• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Penggunaan Public Domain Sebagai Suatu Merek Dagang yang Sah Ditinjau Dari UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi Kasus Kopitiam)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Tinjauan Yuridis Penggunaan Public Domain Sebagai Suatu Merek Dagang yang Sah Ditinjau Dari UU No.15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi Kasus Kopitiam)"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Asian Law Group. 2011.Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar. Bandung: PT. Alumni.

Azed, Abdul Bari. 2006.Kompilasi Konvensi Internasional HKI yang Diratifikasi Indonesia Ditjen HKI-FHUI.Jakarta.

Ball, Don A. 2014.Bisnis Internasional. Jakarta: Salemba Empat.

Casavera. 2009.15 Kasus Sengketa Merek Di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu. Djumhana, Muhammad dan Djubaedillah, R. 2003.Hak Milik Intelektual Sejarah,

Teori dan Prakteknya di Indonesia. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Firmansyah, Hery. 2011.Perlindungan Hukum Terhadap Merek. Yogyakarta:

Pustaka Yustisia.

Gautama, Sudargo. 1984.Hukum Merek Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti. _______________ dan Rizwanto Winata. 1994.Komentar Atas UU No. 19/1992

dan Peraturan Pelaksanaannya. Bandung: PT. Alumni.

Jened, Rahmi. 2015.Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta: Prenadamedia Group.

Saidin, OK. 2013. Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights). Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Simamora, Bison. 2002.Aura Merek.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Soekanto, Soerjono. 1986.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas

(2)

Supramono, Gatot. 2008.Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Tjiptono, Fandy. 2005.Brand Management.Bandung: Penerbit Andy.

_____________. 2011.Seri Manajemen Merek 01- Manajemen & Strategi Merek. Yogyakarta: ANDI OFFSET.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek.

Website

11:52 wib.

Januari 2016 pukul 09:28 wib.

(3)

Januari 2016, pukul 21:00 wib.

08:03 wib.

pukul 22:00 wib.

2016 pukul 22:07 wib.

5 Februari 2016, pukul 17:00 wib.

(4)

A. Pengertian Public Domain

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa merek adalah sesuatu gambar atau nama yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi suatu produk atau perusahaan di pasaran. Pengusaha biasanya berusaha mencegah orang lain menggunakan merek mereka karena dengan menggunakan merek, para pedagang memperoleh reputasi baik dan kepercayaan dari para konsumen serta dapat membangun hubungan antara reputasi tersebut dengan merek yang telah digunakan perusahaan secara regular.49

Sebuah merek dapat disebut merek bila memenuhi syarat mutlak berupa adanya daya pembeda yang cukup (capable of distinguishing). Maksudnya tanda yang dipakai tersebut mempunyai kekuatan untuk membedakan barang atau jasa yang diproduksi sesuatu perusahaan dari perusahaan lainnya. Untuk mempunyai daya pembeda ini, maka merek itu harus dapat memberikan penentuan atau “individualisering” pada barang atau jasa bersangkutan.50

Untuk dapat memenuhi tujuannya maka suatu merek harus didaftarkan agar merek tersebut memiliki kekuatan hukum. Di dalam Pasal 5 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang merek disebutkan adanya ketentuan ditolaknya

49Asian Law Group, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni,

2011, hal. 131

50Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan

(5)

pendaftaran suatu merek, salah satunya yakni telah menjadi milik umum atau disebut juga public domain.

Public domain atau dalam bahasa Indonesia biasa disebut sebagai domain publik, domain umum ataupun ranah publik terdiri dari pekerjaan kreatif dan pengetahuan lainnya; tulisan, karya seni, musik, ilmu pengetahuan, penemuan, dan lain-lainnya; yang tidak ada seseorang atau suatu organisasi/badan usaha memiliki minat proprietari. Minat propietari biasanya dilakukan dengan sebuah hak cipta atau paten. Hasil karya dan penemuan yang ada dalam domain umum dianggap sebagai bagian dari warisan budaya publik dan setiap orang dapat menggunakan mereka tanpa batasan (tidak termasuk hukum yang menyangkut keamanan, ekspor, dll).51

“Tanda-tanda yang karena telah dikenal dan dipakai secara luas serta bebas dikalangan masyarakat tidak lagi cukup untuk dipakai sebagai tanda pengenal bagi keperluan pribadi dari orang-orang tertentu. Misalnya disimpulkan di dalam kategori ini tanda lukisan mengenai “tengkorak manusia dengan di bawahnya di taruhnya tulang bersilang”, yang secara umum dikenal dan juga dalam dunia internasional sebagai tanda bahaya racun. Kemudian juga tidak dapat misalnya dipakai merek suatu lukisan tentang “tangan yang dikepal dan ibu jari ke atas”, yang umum dikenal sebagai suatu tanda pujian atau

H. OK. Saidin juga memberikan penjelasan mengenai public domain atau kepemilikan publik yakni:

51“Domain Publik”, sebagaimana dimuat dalam

(6)

“jempol”. Kemudian juga dapat dianggap sebagai milik umum misalnya perkataan “Pancasila” dan sebagainya”.52

Merek dari kata publicataupun genericartinya tidak ada terminology alternatif yang secara umum digunakan untuk secara fungsional mengomunikasikan produk. Merek dari kata generic misalnya, kata kopi/coffee untuk produk kopi, gula/sugar untuk produk gula, beras/rice untuk produk beras, roti/bread untuk produk roti. Lazimnya, produsen menggunakan kata umum yang bersifat deskriptif untuk menjelaskan genus produk.

Hak cipta dirancang untuk mempromosikan pengembangan seni dan ilmu pengetahuan dengan memberikan bantuan finansial kepada sang pencipta karya. Tetapi hasil karya yang dilepas ke domain umum hanya ada begitu saja. Masyarakat umum memiliki hak untuk menggunakannya tanpa beban finansial atau sosial. Ketika hak cipta atau batasan lainnya mencapai batas kadaluwarsa, hasil karya dilepas ke domain umum.

53

Selanjutnya mengenai merek yang mengandung unsur telah menjadi milik umum, yang mana bentuk merek berupa tanda yang telah menjadi milik umum sehingga akan membingungkan masyarakat apabila tanda tersebut adalah merek.54

Salah satu contoh merek seperti ini adalah tanda tengkorak di atas dua tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya.

52OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2013, hal. 350

53Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015, hal. 66

54Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta:

(7)

Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek.55

B. Sejarah Perlindungan Public Domain

Public domain adalah suatu tanda ataupun simbol yang sifatnya telah menjadi milik umum disebabkan karena tanda-tanda ataupun simbol-simbol ini telah menjadi identitas ataupun tanda pengenal tertentu terhadap suatu barang yang mana masyarakat telah mengakuinya.

Perlindungan public domaintidak secara khusus diatur di dalam suatu konvensi maupun peraturan-peraturan lain tentang merek. Perlindungan terhadap public domaindiberlakukan karena dirasakan semakin pentingnya perlindungan terhadap merek mengingat semakin pesatnya perdagangan dunia. Karenanya semakin sulit untuk membedakan satu produk dengan produk yang lain untuk diberikan perlindungan merek dengan perlindungan desain produk.

Perlindungan terhadap merek dibutuhkan karena semakin banyaknya orang yang melakukan peniruan. Karena semakin pesatnya perdagangan dunia serta perkembangan teknologi yang semakin maju, maka semakin menambah pentingnya keberadaan merek, yaitu untuk membedakan asal-usul barang dan kualitasnya, juga menghindarkan peniruan.56

Untuk melawan masalah peniruan ini negara Inggris membuat Merchandise Marks Act pada tahun 1862 yang berbasis hukum pidana.

55Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara No. 4131, Penjelasan

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, Pasal 5 huruf c.

(8)

Sebelumnya Inggris pada tahun 1857 telah mengadopsi sistem pendaftaran merek dari hukum Perancis.

Kemudian pada tahun 1883 berlaku Konvensi Paris mengenai hak milik industri (paten dan merek) yang banyak diratifikasi negara maju dan negara berkembang. Pada Konvensi Paris inilah pertama kali diatur tentang merek harus memiliki unsur pembeda. Pengaturan ini dimuat pada Article 6 bis Paris Convention. Pada pasal ini negara anggota secara ex-officio jika diizinkan oleh peraturan perundang-undangan atau berdasarkan permintaan pihak yang berkepentingan menolak atau membatalkan pendaftaran dan untuk melarang penggunaan suatu merek yang merupakan suatu perbanyakan, suatu tiruan,

atausuatu terjemahan yang bertanggung gugat menimbulkan kebingungan

dari suatu merek yang dipertimbangkan oleh pihak yang berwenang dari

Negara dimana pendaftaran tersebut dilakukan atau penggunaan yang dikenal

dalam Negara tersebut sebagai suatu merek yang dimiliki oleh pihak yang berhak untuk memperoleh manfaat konvensi ini dan digunakan untuk barang yang identic dan mirip.57

57Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta:

Prenadamedia Group, 2015, hal. 49

(9)

Pengaturan terhadap public domain dalam hukum merek Indonesia telah diatur sejak Undang-Undang Merek tahun 1961 hingga tahun 2001. Walaupun Undang-Undang Merek mengalami amandemen, namun pengaturan mengenai public domain tetap dicantumkan agar tetap sejalan dengan hasil yang telah disepakati di dalam konvensi internasional tentang merek. Dewasa ini pengaturan mengenai public domain dimuat di dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal ini menjelaskan bahwa merek yang berasal dari kata umum ataupun yang telah menjadi milik publik tidak dapat didaftarkan sebagai merek. Manakala terdapat merek yang mengandung unsur public domain maka Dirjen HAKI wajib menolak pendaftaran merek tersebut.

