• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1. Landasan Teori

2.1.4. Eksistensi Perempuan Dalam Iklan

2.1.4.1. Seksisme Perempuan

Menurut Drs. Wawan Kuswandi dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Massa, Analisis Interaktif Budaya Massa, menjelaskan bahwa iklan sudah merajalela di media massa. Tampilan ilustrasi dan gambar iklan baik TV maupun media cetak, sebagian besar memuat perempuan sebagai objeknya. Akibatnya, muncul istilah seksisme perempuan dalam iklan. Istilah ini dikumandangkan akhir tahun 1960-an oleh para pembela hak perempuan.

Seksisme dalam konteks ini adalah penampilan, tingkah laku dan tindakan lainnya yang mengekspresikan penilaian bahwa citra perempuan lebih kurang, lebih lemah, dan lebih rendah (inferior) daripada laki-laki.

Seksisme dalam iklan bisa berbentuk berbagai wujud ragam ekspresi yang mengabaikan, menyingkirkan (eksekusi), bahkan memusuhi dan memerangi perempuan (2008:67).

NOW ( National Organization For Woman) di Amerika Serikat ini telah melakukan riset terhadap iklan yang menampilkan perempuan dan hasilnya adalah :

1. Perempuan sebagai obyek seks.

2. Perempuan ditampilkan sebagai sosok yang kurang rasional.

3. Perempuan ditampilkan sebagai Ibu Rumah Tangga yang ketinggalan zaman (Kuswandi, 2008: 68).

Menurut Alldi Vanjatesh dalam bukunya Changing Roles Of Woman, perempuan dapat dikelompokkan berdasarkan pola perilaku dan sikap, diantaranya ialah :

A. Tradisionalists, yaitu kaum perempuan yang berpegang pada konsep tradisional. Perempuan adalah Sub-Ordinate dari kelompok pria dan berperan sebagai ibu rumah tangga (Wives Not Employed). Perempuan tipe ini adalah seorang perempuan yang penurut dan menghargai peran pria sebagai kepala rumah tangga.

B. Moderates, yaitu perempuan yang mulai mengalami masa transisi (perubahan) konsep peran. Disini perempuan berperan sebagai Partner (rekan pria), tetapi juga mampu berperan ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan bekerja untuk membantu mencukupi kebutuhan rumah tangga. Sifat perempuan ini selalu terbuka dan kompromi.

C. Feminists, yaitu perempuan modern yang mandiri yang beranggapan bahwa perempuan dapat berperan sejajar bahkan lebih baik dari pria (Kuswandi, 2008: 68).

Penggelompokkan perempuan berdasarkan pola perilaku dan sikap, memang tidak pernah ada kesamaan pendapat tentang penilaian keberadaan perempuan sebagai obyek iklan TV. Masing-masing kelompok mempunyai penilaian dan argumentasi sendiri. Namun, di kelompok mana pun perempuan itu berada, tetap saja perempuan selalu berperan sebagai pengguna (user) serta pembeli (buyers) yang mempunyai posisi vital dalam menentukan pola konsumsi kebutuhan hidup sehari-hari, khususnya kebutuhan rumah tangga (Kuswandi, 2008: 69).

2.1.5 Pencitraan Perempuan

Media, di satu pihak, telah berhasil menyebarkan ke seluruh tubuh sosial nilai pembebasan dan kesetaraan sehingga lebih banyak orang menyadari akan haknya; di lain pihak, media juga gencar menyebarkan dan menawarkan nilai hedonis. Maka, tidak mengherankan bahwa harapan yang diletakkan pada media untuk menjadi pelopor budaya yang berkualitas, akhirnya jatuh dalam hal pemberitaan hal yang remeh, gosip selebritis, dan kriminalitas. Bahkan berbagai bentuk iklan semakin memacu konsumsi. Dan sudah menjadi rahasia umum, bila keprihatinan utama media adalah keuntungan, yang

tentu saja perlu dihiasi dengan pernik-pernik idealisme kemanusiaan. Keuntungan hanya mungkin kalau punya pengaruh. Maka, mempengaruhi dan membentuk citra bergeser menjadi obsesi media. Pencitraan mendiskualifikasikan kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperrealitas (J. Baudrillad, 1981:17).

