• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Dalam berbagai konferensi hukum internasional yang berkenaan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), Indonesia selalu memposisikan dirinya sebagai Negara yang mendukung perlindungan Hak Asasi Manusia secara utuh. Ini terlihat dari fakta bahwa sejak reformasi 1998, Indonesia, yang walaupun produk peraturan perundang-undangan di bidang HAM relatif sedikit,1

1

Menurut data assessment dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ditemukan hanya terdapat 35 Undang-undang atau sekitar 25% dari keseluruhan prosuk legislasi 2005-2008, yang tegas memiliki relasi dengan HAM. Lebih lengkap lihat: Wahyudi Djafar. “HAM Masih Menjadi Anak Tiri”. Asasi edisi Maret-April 2009. Halaman 8

selain telah mempunyai peraturan perundang-undangan tersendiri di bidang Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, terhitung telah lebih intensif untuk turut serta sebagai pihak pada berbagai perjanjian internasional yang bersifat multilateral, khususnya perjanjian internasional di bidang HAM seperti International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, International Covenant on Civil and Political Rights

(2)

(ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights,

Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women, Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment

dan Convention on the Rights of the Child.2

Namun, fakta keikutsertaan Indonesia pada perjanjian-perjanjian tersebut tidak berbanding lurus dengan implementasi perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari kemajuan di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak mengalami kemajuan yang signifikan sejak pascareformasi 1998. Dalam laporan HAM yang dikeluarkan oleh Human Rights

Watch bahkan ditemukan bahwa untuk tahun 2008 Indonesia malah menunjukkan

kemajuan yang sangat sedikit di bidang perlindungan Hak Asasi Manusia yang ditandai dengan pengukungan kebebasan memilih kepercayaan (kasus Ahmadiyah), dan kebebasan pers yang masih terpasung.

3

2

Instrumen-instrumen internasional tersebut telah diratifikasi sebagai berikut:

a. International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination telah diratifikasi dengan UU No. 29 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi Internasional menganai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial

b. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) telah diratifikasi dengan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

c. International Covenant on Economic Social and Cultural Rights telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

d. Convention on the Elimination of All Discrimanation against Women telah diratifikasi dengan UU No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap perempuan

e. Convention against Torture and other Cruel Inhuman or Degrading Treatment or Punishment telah diratifikasi dengan UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau hukuman yang merendahkan Martabat, tidak manusiawi dan kejam lainnya

f. Convention on the Rights of the Child telah diratifikasi dengan Keppres 36/1990 tentang pengesahan Konvensi Hak-hak Anak

3

(3)

Berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia sejak masa orde lama juga masih belum mendapat kepastian hukum, mulai dari peristiwa pembunuhan massal sebanyak lebih dari setengah juta orang yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia pada Tahun 1965-1966, Pelanggaran HAM di Papua terhadap orang-orang yang diduga bersimpati pada gerakan Operasi Papua Merdeka (OPM) pada 1962-1998, Pembantaian terhadap rakyat sipil di Santa Crus, Dili, Timor Timur Pada 1973-1998, peristiwa Tanjungpriok pada 1984, Kasus Pembunuhan di Trisakti dan Semanggi pada 1998-1999, pelanggaran HAM terhadap rakyat sipil Aceh sejak 1989. Justru pelaku pelanggar HAM pada kasus-kasus tersebut kebanyakan dikomandoi oleh Negara, dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Kasus Aceh sendiri telah berakhir damai sejak penandatangan MoU (Memorandum of Understanding) di Helsinski, Finlandia pada tahun 2005 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan GAM yang mana salah satu poin dalam MoU tersebut adalah Pemerintah Republik Indonesia memberikan amnesti kepada semua orang yang terlibat dalam kegiatan GAM dan pembebasan tanpa syarat bagi narapidana dan tahanan politik yang ditahan akibat konflik tersebut. Namun, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk konflik tersebut belum terbentuk hingga sekarang.