C. Public Domain dan Unsur Tanda Pembeda

Sering kali ada tumpang-tindih (overlapping) antara tanda yang bersifat descriptive yang dapat didaftar sebagai merek dan tanda yang bersifat generic yang tidak akan pernah memiliki daya pembeda dan tidak akan pernah dapat didaftarkan sebagai merek.58 Tanda yang sama sekali tidak dapat memiliki kemampuan pembeda (in capable of becoming distinctive), tidak dapat dilindungi meskipun telah digunakan dalam upayanya membangun secondary meaning. Hal ini mengingat tidak adil jika sesuatu yang menjadi public domain menjadi merek dan dimonopoli oleh satu pihak saja. Tanda ini meliputi:59

1. Generic term; 2. Deceptive;

(10)

3. Geographically deceptively misdescriptive.

Isu hukum terbesar dalam dunia merek adalah “mengapa dalam merek ada persyaratan hukum tanda dengan daya pembeda?” Persyaratan tanda pembeda muncul dalam merek mengingat merek adalah definisi hukum untuk membedakan barang dan/atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahan lainnya. Jadi tujuan merek adalah untuk membedakan barang/dan atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahaan lainnya, untuk membedakan sumber (distinguish source) yang memungkinkan konsumen untuk membedakan sumber suatu produk, misalnya, untuk produk migas ada beberapa merek, seperti Shell, Exxon Mobil dan BP.60

Seperti yang diuraikan diatas bahwa merek adalah definisi hukum untuk membedakan barang dan/atau jasa dari perusahaan satu terhadap barang dan/atau jasa dari perusahan lainnya, maka tujuan pembentukan Undang-Undang Merek sendiri adalah untuk mencegah kemungkinan timbulnya kekeliruan pada khalayak ramai tentang pemakaian merek itu.61

Mengenai daya pembedaan muncul pertanyaan baru, yakni apakah yang dimaksud dengan daya pembedaan. Pertanyaan itu tidak dapat dijawab secara pasti, namun para ahli memberikan pendapatnya mengenai merek yang tidak mempunyai daya pembeda, antara lain:62

60Ibid, hal. 62

61Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989,

hal. 84

62“Tinjauan Yuridis Terhadap Merek Dagang”, sebagaimana dimuat dal

(11)

1. Amat sederhana bentuknya seperti hanya terdiri dari titik-titik, garis-garis, huruf-huruf, angka-angka, lingkaran-lingkaran, segitiga-segitiga. 2. Yang merupakan lukisan barangnya sendiri untuk mana merek

dipergunakan, misalnya lukisan rokok kretek tidak dapat dijadikan merek untuk rokok kretek dan lukisan kedelai tidak dapat dipergunakan sebagai merek untuk kecap.

3. Yang terdiri dari lukisan atau perkataan yang menyatakan sifat barang yang mana merek dipergunakan misalnya lukisan bunga mawar tanpa tambahan sesuatu untuk minyak wangi, bedak dan barang toilet.

4. Yang terdiri dari nama Negara atau peta Negara, nama daerah, nama kota karena menyatakan tentang asalnya barang untuk mana merek dipergunakan misalnya nama kota Paris tidak dapat/boleh dipegunakan sebagai merek roti Mari yang dibuat di Bandung.

5. Yang terdiri dari lukisan atau perkataan yang telah menjadi milik umum, misalnya lukisan tengkorak manusia dengan tulang bersilang sebagai merek untuk racun, perkataan merek “merdeka” yang dipakai secara luas dalam masyarakat.

(12)

(incapable of becoming distinctive: not eligible for trademark protection regardless of length of use).63

Pasal 5 UU No. 15/2001 sebenarnya mengatur alasan absolut tidak dapat didaftarkannya suatu merek dengan melihat kemampuan daya pembeda tanda yang digunakan sebagai merek. Namun pengaturannya terkesan agak rancu karena tidak dibedakan antara merek yang bersifat descriptive yang bisa didaftarkan sebagai merek dengan membangun secondary meaning, dengan merek generic yang sama sekali tidak layak dijadikan merek meski membangun secondary meaning.64

Lalu bagaimana jika suatu merek yang telah terdaftar kemudian menjadi lemah karena merek tersebut yang semula merupakan merek dagang ternyata malah melekat menjadi suatu nama barang atau jasa tertentu. Sebagai contoh misalnya kasus “Dermatol” yang awalnya merupakan suatu merek produk kesehatan kulit kemudian berubah menjadi suatu nama barang karena masyarakat mulai meyakini merek “Dermatol” tersebut telah menjadi identitas terhadap suatu barang, sehingga daya pembeda terhadap “Dermatol” tersebut mulai luntur. Karena merek “Dermatol” tersebut kehilangan daya pembeda. Jika hal ini terjadi maka merek tersebut akan kehilangan kualitas yang dapat membedakan produknya dengan produk yang lainnya.65

Dalam kaitannya terhadap public domain ataupun kepemilikan umum, dapat dikatakan bahwa public domain sama sekali tidak memiliki tanda pembeda.

63Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta:

Prenadamedia Group,2015, hal. 105 64Ibid.

65Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1989,

(13)

Pada dasarnya ketika seseorang menggunakan merek yang memiliki unsur public domain maka pastilah produk ataupun jasa yang ditawarkannya adalah sama dengan merek yang menggambarkan produk tersebut. Maksudnya biasanya merek yang menggunakan unsur public domain merupakan deskripsi dari produk atau jasa yang ditawarkan, misalnya merek kopi untuk produk kopi, merek kopitiam untuk jasa kopitiam dsb. Manakala suatu merek yang menggunakan unsur public domain menggunakan frasa asing sebagai mereknya, juga tidak dapat digunakan sebagai merek karena ketika frasa asing tersebut diartikan ke dalam frasa lokal (bahasa sehari-hari) maka artinya adalah sama dan tetap saja merupakan public domain. Hal ini merupakan ketentuan yang telah diatur di dalam Article 6 bis Paris Convention.

D. Public Domain Dalam Konvensi Internasional

(14)

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”

Ketentuan ini hampir sama sebagaimana diatur dalam Article 15 TRIPs mengenai tanda sebagai elemen dasar merek harus memiliki daya pembeda yang berbunyi:66

Yang berarti bahwa Setiap tanda atau kombinasi dari tanda

kemampuan pembedaan untuk barang dan jasa dari satu perusahaan dari

perusahaan lainnya harus dinyatakan sebagai merek. Tanda seperti itu dalam

kata khusus termasuk nama-nama, huruf-huruf, angka-angka dan elemen figuratif lainnya dan kombinasi dari warna-warna sebagaimana kombinasi dari tanda-tanda dapat dinyatakan layak secara hukum untuk pendaftarannya sebagai merek. Di mana tanda tersebut tidak secara inheren memiliki kemampuan untuk pembedaan

Article 15 (1) TRIPs

“Any sign, or any combination of signs, capable of distinguishing the goods or services of one undertaking from those of undertakings, shall capable of constituting of mark. Such signs, in particular words including names, letters, numerals, figuratif elements and combinations of colours as well as any combination of such signs shall be eligible for registration of trademarks. Where signs are not inherently capable of distinguishing the relevant goods or services, member may make registerably depend on distinctiveness acquired through use. Member may require as a condition of registration thatsigns be visually perceptible.”

(15)

barang dan/atau jasa secara terkait, maka negara anggota boleh meminta pendaftaran didasarkan pada daya pembeda yang diperoleh dari penggunaan. Negara anggota boleh mensyaratkan suatu persyaratan dan kondisi pendaftaran

bahwa tanda harus dapat tampak secara indrawi).

Selain dari pengaturan yang ada dalam TRIPs, ketentuan merek untuk memiliki daya pembeda juga terdapat dalam Article 6 quinquies Paris Convention berikut ini:67

1. When they are of such a nature as to infringe rights acquired by third parties in the country where protection is claimed;

Article 6quinquies Paris Convention

“Trademarks covered by this Article may be neither denied registration nor invalidated except in the following cases:

2. When they are devoid of any distinctive character, or consist exclusively of signs or indications which may serve, in trade, to designate the kind, quality, quantity, intended purpose, value, place of origin, of the goods, or the time of production, of have become customary in the current language or in the bona fide and established practices of the trade of the country where protection is claimed;

3. When they are contrary to morality or public order and, in particular, of such a nature as to deceive the public. It is understood that a mark may not be considered contrary to public order for the sole reason that it does not conform to a provision of the legislation on marks, except if such provision itself relates to public order.

