PERANAN KOMUNIKASI ANTARPRIBADI DALAM
MEMBENTUK KONSEP DIRI
(Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap
Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu
Di SLB - B Karya Murni Kota Medan)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan
Sarjana (S-1) Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Departemen Ilmu Komunikasi
Disusun Oleh :
OLOAN HENDRA RICKI SILALAHI
090922058
090922058
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI EKSTENSI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/Siswi Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi antarpribadi dalam proses konseling antara siswa/siswi dengan konselor dalam membentuk konsep diri siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, berikut untuk mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan, masalah yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah siswa/siswi. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Wilbur Schramm. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.
Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaiut dengan mengaitkan komponen komunikasi antarpribadi konselor dalam proses konseling dengan komponen pembentukan konsep diri.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan anugerah dan kasih karunia Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan)” yang merupakan salah satu persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sosial pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan dan bantuan serta dukungan semangat dari berbagai pihak yang sangat bermanfaat. Secara khusus penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada kedua orang tua terkasih, ayahanda L. Parlindungan Silalahi dan Ibunda T. Juliana Sinaga untuk setiap dukungan moril dan materil bahkan dukungan doa yang tiada habisnya kepada penulis. Terima kasih juga kepada adinda Rina Adriani Silalahi, Amd dan Shanty Khristifany Silalahi yang selalu memberikan semangat selama penyelesaian skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati, tidak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departement Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Dr. Iskandar Zulkarnain, M. Si selaku dosen wali penulis. Terima kasih untuk setiap arahan dan bimbingan selama masa perkuliahan.
5. Seluruh Dosen di Departemen Ilmu Komunikasi yang pernah membimbing penulis selama masa perkuliahan.
6. Kak Icut, kak Ros dan kak Maya yang membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi.
7. Ibu Florida Pardosi, S.Pd selaku Kepala Sekolah SLB – B Karya Murni Medan, yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di sekolah ini.
8. Ibu F. Sitohang, Roma, Mona, Jonathan, Hizkia, Wylis dan Yohanes yang sudah menjadi informan juga seluruh siswa/i SLB – B Karya Murni Medan, terima kasih untuk kerja samanya. Bersyukur sempat mengenal kalian.
9. Ayahanda R. Silaen dan Ibunda P. Pangaribuan, terima kasih untuk setiap dukungan doa, perhatian dan semangat yang boleh penulis terima selama ini.
10. Kepada temanku Tetti, Lamhot, Benget, Mila, Arief, Seppianta, Wahyu, Bang O.K. Harianda, Hera, Fitri, Kak Vera, Ira, Nuke, Endah, Maya, Zaki dan semua teman-teman Ilmu Komunikasi Ekstensi Angkatan 2009 yang telah membantu dan mendukung penulis.
11. Teman-teman Batch 90 Telkomsel Regional Medan Ancha, Desy, Rany, Dody, Fiqi dan Eka. 12. Ibunda dr. Ulfah Mahidin, SpPK Selaku Pimpinan di Laboratorium R.S. Martha Friska,
Medan. Bu Tety, Bu Verly, kak Dede, Ajeng, Hotni, Ari, Elfida dan seluruh rekan kerja penulis di Laboratorium R.S. Martha Friska Medan.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis mengaharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi pembacanya.
Medan, Agustus 2011 Penulis
DAFTAR ISI
I.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ... 8
I.4.1 Tujuan Penelitian ... 8
I.4.2 Manfaat Penelitian ... 8
I.5 Kerangka Teori ... 9
I.5.1 Komunikasi ... 10
I.5.2 Komunikasi Antarpribadi ... 10
I.5.3 Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)... 13
I.5.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal ... 13
I.5.5 Teori Interaksi Simbolik ... 15
I.5.6 Konsep Diri ... 16
I.5.7 Konseling Individual ... 18
I.5.8 Tunarungu ... 20
I.6 Kerangka Konsep ... 21
I.7 Operasionalisasi Konsep ... 21
1.8 Defenisi Operasional Variabel... 24
BAB II URAIAN TEORITIS II.1 Komunikasi ...27
II.1.1. Tujuan Komunikasi... 30
II.1.2. Fungsi Komunikasi... 30
II.1.3. Unsur-unsur Komunikasi... 31
II.2 Komunikasi Antarpribadi ... ... 32
II.2.1 Karakteristik Komunikasi Antarpribadi... 33
II.3 Teori Pengungkapan Diri (self disclosure) ... 39
II.4 Komunikasi Verbal dan Non Verbal... 45
II.4.1 Karakteristik Komunikasi Non Verbal... 46
II.4.2 Kategori Komunikasi Non Verbal………... 47
II.5 Teori Interaksi Simbolik ... 48
II.6 Konsep Diri ...52
II.6.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri... 54
II.6.2 Dimensi-Dimensi Dalam Konsep Diri... 56
II.6.3 Perkembangan Konsep Diri... 58
II.7 Konseling Individual... 59
II.7.1 Ciri-ciri Konseling Individual... 61
II.7.2 Karakteristik Hubungan Konseling Individual ... 61
II.8 Tunarungu ...63
II.8.1 Pengertian Tunarungu... 63
II.8.2 Faktor-Faktor Penyebab Ketunarunguan... 64
II.8.3 Karakteristik Tunarungu... 65
BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 67
III.1.1 Sejarah Singkat SLB – B Karya Murni ... 67
III.5 Teknik Pengumpulan Data ... 79
1. Penelitian Lapangan (Field Research) ... 79
2. Penelitian Kepustakaan (Library Research) ... 80
III.6 Teknik Analisis Data ... 80
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV.1 Pelaksanaan Pengumpulan Data di Lapangan ... 83
IV.2 Teknik Pengolahan Data ... 84
IV.3 Analisis Data Kualitatif ... 84
IV.3.1 Informan I ... 86
IV.3.2 Informan II ... 92
IV.3.4 Informan IV ... 104
IV.4 Pembahasan Hasil Penelitian... 84
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN V.1 Kesimpulan 111 V.2 Saran ...113
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR TABEL Tabel Hal 1 Konsep Operasional ... 22
2 Luas Tanah dan Bangunan SLB – B Karya Murni ... 72
3 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Jenis Kelamin ... 73
4 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Jenjang Pendidikan ... 73
5 Jumlah Siswa/i Berdasarkan Agama ... 74
6 Karakteristik Informan ... 74
DAFTAR LAMPIRAN
Transkrip Wawancara Surat Izin Penelitian
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/Siswi Tunarungu Di SLB – B Karya Murni Kota Medan). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan dan membahas peranan komunikasi antarpribadi dalam proses konseling antara siswa/siswi dengan konselor dalam membentuk konsep diri siswa/siswi tunarungu di SLB – B Karya Murni Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, berikut untuk mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan, masalah yang menjadi fokus layanan konseling serta bentuk solusi untuk mengatasi masalah siswa/siswi. Model komunikasi yang digunakan adalah model komunikasi menurut Wilbur Schramm. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan analisa data secara kualitatif tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.
Penelitian ini tidak menggunakan sampel tetapi menggunakan subjek penelitian atau informan. Subjek penelitian dalam penelitian ini ada 4 orang yang dipilih menurut sejumlah kriteria tertentu. Pengumpulan data dilaksanakan dengan cara melakukan wawancara mendalam (indepth interview) dan observasi terhadap subjek penelitian tersebut. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaiut dengan mengaitkan komponen komunikasi antarpribadi konselor dalam proses konseling dengan komponen pembentukan konsep diri.
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Komunikasi menjadi aktivitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari.
Komunikasi memainkan peranan penting dalam kehidupan manusia. Hampir setiap saat kita
bertindak dan belajar dengan dan melalui komunikasi. Komunikasi merupakan medium
penting bagi pembentukan atau pengembangan pribadi dan untuk kontak sosial. Melalui
komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan diri sendiri dan orang lain, bergaul,
bersahabat, mencintai atau mengasihi orang lain dan sebagainya. Komunikasi merupakan
penyampaian informasi dan pengertian dari seorang kepada orang lain. Komunikasi akan
berhasil jika adanya pengertian serta kedua belah pihak saling memahaminya. Dengan kata
lain, komunikasi sangat penting, seperti halnya dengan bernafas. Tanpa komunikasi tidak
akan ada hubungan dan kesepian dalam menjalani aktivitas. Ada beberapa bentuk komunikasi
yang kita kenal, yaitu:
a. Komunikasi Personal (personal communication) b. Komunikasi Kelompok
c. Komunikasi Organisasi (organization communication) d. Komunikasi Massa (mass communication)
a) Komunikasi Personal (personal communication)
Terdiri dari komunikasi intra personal (intrapersonal communication) dan komunikasi antar personal (interpersonal communication)
b) Komunikasi Kelompok
1. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) terdiri dari ceramah, forum, diskusi dan seminar.