Sedangkan untuk kasus Timor Timur, telah mendapat putusan yang in kracht dari Pengadilan Ad hoc HAM pada tahun 2005. Putusan itu sendiri tidak

(4)

dapat dikatakan sebagai putusan yang mencerminkan rasa keadilan karena dari 18 terdakwa, kesemuanya akhirnya diputus bebas.4

Kasus Trisakti dan Semanggi sendiri Pada 31 Maret 2008, Kejagung mengembalikan berkas hasil penyelidikan pelanggaran HAM penembakan mahasiswa Universitas Trisakti dan kasus Semanggi 1 dan Semanggi 2, serta kasus kerusuhan Mei 1998 dan penghilangan orang secara paksa ke Komnas HAM. Berkas penyelidikan itu dikembalikan, antara lain, karena menunggu Pengadilan HAM Ad Hoc terbentuk.5

Sedangkan kasus-kasus lainnya seperti kasus Tanjung Priuk dan Pembantaian massal 1965-1966 justru belum mendapat penanganan sama sekali secara hukum. Kasus pembantaian massal 1965-1966 serta pelanggaran HAM lain yang menyertainya hingga kurun waktu puluhan tahun sesudahnya adalah salah satu yang perlu mendapat perhatian karena dilihat dari segi kuantitas, pembantaian ini adalah yang memakan korban paling banyak sepanjang sejarah pembunuhan massal di Indonesia yaitu sekitar satu setengah juta penduduk sipil yang terbunuh dalam peristiwa tersebut,6

Pembunuhan massal ini diawali dengan sebuah anggapan bahwa penggerak tragedi pembunuhan 7 Jenderal pada 30 September 1965 (yang juga

serta pendiskreditan kolektif terhadap pengikut partai politik yang pertama kali terjadi dalam sejarah Indonesia.

4 Maret 2010 5 Diakses tanggal 11 Februari 2010 6

Robert Cribb dalam Pengantar buku “Indonesian Killings”, Halaman 42, seperti dikutip oleh John Roosa, 2008. Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto. Jakarta: Hasta Mitra. Halaman 5

(5)

disebut sebagai Gerakan Tiga puluh September) adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berakhir dengan kesimpulan bahwa semua orang baik yang secara terang-terangan mengaku sebagai anggota dan simpatisan PKI maupun yang orang-orang yang masih diduga sebagai bagian dari Partai tersebut harus dibasmi hingga ke akar-akarnya, bahkan tindakan ini tak terkecuali hingga petani buta huruf di dusun-dusun terpencil yang ditampilkan sebagai gerombolan pembunuh yang secara kolektif bertanggung jawab atas Gerakan Tiga puluh September.7

Peristiwa Gerakan Tiga puluh September dan siapa dalang di baliknya memang sangat kompleks sehingga kajian sejarah terhadap peristiwa ini memang tidak henti-henti terus dilakukan, ini terbukti dari berbagai versi tentang kejadian itu sendiri yang dihasilkan dari berbagai penelitian sejarah. Tidak ada hasil penelitian yang seragam di antara para ahli sejarah bahwa PKI memang dalang dari peristiwa Gerakan Tiga puluh September seperti juga tidak ada bukti yang sangat valid bahwa PKI bukan dalang dari peristiwa tersebut. Namun, terlepas dari konspiratif peristiwa tersebut, hal yang pasti adalah peristiwa yang terjadi sesudahnya, Pasca 30 September 1965, yaitu terjadinya pelanggaran-pelanggaran Dan sejak Gerakan Tiga puluh September pulalah terjadi pembunuhan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia, baik yang dilakukan oleh militer maupun yang dilakukan oleh sipil dengan koordinasi dari militer, serta berbagai bentuk pendiskreditan secara ekonomi, sosial, dan politik yang membuat para angggota dan simpatisan PKI menjadi teralienasi sebagai warga Negara terlebih-lebih sebagai manusia merdeka.

7

(6)

HAM terhadap sebagian besar anggota-anggota dan simpatisan PKI berupa penyiksaan-penyiksaan baik secara fisik maupun secara psikis tanpa terlebih dahulu melewati prosedur hukum.

Oleh karena itu, secara khusus penelitian ini tidak sedang berusaha membahas tentang konspirasi tentang siapa aktor intelektual atau kelompok mana yang paling bertanggung jawab di balik Gerakan Tiga puluh September, pula tidak sedang menempatkan PKI dalam posisi benar atau salah dalam peristiwa tersebut. Dalam keadaan bersalah atau benar, seseorang atau sekelompok orang tetap harus dihormati martabatnya sebagai manusia, sehingga, dalam kasus tersebut, andaikata pun PKI adalah dalang peristiwa Gerakan Tiga puluh September 1965, anggota-anggota dan simpatisan PKI tidak selayaknya mendapat perlakuan-perlakuan yang menafikan hak-hak dasar mereka sebagai manusia, selain karena pembunuhan para jenderal yang (jika memang benar) dilakukan oleh segelintir orang-orang dari PKI tidak sebanding dengan hukuman kolektif yaitu ditumpasnya seluruh anggota dan simpatisan PKI yang tidak tahu menahu tentang peristiwa tersebut, hal ini juga menyalahi hak-hak dasar umat manusia yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM).

