **) Arif S.H., M.H.
***) Pince Siska Analia
Keikutsertaan Indonesia dalam berbagai instrumen internasional dalam bidang HAM ternyata tidak menjamin penegakan hukum dan perlindungan HAM Negara terhadap warganya, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya kasus pelanggaran HAM berat oleh Negara di masa lalu yang tidak diproses melalui hukum. Salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang korbannya sangat massif adalah pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) pasca Gerakan Tiga puluh September 1965.
Skripsi ini mengemukakan permasalahan mengenai apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang diterima oleh para anggota dan simpatisan PKI, bagaimana relativitas antara hukum nasional dan hukum internasional dengan pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional terhadap penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan PKI.
Metode yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif yang data-datanya bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier dengan teknik studi pustaka dan studi lapangan.
Kesimpulan dalam skripsi ini adalah bahwa bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan Negara terhadap para anggota dan simpatisan PKI antara lain berupa pendiskreditan secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, pembunuhan massal, penahanan paksa dan penyiksaan para tahanan politik, serta pelecehan seksual, Hal itu menyalahi ketentuan dalam hukum nasional dan internasional, sedangkan implementasi dari hukum nasional untuk penyelesaian kasus tersebut adalah dengan menuntut individu yang bertanggung jawab dalam pelanggaran HAM tersebut ke pengadilan HAM ad hoc, sedangkan dalam hukum internasional, adalah dengan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB untuk membentuk pengadilan campuran di Indonesia. Adapun saran yang diperoleh dari skripsi ini adalah hendaknya pemerintah Indonesia secara serius mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu secara serius.
Kata Kunci: Pelanggaran HAM, PKI, Hukum Internasional
*) Dosen Pembimbing I **) Dosen Pembimbing II
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan
hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia selalu memposisikan dirinya
sebagai Negara yang mendukung perlindungan Hak Asasi Manusia secara utuh.
Ini terlihat dari fakta bahwa sejak reformasi 1998, Indonesia, yang walaupun
produk peraturan perundang-undangan di bidang HAM relatif sedikit,1
1
Menurut data assessment dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ditemukan hanya terdapat 35 Undang-undang atau sekitar 25% dari keseluruhan prosuk legislasi 2005-2008, yang tegas memiliki relasi dengan HAM. Lebih lengkap lihat: Wahyudi Djafar. “HAM Masih Menjadi Anak Tiri”. Asasi edisi Maret-April 2009. Halaman 8
selain
telah mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri di bidang Hak Asasi
Manusia (HAM), yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terhitung telah
lebih intensif untuk turut serta sebagai pihak pada berbagai perjanjian
internasional yang bersifat multilateral, khususnya perjanjian internasional di
bidang HAM seperti International Convention on the Elimination of All Forms of
(ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,
Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women, Convention
against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
dan Convention on the Rights of the Child.2
Namun, fakta keikutsertaan Indonesia pada perjanjian-perjanjian tersebut
tidak berbanding lurus dengan implementasi perlindungan Hak Asasi Manusia di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan di bidang perlindungan Hak Asasi
Manusia di Indonesia yang tidak mengalami kemajuan yang signifikan sejak
pascareformasi 1998. Dalam laporan HAM yang dikeluarkan oleh Human Rights
Watch bahkan ditemukan bahwa untuk tahun 2008 Indonesia malah menunjukkan
kemajuan yang sangat sedikit di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia yang
ditandai dengan pengukungan kebebasan memilih kepercayaan (kasus
Ahmadiyah), dan kebebasan pers yang masih terpasung.
3
2
Instrumen-instrumen internasional tersebut telah diratifikasi sebagai berikut:
a. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial
Discrimination telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional menganai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah diratifikasi
dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik
c. International Covenant on Economic Social and Cultural Rights telah diratifikasi
dengan UU No. 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
d. Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women telah
diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan
e. Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan
Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman yang merendahkan Martabat, tidak manusiawi dan kejam lainnya
f. Convention on the Rights of the Child telah diratifikasi dengan Keppres 36/1990
tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Anak
3
Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia sejak masa orde lama juga
masih belum mendapat kepastian hukum, mulai dari peristiwa pembunuhan
massal sebanyak lebih dari setengah juta orang yang dituduh sebagai anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia pada Tahun 1965-1966, Pelanggaran HAM
di Papua terhadap orang-orang yang diduga bersimpati pada gerakan Operasi
Papua Merdeka (OPM) pada 1962-1998, Pembantaian terhadap rakyat sipil di
Santa Crus, Dili, Timor Timur Pada 1973-1998, peristiwa Tanjungpriok pada
1984, Kasus Pembunuhan di Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999, pelanggaran
HAM terhadap rakyat sipil Aceh sejak 1989. Justru pelaku pelanggar HAM pada
kasus-kasus tersebut kebanyakan dikomandoi oleh Negara, dalam hal ini Tentara
Nasional Indonesia (TNI).
Kasus Aceh sendiri telah berakhir damai sejak penandatangan MoU
(Memorandum of Understanding) di Helsinski, Finlandia pada tahun 2005 antara
Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM yang mana salah satu poin dalam
MoU tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada
semua orang yang terlibat dalam kegiatan GAM dan pembebasan tanpa syarat
bagi narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik tersebut. Namun,
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk konflik tersebut belum terbentuk
hingga sekarang.