2. Komunikasi kelompok besar (large group communication) terdiri dari kampanye. c) Komunikasi Organisasi (organization communication)
Komunikasi personal (antarpribadi) bersifat transaksional, sebuah hubungan manusia
yang saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Biasanya komunikasi itu bertujuan untuk
mengelola hubungan bahkan sampai pada pembentukan konsep diri. Hubungan antar pribadi
yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan semangat, saling merespon tanpa
adanya manipulasi, tidak hanya tentang menang atau kalah dalam berargumentasi melainkan
tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008:3-5).
Dalam komunikasi antarpribadi tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi dari komunikasi antarpribadi itu sendiri. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan insani, menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56). Dalam kegiatan apapun komunikasi antarpribadi tidak hanya memiliki ciri maupun karakter tertentu, tetapi juga memiliki tujuan agar komunikasi antarpribadi tetap berjalan dengan baik. Adapun tujuan dari komunikasi antarpribadi adalah sebagai berikut:
a. Untuk memahami dan menemukan diri sendiri.
b. Menemukan dunia luar sehingga dapat dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan.
c. Membentuk dan memelihara hubungan yang bermakna dengan orang lain,
d. Melalui komunikasi antarpribadi, individu dapat mengubah sikap dan perilaku sendiri dan orang lain,
e. Komunikasi antarpribadi merupakan proses belajar f. Mempengaruhi orang lain
g. Mengubah pendapat orang lain
h. Membantu orang lain (Sugiyo, 2005:9)
Dalam kaitannya untuk mengenali diri sendiri dan orang lain, komunikasi antarpribadi
menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi konsep diri seseorang. Terkait dengan
pembentuknya, konsep diri mulai berkembang sejak masa bayi dan akan terus berkembang
sejalan dengan perkembangan individu itu sendiri. Konsep diri individu terbentuk melalui
imajinasi individu tentang respon yang diberikan oleh orang lain melalui proses komunikasi.
Bila konsep diri seseorang positif, maka individu akan cenderung mengembangkan
sikap-sikap postitif mengenai dirinya sendiri, seperti rasa percaya diri yang baik serta kemampuan
untuk melihat dan menilai diri sendiri secara positif. Individu dengan konsep diri positif
Sebaliknya bila seseorang memiliki konsep diri yang negatif, maka individu tersebut
cenderung akan mengembangkan perasaan tidak mampu dan rendah diri, merasa ragu, dan
kurang percaya diri. Individu dengan konsep diri yang negatif akan mengalami kesulitan
dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sosial.
Konsep diri sangat erat kaitannya dengan diri individu. Konsep diri adalah keyakinan
yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat) yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65).
Hal ini termasuk persepsi individu akan sifat dan kemampuannya, interaksi dengan orang lain
dan lingkungan, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan objek, tujuan serta
keinginannya. Di era yang modern ini sangatlah penting bagi setiap individu untuk
memahami maupun mengenal konsep diri. Namun bagaimana dengan mereka yang lahir
dengan keterbatasan fisik. Padahal hidup mestilah dihormati bagaimanapun wujud nya bagi
setiap orang, pada dasar nya tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan dirinya
dilahirkan dalam keadaan cacat. Keadaan cacat tersebut dapat menjadikan manusia merasa
rendah diri, bahkan merasa tidak berguna, dan selalu bergantung pada bantuan dan belas
kasihan orang lain. Manusia penyandang cacat pada umumnya memiliki keterbatasan tertentu
sesuai dengan jenis cacatnya. Begitu juga dengan penyandang tunarungu, stigma yang
diberikan masyarakat normal sering kali digambarkan sebagai seseorang yang tidak berdaya,
tidak mandiri dan menyedihkan, sehingga terbentuk persepsi dan prasangka bahwa
penyandang tunarungu itu patut dikasihani, selalu butuh perlindungan dan bantuan. Hal ini
juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UUSPN) pada Pasal 5 Ayat (2) dan pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa:
Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah
tersendiri. Menurut Mangunsong, yang dimaksud dengan “anak tunarungu adalah mereka
yang pendengarannya tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar
biasa (1998:66)”. Menurut Moores, “tunarungu adalah kondisi dimana individu tidak mampu
mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat
frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong, 1987)”. Karena memiliki hambatan dalam
pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara sehingga mereka biasa
disebut
abjad jari telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa berbeda-beda
di setiap negara. Saat ini dibeberapa sekolah sedang dikembangkan
cara berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal dan non verbal. Menurut Purba,
komunikasi verbal (verbal communication) meliputi: komunikasi lisan (oral communication)
& komunikasi tulisan (written communication). Sementara yang termasuk dalam komunikasi
non verbal (non verbal communication) terdiri dari: komunikasi kial (gestural
communication) dan komunikasi gambar (pictorial communication) (Purba dkk, 2006:36).
Dalam Undang-undang Pokok Pendidikan dan Pengajaran tahun 1954 No. 12 Bab V
pasal 7 ayat 5 dikatakan bahwa:
Pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberikan pendidikan dan
pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun
rohaninya supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir batin yang layak.
Bertitik tolak dari alasan di atas, maka Yayasan Karya Murni menyediakan tenaga
konselor yang bertugas untuk membantu para siswa/i tunarungu. Adapun tugas dari konselor
tersebut adalah:
2. Menolong siswa/i tunarungu untuk dapat menerima dirinya sendiri dan membantu
untuk membentuk konsep dirinya.
3. Membimbing siswa/i tunarungu dalam proses pendidikan nya.
Semua siswa yang ada di SLB-B Karya Murni ini adalah manusia yang berpotensi yang
layak dikembangkan untuk dapat mencapai kemandirian, kreativitas dan produktivitas.
Seorang siswa tunarungu yang dalam kesehariannya mengalami banyak kelemahan karena
keterbatasan pendengaran, membutuhkan layanan konseling untuk membantunya
memecahkan masalah dan membentuk konsep diri yang baik agar dia tumbuh menjadi
pribadi yang mandiri dan berperilaku positif.
Pembentukan konsep diri seorang siswa/i tunarungu akan dapat berjalan dengan efektif
apabila dalam prosesnya menggunakan komunikasi antarpribadi yang meliputi komunikasi
verbal dan non verbal. Komunikasi antarpribadi akan sangat mempengaruhi hubungan
antarpribadi antara konselor dengan siswa/i tunarungu. Apabila seorang konselor dapat
menjalin komunikasi antarpribadi yang baik terhadap siswa/i tunarungu dan terdapat
kesepahaman makna maka akan terdapat hubungan timbal balik diantara keduanya. Sehingga
siswa/i tunarungu dapat mengungkapkan isi hatinya yang dapat memudahkan konselor dalam
membantu pembentukan konsep diri siswa/i tunarungu tersebut.
Berangkat dari keprihatinan yang dialami siswa/i tunarungu ini, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian yang dilakukan di SLB-B Karya Murni Medan karena peneliti melihat
bahwa ada beberapa siswa/i tunarungu seperti kehilangan interaksi dikarenakan keterbatasan
fisik yang mereka miliki, kurangnya kasih sayang dari orang disekitarnya begitu juga dengan
kurangnya konsep diri.
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan diatas, peneliti tertarik untuk meneliti
tentang “Peranan Komunikasi Antarpribadi Yang Dilakukan Oleh Konselor Dalam
I.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dirumuskan permasalahan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Bagaimanakah Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk Konsep Diri Siswa/i
Tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan?”