This provision is subject, however, to the application of Article 10 bis.”

(16)

Yang bermakna Merek yang diatur dalam pasal ini dapat baik ditolak pendaftarannya ataupun dibatalkan kecuali dalam kasus berikut ini: (1) manakala merek-merek tersebut secara alamiah melanggar hak-hak yang diperoleh pihak ketiga dalam Negara di mana perlindungan merek diminta; (2) manakala merek

tidak berisi suatu karakter pembeda atau berisi secara eksklusif tanda atau

indikasi yang melayani dalam perdagangan untuk menunjukkan jenis, kualitas, kuantitas, tujuan penggunaan, nilai, tempat asal dari barang, atau waktu produksi, atau menjadi kebiasaan dalam bahasa kekinian atau dalam bonafiditas dan praktik perdagangan dari Negara di mana perlindungan diminta; (3) manakala

merek-merek tersebut bertentangan dengan moralitas, ketertiban umum dan secara

alamiah meyesatkan konsumen. Hal ini dapat dipahami suatu merek tidak dianggap bertentangan dengan ketertiban umum hanya semata-mata alasan merek tersebut tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan tentang merek, kecuali jika peraturan perundang-undangan itu sendiri yang terkait denga ketertiban umum.

Namun demikian, berdasarkan pemaparan diatas dapat dikatakan bahwa ketentuan ini tunduk pada penerapan Article 10 Paris Convention.

(17)

BAB IV

PENGGUNAAN PUBLIC DOMAIN SEBAGAI SUATU MEREK DAGANG

YANG SAH DITINJAU DARI UU NO.15 TAHUN 2001 TENTANG

MEREK (STUDI KASUS KOPITIAM)

A. Uraian Tentang Kasus Posisi Kopitiam.

1. Kasus Posisi.

Pada tahun 1996, Abdul Alek Soelistiyo mendaftarkan merek KOPITIAM yang permohonannya tersebut diterima oleh Dirjen HAKI. Pada tahun 2006, perpanjangan merek KOPITIAM diterima pula oleh Dirjen HAKI. Setelah berhasil memperoleh Hak atas nama KOPITIAM, Alek mulai menyerang restoran-restoran yang memakai nama Kopitiam lainnya dipengadilan. Seorang pengusaha kopitiam di Medan, Paimin Halim, adalah salah satu pengusaha kopitiam yang harus berhadapan dengan Alek di pengadilan. Paimin, yang telah mendaftarkan Kok Tong Kopitiam miliknya pada 2009 silam dianggap memiliki persamaan dengan kopitiam yang sudah lebih dulu didaftarkan oleh Alek. Pengadilan Niaga Medan akhirnya memerintahkan Dirjen HAKI agar membatalkan merek kopitiam Kok Tong Kopitiam. Tak berhenti sampai di situ, Mahkamah Agung (MA) bahkan menguatkan putusan Pengadilan Niaga Medan tersebut.

(18)

pertengahan Februari 2012 silam. Tak kurang, sebanyak 19 pengusaha kopitiam bergabung dalam persatuan tersebut. Mereka menggugat pembatalan merek kopitiam yang dimiliki Abdul Alek Soelystio. Tak hanya Alex, mereka juga menggugat Dirjen HAKI selaku pemberi hak eksklusif atas merek kopitiam tersebut. Pada tanggal 04 Oktober 2012, Majelis Hakim pengadilan Niaga Jakarta memutuskan untuk tidak menerima gugatan PPKTI dan Abdul Alek Soelistiyo masih menjadi pemegang sah hak merek KOPITIAM.

2. Analisa Kasus

Kopi Tiam berasal dari kata Kopi dan Tiam, dimana Tiam memiliki arti kata Kedai, sehingga bila digabungkan memiliki makna Kedai Kopi. Kata Kopi Tiam berasal dari para perantau Hainan dan Kanton yang sampai di wilayah Semenanjung Malaya. Sebagai perantau yang belum paham betul seluk-beluk daerah yang dihuninya tersebut, mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Akhirnya, mereka pun menemukan jalan dengan cara bisnis kuliner yang sarat dengan kultur di daerah asal mereka, mendirikan kedai-kedai atau warung yang dalam bahasa Hokkiannya disebut Thien atau Tiam. Kelak, kedai atau Tiam inilah dikenal sebagai kopitiam alias Kopi dan Tiam. Kopitiam sendiri sangatlah kental dengan kultur Melayu, mengingat orang Cina tidak begitu populer dengan kopi melainkan teh.68

68“Kopitiam” sebagaimana dimuat dalam

Kopitiam pada mulanya merupakan kedai-kedai kecil yang menyajikan minuman, makanan, dan camilan murah, serta menjadi tempat berkumpulnya para pekerja hingga buruh. Usaha dagang kopitiam yang

(19)

berkembang saat ini tidak hanya menjadi tempat makan dan minum, tetapi juga menjadi tempat pertemuan untuk berdiskusi atau bertemu dengan klien, atau tempat berkumpulnya para remaja dan orang tua.69

1. Bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa Kopi Tiam merupakan kata milik umum yang seharusnya tidak bisa dimiliki atau dimonopoli haknya secara sepihak. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Merek dijelaskan bahwa suatu merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:

2. Tidak memiliki daya pembeda. 3. Telah menjadi milik umum.

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

Pada dasarnya Pasal 5 Undang-Undang Merek bersifat absolute ground for refusal yang berarti apabila suatu merek yang didaftarkan telah memenuhi ketentuan pasal ini maka otomatis permohonan pendaftaran merek akan ditolak. Pasal 5 telah secara tegas menyebutkan bahwa kata yang telah menjadi milik umum, dalam hal ini telah menjadi bahasa sehari-hari, tidak dapat lagi didaftarkan sebagai suatu merek. Selain itu, Pasal 5 Undang-Undang Merek juga menyatakan bahwa descriptive mark tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena merupakan keterangan dari jenis barang atau jasa yang ditawarkan. Dalam hal ini KOPITIAM merupakan deskripsi atau keterangan yang menjelaskan jenis usaha yang

(20)

dijalankan. KOPITIAM juga mengandung unsur kata-kata yang telah menjadi milik umum dan tidak mempunyai daya pembeda yang bisa membedakan suatu merek dengan merek lainnya, yang seharusnya permohonan pendaftaran merek KOPITIAM oleh Alek ditolak oleh Dirjen HAKI pada saat pemeriksaan substantif. Namun, Dirjen HAKItelah lalai sehingga merek KOPITIAM yang diajukan oleh Alek tetap mendapat pengesahan dan sertifikat hak Merek. Dapat disimpulkan bahwa permohonan pendaftaran merek oleh Alek pun terdapat unsur pelanggaran merek didalamnya

Namun, meninjau putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengenai penolakan pembatalan pendaftaran merek juga telah sesuai dengan pertimbangan yuridisnya, karena menurut pasal 68 ayat 1 Undang-Undang Merek gugatan pembatalan pendaftaran merek hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan, dalam penjelasan tersebut dijelaskan bahwa pihak berkepentingan yang dimaksud adalah adalah jaksa, yayasan, lembaga perlindungan konsumen, dan lembaga atau majelis keagamaan. Sedangkan PPKTI belum dapat dikatakan sebagai suatu perhimpunan, yayasan, lembaga perlindungan konsumen, ataupun lembaga keagamaan. Pasalnya, PPKTI tidak dapat membuktikan keabsahannya sebagai badan hukum. PPKTI hanya dapat menunjukkan akta pendiriannya yang didirikan pada 3 Mei 2011. Namun, akta ini belum mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM70

70“Kantongi Hak Cipta Alex Belum Terpikir Penjarakan Pemilik Kopitiam”

sebagaimana yang diharuskan oleh Pasal 1653-1665 KUH Perdata. Sehingga, PPKTI tidak memiliki legal standing. Sehingga

(21)

seharusnya PPKTI dalam melakukan permohonan pembatalan pendaftaran merek harus mengesahkan terlebih pengukuhan badannya sebagai suatu badan hukum.

B. Pengaturan Penggunaan Public Domain Pada UU No.15 Tahun 2001

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa suatu merek tidak dapat di daftarkan apabila memenuhi unsur sebagaimana yang tercantum pada Pasal 5 Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 yakni:

Merek tidak dapat didaftar apabila Merek tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:

1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum;

2. Tidak memiliki daya pembeda; 3. Telah menjadi milik umum; atau

4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.