Dalam konteks penelitian iklan permen sukoka ini, pencitraannya lebih berorientasi pada simbol kehidupan yang sengaja dibangun oleh pengiklannya. Alasannya karena pencitraan tersebut merupakan suatu gambaran yang sengaja dibangun oleh pihak para pengiklan dan media untuk mempengaruhi cara manusia mengorganisasikan citranya tentang lingkungan dan dari pencitraan inilah yang mempengaruhi cara manusia berperilaku. Oleh sebab itu, tidak heran bila langkah strategi pesan dari pengiklan disebut dengan strategi citra merek atau brand image. Dalam strategi citra merek terdapat bentuk strategi yaitu strategi differensiasi. Maksudnya adalah sampai di mana produk atau brand tersebut mampu membangun image khusus, unik, atau berbeda pada masyarakat tontonan (http://google.co.id//logika-waktupendek-media//).

Selain itu, menurut Tamrin Amal Tomagola Ph.D, M.A., sosiolog Universitas Indonesia, mengatakan bahwa eksploitasi perempuan dalam iklan harus terus dipersoalkan, karena telah melanggengkan kemapanan dari subsistem dan struktural yang

sebenarnya tidak memberikan tempat setara, dan tidak adil antara perempuan dan laki-laki serta menutup kemungkinan memunculkan potensi-potensi dari perempuan (Kuswandi, 2008:69).

Untuk memperkuat argumentasinya, sosiolog ini membuktikan lewat hasil penelitiannya, tentang perempuan. Dalam penelitian itu terungkap ada lima citra yang melekat dari seorang perempuan dalam setiap obyek iklan, yaitu:

1. Citra Pigura: Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai makhluk yang halus dan memikat. Untuk itu ia harus menonjolkan ciri biologis, seperti buah dada, pinggul maupun ciri keperempuanan yang dibentuk budaya, seperti rambut panjang, betis ramping dan mulus.

2. Citra Pilar: Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai pilar pengurus rumah tangga. Pengertian budaya yang dikandungnya adalah bahwa lelaki dan perempuan itu sederajat, tetapi kodratnya berbeda. Sehingga wilayah kegiatan dan tanggung jawabnya adalah di dalam rumah tangga. Sebagai pengurus rumah tangga, perempuan berkewajiban atas keindahan fisik rumah, suami, pengelolaan sumber daya rumah tangga (financial maupun SDM termasuk di dalamnya ialah anak-anak).

3. Citra Peraduan: Dalam citra ini, perempuan diasumsikan sebagai obyek pemuasan nafsu laki-laki, khususnya pemuasan

seksual. Seluruh kecantikkan (alamiah dan buatan) perempuan disediakan untuk dikonsumsi laki-laki melalui kegiatan menyentuh, memandang dan mencium. Iklan jenis ini, ingin memberi kesan bahwa perempuan merasa dirinya presentable, acceptable, dihargai, dan dibutuhkan laki-laki. Dalam jenis iklan permen sukoka ini menggunakan asosiasi untuk membangun persamaan pandangan tentang perlunya sentuhan dan rabaan laki-laki dengan jenis produk yang ditawarkan dalam iklan. Sehingga akan memunculkan sebuah penganalogian rasa susu yang terdapat dalam kandungan permen tersebut dengan rasa sentuhan payudara wanita ketika sedang mengendarai sepeda motor, ia secara otomatis teringat pada sentuhan rasa yang dikandung dalam permen sukoka dengan payudara wanita, dan sebaliknya pada saat ada sentuhan payudara dari pasangannya, ia akan teringat pada Permen Sukoka.