I.3. Pembatasan Masalah
Agar ruang lingkup penelitian tidak terlalu luas, namun lebih jelas dan terarah maka
perlu dibuat pembatasan masalah sebagai berikut:
1. Penelitian menggunakan metode Deskriptif dengan tipe studi kasus dimana peneliti
mendeskripsikan atau merekonstruksikan wawancara mendalam terhadap subjek
penelitian tanpa menjelaskan hubungan antar variabel atau menguji hipotesis.
2. Subjek dalam penelitian ini adalah konselor dan siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni
Jl. H.M. Jhoni No. 66 A Medan, yang duduk di tingkat SLTP.
3. Penelitian fokus untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi
antarpribadi khususnya mengenai layanan konseling individual konselor dalam
membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya Murni Medan.
4. Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga selesai.
I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1) Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan arah penelitian yang akan menguraikan apa yang akan
dicapai, dan biasanya disesuaikan dengan kebutuhan peneliti dan pihak lain yang
berhubungan dengan penelitian tersebut.
a. Untuk menggambarkan dan membahas bagaimana peranan komunikasi antarpribadi yang
dilakukan oleh konselor dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu di SLB-B Karya
Murni.
b. Untuk mengetahui metode komunikasi konseling yang dilakukan konselor terhadap
siswa/i tunarungu dalam membentuk konsep diri siswa/i tunarungu.
c. Untuk mengetahui bagaimana respon siswa/i tunarungu.
d. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh konselor ketika membimbing.
e. Untuk mengetahui solusi yang dipilih konselor guna mengatasi masalah yang dihadapinya
1.4.2) Manfaat Penelitian
Dalam hal ini manfaat penelitian yang dimaksud adalah:
a. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan, khususnya komunikasi antarpribadi yang berkaitan dengan pembentukan
konsep diri siswa/i tunarungu.
b. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan memperkaya
khasanah penelitian dan sumber bacaan di lingkungan FISIP USU, khususnya di bidang
ilmu komunikasi.
c. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pihak SLB-B
Karya Murni Medan, sehingga dapat meningkatkan perhatian dalam menangani kebutuhan
I.5. Kerangka Teori
Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam
memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang
memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana masalah penelitian
akan disoroti (Nawawi, 1995:39). Kerlinger menyatakan teori merupakan himpunan konstruk
(konsep), defenisi, dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala
dengan menggambarkan relasi diantara variabel, untuk menjelaskan dan meramalkan gejala
tersebut (Rakhmat, 2004:6).
Adapun teori-teori yang relevan dengan penelitian ini adalah:
a. Komunikasi
b. Komunikasi Antarpribadi
c. Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
d. Komunikasi Verbal dan Non Verbal
e. Teori Simbolik
f. Konsep Diri
g. Konseling Individual
h. Tunarungu
1.5.1) Komunikasi
Wilbur Schramm mengatakan bahwa kata communication itu berasal dari bahasa Latin:
Communicatio dan bersumber dari kata communis yang berarti common (sama). Dengan
demikian apabila kita akan mengadakan komunikasi, maka kita harus mewujudkan
persamaan antara kita dengan orang lain. Sama di sini maksudnya adalah sama makna
(Effendy, 2003:9). Menurut Cherrey, komunikasi adalah menekankan pada proses hubungan,
sedangkan Gode berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses yang menekankan pada
satu pihak lain, maka kita menyatakan gagasan kita untuk mendapatkan komentar dari pihak
lain mengenai suatu objek tertentu. Theodorson (dalam Liliweri, 1997:11) mengatakan bahwa
komunikasi adalah pengalihan informasi dari satu kelompok kepada kelompok lain terutama
dengan menggunakan simbol. Sedangkan Panji Anogoro dan Ninik Widiyanti (dalam
Liliweri, 1997:104) memberi defenisi komunikasi sebagai berikut: komunikasi merupakan
kapasitas individu dan kelompok lain.
1.5.2) Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang
terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh De Vito
(dalam Liliweri, 1997:12) bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman
pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan
umpan balik yang langsung.
Menurut Barnlund ada beberapa ciri yang bisa diberikan untuk mengenal komunikasi
antarpribadi (dalam Liliweri, 1997:14), yaitu:
1. Komunikasi antarpribadi terjadi secara spontan 2. Tidak mempunyai struktur yang teratur atau diatur 3. Terjadi secara kebetulan
4. Tidak mengejar tujuan yang telah direncanakan terlebih dahulu 5. Identitas keanggotaannya kadang-kadang kurang jelas
6. Bisa terjadi hanya sambil lalu saja
Menurut Evert M. Rogers (dalam Liliweri, 1997:13) ada beberapa ciri komunikasi
antarpribadi, yaitu:
1. Arus pesan dua arah
2. Konteks komunikasi adalah tatap muka. 3. Tingkat umpan balik yang tinggi.
Asumsi dasar komunikasi antarpribadi adalah bahwa setiap orang yang berkomunikasi
akan membuat prediksi pada data psikologis tentang efek atau perilaku komunikasinya, yaitu
bagaimana pihak yang menerima pesan memberikan reaksinya. Jika menurut komunikator
reaksi komunikan menyenangkan, maka ia akan merasa bahwa komunikasinya telah berhasil.
Menurut Rakhmat bahwa, pola-pola komunikasi antarpribadi (interpersonal)
mempunyai efek yang berlainan pada hubungan antarpribadi. Tidak benar anggapan orang
bahwa makin sering orang melakukan komunikasi antarpribadi dengan orang lain, makin baik
hubungan mereka. Bila diantara komunikator dan komunikan berkembang sikap curiga,
maka makin sering mereka berkomunikasi makin jauh jarak yang timbul. Yang menjadi
persoalan adalah bukanlah berapa kali komunikasi dilakukan, tetapi bagaimana komunikasi
itu dilakukan. Ada beberapa faktor yang dapat menumbuhkan hubungan antarpribadi yang
baik, yaitu: sikap percaya, sikap suportif dan terbuka (Rakhmat, 2005:129).
Percaya (trust), menentukan efektivitas komunikasi. Secara ilmiah percaya
didefenisikan sebagai mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki, yang pencapaiannya tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (Griffin, dalam Rakhmat, 2005:130).
Sikap Suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang
bersikap defensif bila ia tidak menerima, tidak jujur dan tidak empatis. Sudah jelas dengan sikap defensif, komunikasi interpersonal akan gagal: karena orang defensif akan lebih banyak melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi ketimbang memahami pesan orang lain. Perilaku yang menimbulkan iklim suportif adalah: deskripsi, orientasi masalah, spontanitas, empati, persamaan dan provisionalisme.
Sikap terbuka (open-mindedness) sangat besar pengaruhnya dalam menumbuhkan
komunikasi antarpribadi yang efektif. Menurut Brooks dan Emert karakteristik orang yang sikap terbuka adalah sebagai berikut:
a. Menilai pesan secara objektif, dengan menggunakan data dan logika b. Membedakan dengan mudah, melihat suasana dan sebagainya c. Berorientasi pada isi
d. Mencari informasi dari berbagai sumber
f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaan (Rakhmat, 2005: 136).
Bersama-sama dengan sikap percaya dan sikap suportif, sikap terbuka mendorong
timbulnya saling pengertian, saling menghargai dan yang paling penting dapat saling
mengembangkan kualitas hubungan interpersonal melalui komunikasi yang dilakukan.
Melalui komunikasi antarpribadi dengan orang lain kita belajar bukan saja mengenai siapa
kita, namun juga bagaimana kita merasakan siapa kita. Anda mencintai diri anda bila anda
telah dicintai, anda berpikir anda cerdas bila orang-orang sekitar anda menganggap anda
cerdas, anda merasa tampan atau cantik bila orang-orang sekitar anda juga mengatakan
demikian. Proses komunikasi antarpribadi seperti ini sangat berpengaruh terhadap
pembentukan konsep diri seseorang.
I.5.3) Teori Pengungkapan Diri (Self Disclosure)
Self disclosure teori adalah proses sharing/berbagi informasi dengan orang lain.