Begitu pula, bagi setiap warga Negara, Hak setiap orang untuk mendapat perlindungan adalah hal yang urgen dan Negara wajib menjamin setiap warga negaranya untuk mendapatkannya tanpa terkecuali, termasuk dalam hal ini para anggota dan simpatisan PKI sebagai warga Negara Indonesia yang telah terlanjur dicap sebagai penghianat Negara. Apa yang dialami oleh anggota-anggota dan simpatisan PKI yang menjadi korban stigma pelaku Gerakan Tiga puluh

(7)

September sejak tahun 1965, yaitu bentuk-bentuk pelanggaran-pelanggaran HAM yang serius sebenarnya dalam hukum internasional dapat pula dikategorikan sebagai Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) atau bahkan menurut pendapat Robert Cribb yang dengan ekstrim mengemukakan bahwa hal ini juga dapat disebut sebagai genosida (genocide) dikarenakan menurut beliau bahwa, terkait dengan defenisi konvensi genosida 1948 bahwa korban genosida meliputi kelompok nasional, etnik, ras, atau agama, identitas nasional di Indonesia lebih diartikan kepada pandangan politik daripada kepada etnik atau ras.

Bagaimanapun, dalam hukum internasional, pemerintah Indonesia yang telah mengabaikan hak-hak dasar warganya dalam peristiwa pembersihan unsur PKI pasca Gerakan Tiga puluh September, telah banyak menyalahi kaidah-kaidah hukum HAM internasional. Tindakan pemerintah Indonesia yang telah meratifikasi berbagai instrumen internasional tentang HAM akan tetapi banyak melanggar HAM warganya adalah tindakan yang mendapat kecaman dari masyarakat internasional dan sudah selayaknya pelanggaran HAM berat yang dilakukan Negara terhadap warganya bisa diadili dalam forum pengadilan internasional. Namun pun demikian, pengadilan-pengadilan nasional pertama-tama harus memperhatikan hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan hukum internasional. Negara menurut hukum internasional memiliki kebebasan penuh untuk bertindak, dan hukum nasionalnya merupakan persoalan domestik di mana Negara lain tidak berhak untuk mencampurinya.8

8

J.G. Starke. 2004. Pengantar Hukum Internasional 1 Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 114

(8)

Akan tetapi, dalam hal pelanggaran HAM berat, seperti Genosida, kejahatan terhadap kemanusaan, penyiksaan dan penghilangan paksa, hukum kebiasaan internasional dan dan prinsip-prinsip hukum umum boleh memberlakukan yurisdiksi universal terhadap orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan tersebut di atas.9

9

Amnesty International. “Universal Jurisdiction: 14 Principles on the Effective Exercise of Universal Jurisdiction

Artinya masyarakat internasional berhak memberlakukan yurisdiksinya juga terhadap pelaku tersebut tanpa memandang nasionalitasnya. Statuta Roma sendiri dalam Pasal 17 menyiratkan bahwa Mahkamah Pidana Internasional dapat mengadili suatu perkara apabila Negara yang bersangkutan tidak mampu atau tidak bersedia untuk melakukan penuntutan terhada perkara aquo.

Fakta bahwa banyaknya pelanggaran HAM terhadap anggota dan simpatisan PKI pasca Gerakan Tiga puluh September tidak berbanding lurus dengan usaha-usaha perlindungan HAM yang dilakukan Negara baik semasa terjadinya peristiwa tersebut maupun hingga kurun waktu 30 tahun setelahnya membuat pentingnya dilakukan kajian hukum terhadap peristiwa ini, dalam hal ini dikhususkan pada kajian hukum internasional, yaitu tentang apa-apa saja bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pasca Gerakan Tiga puluh September 1965 dan bagaimana hukum internasional mengatur perlindungannya, hal-hal tersebutlah yang melatarbelakangi studi “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965” ini.