(22)

jujur.71

Kata KOPITIAM yang digunakan oleh Abdul Alek Soelistiyo sebagai merek dari jasa penjualan kopi merupakan kata asing sehingga dalam sertifikat merek harus disertakan arti dari KOPITIAM. Arti dari merek KOPITIAM yakni warung kopi yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistiyo dengan merek KOPITIAM dimana kata KOPITIAM berwarna putih dengan menggunakan huruf kapital serta Tanda seperti itu adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik umum.

Merek yang menggunakan tanda semacam ini tidak dapat diterima pendaftarannya, meskipun telah dicoba untuk dibangun secondary meaning. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tidak mengalami kesulitan dalam membedakan suatu merek terhadap suatu barang ataupun jasa yang ditawarkan serta sangat tidak adil untuk memberikan monopoli sesuatu yang telah menjadi milik umum karena menyangkut hak masyarakat yang lebih luas.

Seperti pada kasus KOPITIAM penggunaan kata umum seharusnya tidak diperbolehkan karena merek tersebut menggunakan kata umum yang secara jelas mendeskripsikan jenis jasa yang diperdagangkan. Kata-kata yang mengandung keterangan jenis barang atau jasa tidak boleh dipergunakan menjadi merek karena larangan ini menyangkut persoalan daya pemebeda. Apabila setiap merek dagang atau jasa semata-mata terdiri dari kata-kata keterangan jenis barang atau jasa maka dianggap sangat lemah daya pembedanya. Kata-kata seperti itu bersifat umum karena tidak mampu memberikan indikasi identitas khusus baik mengenai sumber dan kualitas yang dimiliki oleh barang atau jasa yang bersangkutan.

71Asian Law Group, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Bandung: PT. Alumni,

(23)

memiliki warna dasar orange yang menyediakan jasa penjualan kopi. Syarat untuk dapat menjadi suatu merek adalah adanya daya pembeda yang dimiliki oleh suatu merek sehingga mempunyai cukup kekuatan untuk membedakan barang atau jasa dari milik orang lain atau badan hukum lain. Kata KOPITIAM dapat dipakai semua orang dan badan hukum yang memberikan jasa penjualan kopi karena kata KOPITIAM jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia memiliki arti warung kopi dan kata KOPITIAM merupakan kata umum. Alhasil kata KOPITIAM tidak memiliki kekuatan daya pembeda yang cukup untuk membedakan jenis usaha milik Abdul Alek Soelistiyo dengan jenis usaha yang serupa milik orang lain maupun baadan hukum lain. Jika suatu barang atau jasa tidak memiliki daya pembeda maka tidak dapat dianggap sebagai merek. Adanya daya pembeda yang kuat pada suatu merek akan menimbulkan perlindungan yang kuat terhadap merek tersebut. Sebaliknya semakin rendah daya pembeda yang dimiliki suatu merek, maka akan semakin lemah pula perlindungan terhadap merek tersebut. Perlindungan merek yang dimaksud adalah perlindungan yang dalam hubungannya denagn kemampuan daya pembeda yang dimiliki oleh merek tersebut terkait dengan penilaian ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya dengan merek pihak lain.

(24)

KOPITIAM milik Abdul Alek Soelistiyo, dalam hal ini adalah Paimin Halim sebagai pemilik Kok Tong Kopitiam.

Selain tidak memiliki daya pembeda merek KOPITIAM milik Abdul Alek Soelistiyo merupakan keterangan jasa yang berarti warung kopi, Abdul Alek Soelistiyo menggunakan merek KOPITIAM untuk usahanya sebagai penyedia jasa penjualan kopi.

Berdasarkan Pasal 5 huruf b, huruf c dan huruf d Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, maka kata Kopitiam yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistyo tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena kata Kopitiam jika diterjemahkan menjadi warung kopi yang merupakan kata yang lazim dan dapat digunakan setiap orang, sehingga tidak ada unsur pembedaan di dalam kata Kopitiam tersebut dan jika dikaitkan dengan Pasal 5 huruf c, kata Kopitiam tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena merupakan kata yang telah menjadi milik umum. Berkaitan dengan Pasal 5 huruf d penggunaan kata Kopitiam tidak dapat didaftarkan sebagai merek karena Kopitiam yang jika diterjemahkan berarti warung kopi, sedangkan jasa yang didaftarkan terdapat dalam kelas jasa warung kopi. Berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, maka terhadap merek KOPITIAM dapat diajukan gugatan pembatalan merek oleh Paimin Halim karena alasan pembatalan merek yang terdapat dalam Pasal 5. Gugatan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Niaga.

C. Alasan Dibenarkannya Penggunaan Public Domain Pada Kasus Kopitiam

(25)

Agung memutuskan bahwa merek KOPITIAM yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistyo merupakan hak eksklusif yang hanya dapat dimiliki oleh Abdul Alek Soelistyo dan karenanya Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan Paimin Halim sebagai pemilik Kok Tong Kopitiam.

Berdasarkan putusan dengan register nomor 179 PK/PDT.SUS/2012 memutuskan memenangkan merek KOPITIAM yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistyo dengan alasan:

1. Kata Kopitiam yang digunakan oleh Abdul Alek Soelistyo bukan merupakan kata umum. Hal ini disebabkan karena kata Kopitiam tidak digunakan dalam percakapan sehari-hari sehingga kata Kopitiam tidak dapat dianggap sebagai milik umum. Karena kata Kopitiam bukan milik umum, maka kata Kopitiam tidak memenuhi unsur yang terdapat dalam Pasal 5 huruf c jo. Pasal 5 huruf d Undang-Undang No. 15 tahun 2001.

2. Hal ini juga dipertegas dengan keterangan ahli Drs. Ahmat Hasan, SH., yang menjelaskan bahwa kata umum adalah semua kata yang umum dipakai dalam percakapan sehari-hari.

3. Berdasarkan fakta-fakta merek KOPITIAM masih terdaftar di dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAKI.

4. Merek Kok Tong Kopitiam dinilai memiliki persamaan pokok dengan merek KOPITIAM.

(26)

Menanggapi alasan pertama dimana dikatakan bahwa kata Kopitiam dianggap bukan merupakan kata umum dinilai merupakan keputusan yang keliru. Pasalnya kata Kopitiam yang berarti kedai kopi atau warung kopi, sebenarnya berasal dari perpaduan kata Kopi dan kata Tiam dimana kata Tiam sendiri berasal dari bahasa Hokkien dan Kopi berasal dari Bahasa Indonesia dan kata Kopitiam sendiri juga merupakan kata yang akrab digunakan oleh masyarakat Melayu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Melayu dalam kesehariannya akan menggunakan kata Kopitiam disamping menggunakan kata kedai kopi maupun warung kopi untuk menyebutkan ataupun bermaksud mengatakan kedai kopi. Masyarakat Tionghoa ataupun masyarakat keturunan Tionghoa juga akan lebih cenderung menggunakan kata Kopitiam dibandingkan kata warung kopi ataupun kedai kopi manakala mereka hendak menyebutkan kata kedai kopi. Dalam hal ini maka kata Kopitiam jelas merupakan kata umum yang telah menjadi milik publik.

(27)

kata asing, namun tetap saja kata Kopitiam memiliki arti kedai kopi. Penggunaan merek dengan frasa asing yang memiliki arti yang serupa dengan frasa yang digunakan dalam bahasa sehari-sehari tidak dapat dianggap sebagai merek karena dinilai tetap tidak memiliki daya pembeda. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya jika merek yang hendak didaftarkan tidak memiliki daya pembeda maka merek tersebut dapat ditolak pendaftarannya. Jika merek tersebut telah terdaftar dan dianggap tidak memiliki daya pembeda maka merek tersebut dapat dibatalkan dengan alasan tidak dipenuhinya unsur merek seperti yang terdapat pada Pasal 5 huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2001.

(28)

dalam mereknya terdapat unsur yang dapat berakibat ditolaknya pendaftaran suatu merek yakni adanya unsur kata yang telah menjadi milik umum dan merek bersifat deskriptif.

Dalam menangani kasus ini terdapat dissenting opinion yang dinyatakan oleh 2 (dua) hakim agung yakni Nurul Elmiyah dan Syamsul Maarif.72

Jika dilihat secara seksama maka putusan Mahkamah Agung tersebut akan memberikan Abdul Alek Soelistyo hak penuh terhadap kata Kopitiam sehingga dapat dirasakan kelak akan terjadi monopoli penuh terhadap pasar Kopitiam dan membuat pihak lain harus meminta izin terlebih dahulu kepada Abdul Alek

Hakim agung Nurul Elmiyah menyatakan bahwa:

“seharusnya merek generik KOPITIAM tidak dapat didaftar berdasarkan Pasal 5 huruf c UU Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek,” ujar Nurul.

Begitu pula dengan hakim agung Syamsul Maarif. Beliau menyatakan KOPITIAM tidak berhak memiliki hak eksklusif atas kata KOPITIAM.