Sedangkan untuk kasus Timor Timur, telah mendapat putusan yang in
dapat dikatakan sebagai putusan yang mencerminkan rasa keadilan karena dari 18
terdakwa, kesemuanya akhirnya diputus bebas.4
Kasus Trisakti dan Semanggi sendiri Pada 31 Maret 2008, Kejagung
mengembalikan berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM penembakan
mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, serta
kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan orang secara paksa ke Komnas
HAM. Berkas penyelidikan itu dikembalikan, antara lain, karena menunggu
Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.5
Sedangkan kasus-kasus lainnya seperti kasus Tanjung Priuk dan
Pembantaian massal 1965-1966 justru belum mendapat penanganan sama sekali
secara hukum. Kasus pembantaian massal 1965-1966 serta pelanggaran HAM lain
yang menyertainya hingga kurun waktu puluhan tahun sesudahnya adalah salah
satu yang perlu mendapat perhatian karena dilihat dari segi kuantitas,
pembantaian ini adalah yang memakan korban paling banyak sepanjang sejarah
pembunuhan massal di Indonesia yaitu sekitar satu setengah juta penduduk sipil
yang terbunuh dalam peristiwa tersebut,6
Pembunuhan massal ini diawali dengan sebuah anggapan bahwa
penggerak tragedi pembunuhan 7 Jenderal pada 30 September 1965 (yang juga serta pendiskreditan kolektif terhadap
pengikut partai politik yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.
4
Maret 2010
5
11 Februari 2010
6
disebut sebagai Gerakan Tiga puluh September) adalah Partai Komunis Indonesia
(PKI) dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua orang baik yang secara
terang-terangan mengaku sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun yang
orang-orang yang masih diduga sebagai bagian dari Partai tersebut harus dibasmi
hingga ke akar-akarnya, bahkan tindakan ini tak terkecuali hingga petani buta
huruf di dusun-dusun terpencil yang ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh
yang secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan Tiga puluh September.7
Peristiwa Gerakan Tiga puluh September dan siapa dalang di baliknya
memang sangat kompleks sehingga kajian sejarah terhadap peristiwa ini memang
tidak henti-henti terus dilakukan, ini terbukti dari berbagai versi tentang kejadian
itu sendiri yang dihasilkan dari berbagai penelitian sejarah. Tidak ada hasil
penelitian yang seragam di antara para ahli sejarah bahwa PKI memang dalang
dari peristiwa Gerakan Tiga puluh September seperti juga tidak ada bukti yang
sangat valid bahwa PKI bukan dalang dari peristiwa tersebut. Namun, terlepas
dari konspiratif peristiwa tersebut, hal yang pasti adalah peristiwa yang terjadi
sesudahnya, Pasca 30 September 1965, yaitu terjadinya pelanggaran-pelanggaran Dan sejak Gerakan Tiga puluh September pulalah terjadi pembunuhan
besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh militer maupun
yang dilakukan oleh sipil dengan koordinasi dari militer, serta berbagai bentuk
pendiskreditan secara ekonomi, sosial, dan politik yang membuat para angggota
dan simpatisan PKI menjadi teralienasi sebagai warga Negara terlebih-lebih
sebagai manusia merdeka.
7
HAM terhadap sebagian besar anggota-anggota dan simpatisan PKI berupa
penyiksaan-penyiksaan baik secara fisik maupun secara psikis tanpa terlebih
dahulu melewati prosedur hukum.
Oleh karena itu, secara khusus penelitian ini tidak sedang berusaha
membahas tentang konspirasi tentang siapa aktor intelektual atau kelompok mana
yang paling bertanggung jawab di balik Gerakan Tiga puluh September, pula
tidak sedang menempatkan PKI dalam posisi benar atau salah dalam peristiwa
tersebut. Dalam keadaan bersalah atau benar, seseorang atau sekelompok orang
tetap harus dihormati martabatnya sebagai manusia, sehingga, dalam kasus
tersebut, andaikata pun PKI adalah dalang peristiwa Gerakan Tiga puluh
September 1965, anggota-anggota dan simpatisan PKI tidak selayaknya mendapat
perlakuan-perlakuan yang menafikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia,
selain karena pembunuhan para jenderal yang (jika memang benar) dilakukan oleh
segelintir orang-orang dari PKI tidak sebanding dengan hukuman kolektif yaitu
ditumpasnya seluruh anggota dan simpatisan PKI yang tidak tahu menahu tentang
peristiwa tersebut, hal ini juga menyalahi hak-hak dasar umat manusia yang
tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM).
Begitu pula, bagi setiap warga Negara, Hak setiap orang untuk mendapat
perlindungan adalah hal yang urgen dan Negara wajib menjamin setiap warga
negaranya untuk mendapatkannya tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini para
anggota dan simpatisan PKI sebagai warga Negara Indonesia yang telah terlanjur
dicap sebagai penghianat Negara. Apa yang dialami oleh anggota-anggota dan
September sejak tahun 1965, yaitu bentuk-bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM
yang serius sebenarnya dalam hukum internasional dapat pula dikategorikan
sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau bahkan
menurut pendapat Robert Cribb yang dengan ekstrim mengemukakan bahwa hal
ini juga dapat disebut sebagai genosida (genocide) dikarenakan menurut beliau
bahwa, terkait dengan defenisi konvensi genosida 1948 bahwa korban genosida
meliputi kelompok nasional, etnik, ras, atau agama, identitas nasional di Indonesia
lebih diartikan kepada pandangan politik daripada kepada etnik atau ras.
