• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. SEKSUALITAS MENURUT YOHANES PAULUS II

A. Pengertian Seks dan Seksualitas pada Umumnya

2. Seksualitas

Seksualitas mempunyai makna lebih luas dari istilah seks. Seksualitas manusia menurut Tettamanzi yang dikutip Chang (2009: 58), menunjuk pada seluruh pribadi manusia dalam totalitasnya, dalam kesatuannya antara tubuh, jiwa, dan roh sebagai suatu kekayaan dalam diri manusia.

Para filsuf Yunani memandang bahwa tubuh, jiwa dan roh adalah satu kesatuan yang ada dalam manusia yang hidup. Tubuh adalah unsur lahiriah manusia yang dapat dilihat, disentuh, seperti alat kelamin, seluruh organ tubuh manusia, dan pertumbuhan serta perkembangannya. Jiwa adalah unsur batiniah manusia yang tidak dapat dilihat. Jiwa manusia meliputi unsur pikiran, emosi (perasaan) dan kehendak. Dengan pikiran, manusia dapat berpikir dan berfantasi. Dengan emosi (perasaan) manusia dapat mencintai atau mengasihi dan dengan kehendaknya, manusia dapat memilih dengan kebebasannya. Roh adalah sifat alamiah manusia yang ‘immaterial’ yang menghidupkan dan menggerakkan tubuh dan jiwa. Misalnya mata “sebagai anggota tubuh” melihat atau menangkap suatu obyek, lalu masuk ke dalam “jiwa” atau “batin” serta merta menimbulkan rasa

tertarik, cinta dan kehendak, kemudian “roh” menggerakkan unsur perasaan dan kehendak keluar melalui ekspresi tubuh yang disebut dengan sikap dan perilaku. Perilaku seksualitas manusia itu ada karena manusia memiliki unsur tubuh, jiwa dan roh ini. Ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang ada dalam diri manusia.

Seksualitas menunjuk pada seluruh pribadi manusia dalam totalitasnya, dalam kesatuan antara tubuh, jiwa, dan roh sebagai suatu kekayaan dalam diri manusia, oleh karena itu seksualitas meliputi aspek biologis, psikologis, sosio-kultural, dan spiritual. Seksualitas yang ditinjau dari perspektif biologis, bisa dikelompokkan menjadi seks kromosomik (genetik-penentuan jenis kelamin) yang akan berfungsi sebagai alat reproduksi, seks hormonal yaitu kelenjar tertentu yang mempengaruhi sifat sekunder seperti: perbedaan lebar dada, lebar pinggang, pertumbuhan rambut, buah dada, suara membesar, atau nyaring dan sebagainya, serta perilaku seks seperti persetubuhan, atau kegiatan-kegiatan yang terkait dengan tubuh yang menimbulkan perasaan libido (Chang, 2009: 58; bdk. Soebijanto, 1995: 10-11).

Seksualitas dari perspektif psikologis, tidak hanya dipandang sebagai suatu kebutuhan, melainkan juga keinginan, yang terlihat dalam pembicaraan dan perilaku manusia sehari-hari (Chang, 2009: 58-59). Kebutuhan dan keinginan tersebut mendorong manusia untuk berbuat (berperilaku) untuk menjawab atau memenuhi kebutuhan dan keinginan yang ada dalam diri manusia. Kebutuhan akan cinta dan persahabatan akan terlihat dalam pembicaraan dan perilaku membangun relasi persahabatan dengan yang lain. Dorongan dari dalam yang membuat manusia berperilaku untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan dalam seksualitas

disebut sebagai energi, sebagaimanadefinisi Rolheiser yang dikutip oleh Suparno, (2007: 19) bahwa seksualitas adalah “energi dalam diri kita, yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, gembira, mempunyai afeksi, belarasa, membangun intimasi, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan”. Manusia membangun relasi dengan yang lain berarti ada interaksi antar pribadi atau sosial, maka seksualitas pun mempunyai aspek sosial.

Seksualitas dari perspektif sosio-kultural, meliputi perilaku seksual terkait dengan pelbagai faktor sosial dan lingkungan. Soebijanto (1995: 13) mengatakan bahwa, “bekerjanya sistem pada hipotalamus dan neocortical pada otak, membentuk seks tertier. Sifat-sifat seks tertier terbentuk karena interaksi individu dengan lingkungan sosial budaya, sehingga dikenal feminitas dan maskulinitas (sifat kewanitaan dan sifat kelaki-lakian).” Menjadi perempuan dan laki-laki ternyata juga dipengaruhi oleh peran yang diharapkan dari masyarakat tentang perempuan dan laki-laki. Banyak stereotipe dibuat, misalnya laki-laki itu kuat dan berpikir sedangkan perempuan itu mencintai, penuh kasih. Laki-laki itu kasar dan perkasa, sedangkan perempuan itu lemah lembut dan seksi (Suparno, 2007: 36). Salah satu contoh stereotipe pada laki-laki adalah bahwa ciri laki-laki tegar. Sejak kecil, lingkungan sudah mengkondisikan laki-laki untuk menjadi seorang yang tegar. Kehormatan seorang pria adalah terletak pada kekuatan atau ketegarannya. Laki-laki dididik untuk bisa mengatasi segala sesuatu sehingga tanpa disadarinya, ia pun mulai meyakini bahwa kehormatan dirinya bertumpu pada kemampuannya. Ketidaksanggupan mengatasi tantangan diidentikkan dengan kelemahannya. Kegagalan merupakan suatu aib yang memalukan harga dirinya. Stereotipe yang