4. Citra Pinggan: Dalam citra ini digambarkan bahwa setinggi apa pun pendidikan maupun penghasilan kerja perempuan kewajibannya adalah di dapur. Tetapi berkat kemajuan teknologi, kekuatan perempuan di dapur tidak berat lagi. Jadi pembagian kerja secara seksual antara perempuan dan pria, kini berubah secara drastis. Ciri menarik dari jenis iklan ini ialah dalam body copy, nyaris tidak ada suggestiveinformation, yang

ada adalah property produk tertentu. Justru yang diberikan sangat metodis, seolah-olah mengatakan bahwa dengan cara do it your self, kegiatan dapur tidak jauh berbeda dengan dunia pabrik. Dengan gaya ini, maka akan timbul ilusi psikologis bagi perempuan.

5. Citra Pergaulan : Dalam citra ini perempuan digambarkan sebagai makhluk yang dipenuhi dengan kekhawatiran tidak memikat, tidak menawan, tidak bisa dibawa ke tempat umum dan sebagainya. Iklan ini mengesankan bahwa perempuan sangat ingin diterima oleh lingkungan sosial tertentu. Untuk dapat diterima, perempuan harus memiliki penampilan fisik yang menarik seperti bentuk lekuk tubuh, aksentuasi tertentu dengan menggunakan kosmetik atau aksesori yang selaras, sehingga bisa tampil anggun. Ini artinya, kaum perempuan dianjurkan untuk membuat statement tentang kepribadiannya melalui hal-hal fisik seperti pakaian, perihasan sehari-hari (Kuswandi, 2008 : 69).

2.1.6 Pendekatan Semiotik dalam Iklan Televisi

Menurut John Fiske dalam introduction to communication studies, komunikasi merupakan aktivitas manusia yang lebih lama dikenal, namun hanya sedikit orang yang memahaminya. Dalam mempelajari komunikasi kita dapat membaginya dalam dua perspektif,

yaitu : segi proses, serta sisi produksi dan pertukaran makna (Fiske, 2006: 9). Berkaitan dengan penelitian ini, maka peneliti hanya akan menggunakan perspektif yang kedua yakni: sisi produksi dan pertukaran makna.

Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang disekitarnya, untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan peranan teks tersebut dalam budaya kita. Perspektif ini seringkali menimbulkan kegagalan berkomunikasi, karena ada pemahaman yang berbeda antara pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai adalah signifikansinya dan bukan kejelasan sebuah pesan yang disampaikan. Untuk itulah, pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks (iklan) dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik.

Menurut chandler pada tahun 2002 model linguistik seringkali mengarahkan unit analisis sebuah media audio visual pada analogi-analogi linguistik. Pada semiotik film (iklan), model ini mengeneralisasikan secara kasar bahwa dalil-dalil dalam film (iklan) sama dengan bahasa tulis, seperti : frame sebagai morfem atau kata, shot sebagai kalimat, scene sebagai paragraph, dan sequence sebagai bab. Bagi anggota dari Glasgow University Media Group, unit analisis sebuah film (iklan) adalah shot yang dibatasi oleh cuts dan camera

kemungkinan digunakan shot sebagai analisis adalah sangat kecil, karena tingkat kesulitan yang tinggi. Akhirnya, untuk menghindari pertentangan term linguistik tersebut, Algidras Greimas menggunakan

term “seme” yang merupakan unit bermakna dari sebuah tanda

(www.aber.ac.uk).