Bagaimanapun, dalam hukum internasional, pemerintah Indonesia yang
telah mengabaikan hak-hak dasar warganya dalam peristiwa pembersihan unsur
PKI pasca Gerakan Tiga puluh September, telah banyak menyalahi kaidah-kaidah
hukum HAM internasional. Tindakan pemerintah Indonesia yang telah
meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM akan tetapi banyak
melanggar HAM warganya adalah tindakan yang mendapat kecaman dari
masyarakat internasional dan sudah selayaknya pelanggaran HAM berat yang
dilakukan Negara terhadap warganya bisa diadili dalam forum pengadilan
internasional. Namun pun demikian, pengadilan-pengadilan nasional
pertama-tama harus memperhatikan hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan
hukum internasional. Negara menurut hukum internasional memiliki kebebasan
penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan domestik di
mana Negara lain tidak berhak untuk mencampurinya.8
8
J.G. Starke. 2004. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 114
Akan tetapi, dalam hal pelanggaran HAM berat, seperti Genosida,
kejahatan terhadap kemanusaan, penyiksaan dan penghilangan paksa, hukum
kebiasaan internasional dan dan prinsip-prinsip hukum umum boleh
memberlakukan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang dicurigai
melakukan kejahatan tersebut di atas.9
9
Amnesty International. “Universal Jurisdiction: 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction
Artinya masyarakat internasional berhak
memberlakukan yurisdiksinya juga terhadap pelaku tersebut tanpa memandang
nasionalitasnya. Statuta Roma sendiri dalam Pasal 17 menyiratkan bahwa
Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili suatu perkara apabila Negara
yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia untuk melakukan penuntutan
terhada perkara aquo.
Fakta bahwa banyaknya pelanggaran HAM terhadap anggota dan
simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September tidak berbanding lurus
dengan usaha-usaha perlindungan HAM yang dilakukan Negara baik semasa
terjadinya peristiwa tersebut maupun hingga kurun waktu 30 tahun setelahnya
membuat pentingnya dilakukan kajian hukum terhadap peristiwa ini, dalam hal ini
dikhususkan pada kajian hukum internasional, yaitu tentang apa-apa saja
bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pasca Gerakan Tiga puluh September 1965
dan bagaimana hukum internasional mengatur perlindungannya, hal-hal
tersebutlah yang melatarbelakangi studi “Pelanggaran HAM terhadap Partai
Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965” ini.
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan
Perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa sajakah bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap para anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh
September 1965?
2. Bagaimanakah hubungan antara hukum nasional dan Hukum internasional
tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap para anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh
September 1965?
3. Sejauh manakah hukum nasional dan dan hukum internasional dapat
diimplementasikan atas pelanggaran HAM terhadap PKI dalam Gerakan Tiga
puluh September terhadap alternatif hukum untuk penyelesaiannya?
I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Adapun yang menjadi Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap Partai
Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap Partai
3. Untuk mengetahui sejauh mana hukum nasional dan hukum internasional
dapat diimplementasikan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM
terhadap PKI dalam Gerakan Tiga puluh September
Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah:
1. Manfaat Teoritis: Sebagai kontribusi di bidang ilmu pengetahuan, khususnya
disiplin ilmu hukum internasional, tentang perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia
(PKI) sebagai manusia yang sama martabatnya dan hak alamiahnya dengan
manusia lainnya serta sebagai warga Negara yang berhak mendapat
perlindungan dari Negara terkait stigma keterlibatan mereka dalam Gerakan
Tiga puluh September 1965
2. Manfaat Praktis: Agar masyarakat mengetahui arti pentingnya perlindungan
HAM bagi setiap orang tanpa terkecuali, termasuk para anggota dan
simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang terlepas dari stigma
sebagai dalang Gerakan Tiga puluh September dilekatkan kepada mereka,
telah dilanggar hak-haknya sebagai manusia dan sebagai warga negara serta
untuk menemukan langkah-langkah konkrit apa yang dapat dilakukan sesuai
jalur hukum nasional dan internasional untuk memulihkan hak-hak korban
yang telah dilanggar
I.4. Keaslian Penulisan
Adapun Skripsi yang berjudul “Pelanggaran HAM terhadap Partai
tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang
membahas tentang hal ini sebelumnya. Khusus untuk perbandingan dengan
Skripsi yang ada di lingkup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Hal ini
dapat dibuktikan dengan adanya pengesahan dari pihak administrator Departemen
Hukum Internasional yang menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama dengan
Judul Skripsi ini.
I.5. Tinjauan Kepustakaan
Hukum Internasional secara umum dapat diartikan sebagai himpunan dari
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur
hubungan antara Negara-negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam
kehidupan masyarakat internasional.10 Hukum Internasional yang pada awalnya
hanya memasukkan Negara sebagai satu-satunya subjek hukum internasional11
1. Negara yang berdaulat dan merdeka (sebagai subjek hukum internasional
yang utama)
,
dalam perkembangannya mulai memasukkan unsur lain sebagai subjeknya, yaitu:
2. Palang Merah Internasional
3. Tahta Suci Vatikan di Roma yang dikepalai oleh Paus
4. Organisasi Internasional
10
Dr. Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. Halaman 1
11
5. Individu yang dengan syarat-syarat tertentu diakui oleh masyarakat
internasional sebagai subjek hukum internasional
Hukum Internasional sendiri, berdasarkan Statuta Mahkamah Internasioanl
dalam pasal 38, bersumber pada:
1. Perjanjian Internasional
2. Kebiasaan Internasional
3. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
4. Keputusan-keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional
dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menemukan hukum
Menurut Black’s Law Dictionary, Hak asasi Manusia ialah kebebasan,
kekebalan, serta keuntungan-keuntungan yang mana menurut nilai-nilai modern
(terutama dalam tataran internasional), memungkinkan semua umat manusia
untuk mengakuinya sebagai hak dalam masyarakat di mana mereka tinggal.12
12
Bryan A. Garner (Editor in Chief). 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition. USA: West Group. Halaman 745
Sedangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1
angka 1 dan UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 1
angka 1 menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah: “Seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi
dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Secara sederhana
Hak Asasi Manusia dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh
dari manusia, melainkan dari zat yang lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena
itu, hak asasi tidak bisa direndahkan dan dicabut oleh hukum positif manapun,
bahkan dengan prinsip demikian hak asasi wajib diadopsi oleh hukum positif.13
Hak Asasi Manusia sendiri secara historis dimulai ketika lahirnya Magna
Charta (Piagam Agung 1215), Glorious Revolution 1688, Pemikiran Trias
Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika,
hingga ke Kontrak Sosial. Sebelum lahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB),
yang akhirnya mengesahkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia), gagasan tentang Hak Asasi Manusia telah mulai
dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin Delano Roosevelt
dalam gagasannya yang terkenal yaitu The Four Freedoms yang berisi tentang
Kebebasan Berbicara dan Berekspresi (freedom of speech). Kebebasan beragam
(Freedom of Worship), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan
kebebasan dari rasa rakut (freedom from fear).
