PERMASALAHAN PENGELOLAAN RUANG LAUT DAN SUMBERDAYA KELAUTAN INDONESIA
ALKI, WUP)
3.3.1. Sejumlah permasalahan muncul dalam pengelolaan data dan informasi sumberdaya
perikanan tangkap.
3.3.1.1. Tidak akuratnya data dan informasi yang dicatatkan dalam database hasil tangkapan
ikan.
Hal ini mengakibatkan tidak tepatnya data tangkapan ikan yang menjadi dasar pengambilan kebijakan. Hal ini disebabkan antara lain oleh (1) adanya hasil pencatatan yang berbeda-beda seperti di tempat pelelangan ikan, pelabuhan pendaratan, dan satker pengawasan; (2) logbook kapal tidak diisi atau diisikan bukan oleh pengurus kapal; (3) pendaratan ikan pada tangkahan (pelabuhan perseorangan/swasta) yang pencatatannya sulit dimonitor; (4) ketiadaan sistem pencatatan realtime karena pencatatan dilakukan secara manual; (5) informasi terkait data jenis tangkapan ikan yang disampaikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. (Lampiran 22: jumlah tangkahan dan sebaran tangkahan di Kota
Tanjung Pinang).
3.3.1.2. Tidak ada kepastian akan akurasi data dan informasi terkait potensi sumberdaya
perikanan.
Hal ini menyebabkan tidak tepatnya data potensi tangkapan maksimum (Maximum Sustainable Yield-MSY) yang menjadi dasar alokasi/kuota tangkapan. Hal ini disebabkan antara lain oleh keterbatasan pemetaan potensi sumberdaya perikanan dan ketiadaan sistem informasi potensi perikanan yang melibatkan pemerintah daerah. (Lampiran 23: Mekanisme Pengelolaan SDI).
3.3.1.3. Tidak akuratnya data dan informasi berkaitan dengan asal penangkapan ikan.
Hal ini disebabkan antara lain (1) belum optimalnya sistem monitoring pergerakan kapal ikan secara realtime; (2) tidak akuratnya posisi kapal sesuai dengan informasi yang bersumber dari VMS (Vessel Monitoring System) karena VMS dipasang pada tempat yang lain; (3) posisi kapal tidak dapat terdeteksi karena VMS tidak dipasang; (4) tidak adanya sistem data dan informasi yang melakukan cek silang (crosscheck) antara lokasi izin penangkapan dengan lokasi penangkapan secara nyata sesuai
Direktorat Penelitian dan Pengembangan 36 dengan posisi VMS serta dengan posisi penangkapan sesuai dengan pelaporan dan hasil pengisian logbook.
3.3.1.4. Tidak optimalnya sistem perizinan yang ada saat ini dalam menjamin keberlanjutan
sumberdaya perikanan dan daya dukung lingkungan.
Hal ini disebabkan antara lain: (1) Tidak semua data SIPI/SIKPI/SIUP/Surat Tanda Kapal Nelayan Kecil yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah tercatat di Pemerintah Pusat, sementara data-data tersebut sangat dibutuhkan untuk memetakan kondisi eksploitasi sumberdaya perikanan; (2) Tidak ada sistem data yang dapat melakukan pengecekan silang (crosscheck) antara data izin penangkapan dan izin budidaya dengan kondisi daya dukung lingkungan dalam satu wilayah/lokasi penangkapan/budidaya sebagai bagian dari mekanisme pengambilan keputusan alokasi pemberian izin; (3) Tidak adanya mekanisme kontrol (pengendalian) terhadap pemberian izin di bidang perikanan oleh pemerintah daerah dalam rangka pembatasan tangkapan sesuai dengan tangkapan maksimum berkelanjutan (MSY) dan daya dukung lingkungan; (4) Tidak dijadikannya siklus kehidupan ikan/biota laut (fish life cycle) sebagai dasar pemberian masa izin operasi untuk kapal adan alat tangkap tertentu.
3.3.1.5. Belum terdapat sistem data dan informasi yang terintegrasi terkait dengan perizinan
di sektor sumberdaya alam, khususnya untuk aktivitas yang menggunakan ruang pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Hingga saat ini, setidaknya terdapat lebih dari sepuluh jenis perizinan yang berkenaan dengan penggunaan ruang laut. Database dan sistem informasi data perizinan yang dikembangkan oleh masing-masing instansi belum terintegrasi satu sama lain, padahal dalam prakteknya bisa jadi suatu izin yang dikeluarkan oleh satu instansi tertentu menjadi syarat untuk pengurusan izin oleh instansi lainnya. Sebagai contoh, gross akta pendaftaran kapal yang memuat informasi tentang identitas pemilik kapal, panjang, lebar, dalam, isi kotor, isi bersih, tanda selar, merek mesin, dan lokasi pembuatan kapal yang diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan menjadi syarat untuk pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI yang diterbitkan oleh KKP. Demikian pula untuk akta perusahaan yang dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan HAM, dan NPWP yang diterbitkan oleh Dirjen Pajak Kementerian Keuangan juga menjadi syarat pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Izin Lingkungan yang mencakup AMDAL yang diterbitkan oleh Kementerian LH dan Kehutanan menjadi dasar pemberian Izin Pemanfaatan wilayah pesisir oleh Kementerian KKP, dan sebaliknya Izin Lokasi yang diterbitkan oleh Kementerian KKP menjadi dasar kegiatan AMDAL oleh Kementerian LH dan Kehutanan. Ketiadaan sistem data yang terintegrasi sangat berpotensi untuk disalahgunakan seperti penggantian isi dokumen, pemalsuan, penggunaan untuk kepentingan lain, memperlama proses pengurusan, serta kesalahan input data. Ketiadaan sistem juga menjadi celah terjadinya proses transaksional yang mengarah pada tindak pidana korupsi dalam pelayanan perizinan atau tindak pidana lainnya.