“KOPITIAM adalah kata yang secara umum digunakan oleh masyarakat Melayu untuk sebuah kedai yang menjual kopi sehingga semua kedai yang menjual kopi pada dasarnya berhak menggunakan kata tersebut untuk melengkapi merek dagangnya sehingga dalam perkara a quo dominan dalam menentukan ada atau tidak adanya persamaan pada pokoknya pada merek Kok Tong Kopitiam milik pemohon PK adalah bukan pada kata KOPITIAM tetapi pada kata KOK TONG. Oleh karena itu merek Kok Tong Kopitiam tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek KOPITIAM,” kata Syamsyul.

72“Dekonstruksi Hukum Antara Kok Tong Kopitiam Luas Kopitiam Dan Kopitiam”

sebagaimana dimuat dalam

(29)

Soelistyo untuk dapat menggunakan kata Kopitiam tersebut sebagai selaku pemegang hak dari kata Kopitiam.

Putusan Mahkamah Agung ini menuai kritik dari para pengusaha kopitiam di Indonesia, Malaysia dan Singapura. Bahkan jabatan Penerangan Malaysia lembaga kementrian yang memiliki fungsi seperti Menteri Komunikasi dan informatika di Indonesia, menyatakan pada halaman jejaring sosialnya bahwa:

“pengakuan di Indonesia tidak berlaku untuk kopitiam yang ada di Malaysia, merek ini hanya berkuat kuasa di Indonesia sahaja”.73

“ini pekerjaan rumah untuk semua pihak, para pemeriksa merek dituntut untuk belajar dan memperluas wawasannya. Para pemilik merek dan pelaku bisnis juga dituntut untuk responsif apabila terjadi hal-hal seperti kasus KOPITIAM dan melakukan upaya-upaya yang maksimal untuk melindungi mereknya atau usahanya”.

Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual yang diwakili oleh Justisiari Perdana Kusumah selaku ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual juga menanggapi putusan tersebut:

74

Asosiasi pengusaha kopitiam di Indonesia juga mengecam Putusan Kopitiam, Praminta dalam kapasitasnya selaku Ketua Persatuan Pengusaha Kopitiam Indonesia (KPPI) mengatakan bahwa merek dagang kopitiam tidak dapat dimonopoli atau dikuasai oleh orang perorangan atau badan hukum, karena

73“Indonesia Patenkan Kopitiam, Malaysia Mengejek”, sebagaimana dimuat dalam

yang

diakses pada tanggal 1 Februari 2016, pukul 20:00 wib

74“Belajar Dari Kasus Kopi Tiam Kemenkum HAM Harus Berwawasan Luas”

sebagaimana dimuat dalam

(30)

kata kopitiam sendiri merupakan milik umum dan bersifat deskriptif sehingga siapapun boleh menggunakannya.75

D. Dampak Penggunaan Public Domain Sebagai Suatu Merek Pada

Kasus Kopitiam

Penggunaan kata Kopitiam pada merek yang dimiliki oleh Abdul Alek Soelistyo telah menimbulkan keresahan kepada para pengusaha kopitiam. Pasalnya ketika Mahkamah Agung memutuskan bahwa merek KOPITIAM tidak melanggar pasal 5 huruf c Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 maka secara otomatis putusan ini membuat Abdul Alek Soelistyo sebagai pemegang hak eksklusif dari kata Kopitiam. Hal ini membuat Abdul Alek Soelistyo dapat memonopoli pasar kopitiam dan menyingkirkan para pesaingnya yang menggunakan unsur kata kopitiam di dalam merek mereka.

Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1999, monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau atas penggunaan jasa tertentu oleh suatu pelaku usaha atau suatu kelompok usaha.

Dalam Undang-Undang No. 5 tahun 1999, persaingan tidak sehat adalah persaingan antara pelaku usaha dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan hukum atau menghambat persaingan usaha.

75“Asosiasi Pengusaha Ajukan Gugatan Pembatalan 3 Merek Kopitiam”, sebagaimana

dimuat dalam

(31)

Terhadap kasus Kopitiam ini maka dengan jelas terlihat akan terjadi persaingan usaha tidak sehat karena Abdul Alek Soelistyo dapat menguasai pasar kopitiam tanpa takut akan adanya persaingan dari seseorang atau badan hukum lain karena penggunaan public domain yang diterapkan pada mereknya membuat konsumen dapat langsung merasa familiar ataupun akrab terhadap merek miliknya.

Keberadaan merek KOPITIAM dapat memicu terjadinya praktik monopoli yang mana hal ini dengan jelas dilarang oleh hukum anti monopoli. Keberadaan merek KOPITIAM dianggap dapat menjadi sangat kuat yang membuatnya dapat mengontrol harga dan praktik-praktik dalam pasar Kopitiam.

Dalam dunia perdagangan masalah persaingan sebenarnya merupakan sesuatu yang biasa/wajar, persaingan yang timbul tidak selalu menimbulkan hal positif76

Diakuinya merek KOPITIAM yang menggunakan public domain juga dapatmenimbulkan ketidakadilan kepada para pengusaha yang lain karena merek yang menggunakan public domain dianggap dapat memperoleh keuntungan di atas keuntungan normal karena sifatnya yang akrab di telinga konsumen.

dikarenakan dilakukan dengan perbuatan curang atau tidak jujur. Pada kasus merek KOPITIAM ini dapat dikatakan bahwa Abdu l Alek Soelistyo telah melakukan perbuatan curang, yakni mendaftarkan merek yang tidak memenuh i persyaratan.

76Hal positif yang dapat diperoleh dari persaingan usaha adalah membuat masing-masing

(32)

Keberadaan merek KOPITIAM juga dikhawatirkan akan membuat masyarakat kehilangan hak untuk menggunakan kata Kopitiam atas nama hukum.

Keberadaan merek KOPITIAM sendiri akan membuat para pelaku usaha yang lain menggunakan merek yang berasal dari public domain sebagai merek usahanya. Jika hal ini terjadi maka akan tercipta persaingan tidak sehat antar para pelaku usaha dan pelaku usaha yang tidak menggunakan unsur public domain di dalam mereknya akan kesulitan dalam melakukan usaha.

(33)

A. Kesimpulan

1. Penggunaan public domain sebagai suatu merek bertentangan dengan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Hal ini disebabkan karena penggunaan merek yang berasal dari kepemilikan umum membuat masyarakat tidak dapat menggunakan hak atas kata umum tersebut dan membuat para pengusaha yang menghasilkan produk atau jasa serupa mengalami kesulitan dalam melakukan usaha.

2. Meskipun merek KOPITIAM merupakan public domain namun majelis hakim tetap memenangkan Abdul Alek Soelistyo sebagai pemegang sah merek KOPITIAM. Penggunaan public domain pada kasus Kopitiam berdasarkan putusan hakim dibenarkan dengan beberapa alasan antara lain:

(34)

b. Hal ini juga dipertegas dengan keterangan ahli Drs. Ahmat Hasan, SH., yang menjelaskan bahwa kata umum adalah semua kata yang umum dipakai dalam percakapan sehari-hari.

c. Berdasarkan fakta-fakta merek KOPITIAM masih terdaftar di dalam Daftar Umum Merek pada Dirjen HAKI.

d. Merek Kok Tong Kopitiam dinilai memiliki persamaan pokok dengan merek KOPITIAM.

e. Merek Kok Tong Kopitiam dinilai memiliki itikad tidak baik dengan maksud hendak membonceng ketenaran merek KOPITIAM.

3. Dampak penggunaan public domain sebagai suatu merek pada kasus Kopitiam adalah adanya kecenderungan terjadinya persaingan usaha tidak sehat yang akan terjadi dalam pasar Kopitiam. Dimenangkannya merek KOPITIAM juga dianggap membuat pemilik merek KOPITIAM memiliki posisi dominan sehingga dia dapat menghambat pesaing lain yang memiliki jasa yang serupa untuk dapat memasuki pasar.

B. Saran

(35)

2. Memberikan pemahaman kepada para pengusaha dan aparat penegak hukum mengenai syarat-syarat merek yang dapat didaftarkan sehingga pada masa yang akan datang diharapkan dapat meminimalisir sengketa-sengketa terhadap merek.