14
13
Pendapat Dadang Juliantara seperti dikutip M. Afif Hasbullah dalam bukunya. 2005.
Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 17
14
Bambang Sunggono dan Aries Hariyanto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Manusia. Bandung: Mandar Maju. Halaman 76. Seperti dikutip Ibid. Halaman 22
Keempat gagasan ini
mempengaruhi pembentukan The International Bill of Human Rights yang terdiri
atas Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, Kovenan
Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The International Covenant on
Economic, Social, and Cultural Rights), dan Kovenan Internasional Hak sipil dan
Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat berhubungan erat dengan Hukum
internasional. Ini dibuktikan dari perlindungan HAM yang lahir dari Instrumen
internasional, demikian pula sebaliknya banyak fenomena HAM yang pada
akhirnya melahirkan berbagai instrumen internasional di bidang perlindungan
HAM, seperti The International Bill of Rights dan Convention on the elimination
of all forms of discrimination against women (CEDAW) yang lahir dari keadaan
terkukungnya dan tertindasnya hak-hak dasar manusia. Sebaliknya, lahirnya
DUHAM juga membuat Negara-negara di dunia sebagai subjek hukum
internasional menyadari pentingnya penghargaan terhadap hakikat dan martabat
manusia sebagai sesama pemegang hak dasar tersebut sehingga hal ini juga
membuat Negara-negara mentransformasikan berbagai instrumen ini ke dalam
hukum nasional masing-masing. Di Indonesia sendiri ketentuan-ketentuan tentang
perlindungan HAM muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan
seperti dalam UUD RI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pelanggaran HAM diartikan dalam pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun
1999 sebagai:
“….setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
Dalam pasal 1 angka 2 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
adalah pelanggaran hak asasi manusia yang termasuk dalam undang-undang
tersebut, yaitu yang termasuk dalam pasal 7 yaitu kejahatan genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.
I.6. Metode Penulisan
Dalam rangka merumuskan isi penulisan ini guna menjadi lebih terarah,
maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
Penelitian Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara
menganalisa norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian
dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum internasional dan norma
hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian
2. Data Penelitian
Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier,
yaitu sebagai berikut:
a. Bahan Hukum Primer: yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan penelitian ini seperti:
1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
3. The International Bill of Human Rights yang terdiri dari:
a. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang
Hak Asasi Manusia)
b. The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights
(Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)
c. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik)
4. Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading
Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan
Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan
merendahkan Martabat Manusia)
5. Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma Mahkamah
Pidana Internasional) 1998
b. Bahan Hukum Sekunder: yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli
hukum dalam buku-buku teks, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan
media lainnya yang relevan dengan penelitian ini
c. Bahan Hukum Tersier: yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Tinjauan kepustakaan
(Library Research) dan Tinjauan Lapangan (Field Research):
Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan
atau data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah data-data
yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh
para sarjana dan ahli sehingga kevalidan datanya dapat diakui.
b. Tinjauan Lapangan (Field Research)
Yaitu dengan cara melakukan tinjauan langsung terhadap korban
pelanggaran HAM pasca Gerakan Tiga Puluh September yang berasal dari
kalangan para anggota dan simpatisan PKI yang berada di Sumatera Utara.
di samping itu, Tinjauan lapangan juga dilakukan dengan melakukan
wawancara terhadap para korban.
4. Analisa Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah
dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan
dengan cara:
a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan
objek penelitian
b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan
objek penelitian
c. Mensistemasikan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut
d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau doktrin-doktrin
tersebut
I.7. Sistematika Penulisan
Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan
dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini
dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:
Bab I : Bab ini berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penulisan,
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, hingga
sistematika penulisan
Bab II : Bab ini membahas tentang Tinjauan umum tentang Pelanggaran
HAM, termasuk membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM
berat, dan mekanisme hukum nasional serta internasional yang dapat
ditempuh dalam kasus-kasus pelanggaran HAM
Bab III : Bab ini merupakan bab yang khusus membahas tentang Gerakan Tiga
Puluh September 1965
Bab IV : Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang
dilakukan terhadap PKI, Hubungan pelanggaran HAM tersebut
dengan hukum nasional dan hukum internasional, serta bagaimana
implementasi hukum nasional dan hukum internasional dalam
menyelesaikan kasus tersebut.
Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa kesimpulan
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PELANGGARAN HAM
II.1. Hubungan Antara Hukum Internasional dengan Hukum Nasional
Dalam hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional, ada
dua teori yang terkemuka, yaitu:15
1. Dualisme
Teori ini dikemukakan oleh para penulis positivis seperti Triepel dan
Anzilotti. Bagi mereka, dengan konsepsi teori kehendak mereka tentang hukum
internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap hukum nasional
sebagai suatu sistem yang terpisah. Menurut Triepel, terdapat dua perbedaan
fundamental di antara kedua sistem hukum tersebut yaitu:
a. Subjek-subjek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan
subjek-subjek hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya
Negara-negara
b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah
kehendak Negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak
bersama dari Negara-negara
15
Adapun butir (a) di atas tidak dapat dikatakan benar karena hukum
internasional juga mengikat individu-individu, sedangkan butir (b) agak
menyesatkan karena di atas kehendak bersama tersebut terdapat prinsip-prinsip
fundamental hukum internasional yang lebih tinggi darinya dan yang mengatur
pelaksanaan atau pernyataannya.