Artinya, dalam menerapkan pendekatan semiotik pada iklan televisi, kita harus memperhatikan aspek medium televisi yang berfungsi sebagai tanda. Dari sudut pandang inilah, pengambilan kamera untuk selanjutnya disebut Shot dan kerja kamera (camera work) saja. Hal ini karena, dengan cara ini peneliti bisa memahami shot apa saja yang muncul dan bagaimana maknanya. Misalnya, Close-Up (CU) Shot yaitu, pengambilan kamera dari leher ke atas atau menekankan bagian wajah. Makna dari (CU) shot adalah keintiman dan sebagainya. Selain shot, yang terdapat pada camera work atau kerja kamera, yaitu bagaimana gerak kamera terhadap objek, misalnya

Panning-Up atau Pan-Up yaitu gerak kamera mendongak pada poros

horizontal atau dengan kata lain kamera melihat ke atas dan ini bermakna adanya otoritas atau kekuasaan pada obyek yang diambil. (Berger, 1982: 37)

Sumarno menambahkan bahwa tidak hanya Shot dan Camera Work yang harus diperhatikan, tetapi suara juga harus diperhatikan. Karena, suara meliputi Sound Effect dan musik. Televisi sebagai media audio visual tidak hanya mengandung unsur visual, namun juga suara.

Sebab suara merupakan aspek kenyataan hidup. Seperti halnya, suara menghentak, lemah dan sebagainya memiliki makna yang berbeda-beda. Artinya, setiap suara mengekspresikan sesuatu yang unik. (Sumarno, 1996: 71).

Pembuatan iklan diasumsikan sama dengan pembuatan film cerita. Hal ini dikarenakan analisis semiotik yang dilakukan pada cinema atau film layar lebar menurut Fiske disetarakan dengan analisis film (iklan) yang ditayangkan di Televisi. Sehingga, analisis yang dilakukan pada iklan “ Permen Sukoka “ dibagi menjadi dua level, yaitu:

1. Level Realitas

Pada level ini, realitas dapat berupa penampilan, pakaian dan

make-up yang digunakan oleh pemain, lingkungan, perilaku,

ucapan, gesture, ekspresi, suara dan sebagainya yang dipahami sebagai kode budaya yang ditangkap secara elektronik melalui kode-kode teknis. Kode-kode sosial yang merupakan realitas yang akan diteliti dalam penelitian ini, dapat berupa:

1. Penampilan, kostum dan make-up yang digunakan oleh model diiklan “ Permen Sukoka ”. Dalam penelitian ini tokoh yang menjadi obyek penelitian adalah tokoh wanita perayu yang ada di dalam versi iklan tersebut. Bagaimana pakaian yang digunakan dan penampilan bahasa tubuh yang diperagakan, serta apakah kostum dan penampilan yang ditampilkan tersebut

memberikan signifikasi tertentu menurut kode sosial dan kultural.

2. Lingkungan atau Setting, yang ditampilkan dari cerita tokoh tersebut, bagaimana simbol-simbol yang ditonjolkan serta fungsi dan makna didalamnya.

3. Dialog, apa makna dari kalimat-kalimat yang diucapkan dalam dialog.

2. Level Representasi

Level representasi meliputi kerja kamera, pencahayaan, editing, musik dan suara yang ditransmisikan sebagai kode-kode representasi yang bersifat konvensional. Bentuk-bentuk representasi dapat berupa cerita, konflik, karakter, action, dialog,

setting, tagline, casting dan sebagainya

(http://G:/level_representasi_w.html). Level representasi meliputi: a. Teknik Camera

Ada tiga jenis Shot gambar yang paling dasar, yaitu :

1) Long Shot (LS), Shot gambar yang jika obyeknya

adalah manusia, maka dapat diukur antara lutut kaki hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari jenis shot ini dapat dikembangkan lagi, yaitu Extreme Long Shot (LES), mulai dari sedikit ruang dibawah kaki hingga ruang tertentu di atas kepala. Pengambilan gambar Long Shot ini menggambarkan dan memberikan informasi

kepada penonton mengenai penampilan tokoh (termasuk body language, ekspresi tubuh, gerak cara berjalan dan sebagainya dari ujung rambut sampai kaki) yang kemudian mengarah pada karakter serta situasi dan kondisi yang sedang terjadi pada adegan itu.