(9)

I.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan Perumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa sajakah bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965?

2. Bagaimanakah hubungan antara hukum nasional dan Hukum internasional tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965?

3. Sejauh manakah hukum nasional dan dan hukum internasional dapat diimplementasikan atas pelanggaran HAM terhadap PKI dalam Gerakan Tiga puluh September terhadap alternatif hukum untuk penyelesaiannya?

I.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965

2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional tentang pelanggaran-pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga puluh September 1965

(10)

3. Untuk mengetahui sejauh mana hukum nasional dan hukum internasional dapat diimplementasikan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap PKI dalam Gerakan Tiga puluh September

Sedangkan yang menjadi manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat Teoritis: Sebagai kontribusi di bidang ilmu pengetahuan, khususnya disiplin ilmu hukum internasional, tentang perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai manusia yang sama martabatnya dan hak alamiahnya dengan manusia lainnya serta sebagai warga Negara yang berhak mendapat perlindungan dari Negara terkait stigma keterlibatan mereka dalam Gerakan Tiga puluh September 1965

2. Manfaat Praktis: Agar masyarakat mengetahui arti pentingnya perlindungan HAM bagi setiap orang tanpa terkecuali, termasuk para anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), yang terlepas dari stigma sebagai dalang Gerakan Tiga puluh September dilekatkan kepada mereka, telah dilanggar hak-haknya sebagai manusia dan sebagai warga negara serta untuk menemukan langkah-langkah konkrit apa yang dapat dilakukan sesuai jalur hukum nasional dan internasional untuk memulihkan hak-hak korban yang telah dilanggar

I.4. Keaslian Penulisan

Adapun Skripsi yang berjudul “Pelanggaran HAM terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam Gerakan Tiga Puluh September 1965” ini adalah

(11)

tulisan yang masih baru dan belum ada tulisan lain dalam bentuk skripsi yang membahas tentang hal ini sebelumnya. Khusus untuk perbandingan dengan Skripsi yang ada di lingkup Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya pengesahan dari pihak administrator Departemen Hukum Internasional yang menyatakan bahwa tidak ada judul yang sama dengan Judul Skripsi ini.

I.5. Tinjauan Kepustakaan

Hukum Internasional secara umum dapat diartikan sebagai himpunan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara Negara-negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan masyarakat internasional.10 Hukum Internasional yang pada awalnya hanya memasukkan Negara sebagai satu-satunya subjek hukum internasional11

1. Negara yang berdaulat dan merdeka (sebagai subjek hukum internasional yang utama)

, dalam perkembangannya mulai memasukkan unsur lain sebagai subjeknya, yaitu:

2. Palang Merah Internasional

3. Tahta Suci Vatikan di Roma yang dikepalai oleh Paus 4. Organisasi Internasional

10

Dr. Boer Mauna. 2008. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global. Bandung: PT. Alumni. Halaman 1

11

Pendapat dari Hackworth, Emmerich de Vattel, dan Ian Brierly yang hampir senada mengatakan bahwa hukum internasional adalah sekumpulan aturan-aturan yang mengatur hubungan antara Negara-negara

(12)

5. Individu yang dengan syarat-syarat tertentu diakui oleh masyarakat internasional sebagai subjek hukum internasional

Hukum Internasional sendiri, berdasarkan Statuta Mahkamah Internasioanl dalam pasal 38, bersumber pada:

1. Perjanjian Internasional 2. Kebiasaan Internasional

3. Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab

4. Keputusan-keputusan Hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional dari berbagai Negara sebagai alat tambahan untuk menemukan hukum

Menurut Black’s Law Dictionary, Hak asasi Manusia ialah kebebasan, kekebalan, serta keuntungan-keuntungan yang mana menurut nilai-nilai modern (terutama dalam tataran internasional), memungkinkan semua umat manusia untuk mengakuinya sebagai hak dalam masyarakat di mana mereka tinggal.12

12

Bryan A. Garner (Editor in Chief). 1999. Black’s Law Dictionary Seventh Edition. USA: West Group. Halaman 745

Sedangkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 1 dan UU No. 26 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Hak Asasi Manusia adalah: “Seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”. Secara sederhana Hak Asasi Manusia dipahami sebagai hak dasar (asasi) yang dimiliki oleh manusia, hak asasi manusia keberadaannya tidak tergantung dan bukan berasal