Sedangkan Anzilotti menganut suatu pendekatan yang berbeda, ia
membedakan hukum internasional dan hukum nasional menurut prinsip-prinsip
fundamental dengan mana masing-masing sitem itu ditentukan. Dalam
pendapatnya, hukum nasional ditentukan oleh prinsip atau norma fundamental
bahwa perundang-undangan Negara harus ditaati, sedangkan sistem hukum
internasional ditentukan oleh prinsip pacta sunt servanda. Yaitu perjanjian antar
Negara-negara harus dijunjung tinggi, sehingga kedua sistem itu memang terpisah
sehingga tidak mungkin terjadi pertentangan antara keduanya, yang mungkin
terjadi adalah penunjukan-penunjukan (renvois) dari sistem yang satu ke sistem
yang lain, selain daripada itu tidak ada hubungan apa-apa. Mengenai teori
Anzilotti ini, cukuplah mengatakan bahwa karena alasan-alasan yang
dikemukakan, tidak benar bahwa pacta sunt servanda harus dianggap sebagai
norma yang melandasi hukum internasional; prinsip ini hanya merupakan
sebagian contoh dari prinsip yang sangat luas yang menjadi akar hukum
internasional.
2. Monisme
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualism,
tunggal yang tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa
kaidah yang mengikat Negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan
lain yang bukan Negara. Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum
merupakan kesatuan bidang pengetahuan dan poin yang menentukan karenanya
adalah apakah hukum internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau
bukan. Jika secara hipotesis diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu
sistem kaidah yang benar-benar berkarakter hukum, maka menurut Kelsen dan
penulis-penulis monistis lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua
sistem hukum tersebut merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan
kesatuan ilmu pengetahuan hukum. Dengan demikian, suatu konstruksi selain
monisme, khususnya dualism, bermuara pada suatu penyangkalan karakter hukum
yang sebenarnya dari hukum internasional. Penulis-penulis monistis tidak akan
berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua sistem tersebut, karena
keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan bagian-bagian
yang saling berkaitan di dalam suatu struktur hukum.
Namun, penulis-penulis lain yang mendukung monime berdasarkan
alasan-alasan yang bukan cuma abstrak semata-mata, dan penulis-penulis tersebut
menyatakan, sebagai suatu masalah yang memiliki nilai praktis, bahwa hukum
internasional dan hukum nasional keduanya merupakan bagian dari keseluruhan
kaidah hukum universal yang mengikat segenap umat manusia baik secara
kolektif ataupun individual. Dengan perkataan lain, individulah yang
Dari segi pandang teori dualistik yang menekankan kedaulatan kehendak
Negara maka primat (primacy) terletak pada hukum nasional. Dalam hal ini,
pendukung Monisme berbeda pendapat. Kelsen, misalnya dengan membuat suatu
analisis struktural hukum internasional dan hukum nasional. Kelsen menerapkan
doktrin hirarkis yang mana menurut doktrin ini kaidah-kaidah hukum ditentukan
oleh kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip lain yang dengan mana kaidah-kaidah
tersebut mendapat validitas atau kekuatan mengikatnya; dengan demikian kaidah
yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan
perundang-undangan ditentukan oleh kaidah yang lebih tinggi. Dengan ini, Kelsen
berkeberatan atas pandangan mengenai pemilihan antara hukum internasional dan
hukum nasional didasarkan pada alasan bahwa cara pandangnya tersebut berakar
pada suatu pendekatan filosofis yang sangat meragukan.16
Lebih lanjut, tesis mengenai pemberian primat akhir pada hukum nasional
dapat dikatakan tidak berhasil dalam dua hal penting:17
1. Apabila hukum internasional memperoleh validitasnya hanya dari konstitusi
Negara, maka hukum internasional tidak akan berlaku lagi apabila konstitusi
yang menjadi sandaran otoritasnya tersebut tidak berlaku. Akan tetapi yang
lebih pasti adalah bahwa berlaku sahnya hukum internasional tidak
bergantung pada perubahan atau penghapusan konstitusi-konstitusi atau pada
revolusi.
2. Masuknya Negara-negara baru ke dalam masyarakat internasional. Telah
menjadi ketetapan bahwa hukum internasional mengikat Negara-negara baru
16
Ibid. Halaman 99-100
tanpa harus ada persetujuan Negara tersebut, dan persetujuan demikian apabila
dinyatakan secara tegas hanya merupakan suatu pernyataan mengenai
kedudukan hukum yang sebenarnya saja. Di samping itu, terdapat tugas bagi
setiap Negara untuk menyelaraskan bukan hanya undang-undangnya saja, tapi
juga konstitusinya, dengan hukum internasional.
II.2. Sejarah Perkembangan Hukum HAM Internasional dan Nasional
Salah satu tonggak penting perkembangan HAM internasional adalah
disahkannya The International Bill of Human Rights yang terdiri atas: Universal
Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM) yang diterima dan diumumkan melalui Resolusi Majelis Umum PBB
217A (III), International Covenant on Economic, Social, and Culture Rights atau
Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Kovenan Ekosob)
dan International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (Kovenan Sipol) yang ditetapkan melalui
resolusi majelis umum PBB 2200 A (XXI), serta Optional Protocol to the
International Covenant on Civil and Political Rights dan Second Optional
Protocol to the International Protocol to the International Covenant on Civil and
Political Rights, aiming at the abolition of the death penalty. Ketiga instrumen
pertama ini disebut sebagai The International Bill of Human Rights karena semua
instrumen ini merupakan fondasi dari Hak Asasi Manusia internasional, instrumen
Bill of Human Rights. Selain itu, The International Bill of Human Rights juga
merupakan bagian dari international customary law (Hukum kebiasaan
internasional) Karena keberlakuannya di Negara-negara anggota PBB adalah
otomatis walaupun tidak diratifikasi oleh Negara-negara tersebut dan telah
berlaku sebagai jus cogens di antara masyarakat internasional.