2) Medium Shot (MS), Shot gambar yang jika obyeknya

adalah manusia, maka dapat diukur sebatas dada hingga sedikit ruang diatas kepala. Dari Medium Shot dapat dikembangkan lagi menjadi Wide Medium Shot (WMS), gambar Medium Shot tetapi agak melebar kesamping kanan-kiri. Pengambilan gambar Medium Shot menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang ekspresi dan karakter, secara lebih dekat lagi dibandingkan Long Shot.

3) Close-Up (CU), Shot gambar yang jika obyeknya

adalah manusia, maka diukur dari bahu hingga sedikit ruang diatas kepala. Pengambilan gambar Close Up menggambarkan dan memberikan informasi kepada penonton tentang penguatan ekspresi dan dialog penting untuk lebih diperhatikan penonton.

4) Extreme Close-Up, menggambarkan secara details

ekspresi tubuh, contohnya : mata, bibir, tangan, dan sebagainya).

Sedangkan untuk teknik perpindahan kamera, antara lain: 1) Zoom, gerakan kamera yang secara cepat, baik

sesungguhnya maupun buatan, menuju suatu objek. Selain itu juga, diterapkan ketika menjauhi objek (Effendy, 2002 : 156). Biasanya, digunakan untuk memberi kejutan pada penonton, penekanan dialog dan atau tokoh, setting serta informasi tentang situasi dan kondisi.

2) Dollying, pergerakan kamera selama pengambilan

gambar dengan menggunkan kendaraan beroda yang mengakomodasikan kamera dan operator kamera (Effendy, 2002: 135). Kecepatan dollying ini mampu mempengaruhi perasaan penonton.

3) Follow Shot, pengambilan gambar dengan kamera

bergerak berputar untuk mengikuti pergerakkan pemeran dalam adegan (Effendy, 2002: 138).

4) Swish Pan, gerakan panning ketika kamera digerakkan

secara cepat dari sebuah sisi ke sisi lain, menyebabkan gambar di film menjadi kabur untuk memunculkan kesan gerakan mata secara cepat dari sisi ke sisi yang

lainnya. (Effendy, 2002: 152) untuk menciptakan kondisi psikis penonton terlibat dalam adegan.

5) Teknik Editing

Editing merupakan proses pemilihan potongan film yang telah dihasilkan dan digunakan sehingga membentuk urutan kesatuan cerita yang koheren. Beberapa teknik editing, antara lain :

1. Cut, transisi instant dari suatu gambar ke gambar lainnya. Menunjukkan bahwa tidak ada jeda waktu.

2. Cut Back, mengubah gambar dalam film secara

cepat dari adegan saat ini ke adegan lain yang telah dilihat sebelumnya. Pemotongan ini dilakukan tanpa ada transisi.

3. Cut To.., secara cepat mengubah gambar dalam

film dari adegan masa kini ke adegan lainnya, tanpa ada transisi (Effendy, 2002: 133).

4. Jump Cut, melakukan pemotongan dari suatu

pengambilan gambar ke gambar lainnya pada sebuah film tanpa ada penyesuaian (Effendy, 2002:140). Biasanya cut ini bertujuan membuat adegan dramatis.

b. Pencahayaan c. Penataan Suara d. Penataan Musik

Namun dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas lebih lanjut pada pencahayaan, penataan suara dan musik yang ada dalam level representasi, karena ketiganya dianggap tidak memiliki kaitan langsung terhadap pembahasan representasi pencitraan perempuan di iklan “ Permen Sukoka “.Penggunaan semiotika dalam iklan telah menjadi bagian penting dalam masyarakat modern. Analisis iklan dengan pendekatan semiotika dapat dilakukan mengingat iklan yang merupakan fenomena semiotika (advertisement semiotic activity). Masyarakat sekarang lebih berorientasi pada apa yang dilihatnya dan telah banyak menggunakan sistem tanda lain di luar sistem tanda verbal (Panut, 1992: 56).

