• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III TINJAUAN HUKUM TENTANG PUBLIC DOMAIN

B. Sejarah perlindungan public domain

Public domain adalah suatu tanda ataupun simbol yang sifatnya telah menjadi milik umum disebabkan karena tanda-tanda ataupun simbol-simbol ini telah menjadi identitas ataupun tanda pengenal tertentu terhadap suatu barang yang mana masyarakat telah mengakuinya.

Perlindungan public domaintidak secara khusus diatur di dalam suatu konvensi maupun peraturan-peraturan lain tentang merek. Perlindungan terhadap public domaindiberlakukan karena dirasakan semakin pentingnya perlindungan terhadap merek mengingat semakin pesatnya perdagangan dunia. Karenanya semakin sulit untuk membedakan satu produk dengan produk yang lain untuk diberikan perlindungan merek dengan perlindungan desain produk.

Perlindungan terhadap merek dibutuhkan karena semakin banyaknya orang yang melakukan peniruan. Karena semakin pesatnya perdagangan dunia serta perkembangan teknologi yang semakin maju, maka semakin menambah pentingnya keberadaan merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya, juga menghindarkan peniruan.56

Untuk melawan masalah peniruan ini negara Inggris membuat Merchandise Marks Act pada tahun 1862 yang berbasis hukum pidana.

55Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara No. 4131, Penjelasan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, Pasal 5 huruf c.

Sebelumnya Inggris pada tahun 1857 telah mengadopsi sistem pendaftaran merek dari hukum Perancis.

Kemudian pada tahun 1883 berlaku Konvensi Paris mengenai hak milik industri (paten dan merek) yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang. Pada Konvensi Paris inilah pertama kali diatur tentang merek harus memiliki unsur pembeda. Pengaturan ini dimuat pada Article 6 bis Paris Convention. Pada pasal ini negara anggota secara ex-officio jika diizinkan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan permintaan pihak yang berkepentingan menolak atau membatalkan pendaftaran dan untuk melarang penggunaan suatu merek yang merupakan suatu perbanyakan, suatu tiruan,

atausuatu terjemahan yang bertanggung gugat menimbulkan kebingungan dari suatu merek yang dipertimbangkan oleh pihak yang berwenang dari Negara dimana pendaftaran tersebut dilakukan atau penggunaan yang dikenal

dalam Negara tersebut sebagai suatu merek yang dimiliki oleh pihak yang berhak untuk memperoleh manfaat konvensi ini dan digunakan untuk barang yang identic dan mirip.57

57Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015, hal. 49

Selain Konvensi Paris atau Paris Convention, pengaturan terhadap daya pembeda juga dimuat dalam Article 15 TRIPs yang menentukan bahwa merek yang dilindungi adalah setiap tanda atau kombinasi dari tanda kemampuan pembedaan untuk barang dan jasa dari suatu perusahaan dan perusahaan lainnya harus dinyatakan sebagai merek.

Pengaturan terhadap public domain dalam hukum merek Indonesia telah diatur sejak Undang-Undang Merek tahun 1961 hingga tahun 2001. Walaupun Undang-Undang Merek mengalami amandemen, namun pengaturan mengenai public domain tetap dicantumkan agar tetap sejalan dengan hasil yang telah disepakati di dalam konvensi internasional tentang merek. Dewasa ini pengaturan mengenai public domain dimuat di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal ini menjelaskan bahwa merek yang berasal dari kata umum ataupun yang telah menjadi milik publik tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Manakala terdapat merek yang mengandung unsur public domain maka Dirjen HAKI wajib menolak pendaftaran merek tersebut.

C. Public Domain dan Unsur Tanda Pembeda

Sering kali ada tumpang-tindih (overlapping) antara tanda yang bersifat descriptive yang dapat didaftar sebagai merek dan tanda yang bersifat generic yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan tidak akan pernah dapat didaftarkan sebagai merek.58 Tanda yang sama sekali tidak dapat memiliki kemampuan pembeda (in capable of becoming distinctive), tidak dapat dilindungi meskipun telah digunakan dalam upayanya membangun secondary meaning. Hal ini mengingat tidak adil jika sesuatu yang menjadi public domain menjadi merek dan dimonopoli oleh satu pihak saja. Tanda ini meliputi:59