(36)

A. Pengertian dan Sejarah Perkembangan Merek

Setiap orang atau organisasi perusahaan yang ada, akan sangat peduli akan pentingnya sebuah nama dan simbol yang digunakan dalam menjalankan bisnis dan pemasaran barang dan jasa. Simbol-simbol ini akan membantu untuk menunjukkan asal barang dan/atau jasa, serta perusahaan komersial yang bergerak dalam bidang dan menyediakan barang dan jasa. Dalam pangsa pasar, nama-nama dan simbol-simbol tersebut dikenali sebagai merek (trademark), nama usaha (business name), dan nama perusahaan (company name). Perbedaan ketiganya kadang-kadang membuat bingung, baik bagi pengusaha itu sendiri maupun masyarakat.7

Merek selalu diidentikkan dengan identitas bagi suatu produk yang dihasilkan oleh produsen, yang kemudian menjadi aset bagi produsen. Identitas sebuah produk juga menjelaskan kualitas suatu barang, hal tersebut juga menandakan barang tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita banyak sekali terjadi pembajakan terhadap sesuatu yang dilakukan dengan kualitas barang yang berbeda, sehingga akan berdampak kepada

7Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta:

(37)

dua hal, yaitu Pertama, akan mengganggu stabilitas ekonomi, dan Kedua, terkait jaminan perlindungan konsumen terhadap barang tersebut.8

Pengertian merek yang diatur di dalam Undang-Undang tersebut ternyata tidak berbeda dengan pengertian merek yang ada di dalam Undang-Undang Merek 2001. Pengertiannya sama persis yaitu: merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, merek diberi pengertian: merek adalah tanda yang dikenakan oleh pengusaha (pabrik, produsen dan sebagainya) pada barang yang dihasilkan sebagai tanda pengenal: cap (tanda) yang menjadi pengenal untuk menyatakan nama dan sebagainya.

Selain dari kamus, pengertian merek juga diberikan di dalam Undang-Undang Merek yang pernah berlaku di masa lalu. Namun Undang-Undang-Undang-Undang Merek 1961 ternyata merupakan salah satu Undang-Undang yang tidak memberikan pengertian tentang merek. Undang-Undang Merek 1961 juga tidak memberikan penjelasan mengapa tidak memberikan pengertian masalah tersebut, padahal materi yang diatur di dalamnya semata-mata mengenai merek.

Berbeda dengan Undang-Undang 1992 jo. Undang-Undang Merek 1997 yang memberikan pengertian merek sebagai berikut: merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

(38)

kegiatan perdagangan barang atau jasa. Dengan pengertian tersebut tampaknya pembentuk Undang-Undang mengambil alih pengertian merek yang telah diatur di dalam Undang-Undang sebelumnya.

Dari pengertian merek di atas baik menurut kamus maupun Undang-Undang, dapat diketahui bahwa pada pokoknya pengertian merek menunjuk kepada tanda dan tanda tersebut sengaja dibuat untuk kepentingan perdagangan. Tampak terdapat hubungan erat antara tanda dengan produk yang diperdagangkan, yaitu sebagai tanda pengenal produk yang berfungsi untuk membedakan antara produk yang satu dengan yang lain.

Di dalam Undang-Undang Merek di atas ditekankan bahwa merek perlu memiliki daya pembeda. Maksudnya adalah tanda yang digunakan sebagai merek tidak boleh terlalu sederhana dan tidak boleh terlalu rumit sehingga menjadi tidak jelas.9 Merek yang bentuknya sederhana dan terlalu rumit akan membingungkan masyarakat apakah tanda itu sebagai merek atau bukan. Menurut Gautama hal ini tidak dapat memberi kesan dari suatu merek. agar supaya dapat memberikan individualitas kepada suatu benda maka merek yang bersangkutan harus memiliki kekuatan-kekuatan individualitas.10

1. R. Soekardono, menyatakan bahwa merek adalah suatu tanda, dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, dimana perlu juga untuk Selain dari pengertian yang berasal dari batasan yuridis beberapa sarjana juga memberikan definisi tentang merek, yaitu:

9Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara No. 4131, Penjelasan Undang-Undang

No. 15 Tahun 2001, Tentang Merek, Jakarta, 1 Agustus 2001, Pasal 5 huruf b.

10Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta:

(39)

mempribadikan asalnya barang atau menjamin kualitas barang dalam perbandingan dengan barang-barang sejenis yang dibuat atau diperniagakan oleh orang-orang atau badan-badan perusahaan lain. Merek adalah suatu tanda yang pada dirinya terkandung daya pembeda yang cukup (capable of distrugling) dengan barang-barang lain yang sejenis. Kalau tidak ada pembedaan, maka tidak mungkin disebut merek.11

2. H. OK. Saidin, S.H, M.Hum., menyatakan bahwa merek adalah suatu tanda (sign) untuk membedakan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan atu diperdagangkan seseorang atau kelompok orang atau badan hukum dengan barang-barang atau jasa yang sejenis yang dihasilkan oleh orang lain, yang memiliki daya pembeda maupun sebagai jaminan atas mutunya dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.12

3. Prof, Molengraaf, menyatakan bahwa merek yaitu dengan mana dipribadikanlah sebuah barang tertentu, untuk menunjukkan asal barang dan jaminan kualitasnya sehingga bisa dibandingkan dengan barang-barang sejenis yang dibuat dan diperdagangkan oleh orang atau perusahaan lain.13

4. Fandy Tjiptono berpendapat bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau

11Ibid.

12OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo

Persada, 2013, hal. 345

(40)

kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.14

5. Bison Simamora, menyatakan bahwa merek adalah nama, tanda, istilah, simbol, desain atau kombinasinya yang ditujukan untuk mengidentifikasi dan mendiferensiasi (membedakan) barang atau layanan suatu penjual dari barang atau layanan penjual lain.15

6. Philip S. James MA, menyatakan bahwa merek dagang adalah suatu tanda yang dipakai oleh seorang pengusaha atau pedagang untuk menandakan bahwa suatu bentuk tertentu dari barang-barang kepunyaannya, pengusaha atau pedagang tersebut tidak perlu penghasilan sebenarnya dari barang-barang itu, untuk memberikan kepadanya hak untuk memakai sesuatu merek, cukup memadai jika barang-barang itu ada di tangannya dalam lalu lintas perdagangan.16

Perkembangan merek secara ringkas dapat dijelaskan sebagai perkembangan dari sifat merek sebagai ‘tanda pemilikan/propriety marks/possessory marks’ yang diterapkan pada awal masa penggunaan merek sampai dengan sifat merek sebagai ‘citra produk/product image’ ataupun ‘simbol gaya hidup/way of life’ sebagaimana yang terjadi pada saat sekarang ini.

Sejarah perkembangan merek dapat ditelusuri bahkan mungkin berabad-abad sebelum Masehi. Sejak zaman kuno, misalnya periode Minoan, orang sudah

14Fandy Tjiptono, Brand Management, Bandung: Penerbit Andy, 2005, hal. 46

15Bison Simamora, Aura Merek, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002, hal. 149

16Pratasius Daritan dalam OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta:

(41)

memberikan tanda untuk menandai barang-barang miliknya, hewan bahkan manusia. Penandaan ini dilakukan dengan maksud agar barang yang akan dikirimkan melalui laut mudah untuk diidentifikasi pada saat terjadi kecelakaan. Di era yang sama bangsa Mesir sudah menerakan namanya untuk batu bata yang dibuat atas perintah Raja. Di Inggris sendiri bentuk sejenis merek mulai dikenal dari bentuk tanda resmi (hallmark) di Inggris bagi tukang emas, tukang perak, dan alat-alat pemotong.17

17Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual Sejarah, Teori dan

(42)

sebagai bantuan dalam memutuskan pembelian barang dan lama kelaman konsumen mulai menyadari bahwa merek menunjukkan pembuat barang dan mutu barang. Dengan demikian sifat merek berubah dari informasi mengenai penanggungjawab atas barang (source of liability) menjadi penunjuk mutu barang (indicator of quality). Pada masa itu, telah dikenal penggunaan merek perniagaan (marques de commerce, trademark, merk) dalam pengertian sendiri sebagai tandingan merek perusahaan (marques de fabrique, manufacturer’s mark, fabrieksmereken). Asal muasal perbedaan ini karena di Perancis pada waktu itu merek dari pedagang sutra lebih penting daripada merek yang berasal dari perusahaan kain sutranya, sehingga para pedagang sutra yang bersangkutan merasa berkepentingan untuk dapat menggunakan atau melindungi merek mereka, seperti halnya para pengusaha pabrik dengan merek perusahannya. Pembedaan ini kemudian diakui secara resmi dalam hukum Perancis pada 1857. Pembedaan itu juga dianut oleh banyak negara di dunia, termasuk di Inggris pada 1962, Amerika Serikat pada 1870 dan 1876, sedangkan di Belanda tertuang dalam Merkenwet 1983.18

Sekitar awal abad ke XX, merek berubah dari penunjuk asal (indicator of origin) menjadi kekayaan yang berharga (valuable assets) dalam haknya. Merek tidak hanya sebagai tanda, tetapi telah juga membangkitkan perasaan dari konsumen, hal ini disebabkan oleh karena meningkatnya kualitas industri periklanan. Merek sudah lebih menjadi alat pemasaran dan sudah berkurang sebagai cara identifikasi produk. Dalam kondisi seperti ini, fungsi merek berubah

18Rahmi Jened, Hukum Merek Dalam Era Global & Integrasi Ekonomi, Jakarta:

(43)

dari ‘sinyal/signal’ menjadi ‘simbol’. Sebagai sinyal, merek memicu respons otomatis dan berguna sebagai identifikasi pembuat produk. Sebaliknya sebagai simbol, merek menerapkan berbagai bentuk makna karena merek sudah digunakan sebagai alat untuk melekatkan atribut tertentu pada barang.19