(13)

dari manusia, melainkan dari zat yang lebih tinggi daripada manusia. Oleh karena itu, hak asasi tidak bisa direndahkan dan dicabut oleh hukum positif manapun, bahkan dengan prinsip demikian hak asasi wajib diadopsi oleh hukum positif.13

Hak Asasi Manusia sendiri secara historis dimulai ketika lahirnya Magna

Charta (Piagam Agung 1215), Glorious Revolution 1688, Pemikiran Trias

Politika yang dikemukakan oleh Montesquieu, Deklarasi Kemerdekaan Amerika, hingga ke Kontrak Sosial. Sebelum lahirnya Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), yang akhirnya mengesahkan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), gagasan tentang Hak Asasi Manusia telah mulai dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat ke-32 Franklin Delano Roosevelt dalam gagasannya yang terkenal yaitu The Four Freedoms yang berisi tentang Kebebasan Berbicara dan Berekspresi (freedom of speech). Kebebasan beragam (Freedom of Worship), kebebasan dari kemelaratan (freedom from want), dan kebebasan dari rasa rakut (freedom from fear).

14

13

Pendapat Dadang Juliantara seperti dikutip M. Afif Hasbullah dalam bukunya. 2005.

Politik Hukum Ratifikasi Konvensi HAM Indonesia Upaya Mewujudkan Masyarakat Yang Demokratis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 17

14

Bambang Sunggono dan Aries Hariyanto. 2001. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia. Bandung: Mandar Maju. Halaman 76. Seperti dikutip Ibid. Halaman 22

Keempat gagasan ini mempengaruhi pembentukan The International Bill of Human Rights yang terdiri atas Universal Declaration of Human Rights pada tahun 1948, Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights), dan Kovenan Internasional Hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Rights).

(14)

Hak Asasi Manusia itu sendiri sangat berhubungan erat dengan Hukum internasional. Ini dibuktikan dari perlindungan HAM yang lahir dari Instrumen internasional, demikian pula sebaliknya banyak fenomena HAM yang pada akhirnya melahirkan berbagai instrumen internasional di bidang perlindungan HAM, seperti The International Bill of Rights dan Convention on the elimination of all forms of discrimination against women (CEDAW) yang lahir dari keadaan terkukungnya dan tertindasnya hak-hak dasar manusia. Sebaliknya, lahirnya DUHAM juga membuat Negara-negara di dunia sebagai subjek hukum internasional menyadari pentingnya penghargaan terhadap hakikat dan martabat manusia sebagai sesama pemegang hak dasar tersebut sehingga hal ini juga membuat Negara-negara mentransformasikan berbagai instrumen ini ke dalam hukum nasional masing-masing. Di Indonesia sendiri ketentuan-ketentuan tentang perlindungan HAM muncul dalam berbagai peraturan perundang-undangan seperti dalam UUD RI 1945, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

Pelanggaran HAM diartikan dalam pasal 1 angka 6 UU No. 39 Tahun 1999 sebagai:

“….setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat Negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.

Dalam pasal 1 angka 2 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat

(15)

adalah pelanggaran hak asasi manusia yang termasuk dalam undang-undang tersebut, yaitu yang termasuk dalam pasal 7 yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

I.6. Metode Penulisan

Dalam rangka merumuskan isi penulisan ini guna menjadi lebih terarah, maka digunakan metode penulisan yang diuraikan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah Penelitian Yuridis Normatif yaitu jenis penelitian yang dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum yang berlaku. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan cara menganalisa norma-norma hukum internasional dan norma hukum nasional yang berkenaan dengan penelitian

2. Data Penelitian

Penelitian ini bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan Hukum Primer: yaitu peraturan perundang-undangan yang relevan dengan penelitian ini seperti:

1. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

2. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

(16)

3. The International Bill of Human Rights yang terdiri dari:

a. Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Umum tentang

Hak Asasi Manusia)

b. The International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

(Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya)

c. International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik)

4. Convention Against Torture and other Cruel, Inhuman or Degrading

Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan

Perlakuan atau Penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan Martabat Manusia)