1. Generic term; 2. Deceptive;

3. Geographically deceptively misdescriptive.

Isu hukum terbesar dalam dunia merek adalah “mengapa dalam merek ada persyaratan hukum tanda dengan daya pembeda?” Persyaratan tanda pembeda muncul dalam merek mengingat merek adalah definisi hukum untuk membedakan barang dan/atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahan lainnya. Jadi tujuan merek adalah untuk membedakan barang/dan atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahaan lainnya, untuk membedakan sumber (distinguish source) yang memungkinkan konsumen untuk membedakan sumber suatu produk, misalnya, untuk produk migas ada beberapa merek, seperti Shell, Exxon Mobil dan BP.60

Seperti yang diuraikan diatas bahwa merek adalah definisi hukum untuk membedakan barang dan/atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahan lainnya, maka tujuan pembentukan Undang-Undang Merek sendiri adalah untuk mencegah kemungkinan timbulnya kekeliruan pada khalayak ramai tentang pemakaian merek itu.61

Mengenai daya pembedaan muncul pertanyaan baru, yakni apakah yang dimaksud dengan daya pembedaan. Pertanyaan itu tidak dapat dijawab secara pasti, namun para ahli memberikan pendapatnya mengenai merek yang tidak mempunyai daya pembeda, antara lain:62

60Ibid, hal. 62

61Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 84

62“Tinjauan Yuridis Terhadap Merek Dagang”, sebagaimana dimuat dal

1. Amat sederhana bentuknya seperti hanya terdiri dari titik-titik, garis-garis, huruf-huruf, angka-angka, lingkaran-lingkaran, segitiga-segitiga. 2. Yang merupakan lukisan barangnya sendiri untuk mana merek

dipergunakan, misalnya lukisan rokok kretek tidak dapat dijadikan merek untuk rokok kretek dan lukisan kedelai tidak dapat dipergunakan sebagai merek untuk kecap.

3. Yang terdiri dari lukisan atau perkataan yang menyatakan sifat barang yang mana merek dipergunakan misalnya lukisan bunga mawar tanpa tambahan sesuatu untuk minyak wangi, bedak dan barang toilet.

4. Yang terdiri dari nama Negara atau peta Negara, nama daerah, nama kota karena menyatakan tentang asalnya barang untuk mana merek dipergunakan misalnya nama kota Paris tidak dapat/boleh dipegunakan sebagai merek roti Mari yang dibuat di Bandung.

5. Yang terdiri dari lukisan atau perkataan yang telah menjadi milik umum, misalnya lukisan tengkorak manusia dengan tulang bersilang sebagai merek untuk racun, perkataan merek “merdeka” yang dipakai secara luas dalam masyarakat.

Tanda yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan tidak akan pernah dapat didaftarkan artinya harus selamanya ditolak pendaftarannya sebagai merek dan tidak akan pernah menikmati perlindungan hukum sebagai merek

(incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use).63

Pasal 5 UU No. 15/2001 sebenarnya mengatur alasan absolut tidak dapat didaftarkannya suatu merek dengan melihat kemampuan daya pembeda tanda yang digunakan sebagai merek. Namun pengaturannya terkesan agak rancu karena tidak dibedakan antara merek yang bersifat descriptive yang bisa didaftarkan sebagai merek dengan membangun secondary meaning, dengan merek generic yang sama sekali tidak layak dijadikan merek meski membangun secondary meaning.64

Lalu bagaimana jika suatu merek yang telah terdaftar kemudian menjadi lemah karena merek tersebut yang semula merupakan merek dagang ternyata malah melekat menjadi suatu nama barang atau jasa tertentu. Sebagai contoh misalnya kasus “Dermatol” yang awalnya merupakan suatu merek produk kesehatan kulit kemudian berubah menjadi suatu nama barang karena masyarakat mulai meyakini merek “Dermatol” tersebut telah menjadi identitas terhadap suatu barang, sehingga daya pembeda terhadap “Dermatol” tersebut mulai luntur. Karena merek “Dermatol” tersebut kehilangan daya pembeda. Jika hal ini terjadi maka merek tersebut akan kehilangan kualitas yang dapat membedakan produknya dengan produk yang lainnya.65

Dalam kaitannya terhadap public domain ataupun kepemilikan umum, dapat dikatakan bahwa public domain sama sekali tidak memiliki tanda pembeda.

63Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group,2015, hal. 105

64Ibid.

65Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989, hal. 96

Pada dasarnya ketika seseorang menggunakan merek yang memiliki unsur public domain maka pastilah produk ataupun jasa yang ditawarkannya adalah sama dengan merek yang menggambarkan produk tersebut. Maksudnya biasanya merek yang menggunakan unsur public domain merupakan deskripsi dari produk atau jasa yang ditawarkan, misalnya merek kopi untuk produk kopi, merek kopitiam untuk jasa kopitiam dsb. Manakala suatu merek yang menggunakan unsur public domain menggunakan frasa asing sebagai mereknya, juga tidak dapat digunakan sebagai merek karena ketika frasa asing tersebut diartikan ke dalam frasa lokal (bahasa sehari-hari) maka artinya adalah sama dan tetap saja merupakan public domain. Hal ini merupakan ketentuan yang telah diatur di dalam Article 6 bis Paris Convention.

D. Public Domain Dalam Konvensi Internasional

Seperti yang sudah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya bahwa suatu merek haruslah memiliki daya pembeda yang mana hal ini tidak dimiliki oleh merek yang berasal dari public domain karena suatu merek yang berasal dari kata umum maupun yang telah menjadi milik umum dianggap telah kehilangan daya pembeda. Jika suatu merek tidak memiliki daya pembeda maka merek tersebut tidak dapat lagi dianggap sebagai suatu merek dagang karena daya pembeda merupakan salah satu unsur yang harus dimiliki oleh sebuah merek. Dalam Pasal (1) Angka 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan ketentuan bahwa:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”

Ketentuan ini hampir sama sebagaimana diatur dalam Article 15 TRIPs mengenai tanda sebagai elemen dasar merek harus memiliki daya pembeda yang berbunyi:66

Yang berarti bahwa Setiap tanda atau kombinasi dari tanda

kemampuan pembedaan untuk barang dan jasa dari satu perusahaan dari perusahaan lainnya harus dinyatakan sebagai merek. Tanda seperti itu dalam

kata khusus termasuk nama-nama, huruf-huruf, angka-angka dan elemen figuratif lainnya dan kombinasi dari warna-warna sebagaimana kombinasi dari tanda-tanda dapat dinyatakan layak secara hukum untuk pendaftarannya sebagai merek. Di mana tanda tersebut tidak secara inheren memiliki kemampuan untuk pembedaan

Article 15 (1) TRIPs

“Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of undertakings, shall capable of constituting of mark. Such signs, in particular words including names, letters, numerals, figuratif elements and combinations of colours as well as any combination of such signs shall be eligible for registration of trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, member may make registerably depend on distinctiveness acquired through use. Member may require as a condition of registration thatsigns be visually perceptible.”

barang dan/atau jasa secara terkait, maka negara anggota boleh meminta pendaftaran didasarkan pada daya pembeda yang diperoleh dari penggunaan. Negara anggota boleh mensyaratkan suatu persyaratan dan kondisi pendaftaran

bahwa tanda harus dapat tampak secara indrawi).

Selain dari pengaturan yang ada dalam TRIPs, ketentuan merek untuk memiliki daya pembeda juga terdapat dalam Article 6 quinquies Paris Convention berikut ini:67

1. When they are of such a nature as to infringe rights acquired by third parties in the country where protection is claimed;

Article 6quinquies Paris Convention

“Trademarks covered by this Article may be neither denied registration nor invalidated except in the following cases:

2. When they are devoid of any distinctive character, or consist exclusively of signs or indications which may serve, in trade, to designate the kind, quality, quantity, intended purpose, value, place of origin, of the goods, or the time of production, of have become customary in the current language or in the bona fide and established practices of the trade of the country where protection is claimed;

3. When they are contrary to morality or public order and, in particular, of such a nature as to deceive the public. It is understood that a mark may not be considered contrary to public order for the sole reason that it does not conform to a provision of the legislation on marks, except if such provision itself relates to public order.

This provision is subject, however, to the application of Article 10 bis.”

Yang bermakna Merek yang diatur dalam pasal ini dapat baik ditolak pendaftarannya ataupun dibatalkan kecuali dalam kasus berikut ini: (1) manakala merek-merek tersebut secara alamiah melanggar hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dalam Negara di mana perlindungan merek diminta; (2) manakala merek

tidak berisi suatu karakter pembeda atau berisi secara eksklusif tanda atau

indikasi yang melayani dalam perdagangan untuk menunjukkan jenis, kualitas, kuantitas, tujuan penggunaan, nilai, tempat asal dari barang, atau waktu produksi, atau menjadi kebiasaan dalam bahasa kekinian atau dalam bonafiditas dan praktik perdagangan dari Negara di mana perlindungan diminta; (3) manakala

merek-merek tersebut bertentangan dengan moralitas, ketertiban umum dan secara

alamiah meyesatkan konsumen. Hal ini dapat dipahami suatu merek tidak dianggap bertentangan dengan ketertiban umum hanya semata-mata alasan merek tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang merek, kecuali jika peraturan perundang-undangan itu sendiri yang terkait denga ketertiban umum.