Hukum HAM internasional sendiri pada tahap awal perkembangannya
hanya mengakomodir hak-hak sipil yang mana melarang kekuasaan publik untuk
menghalangi individual dalam masyarakat, pada tahap ini perlindungan HAM
lazim disebut First-Generation Negative Rights. Hak-hak yang dicakup dalam
perlindungan ini adalah hak berpikir, hak untuk berbicara, hak beragama, dan
kebebasan bermufakat. Beberapa pengamat mengatakan bahwa inilah HAM
dalam artian sebenarnya, sedangkan pendapat lain menyatakan hak-hak tersebut
adalah HAM yang terpenting karena jika seseorang memiliki hak-hak sipil dan
politik, maka ia dapat menghasilkan hal-hal lainnya, sedangkan sisanya
menyatakan bahwa hak-hak ini tidak terlalu penting karena jika seseorang
berkekurangan dalam kebutuhan primernya seperti makanan, tempat tinggal, dan
pendidikan, hak-hak sipil dan politik tidak akan terlalu berarti. Sehingga lahirlah
apa yang disebut sebagai Second-Generation Positive Rights yang lebih berbasis
hak sosial ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang pertama, pada tahap ini,
langkah-langkah positif untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang vital
seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan.18
Perdebatan mengenai hak mana yang harus lebih diprioritaskan; hak sipil
dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi perdebatan dalam
beberapa lama, terutama karena adanya bentrokan kepentingan antara
Negara-negara blok timur dan blok barat. Negara-Negara-negara blok timur (Uni soviet) lebih
mementingkan hak ekonomi, sosial, dan budaya, sedangkan Negara-negara blok
barat (Amerika Serikat) justru menganggap hal ini sangat kontroversial dan
sebaliknya lebih menekankan perlunya hak sipil dan politik. Perbedaan orientasi
ini mengakibatkan lahirnya Kovenan Ekosob yang disponsori oleh Negara-negara
yang berpaham sosialis komunis dan Kovenan Sipol yang disponsori oleh
Negara-negara liberalis kapitalis. Perdebatan ini baru memperoleh momentum baru tanpa
terpecah pertempuran ideologi antarnegara pada tahun 1993, setelah usainya
perang dingin.19
18
Thomas G. Weiss, David P. Forsythe, dan Roger A. Coate. 1997. The United Nations
and Changing World Politics, Second Edition. USA: Westview Press. Halaman 135-136
19
Saafroedin Bahar. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Halaman 4. Seperti dikutip oleh M. Arif Hisbullah. Op. cit. Halaman 30
Dalam perkembangannya, mulai timbul kesadaran bahwa perjuangan akan
hak-hak bersama adalah jauh lebih penting daripada hak-hak perseorangan, seperti
hak atas pembangunan, hak atas perdamaian, hak atas lingkungan alam yang
bersih, hak atas sumber daya alam sendiri, dan hak atas warisan budayanya
Pasal-pasal dalam DUHAM sendiri secara spesifik dibagi menjadi
beberapa kategori hak:20
1. Hak yang secara langsung memberikan gambaran kondisi minimum yang
diperlukan bagi individu agar bisa mewujudkan watak kemanusiaannya,
yakni hak pribadi atau individu. Hak yang dimaksud antara lain:
a. Pengakuan atas martabat (Pasal 1)
b. Perlindungan dari tindakan diskriminasi atas dasar apapun (Pasal 2)
c. Jaminan atas kebutuhan (Pasal 3)
d. Terhindar dari perbudakan (Pasal 4)
e. Perlindungan atas tindakan sewenang-wenang dan penganiayaan
(Pasal 5)
f. Kesempatan menjadi warga Negara dan berpindah warga Negara
(Pasal 15)
2. Hak tentang perlakuan yang seharusnya diperoleh manusia dari sistem
hukum yang ada. Hak ini memberikan ketentuan mengenai standar perlakuan
suatu sistem hukum pada manusia, yaitu:
a. Persamaan di depan hukum (Pasal 6)
b. Tidak diperlakukan sewenang-wenang (Pasal 9)
c. Memperoleh pengadilan yang adil (Pasal 10)
d. Dilindungi sebelum dinyatakan bersalah (Pasal 11)
e. Tidak diintervensi kehidupan pribadinya oleh Negara (Pasal 12)
20
3. Hak yang memungkinkan individu untuk turut ambil bagian dalam jalannya
pemerintahan, yang biasa dikenal dengan hak-hak sipil dan politik. Hak
dimaksud antara lain:
a. Hak kebebasan berpikir dan beragama (Pasal 18)
b. Hak menyatakan pikiran secara bebas (Pasal 19)
c. Berkumpul dan berserikat (Pasal 20)
d. Serta keikutsertaan dalam pemerintah (Pasal 21)
4. Hak yang menjamin taraf hidup minimal kehidupan seseorang dan
memungkinkan proses pengembangan kebudayaan yakni ekonomi, sosial,
dan budaya:
a. Mendapatkan makanan, pekerjaan dan pelayanan kesehatan serta syarat
sosial lainnya (Pasal 22-25)
b. Hak untuk pendidikan dan pengembangan pribadi serta kebudayaan (Pasal
26-29)
Sebelum lahirnya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
Indonesia belum menganut konsep perlindungan dan penghormatan terhadap hak
asasi yang dituntut negara-negara barat sebagai unsur tidak terpisahkan dari
demokrasi dan cita negara hukum adalah suatu yang berlebihan dan tidak perlu.