Informasinya menyangkut pengalaman pribadi, perasaan, rencana masa depan, impian dan
sebagainya. Dalam melakukan proses self-disclosure seseorang harus memahami waktu,
tempat dan tingkat keakraban. Kunci dari suksesnya self-disclosure adalah kepercayaan
Salah satu model inovatif untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan
penyingkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window). “Johari”
berasal dari nama depan dua orang psikolog yang mengembangkan konsep ini, Joseph Luft
dan Harry Ingham (Senjaya, 2007:2.44). Meskipun self disclosure yang mendorong adanya
keterbukaan, namun keterbukaan itu sendiri ada batasnya. Artinya kita perlu
mempertimbangkan kembali apakah menceritakan segala sesuatu tentang diri kita akan
I.5.4) Komunikasi Verbal dan Non Verbal
Dalam penyampaian pesan, seorang komunikator dituntut untuk memiliki kemampuan
dan sarana agar mendapat umpan balik (feedback) dari komunikan sehingga maksud pesan
tersebut dapat dipenuhi dengan baik dan berjalan efektif. Komunikasi dengan tatap muka
(face-to-face) dilakukan. antara komunikator dan komunikan secara langsung, tanpa
menggunakan media apapun kecuali bahasa sebagai lambang atau simbol. Komunikator
dapat menyampaikan pesannya secara verbal dan non verbal.
Komunikasi verbal adalah komunikasi yang menggunakan bahasa lisan (oral
communication) dan bahasa tulisan (written communication). Ada tiga ciri utama komunikasi
verbal, yaitu:
1. Bahasa verbal adalah komunikasi yang kita pelajari setelah kita menggunakan komunikasi non verbal. Jadi komunikasi verbal ini digunakan setelah pengetahuan dan kedewasaan kita sebagai manusia tumbuh.
2. Komunikasi verbal dinilai kurang universal dibanding dengan komunikasi non verbal, sebab bila kita ke luar negeri misalnya dan kita tidak mengerti bahasa yang digunakan masyarakat setempat maka kita bisa menggunakan bahasa isyarat non verbal.
3. Komunikasi verbal merupakan aktivitas yang lebih intelektual dibanding dengan bahasa non verbal. Melalui komunikasi verbal kita mengkomunikasikan gagasan dan konsep-konsep yang abstrak (Sendjaja, 2005:6.3).
Sementara komunikasi non verbal dapat didefenisikan sebagai berikut: non berarti tidak, verbal bermakna kata-kata (words). Sehingga komunikasi non verbal dimaknai sebagai komunikasi tanpa kata-kata. Beberapa contoh komunikasi nonverbal adalah: gerakan atau isyarat badaniah (gestural) seperti melambaikan tangan, mengedipkan mata dan sebagainya, dan menggunakan gambar untuk mengemukakan ide atau gagasannya (Sendjaja, 2005:6.3).
Menurut Larry A. Samovar dan Richard E. Porter komunikasi non verbal mencakup semua rangsangan (kecuali rangsangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh individu, yang mempunyai nilai potensial bagi pengirim atau penerima; jadi defenisi ini mencakup perilaku yang disengaja juga tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan (dalam Mulyana, 2002:198).
Kategori komunikasi non verbal dalam Sendjaja Sasa Djuarsa antara lain vocalics atau
paralanguage, kinesic yang mencakup gerakan tubuh, lengan dan kaki, serta ekspresi wajah
(facial expression), perilaku mata (eye behaviour), lingkungan yang mencakup objek benda dan artefak, proxemics yang merupakan ruang dan teritori pribadi, haptics (sentuhan), penampilan fisik (tubuh dan cara berpakaian), chronomics (waktu) dan olfaction (bau) (Sendjaja, 2005:6.17).
Ada tiga perbedaan antara komunikasi verbal dan non verbal, yaitu:
2. Perbedaan simbolik. Berarti bahwa makna dalam komunikasi verbal dipahami secara subjektif oleh individu yang terlibat didalam suatu kondisi, sedangkan makna non verbal lebih bersifat alami dan universal.
3. Mekanisme pemrosesan. Yaitu, komunikasi verbal mensyaratkan kaidah dan aturan berbahasa secara indah dan terstruktur (Sendjaja, 1994:257).
I.5.5) Teori Interaksi Simbolik
Teori ini menyatakan bahwa interaksi sosial pada hakekatnya adalah interaksi simbolik.
Manusia berinteraksi dengan orang lain dengan cara menyampaikan simbol, yang lain
memberi makna atas simbol tersebut. Para ahli perfeksionisme simbolik melihat bahwa
individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya
dengan individu yang lain. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi
dengan menggunakan simbol-simbol, yang didalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan
kata-kata. Simbol atau lambang adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk sesuatu lainnya,
berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi kata-kata (pesan verbal),
perilaku non verbal dan obyek yang disepakati bersama (Mulyana, 2001:84).
Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri khas manusia
yaitu komunikasi dan petukaran simbol yang diberi makna. Perspektif interaksi simbolik
berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini menyarankan
bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia
membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain
yang menjadi mitra interaksi mereka. Defenisi yang mereka berikan kepada orang lain,
situasi, objek dan bahkan diri mereka sendirilah yang menentukan perilaku mereka. Manusia
bertindak hanya berdasarkan defenisi atau penafsiran mereka atas objek-objek
disekelilingnya. Dalam pandangan interaksi simbolik, sebagaimana ditegaskan Blumer,
proses sosial dalam kehidupan kelompoklah yang menciptakan aturan-aturan, bukan
tersebut bukanlah sesuatu medium yang netral yang memungkinkan kekuatan sosial
memainkan perannya melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial
dan kekuatan sosial (Mulyana, 2001:68)
Menurut teoritisi interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi
manusia dengan menggunakan simbol-simbol. Secara singkat interaksionalisme simbolik
didasarkan pada premis-premis berikut: pertama individu merespon sebuah situasi simbolik.
Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik dan sosial berdasarkan makna yang
dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Kedua makna adalah
produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melekat pada objek, melainkan dinegosiasikan
melalui penggunaan bahasa. Ketiga makna diinterpretasikan individu dapat berubah dari
waktu kewaktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial.
I.5.6) Konsep Diri
Konsep diri adalah keyakinan yang dimiliki individu tentang atribut (ciri-ciri/sifat)
yang dimilikinya (Dayakisni, 2003:65). Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki
seseorang tentang dirinya, yang dibentuk melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh
dari interaksi dengan lingkungannya. Konsep diri seseorang umumnya dipengaruhi oleh
keluarga dan orang-orang dekat lain disekitarnya, termasuk kerabat akan tetapi yang paling
mempengaruhi adalah ketika kita berinteraksi dengan orang lain yakni pengharapan, kesan
dan citra orang lain tentang kita.
Fitts (1971) membagi konsep diri dalam dua dimensi, yaitu sebagai berikut:
a. Dimensi Internal
Dimensi internal atau yang disebut juga kerangka acuan internal (internal frame of reference) adalah penilaian yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri berdasarkan dunia didalam dirinya sendiri. Dimensi ini terdiri dari tiga bentuk yaitu:
Bagian diri ini merupakan aspek yang paling mendasar pada konsep diri dan mengacu pada pertanyaan, “Siapakah saya?” dalam pertanyaan tersebut mencakup label-label dan simbol-simbol yang diberikan pada diri (self) oleh individu-individu yang bersangkutan untuk menggambarkan dirinya dan membangun identitasnya. 2. Diri Pelaku (Behavioral self)
Diri pelaku merupakan persepsi individu tentang tingkah lakunya yang berisikan segala kesadaran mengenai “Apa yang dilakukan oleh diri”.
3. Diri Penerima/Penilai (Judging self)
Diri penilai berfungsi sebagai pengamat, penentu standar dan elevator.
Kedudukannya adalah sebagai perantara (mediator) antara diri dan identitas pelaku.
b. Dimensi Eksternal
Pada dimensi eksternal, individu menilai dirinya melalui hubungan dan aktivitas sosialnya, nilai-nilai yang dianutnya, serta hal-hal lain di luar dirinya. Dimensi eksternal terbagi atas lima bentuk yaitu:
1. Diri Fisik (physical self)
Diri fisik menyangkut persepsi seseorang terhadap keadaan dirinya secara fisik (cantik, jelek, menarik, tidak menarik, tinggi, pendek, gemuk, kurus, dan sebagainya) 2. Diri Etik-moral (moral-ethical self)
Bagian ini merupakan persepsi seseorang terhadap dirinya dilihat dari pertimbangan nilai moral dan etika. Hal ini menyangkut persepsi seseorang mengenai hubungannya dengan Tuhan, kepuasan seseorang akan kehidupan agamanya dan nilai-nilai moral yang dipegangnya, yang meliputi batasan baik dan buruk.