Namun demikian, berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tunduk pada penerapan Article 10 Paris Convention.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, Negara anggota dapat menentukan alasan untuk tidak mengabulkan pendaftaran merek. Alasan absolut tidak dikabulkannya pendaftaran merek karena menyangkut tandanya merek yang bersangkutan bertentangan dengan hakikat merek sebagai “any signs that capable of distinguishing (tanda yang memiliki daya pembeda)”.

BAB IV

PENGGUNAAN PUBLIC DOMAIN SEBAGAI SUATU MEREK DAGANG YANG SAH DITINJAU DARI UU NO.15 TAHUN 2001 TENTANG

MEREK (STUDI KASUS KOPITIAM)

A. Uraian Tentang Kasus Posisi Kopitiam. 1. Kasus Posisi.

Pada tahun 1996, Abdul Alek Soelistiyo mendaftarkan merek KOPITIAM yang permohonannya tersebut diterima oleh Dirjen HAKI. Pada tahun 2006, perpanjangan merek KOPITIAM diterima pula oleh Dirjen HAKI. Setelah berhasil memperoleh Hak atas nama KOPITIAM, Alek mulai menyerang restoran-restoran yang memakai nama Kopitiam lainnya dipengadilan. Seorang pengusaha kopitiam di Medan, Paimin Halim, adalah salah satu pengusaha kopitiam yang harus berhadapan dengan Alek di pengadilan. Paimin, yang telah mendaftarkan Kok Tong Kopitiam miliknya pada 2009 silam dianggap memiliki persamaan dengan kopitiam yang sudah lebih dulu didaftarkan oleh Alek. Pengadilan Niaga Medan akhirnya memerintahkan Dirjen HAKI agar membatalkan merek kopitiam Kok Tong Kopitiam. Tak berhenti sampai di situ, Mahkamah Agung (MA) bahkan menguatkan putusan Pengadilan Niaga Medan tersebut.

Menanggapi kekalahan ‘Kok Tong Kopitiam’, para pengusaha kopitiam yang ada di Indonesia menjadi geram. Mereka kemudian merapatkan barisan dan membentuk Perhimpunan Pengusaha Kopi Tiam Indonesia (PPKTI) pada

pertengahan Februari 2012 silam. Tak kurang, sebanyak 19 pengusaha kopitiam bergabung dalam persatuan tersebut. Mereka menggugat pembatalan merek kopitiam yang dimiliki Abdul Alek Soelystio. Tak hanya Alex, mereka juga menggugat Dirjen HAKI selaku pemberi hak eksklusif atas merek kopitiam tersebut. Pada tanggal 04 Oktober 2012, Majelis Hakim pengadilan Niaga Jakarta memutuskan untuk tidak menerima gugatan PPKTI dan Abdul Alek Soelistiyo masih menjadi pemegang sah hak merek KOPITIAM.

2. Analisa Kasus

Kopi Tiam berasal dari kata Kopi dan Tiam, dimana Tiam memiliki arti kata Kedai, sehingga bila digabungkan memiliki makna Kedai Kopi. Kata Kopi Tiam berasal dari para perantau Hainan dan Kanton yang sampai di wilayah Semenanjung Malaya. Sebagai perantau yang belum paham betul seluk-beluk daerah yang dihuninya tersebut, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, mereka pun menemukan jalan dengan cara bisnis kuliner yang sarat dengan kultur di daerah asal mereka, mendirikan kedai-kedai atau warung yang dalam bahasa Hokkiannya disebut Thien atau Tiam. Kelak, kedai atau Tiam inilah dikenal sebagai kopitiam alias Kopi dan Tiam. Kopitiam sendiri sangatlah kental dengan kultur Melayu, mengingat orang Cina tidak begitu populer dengan kopi melainkan teh.68

68“Kopitiam” sebagaimana dimuat dalam

Kopitiam pada mulanya merupakan kedai-kedai kecil yang menyajikan minuman, makanan, dan camilan murah, serta menjadi tempat berkumpulnya para pekerja hingga buruh. Usaha dagang kopitiam yang

berkembang saat ini tidak hanya menjadi tempat makan dan minum, tetapi juga menjadi tempat pertemuan untuk berdiskusi atau bertemu dengan klien, atau tempat berkumpulnya para remaja dan orang tua.69

1. Bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa Kopi Tiam merupakan kata milik umum yang seharusnya tidak bisa dimiliki atau dimonopoli haknya secara sepihak. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Merek dijelaskan bahwa suatu merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:

2. Tidak memiliki daya pembeda. 3. Telah menjadi milik umum.

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Pada dasarnya Pasal 5 Undang-Undang Merek bersifat absolute ground for refusal yang berarti apabila suatu merek yang didaftarkan telah memenuhi ketentuan pasal ini maka otomatis permohonan pendaftaran merek akan ditolak. Pasal 5 telah secara tegas menyebutkan bahwa kata yang telah menjadi milik umum, dalam hal ini telah menjadi bahasa sehari-hari, tidak dapat lagi didaftarkan sebagai suatu merek. Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang Merek juga menyatakan bahwa descriptive mark tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena merupakan keterangan dari jenis barang atau jasa yang ditawarkan. Dalam hal ini KOPITIAM merupakan deskripsi atau keterangan yang menjelaskan jenis usaha yang

dijalankan. KOPITIAM juga mengandung unsur kata-kata yang telah menjadi milik umum dan tidak mempunyai daya pembeda yang bisa membedakan suatu merek dengan merek lainnya, yang seharusnya permohonan pendaftaran merek KOPITIAM oleh Alek ditolak oleh Dirjen HAKI pada saat pemeriksaan substantif. Namun, Dirjen HAKItelah lalai sehingga merek KOPITIAM yang diajukan oleh Alek tetap mendapat pengesahan dan sertifikat hak Merek. Dapat disimpulkan bahwa permohonan pendaftaran merek oleh Alek pun terdapat unsur pelanggaran merek didalamnya

Namun, meninjau putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengenai penolakan pembatalan pendaftaran merek juga telah sesuai dengan pertimbangan yuridisnya, karena menurut pasal 68 ayat 1 Undang-Undang Merek gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa pihak berkepentingan yang dimaksud adalah adalah jaksa, yayasan, lembaga perlindungan konsumen, dan lembaga atau majelis keagamaan. Sedangkan PPKTI belum dapat dikatakan sebagai suatu perhimpunan, yayasan, lembaga perlindungan konsumen, ataupun lembaga keagamaan. Pasalnya, PPKTI tidak dapat membuktikan keabsahannya sebagai badan hukum. PPKTI hanya dapat menunjukkan akta pendiriannya yang didirikan pada 3 Mei 2011. Namun, akta ini belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM70

70“Kantongi Hak Cipta Alex Belum Terpikir Penjarakan Pemilik Kopitiam”

sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 1653-1665 KUH Perdata. Sehingga, PPKTI tidak memiliki legal standing. Sehingga

seharusnya PPKTI dalam melakukan permohonan pembatalan pendaftaran merek harus mengesahkan terlebih pengukuhan badannya sebagai suatu badan hukum.

B. Pengaturan Penggunaan Public Domain Pada UU No.15 Tahun 2001

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa suatu merek tidak dapat di daftarkan apabila memenuhi unsur sebagaimana yang tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 yakni:

Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:

1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

2. Tidak memiliki daya pembeda; 3. Telah menjadi milik umum; atau

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Pasal 5 huruf c secara jelas mengatur bahwa merek yang telah menjadi milik umum (public domain) tidak dapat didaftarkan. Telah menjadi milik umum maksudnya adalah berupa tanda milik umum yang terdiri dari tanda atau indikasi yang menunjukkan kelaziman atau kebiasaan terkait dengan bahasa yang dikenali secara nasional atau internasional digunakan dalam praktik perdagangan yang

jujur.71

Kata KOPITIAM yang digunakan oleh Abdul Alek Soelistiyo sebagai merek dari jasa penjualan kopi merupakan kata asing sehingga dalam sertifikat merek harus disertakan arti dari KOPITIAM. Arti dari merek KOPITIAM yakni warung kopi yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistiyo dengan merek KOPITIAM dimana kata KOPITIAM berwarna putih dengan menggunakan huruf kapital serta Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum.

Merek yang menggunakan tanda semacam ini tidak dapat diterima pendaftarannya, meskipun telah dicoba untuk dibangun secondary meaning. Hal

Dokumen terkait