Di Indonesia sendiri pengaturan tentang merek sudah diatur sejak masa penjajahan Belanda. Pada masa kolonial Belanda telah berlaku Undang-Undang Merek, yakni Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 109 yang diberlakukan tahun 1855. Undang-Undang ini kemudian digantikan Staatsblad van Nederlandsch-Indie No.305 yang dikeluarkan tahun 1893 dan diberlakukan tahun 1894. Pada tahun 1912, Undang-Undang merek baru ditetapkan, yakni Reglement Industrieele Eigendom (Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 545). Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku, yakni berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.20

Ketentuan itu masih terus berlaku hingga akhirnya sampai pada akhir tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Perusahaan dan Merek Perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961. Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 mengadopsi sebagian besar ketentuan dalam Reglement Industrieele Eigendom(Staatblad van Nederlandsch-Indie No. 545). Perbedaan utamanya

19Fandy Tjiptono, Seri Manajemen Merek 01- Manajemen & Strategi Merek, Yogyakarta:

ANDI OFFSET, 2011, hal. 61

(44)

terletak pada jangka waktu perlindungan merek yang lebih pendek dan pengelompokan kelas barang ke dalam 35 kelas (sebelumnya tidak dikenal dalam Reglement Industrieele Eigendom).21

Adapun alasan dicabutnya Undang-Undang Merek Tahun 1961 itu adalah karena Undang-Undang Merek No. 21 Tahun 1961 dinilai tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan masyarakat sekarang ini. Memang jika dilihat Undang-Undang Merek Tahun 1992 ini ternyata memang banyak mengalami perubahan-perubahan yang sangat berarti jika disbanding dengan Undang-undang Merek No. 21 Tahun 1961. Antara lain adalah mengenai sistem pendaftaran, lisensi, merek kolektif, dan sebagainya.

Setelah bertahan selama kurang lebih 31 tahun, Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 dicabut dan digantikan Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek, yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 3490. Undang-Undang yang berisi 90 pasal ini disahkan di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1992 oleh Presiden Soeharto dan dinyatakan mulai berlaku sejak 1 April 1993.

22

Alasan lain dapat juga dilihat dalam penjelasan Undang-Undang Merek Tahun 1992 yang menegaskan bahwa Undang-Undang baru itu merupakan penyempurnaan terhadap Undang-undang No. 21 Tahun 1961. Pertimbangannya adalah bahwa materi Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 bertolak dari konsepsi merek yang tumbuh pada masa sekitar Perang Dunia Kedua, sehingga cenderung

21OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo

(45)

tertinggal jauh dibandingkan perkembangan kondisi, kebutuhan, dan situasi perdagangan terakhir. Pertimbangan lainnya adalah bahwa perkembangan norma dan tatanan niaga memunculkan persoalan baru yang membutuhkan antisipasi yang harus diatur dalam Undang-Undang.

Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang No. 21 Tahun 1961, Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 menunjukkan perbedaan-perbedaan antara lain:

1. Lingkup pengaturan dibuat seluas mungkin. Bila Undang-Undang No. 21 Tahun 1961 lebih membatasi pada merek perusahaan dan merek perniagaan, serta tidak mencakup merek jasa; maka lingkup Undang-Undang No. 19 tahun 1992 mencakup baik merek dagang maupun merek jasa. Pengaturan terhadap merek kolektif juga dimasukkan dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 1992. Bahkan dalam perkembangan yang akan datang penggunaan istilah merek akan dapat pula menampung pengertian lain, seperti “certification marks”, “associates marks”, dan lain-lain.23

2. Perubahan dari sistem deklaratif ke sistem konstitutif, karena sistem konstitutif lebih menjamin kepastian hukum daripada sistem deklaratif. Sistem deklaratif yang mendasarkan pada perlindungan hukum bagi mereka yang menggunakan merek terlebih dahulu, selain kurang menjamin kepastian hukum juga menimbulkan persoalan dan hambatan dalam dunia usaha. Dalam Undang-Undang No. 19 tahun

(46)

1992, penggunaan sistem konstitutif yang bertujuan menjamin kepastian hukum disertai pula dengan ketentuan-ketentuan yang menjamin segi-segi keadilan. Jaminan terhadap aspek keadilan terlihat antara lain, pembentukan cabang-cabang kantor merek di daerah, pembentukan komisi banding merek, dan memberikan kemungkinan untuk mengajukan gugatan yang tidak terbatas melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tetapi juga melalui Pengadilan Negeri lainnya akan ditetapkan secara bertahap, serta tetap dimungkinkannya gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara. Bahkan dalam masa pengumuman permintaan pendaftaran merek dimungkinkan pemilik merek tidak terdaftar yang telah menggunakan sebagai pemakai pertama untuk mengajukan keberatan.24

3. Agar permintaan pendaftaran merek dapat berlangsung tertib, pemeriksaannya tidak semata-mata dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan formal saja, tetapi juga dilakukan pemeriksaan substantive. Selain itu, dalam sistem yang baru diintroduksi adanya pengumuman permintaan pendaftaran suatu merek. Pengumuman tersebut bertujuan memberi kesempatan kepada masyarakat yang berkepentingan dengan permintaan pendaftaran merek mengajukan keberatan. Dengan mekanisme semacam ini bukan saja masalah yang timbul dari sistem deklaratif dapat teratasi, tetapi juga menumbuhkan keikutsertaan masyarakat. Selanjutnya

24OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo

(47)

Undang No. 19 Tahun 1992 mempertegas pula kemungkinan penghapusan dan pembatalan merek yang telah terdaftar berdasarkan alasan dan tata cara tertentu.25

4. Sebagai Negara yang ikut serta dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property tahun 1883, Maka Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 mengatur pula pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas yang diatur dalam Konvensi tersebut.26 5. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 mengatur juga pengalihan hak

atas merek berdasarkan lisensi yang tidak diatur dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 1961.27

6. Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 mengatur juga sanksi pidana, baik untuk tindakan pidana yang diklasifikasi sebagai kejahatan maupun sebagai pelanggaran.28

Dalam perkembangan selanjutnya, Undang-Undang No. 19 Tahun 1992 diubah dengan Undang-Undang No. 14 Tahun 1997 yang disahkan dan berlaku pada tanggal 7 Mei 1997. Sebanyak 23 pasal dari total 90 pasal Undang-undang No. 19 Tahun 1992 mengalami perubahan. Pertimbangan utama yang melandasi perubahan-perubahan tersebut adalah penyesuaian peraturan perundang-undangan nasional di bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), termasuk merek, dengan Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayan Intelektual

25Op cit, hal. 43

26Sudargo Gautama, Hukum Merek Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1984, hal. 2

27 OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: PT RajaGrafindo

(48)

(Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs).

Berdasarkan pertimbangan diperlukannya sistem pengaturan merek yang lebih memadai seiring dengan tuntutan globalisasi dan sejalan dengan perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia (di antaranya Agreement Establishing the World Trade Organization), serta pengalaman melaksanakan administrasi merek, pemerintah Indonesia menyempurnakan Undang-Undang merek dengan pemberlakuan Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Undang-Undang yang terdiri atas 101 pasal ini diundangkan dan berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001 dan dimuat dalam Lembaran Negara RI tahun 2001 No. 110. Sementara penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lemabaran Negara RI No. 4131.

(49)

yang lama.29

Selanjutnya, mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha, penyelesaian sengketa merek memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga diharapkan sengketa merek

Dengan dipersingkatnya jangka waktu pengumuman, secara keseluruhan akan dipersingkat pula jangka waktu penyelesaian permohonan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.

Berkenaan dengan hak prioritas, dalam Undang-Undang no. 15 tahun 2001 diatur bahwa apabila pemohon tidak melengkapi bukti penerimaan permohonan yang pertama kali menimbulkan hak prioritas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya hak prioritas, permohonan tersebut diproses seperti permohonan biasa tanpa menggunakan hak prioritas.

Hal lain adalah berkenaan dengan ditolaknya permohonan yang merupakan kerugian bagi pemohon. Untuk itu, perlu pengaturan yang dapat membantu pemohon untuk mengetahui lebih jelas alasan penolakan permohonannya dengan terlebih dahulu memberitahukan kepadanya bahwa permohonan akan ditolak.

Selain perlindungan terhadap merek dagang dan merek jasa, dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 diatur juga perlindungan terhadap indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam atau faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Selain itu juga diatur mengenai indikasi asal.