3. Diri Pribadi (personal self)
Diri pribadi merupakan perasaan atau persepsi seseorang tentang keadaan pribadinya. Hal ini tidak dipengaruhi oleh kondisi fisik atau hubungan dengan orang lain, tetapi dipengaruhi oleh sejauhmana ia merasa dirinya sebagai pribadi yang tepat.
4. Diri Keluarga (family self)
Diri keluarga menunjukkan perasaan dan harga diri seseorang dalam kedudukannya sebagai anggota keluarga. Bagian ini menunjukkan seberapa jauh seseorang merasa dekat terhadap dirinya sebagai anggota dari suatu keluarga.
5. Diri Sosial (social self)
Bagian ini merupakan penilaian individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain maupun lingkungan disekitarnya.
Seluruh bagian diri ini, baik internal maupun eksternal, saling berinteraksi dan membentuk suatu kesatuan hati yang utuh.
I.5.7) Konseling Individual
Istilah konseling berasal dari bahasa inggris “to counsel” yang secara etimologi berarti
“to give advice” atau memberi saran dan nasehat. Jones mendefenisikan konseling sebagai
masalah tertentu untuk diatasi sendiri oleh yang bersangkutan, dimana ia diberi bantuan
pribadi dan langsung dalam pemecahan masalah itu. Konseling harus ditujukan pada
perkembangan yang progresif dari individu untuk memecahkan masalah-masalahnya sendiri
(Lubis, 2006:7).
Selanjutnya menurut Jones, proses konseling akan terlaksana bila terlihat beberapa
aspek berikut ini:
a. Terjadi antara dua orang individu, masing-masing disebut konselor dan klien.
b. Terjadi dalam suasana yang profesional.
c. Dilakukan dan dijaga sebagai alat yang memudahkan perubahan-perubahan dalam tingkah
laku klien.
Rogers mengemukakan sebagai berikut: counseling is a series of direct contacts with
the individual which aims to offer him assistance in changing his attitude and behaviour.
Konseling adalah serangkaian hubungan langsung dengan individu yang bertujuan untuk
membantu dia dalam merubah sikap dan tingkah lakunya (Hallen, 2005:9).
Sementara itu, Shertzer dan Stone mendefenisikan hubungan konseling yaitu interaksi
antara seseorang dengan orang lain yang dapat menunjang dan memudahkan secara positif
bagi perbaikan orang tersebut (Willis, 2004:36).
Karakteristik hubungan konseling adalah sebagai berikut:
1. Hubungan konseling itu sifatnya bermakna, terutama bagi klien, demikian pula bagi konselor. Hubungan konseling terjadi dalam suasana keakraban (intimate)
2. Bersifat afek
Afek adalah perilaku-perilaku emosional, sikap dan kecenderungan-kecenderungan yang didorong oleh emosi. Afek hadir karena adanya keterbukaan diri (disclosure) klien, keterpikatan, keasyikan diri (self absorbed) dan saling sensitif satu sama lain. 3. Integrasi pribadi
Terdapat ketulusan, kejujuran dan keutuhan antara konselor-klien. 4. Persetujuan bersama
Ada komitmen (keterikatan) antara kedua belah pihak. 5. Kebutuhan
6. Struktur
Proses konseling (bantuan) terdapat struktur karena adanya keterlibatan konselor dan klien.
7. Kerjasama
Jika klien bertahan (resisten) maka ia menolak dan tertutup terhadap konselor. Akibatnya, hubungan konseling akan macet. Begitu juga sebaliknya.
8. Konselor mudah didekati, klien merasa aman.
Faktor iman dan taqwa sangat mendukung terhadap kehidupan emosional konselor. 9. Perubahan
Tujuan akhir dari hubungan konseling adalah perubahan positif klien menjadi lebih sadar dan memahami diri, mendapatkan cara-cara terbaik untuk
berbuat/merencanakan kehidupannya menjadi lebih dewasa dan pribadinya
terintegrasi. Perubahan internal dan eksternal terjadi didalam sikap dan tindakan, serta persepsi terhadap diri, orang lain dan dunia (Willis, 2004:41-44)
Dari defenisi-defenisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa layanan konseling
individual merupakan kegiatan komunikasi antarpribadi konselor dengan kliennya, dimana
dalam prosesnya melibatkan keikutsertaan/keterlibatan dua orang individu yang terjadi dalam
suasana keakraban/kebersamaan dan terdapat interaksi, atau umpan balik antara kedua belah
pihak sehingga si klien dapat memahami pikiran ataupun pesan yang disampaikan konselor
yang tujuan akhirnya adalah untuk memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalah klien
sehingga klien mempunyai konsep diri yang jelas.
I.5.8) Tunarungu
Anak dengan gangguan pendengaran (tunarungu) sering kali menimbulkan masalah
baik bagi dirinya sendiri, keluarga maupun bagi lingkungan sekitarnya. Menurut
Mangunsong, yang dimaksud dengan anak tunarungu adalah mereka yang pendengarannya
tidak berfungsi sehingga membutuhkan pelayanan pendidikan luar biasa (Mangunsong
1998:66). Menurut Moores, ketunarunguan adalah kondisi dimana individu tidak mampu
mendengar dan hal ini tampak dalam wicara atau bunyi-bunyian, baik dengan derajat
frekuensi dan intensitas (dalam Mangunsong 1998:68). Secara khusus ketulian didefenisikan
memproses informasi bahasa melalui pendengaran, dengan atau tanpa alat bantu, sehingga
berpengaruh pada prestasi pendidikan.
Menurut Telford dan Sawrey ketunarunguan tampak dari ciri-ciri sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan memusatkan perhatian yang sifatnya kronis
b. Kegagalan merespons apabila diajak bicara
c. Terlambat berbicara atau melakukan kesalahan artikulasi
d. Mengalami keterbelakangan di sekolah (dalam Mangunsong, 1998:70).
1.6. Kerangka Konsep
Konsep adalah istilah yang mengekspresikan sebuah ide abstrak (hasil pemikiran
rasional) yang dibentuk dengan menggeneralisasikan obyek atau hubungan fakta-fakta yang
diperoleh dari pengamatan. Agar konsep-konsep dapat diteliti secara empiris, maka harus
dioperasionalisasikan dengan mengubahnya menjadi variabel. Suatu variabel adalah konsep
tingkat rendah, yang acuan-acuannya secara relatif mudah diidentifikasikan, diurut atau
diukur (Kriyantono, 2007:20). Variabel berfungsi sebagai penghubung antara dunia teoritis
dengan dunia empiris. Adapun konsep operasional yang akan diteliti adalah:
1.Komunikasi AntarPribadi
2.Konsep Diri siswa/i tunarungu
1.7. Operasionalisasi Konsep
Berdasarkan kerangka konsep yang telah diuraikan diatas, maka konsep operasional
tersebut dijadikan acuan untuk memecahkan masalah. Agar konsep operasional tersebut dapat
membentuk kesamaan dan kesesuaian dalam penelitian, maka dioperasionalkan sebagai
Konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Konseptualisasi
Unit Analisis Operasional Komponen Indikator
1.Komponen Komunikasi
Antarpribadi Konselor
Terhadap siswa/i
tunarungu
a. Keterbukaan - sikap terbuka konselor dalam
proses konseling
b. Empati - Kemampuan konselor dalam
mengenali siswa/i tunarungu
c. Dukungan - Dukungan konselor dalam
proses konseling
d.Rasa positif -Tanggapan positif konselor
terhadap siswa/i tunarungu
a. Terbuka pada pengalaman - Perasaan cemas, marah atau
takut akan berkurang/hilang
terhadap masalah yang
sedang dihadapi siswa/i
tunarungu
- Sikap optimis siswa/i akan
masa depan
b. Tidak bersifat defensif -Sifat terbuka siswa/i
-Sifat tidak menyalahkan
orang lain akan kecacatan
atau kesulitan yang diderita
siswa/i
c. Kesadaran yang cermat -Sudah memiliki rasa percaya
diri dari siswa/i
-Menyadari kelebihan dan
bakat yang dimiliki siswa/i
d.Penghargaan diri tanpa
syarat
-Merasa cukup berarti
dilingkungannya
-Ada prestasi di dalam
maupun di luar kelas
e. Menjalin hubungan yang
harmonis dengan orang
lain
(Hall, 1993:128)
- Dapat bergaul dengan sesama
siswa/i SLB-B
-Ada rasa tanggung jawab dan
1.8. Defenisi Operasional Variabel
Defenisi operasional berfungsi untuk memperjelas variabel-variabel dalam konsep
operasional. Dengan kata lain, defenisi variabel operasional adalah suatu informasi ilmiah
yang sangat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama
(Singarimbun, 1995:46). Adapun yang menjadi defenisi operasional dalam penelitian ini
adalah:
1. Komponen komunikasi antarpribadi antara konselor dan siswa terdiri dari:
a. Keterbukaan, yaitu sikap terbuka konselor dalam proses konseling individual antara
konselor dengan siswa/i tunarungu.
