BAB III METODOLOGI PENELITIAN
III.1.1 Sejarah Singkat SLB – B Karya Murni
Setelah perang dunia ke II, tentara Belanda datang ke Susteran Santo Yosef yang
tinggal di Daendlesstrat (sekarang Jl. Hayam Wuruk No. 11 Medan). Tentara itu membawa
dan menyerahkan Martha Ponikem, seorang putri penyandang cacat netra berumur 13 tahun.
Tentara Belanda ini berpesan agar putri ini diberi pendidikan yang baik. Sr. Ildefonsa van
Watering menerima anak itu dengan senang hati.
Namun setelah anak itu tinggal beberapa waktu di susteran, muncul suatu masalah dan
pertanyaan yang sebelumnya kurang dipikirkan lebih mendalam. Pendidikan atau tipe
pengajaran apa dan bagaimana yang tepat yang akan diberikan kepada anak ini. Pertanyaan
ini seolah-olah mendapat jawaban ketika Sr. Ildefonsa mendapat kesempatan cuti di awal
tahun 1950 ke negaranya di Belanda. Dalam rangka cuti, Sr. Ildefonsa berkeinginan
mengunjungi dan belajar bagaimana mendidik dan mengajar para penyandang cacat netra di
salah satu institut yang namanya De Wijnberg di Grave. Sr. Ildefonsa berulang lagi ke tempat
ini untuk belajar dan sekaligus bagaimana orang-orang cacat khususnya anak tunanetra.
Pada suatu hari dalam kunjungannya ke Grave tempat institut anak tunanetra itu, Sr.
Ildefonsa bertemu dengan seorang gadis tunanetra bernama Trees Kim Lan Bong, yang sudah
di didik selama 13 tahun. Trees Kim Lan Bong berasal dari Pulau Bangka - Indonesia. Dalam
pertemuannya itu Trees menyatakan keinginan dan kerinduannya untuk kembali ke Indonesia
dan mau membantu teman-temannya penyandang cacat netra di Indonesia. Betapa bahagia
Pada tanggal 15 Juli 1950 berangkatlah Sr. Ildefonsa bersama dengan Trees menuju
Indonesia dan tiba pada tanggal 15 Agustus 1950 di Jl. Hayam Wuruk. Trees Bong menjadi
guru pertama yang dapat mengajar anak tunanetra yang pernah dibawa tentara Belanda itu ke
Susteran di Jl. Hayam Wuruk. Tidak lama sesudah Trees mengajar Martha Ponikem, datang
lagi seorang putri Ambon yang juga tunanetra bernama Agustina Hallatu. Demikianlah anak
tunanetra semakin bertambah dan mereka diasramakan. Pada tahun 1953 sekolah tunanetra
ini dikukuhkan menjadi bentuk lembaga yang bernama Sint Oda Stichting.
Pada tahun 1963 seorang bapak etnis Tionghoa dari Jl. Sutomo Medan datang ke Jl.
Hayam Wuruk Medan untuk bertemu dengan pimpinan KSSY (Kongregasi Suster Santo
Yosef). Beliau membawa 2 orang anaknya bernama Lie Kie An umur 12 tahun dan Lie Kie
Hok umur 16 tahun. Kedua orang anaknya itu tidak dapat mendengar dan tidak dapat
berbicara Beliau sudah letih mencari sekolah untuk dua orang anaknya yang tidak dapat
mendengar dan tidak dapat berbicara tersebut. Beliau bingung harus melakukan apa untuk
pendidikan anaknya. Karena semua sekolah reguler tidak mau bahkan menolak untuk
mendidik kedua anak yang kurang beruntung itu. Dengan penuh pengharapan dalam
kesedihannya beliau memohon kepada Sr. Yohanna Melchiada Bloom agar mau menerima
anak itu untuk di didik dan di bina oleh suster KSSY. Pada saat itu suster Yohanna Melchiada
Bloom menolak menerima anak tersebut dengan pertimbangan belum adanya tenaga kerja
yang kompeten menangani anak yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berbicara dan
ruangan kelas baru untuk pendidikan anak yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat
berbicara juga tidak ada. Bapak tersebut sangat berharap kesediaan suster Yohanna
Melchiada Bloom agar menyekolahkan suster-suster untuk pendidikan Anak anak yang tidak
dapat mendengar dan tidak dapat berbicara supaya kelak anak-anak bapak tersebut dan juga
anak-anak yang sependeritaan dengan mereka dapat di bimbing dan di bina oleh susster
mau belajar tentang pendidikan anak yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat
berbicara. Beliau juga bersedia memberikan dana untuk pembangunan ruang kelas baru
untuk kegiatan tersebut
Sr. Yohanna Melchiada Bloom menyambut baik saran dan kebaikan bapak tersebut
sehingga beliau berusaha mencari tahu tentang pendidikan anak-anak yang tidak dapat
mendengar dan tidak dapat berbicara. Akhirnya beliau menemukannya di Jl. Mangli No. 10
Wonosobo Jawa Tengah yang di kelola oleh Suster-Suster PMY dengan kesepakatan
pimpinan kedua kongregasi suster tersebut maka Sr. Yohanna Melchiada Bloom mengutus
dua orang suster KSSY untuk belajar ke Wonosobo pada bulan Oktober 1964 yaitu Sr.
Marietta Purba dan Sr. Fransiska Tampubolon. Sr Marietta Purba belajar selama 11 bulan di
sana dan kembali ke Medan untuk membuka kelas persiapan bagi pendidikan anak-anak yang
tidak dapat mendengar dan tidak dapat berbicara. Sedangkan Sr Fransiska Tampubolon
tinggal dan belajar di Wonosobo selama 19 bulan untuk mempelajari metode pembelajaran
bagi pendidikan anak-anak yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat berbicara sampai
tingkat dasar, kemudian kembali ke Medan dan bergabung dengan Sr. Marietta Purba untuk
menyelenggarakan pendidikan anak anak yang tidak dapat mendengar dan tidak dapat
berbicara. Dengan berjalannya waktu Shint Oda Stichting juga menerima anak-anak
tunarungu (bisu-tuli) untuk di didik dan di bina pada tahun 1964, Sint Oda Stichting berubah
nama menjadi Yayasan Karya Murni, dan diaktekan pada notaris tanggal 24 November 1965,
dengan nomor akte 104, alamat Jl. Hayam Wuruk no.3 Medan. Dengan bertambahnya murid
dan kegiatan kompleks Jl. Hayam Wuruk di rasa terlalu sempit untuk berbagai kegiatan,
maka pada tanggal 1 November 1969 pendidikan dan asrama untuk anak tunarungu
dipindahkan ke Jl. Bahagia No 2 Pasar Merah Medan dengan nama Sekolah Luar Biasa – B
Karya Murni. Sedangkan anak tunanetra pendidikan dan asramanya dipindah ke Jl. Karya
Yayasan Karya Murni mengelola 5 unit pelayanan yaitu :
1. Panti asuhan yang dihuni oleh anak-anak tunanetra, tunarungu, yatim piatu dan anak
yang berasal dari keluarga berekonomi lemah.
2. Pendidikan untuk anak tunanetra.
3. Pendidikan untuk anak tunarungu.
4. Panti Pijat (lapangan kerja bagi siswa/i yang sudah menyelesaikan kursus pijat/massage).
5. Poliklinik yang dikhususkan untuk anak-anak panti asuhan dan juga masyarakat sekitar.
III.1.2) Profil SLB – B Karya Murni