Konsep hak asasi dianggap sebagai nilai budaya barat yang lebih menekankan
individualisme daripada kepentingan bangsa dan negara sebagai komunitas.
Budaya timur yang adiluhung tidak memerlukan hak asasi versi barat ini. Tahun
timur sudah mengakomodasinya dengan lebih baik daripada bangsa barat yang
sibuk menuding Indonesia sebagai pelanggar hak asasi.21
Perlindungan Negara terhadap hak warga mulai mendapat perhatian serius
oleh pemerintah orde baru semenjak 1993 oleh Soeharto melalui Keppres RI No.
50 Tahun 1993 ketika terjadi pembunuhan warga sipil di Pemakaman Santa Cruz,
Timor Timur 1991 oleh oknum militer, atas desakan aktivis HAM dan masyarakat
internasional, Keppres RI ini ditingkatkan menjadi Undang-Undang, yaitu UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, pemerintah orde
baru beranggapan demokrasi dan HAM adalah suatu kemewahan yang belum
perlu dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama
tingkat kemiskinan dan keterbelakangan masih tinggi.22
Walaupun Indonesia telah memuat jaminan HAM dalam konstitusinya,
hukum internasional tentang hak asasi manusia tetap diperlukan karena 3 alasan
utama, yakni: 23
a. Tambahan rujukan untuk harmonisasi peraturan nasional: kodifikasi
pengaturan HAM dalam hukum internasional bertujuan agar esensi dan
prinsip-prinsip hak asasi manusia dapat ditetapkan dengan cara yang seragam,
dengan cara mengefektifkan aturan yang berlaku secara internasional ke
21
Tristam Moeliono. “Tinjauan Hukum Internasional Publik terhadap Pembunuhan Massal Tahun 65-66”. Diakses tanggal 28 Februari 2010
22
Teguh Sulistia. “Peran International Criminal Court dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan oleh Militer”. Jurnal Hukum Internasional Volume 5 Nomor 1 Oktober 2007. Halaman 29
23
Adnan Buyung Nasution, dkk. 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi
Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
dalam praktik dan hukum nasional. Hal ini juga disebabkan adanya prinsip
umum: non diskriminasi dalam pemenuhan HAM
b. Penempatan jaminan HAM dalam jaminan kolektif: setiap Negara diwajibkan
menghormati hukum HAM, tanpa terkecuali. Dengan penetapan hukum
internasional HAM, maka jaminan kolektif untuk perlindungan dan
pemenuhannya, secara otomatis juga terus dikembangkan. Yurisprudensi
internasional juga mendorong, sekaligus memberi batasan yurisprudensi
nasional yang tidak menyimpang jauh dari prinsip-prinsip hukum umum yang
berlaku. Perlindungan internasional bermanfaat untuk kepentingan politik
secara umum. Sebagai contoh, persaingan ekonomi global yang dapat
menyebabkan pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di sebuah
Negara
c. Untuk mengatur masalah khusus HAM: yaitu sebagai tambahan aturan HAM,
bahkan tidak jarang, problem HAM hanya diatur dalam hukum internasional
HAM. Sebagai contoh, hak kolektif sebuah bangsa untuk menentukan nasib
sendiri (self determination) tidak pernah diatur dalam konstitusi
Negara-negara kolonial. Contoh lain adalah masalah perlindungan terhadap kelompok
minoritas dan status kelompok pelarian yang diatur secara khusus dan
mendapat tempat dalam hukum internasional HAM
II.3. Konvensi Anti Penyiksaan
Penyiksaan yang dilakukan pemerintah adalah masalah klasik yang masih
Negara sebagai metode interogasi yang resmi. Namun, sejalan dengan diakuinya
secara meluas bahwa tindakan tersebut melanggar HAM, maka negara-negara
secara perlahan meletakkan penyiksaan sebagai tindakan yang secara resmi
dikenai sanksi.24
Penyiksaan telah dicantumkan sebagai tindakan melanggar HAM dalam
berbagai instrumen internasional terdahulu seperti pasal 5 DUHAM, pasal 7 sipol,
pasal 10 sipol. Perkembangan yang signifikan dari penerapan kaidah internasional
terhadap penyiksaan adalah merupakan pengadopsian dari European Convention
for the Prevention of Torture and Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment. Pada 9 Desember 1975 majelis umum PBB mengadopsi konsensus
dari Declaration on the protection of all persons from being subjected to torture,
cruel, inhuman or degrading treatment or punishment. Komisi HAM PBB
kemudian menunjuk special rapporteur untuk pertanyaan terkait penyiksaan pada
22 Mei 1985 dengan mandat untuk “….mencari dan menerima informasi yang
dapat dipercaya dari pemerintah, seperti juga agen-agen khusus, Organisasi
Non-Pemerintah….” Dan untuk ‘merespon secara efektif’ informasi yang terkait
dengan penyiksaan. Pada 10 Desember 1984, Majelis Umum PBB mengadopsi
Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or
Punishment atau sering disingkat dengan Convention Against Torture (CAT)
setelah 7 tahun negosiasi. CAT sendiri berisi ketentuan-ketentuan yang termasuk
24
Dr. Lyal S. Sunga. 1992. Individual Responsibility in International Law for Serious
memasukkan pertanggungjawaban individual dan menetapkan mekanisme
pengawasan.25
Pelanggaran HAM berat atau dikenal dengan “gross violation of human
rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara
eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya, tidak dikenal dalam
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM. Di dalam Statuta Roma
1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most
serious crimes of concern to the international community as a whole”. Dalam
Statuta Roma (1998) pengertian tersebut ditegaskan meliputi genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan,kejahatan perang,dan agresi yang merupakan yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional. Undang-undang Nomor 26 tahun 2000 tentang Pasal 1 CAT menegaskan bahwa yang dimaksud penyiksaan adalah:
“Setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari orang itu atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh orang itu atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik. Hal itu tidak meluputi rasa sakit atau penderitaan yang semata-mata timbul dari, melekat pada, atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku.”