b. Empati, yaitu kemampuan seorang konselor untuk mengenali siswa/i tunarungu
selama proses konseling.
c. Dukungan, yaitu dukungan konselor dalam proses konseling.
d. Rasa positif, yaitu adanya anggapan positif konselor terhadap siswa/i tunarungu.
e. Kesamaan, yaitu adanya kesamaan pandangan, sikap, ideologi, dan persepsi antara
konselor terhadap siswa/i tunarungu.
2. Komponen konsep diri terdiri dari:
a. Terbuka pada pengalaman merupakan keadaan dimana siswa/i tunarungu mulai
mengenal unsur-unsur pengalamannya pada masa lampau yang mau tidak mau disadari
karena terlalu mengancam atau merugikan struktur dirinya. Keadaan emosional itu
bisa berupa kecemasan. Ketakutan, kemarahan, misalnya kekalutan pikiran akan masa
depan (mendapat pekerjaan), keinginan untuk bisa mendengar lagi, masalah di dalam
lingkungan rumah maupun di lingkungan sekolah, maupun masalah dengan guru dan
sebagainya. Selain itu ia juga memiliki rencana hidup masa akan datang. Dia tahu
keputusan mana yang mungkin dapat dilaksanakan sesuai tujuan utama yang dia
inginkan.
b. Tidak bersifat defensif merupakan sikap keterbukaan yang dimiliki siswa/i tunarungu
dimana ia dapat menerimanya dengan bebas sebagai bagian dari dirinya yang berubah
dan berkembang secara realistis dan sebagaimana adanya. Sikap ini dimulai dengan
mengoreksi diri sendiri dan meniadakan sikap yang suka menyalahkan dunia luar,
seperti orang tua, teman, keadaan yang tidak menguntungkan dan sebagainya.
c. Kesadaran yang cermat yaitu sikap percaya diri dan jujur yang terbentuk dalam diri
siswa/i tunarungu dimana dia menyadari kelebihan-kelebihan ataupun bakat-bakat
yang dimilikinya, sehingga ia tidak sepenuhnya bergantung pada bantuan orang lain.
Dengan kata lain, dia menjadi mandiri dan menganggap dirinya cukup berarti
dilingkungannya.
d. Penghargaan diri tanpa syarat yaitu keadaan dimana siswa/i tunarungu bebas
mengaktualisasikan dirinya untuk berkarya dan berprestasi serta mengembangkan
sifat-sifat dan potensi-potensi psikologis yang unik sebagai manifestasi potensi yang
dimiliki.
e. Menjalin hubungan yang harmonis dengan orang lain yaitu sikap dimana siswa/i
tunarungu mampu menghargai keberadaaan orang lain dengan segala kelebihan dan
kekurangannya masing-masing. Sehingga ia menganggap dirinya sederajat atau setara
dengan orang lain. Sikap ini ditandai dengan adanya keinginan untuk bekerjasama dan
saling tenggang rasa dengan teman-temannya, guru pembimbing maupun terhadap
BAB II
URAIAN TEORI
II.1. Komunikasi
Komunikasi apabila diaplikasikan dengan benar akan mampu mencegah dan
memperbaiki hubungan sekaligus menciptakan suasana yang menyenangkan dan
menciptakan hubungan yang harmonis baik antarpribadi, antar kelompok, antar bangsa dan
sebagainya, membina kesatuan dan persatuan umat manusia seluruh penghuni bumi yang
menghasilkan citra positif. Disinilah terlihat begitu pentingnya komunikasi dalam kehidupan
sehari-hari, baik untuk melanjutkan hubungan maupun melepaskan hubungan.
Istilah komunikasi dalam bahasa inggris communication berasal dari kata Latin
communication, dan bersumber dari kata communis yang artinya sama. Sama disini
dimaksudkan adalah sama makna. Jadi komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan
makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan diterima oleh
komunikan (Effendy, 2000:9). Menurut Goyer komunikasi adalah berbagai pengalaman,
dapat diamati sebagai penelitian dimana respon penggerak dan penerima berhubungan secara
sistematis untuk referensi stimulus (dalam Ardiyanto, 2007:19). Dalam pengertian ini
komunikasi memberikan individu-individu untuk memahami dan merespon apa yang
disampaikan, jika penyampaian dipahami dan dimengerti, maka komunikasi berjalan dengan
baik dan sehat.
Carl I. Hovland mendefenisikan komunikasi sebagai suatu proses dimana seseorang
memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk mengubah tingkah
laku orang lain (dalam Widjaja, 2000:26-27). Adapun pengertian komunikasi yang lain
menurut Rogers bersama D. Lawrance Kincaid, 1981 mendefenisikan komunikasi sebagai
dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saat saling pengertian yang
mendalam (dalam Cangara, 2006:19). Jadi, dengan demikian komunikasi itu adalah
persamaan pendapat dan untuk kepentingan itu maka orang harus mempengaruhi orang lain
dahulu sebelum orang lain itu berpendapat, bersikap dan bertingkah laku yang sama dengan
kita.
Komunikasi merupakan penyampaian informasi dan pengertian dari seseorang kepada
orang lain. Komunikasi akan berhasil jika adanya pengertian serta kedua belah pihak saling
memahaminya. Dimana dapat disimpulkan bahwa komunikasi sangat penting sama halnya
dengan bernafas. Tanpa komunikasi tidak ada hubungan dan kesepian dalam menjalani
aktivitas. Kualitas komunikasi menetukan keharmonisan hubungan dengan sesama individu.
Adapun bentuk dari komunikasi yaitu:
1. Komunikasi Personal (personal communication)
Terdiri dari komunikasi intra personal (intrapersonal communivcation) dan komunikasi antar personal (interpersonal communication).
2. Komunikasi Kelompok
1. Komunikasi kelompok kecil (small group communication) terdiri dari ceramah, forum, diskusi dan seminar.
2. Komunikasi kelompok besar (large group communication) terdiri dari kampanye.
3. Komunikasi Organisasi (organization communication)
4. Komunikasi Massa (mass communication) (Effendy, 2004: 10).
Komunikasi menjadi salah satu hal terpenting dalam proses apapun, maka dalam
harmonisasi hubungan ini terbentuk dalam komunikasi antarpribadi dan komunikasi
kelompok. Hal ini membutuhkan proses di dalamnya, adapun proses komunikasi menurut
Onong terbagi atas dua tahap, yakni secara primer dan secara sekunder.
1. Proses Komunikasi Secara Primer
Adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang sebagai media. Lambang ini umumnya bahasa tetapi dalam situasi komunikasi tertentu lambang-lambang yang digunakan dapat berupa gerak tubuh, gambar, warna dan sebagainya.
Adalah proses penyampaian pesan oleh seorang kepada orang lain dengan
menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Proses ini termasuk sambungan dari proses primer untuk menembus dimensi ruang dan waktu, dalam prosesnya komunikasi sekunder ini akan semakin efektif dan efisien karena di dukung oleh teknologi komunikasi yang semakin canggih, yang di topang oleh teknologi-teknologi lainnya (Effendy, 2004:11).
