• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tarekat

4. Sejarah Perkembangan Tarekat

Tarekat mempunyai sejarah yang tidak terpisahkan dari tasawuf. Konsep pembebasan keraguan dan keputusasaan yang ditawarkan tasawuf cukup berhasil menarik minat kaum muslim yang terkenal mempunyai kecenderungan zuhud.22

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW, tokoh yang dikenal sebagai sufi yang paling sufi. Dengan gaya hidup sederhana, tetapi penuh kesungguhan, Nabi Muhammad SAW berhasil menyandingkan perilaku zuhud dengan tugasnya sebagai Rasul yang akhlaknya tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari kemurnian Al-Quran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan awal cita-cita pergerakan tasawuf dalam Islam.

Sepeninggalnya Rasul, Khulafaurrasyidin, dan para tabi’in, sedikit demi sedikit sifat zuhud kaum muslim mulai terkikis dan mulai berubah menjadi budaya yang mementingkan keduniaan. Bentuk perilaku seperti ini umumnya dilakukan oleh orang-orang kaya yang hidup dengan

22

berfoya-foya dan berpotensi melakukan berbagai kemaksiatan karena harta yang melimpah ruah mereka tersebut. “Hal itulah yang kemudian membuat Hasan Basri, Sufyan Tsauri, Ibrahim ibn Adham, Rabi’ah Adawiyah, Syaqiq Balkhi beserta zahid lainnya kecewa dengan degradasi akhlak masyarakat aghniya. Pada abad ke-2 H, mereka merubah ke-zuhud -an menjadi gerak-an y-ang saat ini dikenal deng-an tasawuf.”23

Adalah Rabi’ah Adawiyah yang kemudian memperkenalkan konsep mahabbah yang berhasil memunculkan revolusi ketekunan para zahid pada taraf yang lebih ‘abid, zuhud, tawakkul, serta

mujahadah dengan berakhir pada ma’rifah Allah dimana pintu hijab antara makhluk dan Sang Khalik melalui mata batin terbuka lebar. Konsep mahabbah Rabi’ah Adawiyah itu yang pada abad ke-3 Hijriyah membuat tasawuf dikonversi oleh para zahid dari asketisme (zuhud) menjadi mistisme.24

Dalam pandangan keilmuan tasawuf, konsep ma’rifah ibarat dua sisi mata uang. Pada sisi yang begitu positif, konsep ma’rifah menjadikan tasawuf menjadi sebuah sumbangan berharga bagi khazanah Islam.

Konsep ma’rifah dijadikan salah satu kriteria bagi kenaikan tingkat seorang sufi apakah mereka hanya sebatas zahid atau telah dipromosikan pada tingkat yang lebih tinggi seperti arif-shufi-waly.25

Namun di sisi lain, konsep ma’rifah menjadi begitu subjektif karena mistisme tasawuf harus dipandang dengan kacamata tasawuf dan tidak dapat dibuktikan melalui metodologi keilmuan modern. Subjektifitas individu para sufi inilah yang kemudian membuat tasawuf menjadi rawan akan penyimpangan akidah. Hal inilah yang akhirnya dipertentangkan oleh fuqaha dan mutakallimin (ahl al-zawahir) disatu sisi melawan pandangan para sufi (ahl al-bawathin). 26 23 ibid, h. 63-64 24 ibid, h. 64 25 ibid 26 ibid

Pandangan-pandangan mereka yang terlihat jelas perbedaannya setidaknya dapat dilihat pada beberapa hal yaitu :

1. Ahl al-zawahir menonjolkan pengalaman agama dalam bentuk yang formalistik (syiar-syiar lahiriah). Sedang dilain pihak, para ahl al-bawathin menonjolkan aspek-aspek batiniah ajaran Islam.

2. Adanya teori-teori ahl al-bawathin yang menggusarkan para Ahl al-zawahir, misalnya teori al-fana fi ‘l-Lah (peleburan diri dalam Allah) yang dikemukakan Abu Yazid al-Busthami dan teori Hub al-Lah (cinta Allah) hasil pemikiran Rabi’ah al-‘Adawiyah serta teori Maqamat-Ahwal (terminterminal dan situasi-situasi) ciptaan Dzunn-un al-Mishri, atau bahkan statemen “ana al-haqq” yang diucapkan oleh al-Hallaj. Semua itu dianggap sebagai ajaran aneh oleh para Ahl al-zawahir.

