BAB III METODE PENELITIAN
4.1 Sejarah Singkat Berdirinya PT. Pertamina (Persero) Tbk
Pada tahun 1945, Jepang, dengan disaksikan pihak Sekutu, menyerahkan
Tambang Minyak Sumatera Utara kepada Indonesia. Daerah perminyakan ini
adalah bekas daerah konsesi sebelum Perang Dunia Kedua. Pada masa revolusi
fisik, tambang minyak ini hancur total. Lapangan-lapangan minyak di daerah lain
di Indonesia dapat dikuasai kembali oleh Belanda dan pihak asing berdasarkan
hak konsesi, namun lapangan minyak di Sumatera Utara dan Aceh dapat
dipertahankan bangsa Indonesia.
Semenjak kedaulatan Republik Indonesia diakui pada Desember 1949,
hingga akhir 1953 Pemerintah masih ragu apakah akan mengembalikan Tambang
Minyak Sumatera Utara kepada BPM atau dikuasai sendiri. Penunjukkan
‘koordinator’ untuk pertambangan oleh Menteri Perekonomian pada tahun 1954
belum membawa perbaikan. Pada bulan Oktober 1957, Kepala Staf TNI Angkatan
Darat pada waktu itu Jenderal A.H. Nasution menunjuk Kolonel Dr. Ibnu Sutowo
untuk membentuk Perusahaan Minyak yang berstatus hukum Perseroan Terbatas.
Pada tanggal 10 Desember 1957 didirikan P.T. Pertambangan Minyak
Nasional Indonesia (PT. Pertamina) dengan Kol.Dr. Ibnu Sutowo sebagai
Presiden Direktur. Berdasarkan UU No 19 tahun 1960 tentang perusahaan negara,
P.T Permina sebagai Perseroan Terbatas menjadi Perusahaan Negara. Pertamina
memiliki jaringan distribusi BBM dan non-BBM yang kuat, tersebar di seluruh
di seluruh Indonesia dilakukan melalui jalur distribusi yang meliput i: Transit
Terminal, Depot, Instalasi dan DPPU. Jenis-jenis produk BBM terdiri atas:
premium, kerosine, autogas (solar), minyak diesel, dan minyak bakar. Sedangkan
yang dimaksud BBK adalah bahan bakar untuk penerbangan (aviasi), yaitu avtur
dan avigas, serta gasoline dengan nilai oktan tinggi, yaitu Pertamax dan Pertamax
Plus. Sedangkan BBK jenis Premix dan Super TT sudah tidak dipasarkan lagi.
Suplai avtur dan avigas terus meningkat sejalan dengan permintaan yang
juga meningkat akibat peningkatan lalu-lintas penerbangan dalam negeri. Produk
avtur dan avigas, menurut Laporan Tahunan Pertamina 1999-2000, sejak Februari
1999 telah dikeluarkan dari BBM bersubsidi dan harganya diserahkan kepada
mekanisme pasar. Berikut ini sekilas perjalanan Pertamina melayani bahan bakar
untuk pesawat, pemasaran bahan bakar untuk pesawat terbang secara modern tak
bisa dilepaskan dari dinamika makro organisasi pemasaran di Pertamina.
Khususnya untuk pemasaran dalam negeri. Pada masa Hindia Belanda terdapat
dua perusahaan minyak yang beroperasi dalam penyediaan dan pemasaran BBM.
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang penyediaan dan pemasaran
BBM untuk masyarakat sangat terbatas karena BBM yang dihasilkan terutama
digunakan untuk keperluan perang.Perebutan dari Jepang atas fasilitas
pembekalan BBM di dalam negeri beserta sarana penimbunan dan pengangkutan
tidak berjalan lancar. Penyebabnya, kedatangan tentara Belanda baik dalam
Agresi I Belanda tahun 1947 maupun Agresi II Belanda tahun 1948. Hingga
periode 1950-1960, pembekalan BBM untuk keperluan dalam negeri sepenuhnya
memenuhi sekitar 4,2 persen dari seluruh konsumsi BBM dalam negeri yang saat
itu (1960) mencapai 3,3 juta kiloliter. Sebagian besar Shell dan Stanvac yang
memasok.Walaupun tingkat konsumsi terus meningkat, tetapi sejak 1950 sampai
1960 tidak ada penambahan investasi pada sarana distribusi dan pemasaran.