(Lampiran 24: Jenis Izin/dokumen dalam pengurusan SIPI/SIKPI/SIUP; sumber dokumen; dan contoh copy dokumen).
3.3.2. Ketatalaksanaan Perizinan SIUP/SIPI/SIKPI Perikanan Tangkap. 3.3.2.1. Permasalahan terkait Integritas layanan publik.
Hasil survey integritas sektor publik tahun 2014 yang diadakan oleh KPK, khususnya layanan publik pada pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP, menunjukkan masih adanya kelemahan dalam berbagai hal. Hasil survei yang mendasarkan pada pengalaman yang dirasakan oleh pihak pelaku usaha yang diwakili oleh pengurus izin, menunjukkan bahwa pelayanan perizinan belum optimal terutama terkait dengan kepraktisan SOP, keterbukaan informasi, tingkat upaya antikorupsi dan mekanisme pengaduan masyarakat. (Lampiran 25: Tabel
Direktorat Penelitian dan Pengembangan 37
ringkasan hasil survey integritas sektor publik pada pelayanan pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI tahun 2014)
3.3.2.2. Hasil observasi yang dilakukan oleh tim pemantau layanan publik KPK tahun 2014,
menunjukkan sejumlah persoalan dalam pelayanan pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Permasalahan tersebut antara lain mencakup praktek gratifikasi yang terpaksa dilakukan oleh pengguna layanan agar pengurusan layanan cepat selesai, gratifikasi dilakukan setelah proses pengurusan selesai dengan alasan sebagai ucapan terima kasih, ada pertemuan di luar prosedur dengan tujuan pemberian gratifikasi, dan pertemuan di luar prosedur dilakukan masih dilingkungan KKP. (Lampiran 26: Daftar
permasalahan pengurusan perizinan SIUP/SIPI/SIKPI berdasarkan hasil observasi layanan publik KPK tahun 2014)
3.3.2.3. Terdapat indikasi tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya dalam proses
pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI.
Data dan informasi yang dihimpun oleh KPK melalui mekanisme pengaduan masyarakat, menunjukkan pelaporan adanya berbagai bentuk praktek tindak pidana seperti suap menyuap, pemerasan, perbuatan melawan hukum dan atau penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian negara dalam proses pengurusan SIUP/SIPI/SIKPI. Secara umum, jumlah pengaduan yang masuk ke KPK terkait dengan kelautan dan perikanan tahun 2010 sampai November 2014 mencapai 131 jenis pengaduan, dengan indikasi TPK sebanyak 95 pengaduan. Pengaduan tersebut dilanjutkan ke internal KPK (Pencegahan dan Penindakan), serta ke eksternal seperti kejaksaan dan kepolisian. (Lampiran 27: Statistik pengaduan
masyarakat terkait kelautan dan perikanan tahun 2010 sampai dengan 2014). 3.3.2.4. Terdapat perusahaan Kapal Ikan Asing yang memperoleh SIUP/SIPI/SIKPI, tercatat
bukan sebagai perusahaan penangkapan ikan atau pengangkutan ikan.
Hasil penelusuran dan crosscheck database akta pendirian perusahaan yang ada pada Kementerian Hukum dan HAM, sejumlah perusahaan tercatat bergerak dibidang non perikanan seperti pertanian, agrobisnis, pengangkutan darat, pertambangan batubara, percetakan, dan sebagainya. Bahkan terdapat perusahaan yang tidak tercatat dalam database perusahaan pada Ditjen AHU Kementerian Hukum dan HAM. (Lampiran 28: daftar status perusahaan Kapal Ikan eks Asing
berdasarkan hasil penelusuran database perusahaan pada Kemkumham).
3.3.2.5. Terdapat perusahaan yang mengoperasikan eks kapal ikan asing yang memperoleh
SIUP/SIPI/SIKPI, namun tidak memiliki NPWP atau NPWP tidak tercatat/tidak teridentifikasi. Hasil penelusuran terhadap dokumen NPWP kapal ikan eks asing menunjukkan sebanyak 53 perusahaan/pemilik kapal (28,3%) yang tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 187 perusahaan/pemilik kapal eks asing yang di telusuri. (Lampiran 29: daftar status perusahaan yang mengoperasikan
Kapal Ikan eks Asing berdasrkan hasil penelusuran database NPWP perusahaan pada Kemkeu).
3.3.2.6. Terdapat perusahaan yang mengoperasikan kapal ikan > 30 GT yang memperoleh
SIUP/SIPI/SIKPI, namun tidak memiliki NPWP atau NPWP tidak tercatat/tidak teridentifikasi. Hasil penelusuran terhadap dokumen NPWP kapal ikan > 30 GT menunjukkan sebanyak 1444 perusahaan/pemilik kapal (70,9%) yang tidak memiliki/tidak teridentifikasi NPWPnya dari 2036 perusahaan/pemilik kapal yang di telusuri. (Lampiran 30 : daftar status perusahaan yang mengoperasikan Kapal ikan
> 30 GT berdasarkan hasil penelusuran database NPWP perusahaan pada Ditjen Pajak, Kemkeu).
Direktorat Penelitian dan Pengembangan 38