3. Sebagian ahl al-bawathin tidak merasa terikat dengan syiar-syiar agama yang ritual-formalistis. Mereka berkata, kalau seseorang sudah mencapai derajat wali, dia sudah bebas dari ikatan-ikatan formal. Padahal, para pendahulu mereka sangat disiplin dalam pengalaman syariah.

4. Ahl al-bawathin mengklaim, siapa yang telah sampai perjalanan rohaniahnya kepada Allah dan sudah terlebur dirinya dalam diri Allah, maka dia akan mampu menaklukkan alam dan melakukan hal-hal yang luar biasa (keramat).

Banyak sufi yang sebenarnya setuju bahwa konsep ma’rifah

ternyata potensial untuk disamarkan oleh para pseudo-sufi yang menjadikan tasawuf susah dikendalikan dan diortodoksikan kembali, sampai akhirnya sang Hujjatul Islam Imam al-Ghazali melalui karya besarnya Ihya ‘Ulumuddin berhasil memadukan pandangan ulama syariah dan kalam dengan pandangan para sufi yang konsensusnya adalah diterimanya tasawuf di kalangan ulama.27

Hasil yang cukup menggembirakan ini membawa tasawuf ke dalam perkembangan baru, bahkan pada abad ke-5 Hijriyah disinyalir menjadi titik awal “booming” tasawuf yang mendominasi aktifitas masyarakat muslim di dunia.

Dr. Kamil Musthafa al-Syibi dalam tesisnya tentang gerakan tasawuf dan gerakan Syi’ah mengungkapkan, tokoh pertama yang memperkenalkan sistem tarekat itu Syekh Abdul Qadir al-Jilani (w. 561 H/1166 M) di Baghdad. Ajaran tarekatnya menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam, yang mendapat sambutan luas di Aljazair, Ghana dan Jawa. Tidak hanya satu, ratusan bahkan ribuan tarekat tersebar di dunia Islam. Di Mesir dikenal Tarekat Rifa’iyyah yang didirikan oleh Sayid Ahmad al-Rifa’i (w. 1182). Tarekat Syadziliyah yang didirikan Abu Madyan Shuhaib (w. 1258) di Maroko dan Tunisia serta dunia Islam bagian Timur pada umumnya. Munculnya Tarekat Sanusiyah yang mempunyai disiplin tinggi mirip disiplin militer. Belum lagi tarekat Mauliyah-nya penyair kenamaan Parsi, Jalal al-Din al-Rumi (w. 672 H/1273 M) yang menggunakan media alat musik sebagai sarana dzikir.28

Di Indonesia, tasawuf atau tarekat diperkirakan mengalami perkembangan pada abad ke-16 Masehi. Hal itu ditandai dengan ditemukannya bukti-bukti karya tulis berbentuk manuskrip, primbon,

27

ibid, h. 64-65

28

Ali Yafie, “Syariah, Thariqah, Haqiqah, dan Ma’rifah,” artikel diakses tanggal 28 Februari 2007 dari http://www.almanaar.wordpress.com/

maupun naskah dalam bahasa Jawa dan Sumatera. Temuan ini juga memperlihatkan adanya pertentangan dua kubu di atas.29

Namun dari semua temuan yang sekarang disimpan di bibliotek Leiden Belanda dan perpustakaan Ferrara Italia tersebut disimpulkan oleh Steenbrink bahwa tasawuf pertama yang berkembang di Jawa adalah kolaborasi yang dibawa Al-Ghazali yang mementingkan pelaksanaan syariah dibandingkan konsep milik Ibnu ‘Arabi tentang wihdat al-wujud.30

Tarekat-tarekat yang berkembang di Indonesia antara lain Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Syadziliyah, Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Tijaniyah, Tarekat Sanusiyah, termasuk Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah (TQN).

Dokumen terkait