Dengan melihat kondisi politik saat itu, perusahaan-perusahaan asing mengalami
keraguan untuk melanjutkan usahanya di Indonesia. Saat itu ada 740 stasiun
pompa bensin, 125 truk tangki dengan daya angkut 1.000 kiloliter. Keadaan
tersebut mempersulit masyarakat untuk mendapatkan pelayanan BBM.
Organisasi pemasaran Pertamina sepanjang catatan yang diperoleh mulai dibenahi
tahun 1960-an yaitu pada masa Pertamina. Dimulai dengan membangun pusat
administrasi kecil di setiap pusat pemasaran di Jakarta, Surabaya, Semarang, dan
Medan.
Faisal Abdaoe boleh dicatat sebagai salah seorang pembangun jaringan
pemasaran. Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini ditugaskan
menciptakan suatu kebijakan pemasaran untuk Pertamina. Pertamina saat itu
mulai melakukan pemasaran langsung. Walaupun pada awalnya masih ditopang
oleh Shell. Ketika Kontrak Karya dengan Tiga Besar Shell, Stanvac, dan Caltex
diratifikasi November 1963, Pertamin telah membangun sebuah organisasi
pemasaran yang lancar dan fungsional. Saleh Siregar pimpinan Pertamin mencoba
meyakinkan Pemerintah melalui Wakil PM III Chairul Saleh bahwa Pertamina
adalah perusahaan yang pantas mengambilalih pemasaran dalam negeri setelah
Maka 11 Desember 1963 Pertamina ditunjuk untuk menerima semua kekayaan
pemasaran dari kelompok Tiga Besar. Lalu Saleh Siregar mengajukan usulan
baru, agar pempercepat pemindahan aset pemasaran. Hal ini menguntungkan
Indonesia dibandingkan harus membayar distribusi sebanyak 0,10 dolar per barel.
Chaerul Saleh setuju dan Tiga Besar pun setuju. Pemindahan aset Shell berikut
personalia dilakukan atas dasar satu area ke area lain selesai pada Juli 1965.
Namun keterlibatan asing dalam pemasaran domestik belum pupus sama
sekali. Angkutan laut masih ditangani Shell dan Stanvac, sekalipun Permina juga
telah memasuki bisnis itu. Pada saat itu Shell dan Stanvac masih menjalankan
kilang-kilang karena kemampuan Pertamina dan Perumigan dua BUMN migas
selain Pertamina masih terbatas. Pada perkembangan selanjutnya Permina di
bawah Ibnu Sutowo meminta persetujuan Pemerintah agar bisa membangun
armada tanker yang diperlukan untuk menangani ekspor minyak dan penyaluran
antar-pulau. Permintaan disetujui tahun 1964, Permina mulai mengekspor minyak
dengan kapalnya sendiri. Dari waktu ke waktu armada milik Permina terus
bertambah. Termasuk kapal carter. Sebelumnya, tahun 1962, Permina pun
membeli sebuah perusahaan pesawat udara, Aero Comander, untuk
pengembangan pelayanan udara. Ini merupakan cikal bakals Pelita Air Service.
Dan pada tahun yang sama Permina pun membeli sistem telekomunikasi yang
canggih, yang dilengkapi dengan telex dan komunikasi suara. Tahun 1965
meletus G30S/PKI. Keadaan politik mewarnai keadaan ekonomi. Perundingan
dengan SHELL dan STANVAC masih berlangsung, tetapi distribusi dalam
minyak tanah dan bensin tidak terawasi. Ibnu Sutowo mendapat mandat penuh
dari Chairul Saleh untuk mengurusi semua keadaan sehari-hari masalah migas.
Pompa bensi biasanya kehabisan persediaan dan pemakai terpaksa membayar
harga pasar gelap. Pada dasarnya harga itu naik, tapi kenaikan itu pergi ke pasar
gelap, bukan kepada Pemerintah dan maskapai minyak.
Ibnu Sutowo meneruskan perundingan. Stanvac ragu. Sebaliknya Shell
memilih meneruskan pembicaraan penjualan anak perusahaannya yang ada di
Indonesia. Dicapai persetujuan dengan harga 110 juta dolar AS, dan persetujuan
itu ditandatangani 1 Desember 1965 dan berlaku dari tanggal 1 Januari 1966.
Pembayarannya sendiri dilakukan dalam waktu lima tahun dari lapangan dan
kilang bekas Shell sendiri.