(50)

dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Sejalan dengan itu, harus pula diatur hukum acara khusus untuk menyelesaikan masalah sengketa merek seperti juga bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Adanya peradilan khusus untuk masalah merek dan bidang-bidang hak kekayaan intelektual lain, juga dikenal di beberapa negara lain, seperti Thailand. Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, pemilik merek diberi upaya perlindungan hukum yang lain, yaitu dalam wujud penetapan sementara pengadilan untuk melindungi mereknya guna mencegah kerugian yang lebih besar. Di samping itu, untuk memberikan kesempatan yang lebih luas dalam penyelesaian sengketa, dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 dimuat ketentuan tentang arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.30

B. Merek Sebagai Salah Satu Hak Kekayaan Intelektual

Merek dipandang dari segi kedudukannya tidak dapat dipisahkan dari Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) karena merek merupakan salah satu bagian dari HAKI. Merek hidup berdampingan dengan HAKI yang lain yaitu hak cipta, paten, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan perlindungan varietas tanaman.

Merek dikatakan sebagai HAKI karena merek tergolong hak ekono mi (economic right) yang merupakan hak khusus pada HAKI. Adapun yang disebut hak ekonomi adalah hak untuk memperoleh keuntungan ekonomi atas HAKI. Dikatakan sebagai hak ekonomi karena HAKI adalah termasuk benda yang dapat

(51)

dinilai dengan uang. Hak ekonomi tersebut berupa keuntungan sejumlah uang yang diperoleh karena penggunaan sendiri HAKI atau karena penggunaan pihak lain berdasarkan lisensi.31 Sejalan dengan itu menururt Lindsey, dkk bahwa merek sering merupakan logo yang terkenal dan menjadi komoditi yang sangat bernilai. Dengan kondisi merek yang telah dikenal biasanya di dalam praktik barang yang menggunakan merek tersebut banyak dicari orang. Seseorang yang menggunakan merek tersebut banyak dicari orang. Seseorang yang mengunakan merek terkenal pada umumnya merasa bangga dan merasa memiliki gengsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan merek yang belum terkenal. Larisnya barang dengan merek terkenal pemilik merek memperoleh keuntungan yang sepadan.32

Dengan hak atas merek yang dimilikinya seorang pemilik merek mempunyai hak untuk mencegah pihak lain menggunakan mereknya tanpa izin dengannya.

Dalam kedudukannya sebagai HAKI merek dilindungi oleh undang-undang atau hukum. Sebagaimana telah diketahui dalam sejarah undang-undang-undang-undang merek di Indonesia, perlindungan merek didasarkan atas pemakaian pertama merek (UU Merek 1961) dan kemudian sistemnya diganti dengan pendaftaran pertama merek (UU Merek 1992 jo. UU Merek 1997) yang berlaku sampai sekarang dengan berlakunya UU Merek 2001.

33

31Gatot Supramono, Menyelesaikan Sengketa Merek Menurut Hukum Indonesia, Jakarta:

Rineka Cipta, 2008, hal. 13 32Ibid

(52)

Jadi pada prinsipnya yang berlaku dalam HAKI setiap orang wajib menghormati HAKI yang telah dimiliki orang lain. Seseorang tidak dapat begitu saja menggunakan HAKI orang lain tanpa ada kesepakatan lebih dahulu. Penggunaan tanpa izin merupakan pelanggaran hukum di bidang HAKI yang merugikan pemiliknya yang dapat dihukum secara pidana maupun perdata.

C. Peranan dan Fungsi Merek Dalam Dunia Perdagangan

Di dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek memberikan definisi tentang merek yaitu:

“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”

Dari definisi merek di atas maka dapat disimpulkan bahwa merek berfungsi untuk membedakan suatu produk dengan produk lain dengan memberikan tanda. Merek juga memiliki fungsi sebagai jaminan atas barangnya, sebagai tanda pengenal untuk membedakan produksi yang dihasilkan seseorang atau badan hukum produk orang lain atau badan hukum lainnya.

Selain fungsi pembeda dari berbagai literatur ditemukan bahwa merek mempunyai fungsi-fungsi yang lain seperti34

1. Menjaga persaingan usaha yang sehat. :

34Hery Firmansyah, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Yogyakarta: Pustaka

(53)

Hal ini berlaku dalam hal menjaga keseimbangan antar kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum dengan menumbuhkan iklim usaha yang kondusif melalui terciptanya persaingan usaha yang sehat dan menjamin kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi setiap orang dan mencegah persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan pelaku usaha dengan menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

2. Melindungi konsumen.

Berdasarkan Undang-undang Merek Tahun 2001 di dalam konsiderannya menyebutkan bahwa salah satu tujuan diadakannya undang-undang ini adalah untuk melindungi khalayak ramai terhadap peniruan barang-barang. Dengan adanya merek, para konsumen tidak perlu lagi menyelidiki kualitas dari barangnya. Apabila merek telah dikenal baik kualitasnya oleh para konsumen dan membeli barang tersebut, konsumen akan yakin bahwa kualitas dari barang itu adalah baik sebagaimana diharapkannya.

3. Sebagai sarana dari pengusaha untuk memperluas bidang usahanya. Merek dari barang-barang yang sudah dikenal oleh konsumen sebagai tanda untuk barang yang bermutu tinggi akan memperlancar usaha pemasaran barang bersangkutan.

4. Sebagai sarana untuk dapat menilai kualitas suatu barang.

(54)

kualitas suatu barang tergantung dari produsen sendiri dan penilaian yang diberikan oleh masing-masing pembeli. Suatu merek dapat member kepercayaan kepada pembeli bahwa semua barang yang memakai merek tersebut, minimal mempunyai mutu yang sama seperti yang telah ditentukan oleh pabrik yang mengeluarkannya.

5. Untuk memperkenalkan barang atau nama barang.

Merek mempunyai fungsi pula sebagai sarana untuk memperkenalkan barang ataupun nama barangnya (promosi) kepada khalayak ramai. Para pembeli yang telah mengenal nama merek tersebut, baik karena pengalamannya sendiri ataupun karena telah mendengarnya dari pihak lain, pada saat membutuhkan barng tersebut cukup dengan mengingat nama mereknya saja. Misalnya, seseorang ingin membeli minuman bermerek fanta, maka cukup hanya menyebut Fanta saja.

6. Untuk memperkenalkan identitas perusahaan.

Ada kalanya suatu merek digunakan untuk memperkenalkan nama perusahaan yang menggunakan mereknya. Misalnya, merek dagang Djarum. Djarum adalah merek yang digunakan oleh perusahaan rokok Djarum.

(55)

merasa puas dengan suatu produk tertentu akan membeli atau memakai kembali produk tersebut di masa yang akan datang.

Untuk dapat melakukan hal tersebut pemakai harus mampu membedakan dengan mudah antara produksi yang asli dengan produk-produk yang mirip atau identik. Untuk memungkinkan suatu perusahaan dapat membedakan dirinya dan produk yang dimiliki terhadap apa yang dimiliki oleh para pesaingnya, maka merek menjadi peran penting dalam pencitraan dan strategi pemasaran perusahaan, pemberian kontribusi terhadap citra dan reputasi terhadap produk dari sebuah perusahaan di mata konsumen.

Citra dan reputasi sebuah perusahaan untuk menciptakan kepercayaan merupakan dasar untuk mendapatkan pembeli yang setia dan meningkatkan nama baik perusahaan. Konsumen sering memakai faktor emosional pada merek tertentu, berdasarkan serentetan kualitas yang diinginkan atau fitur-fitur yang ditawarkan dalam produk-produk yang dimiliki merek tersebut. Merek juga dapat menjadi nilai tambah bagi perusahaan untuk berinvestasi dalam memelihara dan meningkatkan kualitas produk yang mereka miliki guna menjamin bahwa merek produk yang merek miliki memiliki reputasi yang baik.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan kompetensi sosial dan kompetensi kepribadian melalui progam Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada mahasiswa calon

Jadi pemanfaatan yang dilakukan oleh pemustaka dalam perpustakaan adalah cara atau proses menggunakan koleksi perpustakaan yang ada di bagian layanan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif korelatif untuk mengetahui hubungan tingkat stress dengan

2 Murid secara perorangan berpikir dan selanjutnya memberi jawaban secara lisan. Model OPB merupakan kerangka kegiatan belajar yang menekankan pada proses

Prototipe yang telah divalidasi dan direvisi, diujicobakan pada subjek uji coba penelitian yaitu siswa kelas VIII SMP Citra Samata. Kelas tersebut terdi dari 38

pelaksanaan kebijakan E-Governmentdi Kabupaten Tabalong. Penelitian yang dilakukan ini adalah metode Deksriptif. Populasi dalam penelitian ini adalah para pejabat Birokrat

%HUGDVDUNDQ ODWDU EHODNDQJ GLDWDV PDND SHQHOLWLDQ ³0HPEDQJXQ %XGD\D Wirausaha Melalui Peran ,EX 8QWXN 0HQLQJNDWNDQ 1LODL 7DPEDK (NRQRPL .HOXDUJD´ SHUOX GLODNXNDQ Secara rinci

Hampir semua distribusi Sistem Operasi, secara defaultnya menyertakan BIND sebagai program DNS Server mereka, sehingga banyak orang mengidentifikasikan atau berpikir DNS Server