Dalam keseluruhan komunikasi menjadi akan memberikan manfaat yang mendalam,
jika komunikasi berlangsung dengan baik mampu memberikan keuntungan dan mampu
mencapai tujuan yang baik, jika komunikasi menjadi efektif. Pentingnya komunikasi untuk
membina hubungan yang baik, bahwa kebutuhan utama manusia yang sehat secara rohaniah
adalah kebutuhan akan hubungan sosial yang ramah, yang hanya bisa terpenuhi dengan
membina hubungan yang baik dengan orang-orang lain. Abraham Maslow menyebutkan
bahwa satu diantara keempat kebutuhan utama manusia adalah kebutuhan sosial untuk
memperoleh rasa aman lewat rasa memiliki dan dimiliki, pergaulan, rasa diterima, memberi
dan menerima persahabatan (dalam Rakhmat, 2005:9).
II.1.1) Tujuan Komunikasi
Dalam berkomunikasi tidak hanya untuk memahami dan mengerti satu dengan yang
lainnya tetapi juga memiliki tujuan dalam berkomunikasi. Pada umumnya komunikasi
mempunyai tujuan, antara lain:
1. Untuk mengubah sikap (to change the attitude)
Memberikan berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan merubah sikapnya. Misalnya memberikan informasi tentang bahaya Narkoba pada masyarakat dan remaja pada khususnya dengan tujuan agar masyarakat dan remaja menjadi tahu bahaya dari Narkoba yang bisa berujung dengan kematian.
2. Untuk mengubah opini/pendapat/pandangan (to change the opinion)
3. Untuk merubah perilaku (to change the behavior)
Memberi berbagai informasi pada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat akan merubah perilakunya. Misalnya informasi yang dilakukan oleh pihak Kepolisian kepada masyarakat pengguna sepeda motor agar selalu menggunakan helm selama berkendara untuk keselamatan pengguna itu sendiri.
4. Untuk mengubah masyarakat (to change the society)
Memberikan berbagai informasi kepada masyarakat, yang pada akhirnya bertujuan agar masyarakat mau mendukung dan ikut serta terhadap tujuan informasi yang disampaikan (Effendy 2003:55).
II.1.2) Fungsi Komunikasi
Proses komunikasi tidak terlepas dari bentuk dan fungsi komunikasi, dimana
komunikasi yang baik, tidak jauh dari fungsi yang mendukung keefektifan komunikasi.
Adapun fungsi komunikasi itu sendiri adalah sebagai berikut:
1. Menginformasikan (to inform)
Kegiatan komunikasi itu memberikan penjelasan, penerangan, mengenai bentuk informasi yang disajikan dari seorang komunikator kepada komunikan. Informasi yang akurat diperlukan oleh beberapa bagian masyarakat untuk bahan dalam pembuatan keputusan.
2. Mendidik (to educate)
Penyebaran informasi tersebut sifatnya memberi pendidikan atau penganjuran suatu pengetahuan, menyebarluaskan kreativitas untuk membuka wawasan dan kesempatan untuk memperoleh pendidikan secara luas, baik untuk pendidikan formal di sekolah maupun di luar sekolah.
3. Menghibur (to entertaint)
Penyebaran informasi yang disajikan kepada komunikan untuk memberikan hiburan. Menyampaikan informasi dalam lagu, lirik dan bunyi, maupun gambar dan bahasa membawa setiap orang pada situasi menikmati hiburan.
4. Mempengaruhi (to influence)
Komunikasi sebagai sarana untuk mempengaruhi khalayak untuk sumber
II.1.3) Unsur-Unsur Komunikasi
Dari pengertian komunikasi yang telah dikemukakan, maka jelas bahwa komunikasi
antar manusia hanya bisa terjadi, jika ada seseorang yang menyampaikan pesan kepada orang
lain dengan tujuan tertentu, artinya komunikasi hanya bisa terjadi kalau didukung oleh
adanya unsur-unsur komunikasi. Unsur-unsur ini juga bisa disebut komponen atau elemen
komunikasi. Untuk itu, kita perlu mengetahui unsur-unsur komunikasi. Menurut Wilbur
Schramm komunikasi selalu menghendaki adanya paling sedikit tiga unsur yaitu:
1. Sumber (Source)
Sumber dapat merupakan perorangan (seseorang yang sedang berbicara, menulis, menggambar, melakukan suatu gerak-gerik) atau sebuah organisasi komunikasi (seperti surat kabar, biro publikasi, studio televisi, studio radio, studio film, dan sebagainya).
2. Pesan (Message)
Pesan atau message dapat berwujud tinta di atas kertas, gelombang radio di udara, daya tekan dalam aliran listrik, lambaian tangan, kibaran bendera, atau tanda-tanda lain yang bila ditafsirkan mempunyai arti tertentu.
3. Sasaran (Destination)
Sasaran dapat merupakan seorang yang sedang mendengarkan, memperhatikan, atau membaca, bisa juga berupa para anggota kelompok diskusi, hadirin yang sedang mendengarkan ceramah, penonton sepakbola, anggota gerombolan (mob), atau anggota kelompok khusus yang kita sebut massa (mass audience) seperti pembaca surat kabar atau penonton televisi (dalam Effendy, 2003: 39).
II.2. Komunikasi Antarpribadi
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu proses sosial dimana orang-orang yang
terlibat di dalamnya saling mempengaruhi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh De Vito
(dalam Liliweri, 1997:12) bahwa, komunikasi antarpribadi merupakan pengiriman
pesan-pesan dari seseorang dan diterima oleh orang lain atau sekelompok orang dengan efek dan
umpan balik yang langsung.
Hubungan antarpribadi yang berkelanjutan dan terus menerus akan memberikan
dalam berargumentasi melainkan tentang pengertian dan penerimaan (Beebe, 2008:3-5).
Komunikasi antarpribadi merupakan suatu interaksi antar manusia, dimana awal mula
membangun sebuah hubungan. Komunikasi antarpribadi mempengaruhi hubungan, jika
hubungan dan komunikasi terjalin baik, maka akan terjalin jalinan yang panjang, dimana
saling menghargai dan memberikan perhatian lebih satu dengan yang lain. Dalam komunikasi
antarpribadi tidak hanya tertuju pada pengertian melainkan ada fungsi yang dari komunikasi
antarpribadi itu sendiri. Fungsi komunikasi adalah berusaha meningkatkan hubungan insani,
menghindari dan mengatasi konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi
pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 2006:56). Komunikasi
antarpribadi dapat meningkatkan hubungan kemanusiaan antara pihak-pihak yang
berkomunikasi. Komunikasi antarpribadi memungkinkan kita bisa memperoleh sahabat
dalam kehidupan, membina hubungan yang baik, membentuk konsep diri, hingga mampu
menghindari dan mengatasi terjadinya konflik dengan sahabat, tetangga maupun masyarakat.
Dikatakan demikian karena, konsep diri merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
dalam proses komunikasi antarpribadi, karena setiap orang akan bertingkah laku sesuai
dengan konsep dirinya. Artinya bahwa bila konsep diri seseorang positif, maka individu akan
cenderung mengembangkan sikap-sikap postitif mengenai dirinya sendiri, seperti rasa
percaya diri yang baik serta kemampuan untuk melihat dan menilai diri sendiri secara positif.