II.4. Pelanggaran HAM Berat dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
25
Pengadilan HAM mengatur Pelanggaran HAM berat yang meliputi genosida dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.26
Black’s Law Dictionary memberikan defenisi dari genosida (genocide)
sebagai: “an act committed with the intent to destroy, in whole apart, a national,
ethnic, racial, or religious group”
II.4.1. Genosida dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
27
Defenisi Kejahatan Genosida sendiri masih
tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah manusia telah menyaksikan
banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif baru dan
baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II.
Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël
Lemkin, seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah
ini. Defenisi Lemkin tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana
terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-fondasi penting” dari kehidupan
suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. 28
26
Menteri Kehakiman RI. “ Pelanggaran HAM Berat dan Pengadilan Ad Hoc”.
Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa
untuk Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa
penghancuran ras, agama, atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah
Februari 2010
27
Bryan A. Garner (Editor in chief). Op. cit. Halaman 694. 28
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. 2008. Melampaui Warisan Nuremberg:
Pertanggungjawaban untuk Kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional.
hukum bangsa-bangsa.29
“Genocide is a denial of the right of existence of entire human groups, as homicide is the denial of the right to live of individual human beings; such denial of the right of existence shocks the conscience of mankind, results in great losses to humanity in the form of cultural and other contributions represented by these human groups, and is contrary to moral law and to the spirit and aims of the United Nations”
Pada 11 Desember 1946, Majelis Umum PBB
mengadopsi Resolusi 96 yang berkaitan dengan genosida ini:
30
a. Membunuh anggota-anggota dari kelompok tersebut
Dalam Resolusi ini pengaturan mengenai bagaimana sebenarnya kejahatan
genosida itu dipraktekkan belum lengkap, sekilas terlihat bahwa ketentuan ini
mengatur semua tindakan yang dianggap menghalangi hak asasi manusia tanpa
ada indikator yang jelas tentang sejauh mana kriminalisasi dari tindakan genosida
itu.
Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide
dalam pasal 2 menyatakan bahwa genosida adalah tindakan-tindakan yang
disengaja untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian kelompok nasional,
etnik, ras, atau agama seperti:
b. Menimbulkan kerusakan fisik dan mental yang serius terhadap
anggota-anggota kelompok tersebut
c. Dengan sengaja menimbulkan kepada kelompok keadaan hidup yang
diperkirakan membawa penghancuran seluruh atau sebagian kelompok
tersebut secara fisik
29
Kurt Mundorff. “Other Peoples’ Children: A Textual and Contextual Interpretation of the Genocide Convention, Article 2(e)”. Harvard International Law Journal Vol. 50 Number 1 Winter 2009. Halaman 73
30
d. Menjatuhkan tindakan-tindakan yang bertujuan untuk mencegah kelahiran
dalam kelompok tersebut
e. Memindahkan anak-anak secara paksa dari kelompok tersebut ke kelompok
lainnya
Rome Statute dalam pasal 6, The International Criminal Tribunal for
Rwanda Statute dalam pasal 2, dan pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia juga senada dengan Convention for the Prevention
and Punishment of the Crime of Genocide tentang pengertian genosida. Ketentuan
dari instrumen-instrumen ini tidak mengharuskan pemusnahan kelompok yang
dimaksud secara keseluruhan untuk dapat disebut sebagai kejahatan genosida.
Indonesia sendiri dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia menyebutkan unsur-unsur genosida dalam Pasal 8 yang sama
indikatornya dengan Pasal 6 dari Statuta Roma.
II.4.2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Menurut pakar hukum Swiss, Jean Graven, kejahatan terhadap
kemanusiaan sama tuanya dengan kemanusiaan itu sendiri. Negara-negara
menggunakan konsep-konsep tentang kemanusiaan untuk menjustifikasi
peristiwa-peristiwa intervensi unutk membantu kelompok-kelompok minoritas
yang dianiaya oleh pemerintah mereka sendiri pada masa sebelum diaturnya
piagam PBB. Konsep-konsep ini juga dikaitkan dengan cara Negara melakukan
perjanjian-perjanjian modern pertama yang penting, konvensi-konvensi Den Haag
tentang hukum dan kebiasaan perang.31
“Until a more complete code of laws of war has been issued, the High Contracting Parties deem it expedient to declare that, in cases not included in the Regulations adopted by them, the inhabitants and the belligerents remain under the protection an the rule of the principles of law of nations, as they result from the usages among civilized peoples, from the laws of humanity, and the dictates of the public conscience.”
Konsep kejahatan terhadap kemanusiaan diawali dengan dimasukkannya
prinsip kemanusiaan dalam Klausula Martin pada pembukaan Konvensi Den
Haag tahun 1899 dan kemudian Konvensi Den Haag Keempat pada tahun 1907
yang berisi:
32 Dalam frase “laws of humanity”, hukum kemanusiaan dipahami sebagai
suatu sumber prinsip-prinsip dari berbagai hukum bangsa-bangsa dan tidak
mengindikasikan kategori norma-norma lain yang berbeda dari norma-norma
yang dapat diterapkan bagi objek perjanjian ini, ia hanya berfungsi sebagai aturan
umum untuk mencakup kasus-kasus yang tidak dicakup oleh aturan-aturan
tersebut secara eksplisit yang bersandar pada Konvensi Den Haag tersebut.33
31
Steven R. Ratner dan Jason S. Abrams. Op. cit. Halaman 71-72
32
Erikson Hasiholan Gultom. 2006. Kompetensi