dibuat ini ikut menentukan pribadi manusia, yang menerima sifat kewanitaan dan kelelakian ini kemudian dikenal dengan ciri-ciri feminitas dan maskulinitas.

Dalam konteks Kristiani, seksualitas dikatakan sebagai suatu ciri dasar pribadi manusia dan secara mendalam ikut menentukan hubungan antar pribadi (KWI, 1996: 78). Dari seksualitas itu pribadi manusia menerima sifat-sifat yang membuatnya menjadi seorang pria atau seorang wanita pada tingkat biologis, psikologis, dan spiritual, dan karenanya sangat menentukan kemajuannya ke arah kedewasaan dan masuknya kedalam masyarakat.

Seksualitas dari aspek spiritual berkaitan dengan kerohanian, atau berkaitan dengan hubungan dengan Tuhan dan sesama serta segala ciptaan-Nya sebagai tanda keberadaan Tuhan yang bersemayam di dalamnya. Spiritualitas berkaitan dengan yang Ilahi. Rolheiser mendefinisikannya sebagai suatu api yang membakar dalam diri manusia, suatu energi untuk hidup. Maka, menjadi spiritual berarti menjadi satu dengan Tuhan sang pencipta. Spiritualitas adalah api, dorongan,

desire, dalam hati manusia yang membuat manusia berkomunikasi atau berelasi

dengan Tuhan dan sesamanya serta ciptaan-Nya lain, sebagaimana diungkapkan oleh Rolheiser dan beberapa tokoh lain yang dikutip oleh Suparno (2007: 19) sebagai berikut:

Rolheiser mendefinisikan seksualitas sebagai “energi yang indah, baik, sangat kuat, dan suci yang diberikan oleh Tuhan dan dialami dalam seluruh hidup kita, sebagai suatu dorongan yang tidak dapat ditekan, yang mendorong orang untuk mengatasi ketidak lengkapan, menuju kesatuan yang utuh. Seksualitas adalah energi dalam diri kita, yang mendorong kita untuk dapat mencintai, berkomunikasi, membangun persahabatan, gembira, mempunyai afeksi, compassion, membangun intimasi, dan berelasi dengan diri sendiri, orang lain, alam dan Tuhan.” Ferder dan Heagle mengungkapkan seksualitas sebagai keseluruhan energi untuk menjadi hidup dan membangun relasi. James Nelson menjelaskan seksualitas sebagai keberadaan kita di dunia ini sebagai pribadi laki-laki dan perempuan.

Seksualitas pada dasarnya merupakan komponen fundamental kepribadian, cara berada, cara mengungkapkan diri, cara berkomunikasi dengan yang lain, cara merasa, serta cara menyatakan dan menghidupi cinta manusiawi. Seksualitas tidak hanya mencirikan manusia dari sudut jasmaniah atau biologis, tetapi juga psikologi, sosio-kultural dan spiritual (Chang, 2009: 57). Maka seksualitas dalam

perspektif spiritual, perilaku seksual berkaitan dengan ungkapan cinta dan

kehadiran Tuhan dalam pribadi manusia sebagai makhluk seksual. Ungkapan cinta dan ungkapan kehadiran Tuhan terlihat dalam sikap dan perilaku manusia, cara manusia membangun relasi dengan dirinya, sesama, alam dan Tuhan.

Jika salah satu aspek dari aspek biologis, psikologis, sosio-kultural dan spiritual hilang, atau tidak diperhatikan, maka integrasinya tidak sehat dan dapat menimbulkan kendala. Misalnya, orang tidak mampu melihat bahaya ekspresi seksualnya terhadap orang lain, tidak merasa nyaman dengan keadaan dirinya, sulit menerima diri dengan gembira, tidak dapat membangun relasi dengan orang lain secara terbuka dan dekat, mudah mengadili orang lain dalam hal tingkah laku seksual, tidak setia kepada komitmen utamanya, melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap orang lain, dan lain-lain (Suparno, 2007: 34-35).

Dokumen terkait