2.1.7 Semiotika Charles S. Pierce

Teori dari Pierce menjadi Grand Theory dalam semiotika. Gagasan bersifat menyeluruh, deskripsi struktural dari semua sistem penandaan. Pierce ingin mengidentifikasikan partikel dasar dari tanda dan menggabungkan kembali semua komponen dalam struktur tunggal (Sobur, 2002: 97 - 98).

Pierce mendefinisikan semiotik sebagai suatu hubungan antara tanda, obyek dan makna (Littlejohn,1999: 60 – 61). Teori segitiga makna (triangle meaning) Pierce, terdiri atas:

a. Sign (tanda), yang mempresentasikan suatu obyek

(object). Bagi Pierce, tanda adalah segala sesuatu yang ada pada seseorang untuk menyatakan sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas tanda dapat “ berarti ” sesuatu bagi seseorang jika hubungan yang “ berarti “ ini diperantarai oleh interpretasi (Sudjiman, 1996: 43).

b. Object (objek), sesuatu yang diwakili oleh sign (Cobley, 1997: 22).

c. Interpretant (interpretasi), suatu konsep mental yang diproduksi baik oleh tanda maupun pengalaman, pengetahuan user atau penerima pesan (Fiske, 2000: 42). Menurut Pierce, salah satu bentuk tanda adalah kata. Sedangkan objek adalah sesuatu yang dirujuk tanda. Sementara, interpretant adalah tanda yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk oleh sebuah tanda. Apabila, ketiga elemen makna itu berinteraksi dalam benak seseorang, maka munculah makna tentang sesuatu yang diwakili oleh tanda tersebut. Pembahasan dari teori segitiga makna adalah persoalan tentang bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan segitiga makna Pierce lazimnya

ditampilkan sebagai tampak dalam gambar berikut ini : (Fiske, 1990: 42 dalam Sobur, 2002: 115).

SIGN

INTERPRETANT OBJECT Gambar 2.1 : Elemen Makna Model Pierce

Panah dua arah menekankan bahwa masing-masing istilah dapat dipahami hanya dalam relasinya dengan yang lain. Sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri-objek, dan ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya-interpretant (Fiske, 2006: 63).

Dengan kata lain, masing-masing elemen dapat dimaknai atau hanya dapat dipahami jika ketiganya saling berhubungan. Sign mengacu pada sesuatu diluar dirinya, yaitu Object yang dipahami oleh seseorang dan memiliki efek dalam pikiran pemakainya atau penerimanya yang disebut interpretant. Dalam hal ini interpretant bukanlah pemakai tanda tentang obyek yang dimaksud. Obyek dikategorikan menjadi tiga, yakni :

a. Ikon (Icon), ketika sign berhubungan dengan obyek atas dasar kemiripan atau keserupaan.

b. Simbol (Symbol), ketika sign berhubungan dengan obyek berdasarkan makna konvensional.

c. Indeks, ketika sign berhubungan sebab-akibat dengan obyek (Cobley, 1997: 33).

Gambar 2.2 Model Kategori Tanda Pierce

Seperti contoh, interpretasi kata “ cinta ” bagi seseorang merupakan hasil pengetahuan, pengalaman pemakai tanda tentang kata tersebut, dan tentang perasaan yang disebut disini “ cinta” sebagai obyek. Interpretasi tidak dapat ditentukan secara pasti seperti halnya terjemahan kamus, tetapi dapat bervariasi sesuai dengan batas-batas pengetahuan atau pengalaman dari pemakainya. Batas-batas tersebut terbentuk oleh konvensi sosial dan variasi terjadi karena perbedaan sosial psikologis masing-masing individu pengguna tanda tersebut (Fiske, 2000: 42).

Dokumen terkait