II.2.1) Karakteristik Komunikasi Antarpribadi
Barnlund mengemukakan pendapatnya mengenai karakteristik komunikasi antarpribadi yang kemudian dikutip oleh Liliweri, yaitu:
a) Komunikasi antarpribadi terjadi secara spontan b) Tidak memiliki struktur yang teratur atau diatur c) Terjadi secara kebetulan
f) Bisa terjadi hanya sambil lalu (dalam Liliweri, 1997:14)
Menurut Liliweri, komunikasi antarpribadi mempunyai karakteristik sebagai berikut: 1. Spontan dan terjadi sambil lalu saja (umumnya tatap muka)
2. Tidak mempunyai tujuan terlebih dahulu
3. Terjadi secara kebetulan diantara peserta yang tidak mempunyai identitas yang belum tentu jelas
4. Berakibat sesuatu yang disengaja maupun tidak disengaja 5. Kerapkali berbalas-balasan
6. Mempersyaratkan adanya hubungan paling sedikit dua orang, serta hubungan harus bebas, bervariasi, adanya keterpengaruhan
7. Harus membuahkan hasil
8. Menggunakan berbagai lambang-lambang bermakna (Liliweri, 1997:14)
Menurut De Vito, komunikasi dapat menjadi efektif maupun sebaliknya, karena apabila
terjadi suatu permasalahan dalam hubungan, diantaranya hubungan persahabatan, maka
komunikasi antarpribadi menjadi tidak efektif. Berikut ini terdapat 3 sudut pandang yang
membahas tentang karakteristik komunikasi antarpribadi yang efektif yakni:
1. Sudut Pandang Humanistik
Sudut pandang yang menekankan pada keterbukaan, empati, sikap mendukung, sikap positif, dan kesetaraan yang menciptakan interaksi yang bermakna, jujur dan memuaskan. Beberapa hal yang ditekankan dalam sudut pandang yang memiliki penjabaran yang luas, diantaranya:
a. Keterbukaan, yang memiliki pengertian bahwa dalam komunikasi antarpribadi
yang efektif harus terbuka kepada orang yang diajak berinteraksi, kesediaan untuk membuka diri, kesediaan untuk mengakui perasaan dan pikiran yang anda miliki dan mempertanggungjawabkannya.
b. Empati, kemampuan seseorang untuk “mengetahui” apa yang sedang dialami orang
lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang atau “kacamata” orang lain tersebut, dimana seseorang juga mampu untuk memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa depannya.
c. Sikap mendukung, dalam hal ini merupakan pelengkap dari pada kedua hal
sebelumnya, karena komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana tidak mendukung.
d. Sikap positif, komunikasi antarpribadi akan terbina apabila orang memiliki sikap
akan merefleksikan perasaan positif kepada lawan bicaranya, kemudian sikap positif juga dapat diwujudkan dengan memberikan suatu sikap dorongan dengan menunjukkan sikap menghargai keberadaan, pendapat dan pentingnya orang lain, dimana perilaku ini sangat bertentangan dengan sikap acuh.
e. Kesetaraan, memiliki pengertian bahwa kita menerima pihak lain atau mengakui
dan menyadari bahwa kedua belah pihak sama-sama bernilai dan berharga. Karena pada kesetaraan, suatu konflik akan lebih dapat dilihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada dari pada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain.
2. Sudut Pandang Pragmatis
Sudut pandang yang menekankan pada manajemen dan kesegaran interaksi dan secara umum, kualitas-kualitas yang menentukan pencapaian tujuan spesifik. Beberapa hal yang ditekankan dalam sudut pandang ini adalah sebagai berikut:
a. Kepercayaan diri, komunikator yang efektif memiliki kepercayaan diri, dimana
hal itu dapat dilihat pada kemampuan untuk menghadirkan suasana nyaman pada saat berinteraksi diantaranya kepada orang-orang yang merasa gelisah, pemalu atau kuatir dan membuat merasa lebih nyaman.
b. Kebersatuan, mengacu pada penggabungan antara pembicara pendengar, dimana
terciptanya rasa kebersamaan dan kesatuan yang mengisyaratkan minat dan perhatian untuk mau mendengarkan.
c. Manajemen interaksi, dalam melakukan komunikasi dapat mengandalkan
interaksi untuk kepuasan kedua belah pihak, hingga tidak seorang pun merasa diabaikan atau merasa menjadi tokoh yang paling penting. Beberapa cara yang tepat untuk melakukannya adalah dengan menjaga peran sebagai pembicara dan pendengar melalui gerakan mata, ekspresi vokal, gerakan tubuh dan wajah yang sesuai dan juga dengan saling memberikan kesempatan untuk berbicara merupakan wujud dari manajemen interaksi.
d. Daya ekspresi, mengacu pada kemampuan untuk mengkomunikasikan apa yang
ingin disampaikan dengan aktif, bukan dengan menarik diri atau dengan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.
e. Orientasi kepada orang lain, dalam hal ini dimaksudkan untuk lebih
menyesuaikan diri pada lawan bicara dan mengkomunikasikan perhatian dan minat terhadap apa yang dikatakan oleh lawan bicara.
f. Sudut pandang pergaulan sosial, sudut pandang yang berdasarkan model
ekonomi imbalan dan biaya. Suatu hubungan diasumsikan sebagai suatu kemitraan dimana imbalan dan biaya saling dipertukarkan.
3. Sudut Pandang Pergaulan Sosial
Ketiga sudut pandang tersebut tidak terpisah satu dengan yang lain melainkan saling
melengkapi, karena setiap sudut pandang tersebut membantu kita untuk dapat memahami
komunikasi sebagai solusi yang efektif untuk mengatasai masalah dalam suatu hubungan.
Menurut Rakhmat komunikasi efektif ditandai dengan hubungan antarpribadi yang baik
(2005:129). Faktor-faktor yang menumbuhkan hubungan antarpribadi, yaitu:
1. Percaya (Trust)
Faktor percaya merupakan faktor yang terpenting diantara berbagai faktor yang
mempengaruhi komunikasi antarpribadi. Menurut Griffin, percaya didefenisikan sebagai
mengandalkan perilaku orang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki, yang pencapaiannya
tidak pasti dan dalam situasi yang penuh resiko (dalam Rakhmat, 2005:130). Adapun unsur
percaya, yaitu:
a. Ada situasi yang menimbulkan resiko. Bila orang menaruh kepercayaan kepada seseorang, ia akan menghadapi resiko. Resiko itu dapat berupa kerugian yang anda alami. Bila tidak ada resiko, percaya tidak diperlukan.
b. Orang yang menaruh kepercayaan kepada orang lain berarti menyadari bahwa akibat-akibatnya bergantung pada perilaku orang lain.
c. Orang yang yakin bahwa perilaku orang lain akan berakibat baik baginya.
Sejauh mana kita percaya kepada orang lain dipengaruhi oleh faktor-faktor personal dan situasional. Disamping faktor-faktor personal, ada tiga faktor yang berhubungan dengan sikap percaya, yaitu:
a. Karakteristik dan maksud orang lain b. Hubungan kekuasaan
c. Sifat dan kualitas komunikasi
Bila komunikasi bersifat terbuka, maksud dan tujuan sudah jelas, maka akan timbul
sikap saling percaya. Sikap percaya berkembang apabila setiap komunikan menganggap
komunikan lainnya bersikap jujur. Tentu saja sikap ini dibentuk berdasarkan pengalaman kita
dengan komunikan. Selain pengalaman ada tiga faktor utama yang dapat menumbuhkan sikap
percaya atau mengembangkan komunikasi yang didasarkan pada sikap saling percaya, yaitu
2. Sikap Suportif
Sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Orang
dikatakan defensif bila tidak menerima, tidak jujur, dan tidak empatis. Sudah jelas, sikap
defensif komunikasi antarpribadi akan gagal, karena orang defensif akan lebih banyak
melindungi diri dari ancaman yang ditanggapinya dalam situasi komunikasi dari pada
memahami pesan orang lain. Komunikasi defensif dapat terjadi karena faktor-faktor personal
yaitu ketakutan, kecemasan, harga diri yang rendah, pengalaman defensif atau faktor-faktor
situasional dan sebagainya.
3. Sikap Terbuka
Sikap terbuka sangat berpengaruh dalam menumbuhkan komunikasi antarpribadi yang
efektif. Brooks dan Emmert (dalam Rakhmat, 2005:136) memberi karakteristik orang yang
bersifat terbuka yaitu:
a. Menilai pesan secara objektif dengan menggunakan data dan logika b. Membedakan dengan mudah, melihat suasana dan sebagainya c. Berorientasi pada isi
d. Mencari informasi dari berbagai sumber
e. Lebih bersifat profesional dan bersedia mengubah kepercayaannya
f. Mencari pengertian pesan yang tidak sesuai dengan rangkaian kepercayaan
Agar komunikasi antarpribadi yang kita lakukan melahirkan hubungan antarpribadi
yang efektif, maka diperlukan juga sikap terbuka. Bersama-sama dengan sikap percaya dan
suportif, sikap terbuka mendorong timbulnya saling pengertian, saling menghargai diri dan