5. Rome Statute of International Criminal Court (Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional) 1998

b. Bahan Hukum Sekunder: yaitu tulisan-tulisan atau karya-karya para ahli hukum dalam buku-buku teks, makalah, jurnal, surat kabar, internet, dan media lainnya yang relevan dengan penelitian ini

c. Bahan Hukum Tersier: yaitu bahan-bahan yang digunakan guna menunjang bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan kamus bahasa

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah Tinjauan kepustakaan (Library Research) dan Tinjauan Lapangan (Field Research):

(17)

Merupakan teknik pengumpulan data dengan cara penelitian kepustakaan atau data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah data-data yang berasal dari sumber-sumber atau bahan-bahan tertulis yang ditulis oleh para sarjana dan ahli sehingga kevalidan datanya dapat diakui.

b. Tinjauan Lapangan (Field Research)

Yaitu dengan cara melakukan tinjauan langsung terhadap korban pelanggaran HAM pasca Gerakan Tiga Puluh September yang berasal dari kalangan para anggota dan simpatisan PKI yang berada di Sumatera Utara. di samping itu, Tinjauan lapangan juga dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap para korban.

4. Analisa Data

Pengolahan data yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah dengan menganalisa permasalahan yang dibahas. Adapun analisis data dilakukan dengan cara:

a. Mengumpulkan data-data dan bahan-bahan hukum yang relevan dengan objek penelitian

b. Memilih kaidah-kaidah hukum ataupun doktrin-doktrin yang sesuai dengan objek penelitian

c. Mensistemasikan kaidah-kaidah hukum dan doktrin-doktrin tersebut

d. Menjelaskan korelasi antara kaidah-kaidah hukum dan atau doktrin-doktrin tersebut

(18)

I.7. Sistematika Penulisan

Untuk dapat mempermudah pemahaman skripsi ini, maka pembahasan dalam skripsi ini akan diuraikan secara sistematis. Adapun penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 Bab yang berhubungan satu sama lainnya, yaitu:

Bab I : Bab ini berisi pendahuluan yang terdiri atas latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan, hingga sistematika penulisan

Bab II : Bab ini membahas tentang Tinjauan umum tentang Pelanggaran HAM, termasuk membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat, dan mekanisme hukum nasional serta internasional yang dapat ditempuh dalam kasus-kasus pelanggaran HAM

Bab III : Bab ini merupakan bab yang khusus membahas tentang Gerakan Tiga Puluh September 1965

Bab IV : Bab ini membahas tentang bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap PKI, Hubungan pelanggaran HAM tersebut dengan hukum nasional dan hukum internasional, serta bagaimana implementasi hukum nasional dan hukum internasional dalam menyelesaikan kasus tersebut.

Bab V : Bab terakhir dalam skripsi ini yang berisi penutup berupa kesimpulan dari keseluruhan penelitian yang dilakukan serta juga saran-saran

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa unsur setiap orang mengandung pengertian orang perorangan, kelompok orang baik sipil maupun militer yang bertanggung jawab secara individual atau

Dengan statistik menggunakan uji Chi- Square Test didapat p-value 0.178> (0.05) maka hasil dari penelitian dapat disimpulkan H 0 diterima dan H a ditolak yang

Penelitian ini digunakan sebagai acuan dalam merancang kriptografi, dimana kriptografi yang dirancang sederhana namun yang membedakan adalah alur pita pertumbuhan dan

Sedangkan keberhasilan yang dilihat dari sisi hasil yaitu dimana jika anak sudah berhasil dalam mencapai indikator-indikator yang telah ditentukan oleh peneliti yang berkaitan

Dalam pelayanan keperawatan di rawat inap khususnya di Ruang perawatan Anak, standar sangat membantu perawat untuk mencapai asuhan yang berkualitas sehingga harus berfikir realistis

Semua naskah pada Jurnal Psikologi Volume 44 Nomor 1, 2 dan 3 Tahun 2017 ditelaah ( peer reviwers ) oleh para Mitra Bebestari berikut ini;. Badrun Kartowagiran, M.Pd., Fakultas

Küresel kriz ardından, dünya genelinde ilgi uyandıran İslami bankacılığın, Türkiye’deki adıyla katılım bankacılığının hangi unsurları itibarıyla geleneksel

personal characteristic mempengaruhi perilaku merokok pada remaja, dari hasil wawancara dengan ketiga subjek bahwa subjek mempunyai keyakinan diri untuk merokok..