• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sektor Agraria

Dalam dokumen Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 U (Halaman 40-52)

UU yang mengatur agraria atau pertanahan nasional adalah UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU ini menyatakan bahwa peran pemerintah dalam masalah pertanahan nasional hanya sebatas sebagai regulator saja. Pemerintah hanya berperan sebagai pemberi dan pencabut hak hak-hak atas tanah yang dimiliki oleh orang pribadi, kelompok masyarakat, badan usaha swasta termasuk swasta asing, dan badan usaha milik negara. UU ini masih tetap berlaku hingga saat ini dan belum ada revisi atau amendmen sama sekali.

Ada beberapa Peraturan Pemerintah (PP) yang terkait dengan UU Pokok Agraria ini dan semuanya menetapkan bahwa peran pemerintah hanya sebagai regulator saja. Posisi perorangan, badan usaha miliki negara/daerah, dan badan usaha swasta dapat dikatakan sama yaitu terbatas sebagai pemegang hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga tahun 2014. BPN yang tadi merupakan lembaga negara yang bertanggung jawab ke presiden kemudian ditingkatkan menjadi kementerian negara dengan nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di Era Presiden Jokowi saat ini (2014 – 2019).

Pasal 2 dari UU No. 5/1960 ini menyatakan:

“(1) Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

(2) Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk : a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatanperbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.”

Selanjutnya, Pasal 16 mengatur tentang jenis-jenis hak yang dapat diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang sekarang menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Kutipan penuh dari Ayat 1 Pasal 16 adalah:

(1) Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 ialah : a. hak milik,

b. hak guna usaha, c. hak guna bangunan, d. hak pakai,

e. hak sewa,

f. hak membuka tanah, g. hak memungut hasil hutan,

h. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang disebutkan dalam pasal 53.

Satu dan/atau beberapa hak termaksud dalam Pasal 16 diatas dapat diberikan kepada: perorangan warga negara Indonesia, perorangan warga negara asing, badan hukum Indonesia/asing sesuai dengan peruntukan jenis-jenis hak tersebut. Tentunya dipahami bahwa badan hukum Indonesia tersebut mencakup koperasi, badan usaha milik swasta, dan badan usaha milik negara/daerah. Jelas terlihat bahwa posisi Badan Usha Milik Negara/Daerah dalam sektor pertanahan ini adalah hanya sebatas pemegang hak tanah yang dapat hanya satu jenis hak saja, atau, bebarapa hak yang lain, atau, semua hak yang tersedia. BUMN tidak diberikan mandat sama sekali untuk bertindak sebagai regulator dan/atau pemain utama dalam bidang pertanahan nasional. Kutipan penuh dari pasal-pasal yang terkait langsung dengan peran negara dan BUMN dalam bidang pertanahan ini disajikan dalam catatan akhir bab iniiv.

Sektor Daya Air

Pengelolaan daya air Indonesia yang mencakup perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengevaluasian penyelenggaraan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air diatur dalam UU Sumber Daya Air (UU No. 7 Tahun 2004). Disini tafsir Pasal 33 UUD 1945 atas frasa “dikuasai oleh negara” adalah pemerintah bertindak sebagai regulator yang fungsinya mencakup penerbitan hak atas air yang terdiri dari Hak Guna Air, Hak Guna Pakai Air, dan Hak Guna usaha Air. Pengertian hak guna tersebut dituangkan dalam Pasal 1 Angka 13, 14, dan 15 UU No. 7 UU tahun 2004 ini.

Angka 13 “Hak Guna Air adalah hak untuk memperoleh dan memakai atau mengusahakan air untuk berbagai keperluan.”

Angka 14 “Hak Guna Pakai Air adalah untuk memperoleh dan memakai air.” Dan Angka 15 “ Hak Guna Usaha Air adalah hak untuk memperoleh dan mengusahakan air.” Hak Guna Usaha Air mencakup pemberian hak oleh Pemerintah kepada perseorangan dan badan usaha. Ayat (1) Pasal 6 dari UU No. 7 Tahun 2004 menyatakan”

“Sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Pasal 9 Ayat (1) UU No. 7/2004 menyatakan:

“Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.”

Ini berarti bahwa hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha. Dengan kata lain, badan usaha milik negara/daerah posisinya hanya sebatas penerima manfaat untuk menggunakan hak guna usaha daya air tersebut. BUMN/D tidak mendapat mandat baik sebagai pemain utama maupun sebagai regulator di sektor daya air ini.

Lebih jauh lagi, dinyatakan secara eksplisit dalam UU Sektor Daya Air ini bahwa penggunaan air untuk keperluan orang banyak bukan saja tidak wajib untuk dikelola oleh BUMN/D tetapi juga tidak perlu mendapat izin dari pemerintah (negara). Pasal 8 Ayat (1) menyatakan:

“Hak guna pakai air diperoleh tanpa izin untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari perseorangan dan bagi pertanian rakyta yang berada dalam sistem irigasi.”

Sedangkan Ayat (4) berbunyi:

“Hak guna pakai air sebagai mana dimaksud pada ayat (1) meliputi hak untuk mengalirkan air dari atau ke tanahnya memalui tanah orang lain yang berbatasan dengan tanahnya.”

Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Pengertian pertambangan mineral dan batubara menurut UU No. 4/1999 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, adalah seperti berikut ini.

Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah,” (Pasal 1 Angka 4), dan Angka 5

berbunyi:

Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal.”

Perlu diingat bahwa menurut UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan

gas bumi, serta air tanah termasuk dalam golongn bahan galian strategis atau bahan galian golongan a. Untuk lebih memahami penggolongan bahan galian menurut UU Pertambangan tahun 1967 tersebut kita dapat merujuk ke beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait. Misalnya, PP No 27 Tahun 198021 menjelaskan ada tiga kelompok jenis pertambangan (bahan-bahan galian), yaitu: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b. Golongan bahan galian a mencakup minyak bumi dan gas alam, serta batubara, timah dan nikel/kobalt. Sedangkan bahan galian golongan b mencakup besi, tembaga, emas, bauksit dan intan. Terakhir, bahan galian golongan c mencakup nitrat-nitrat, asbes, marmer, dan pasir (sepanjang tidak mengandung mineral golongan a dan b).

Selanjutnya, UU Minerba tahun 2009 ini secara eksplisit menyatakan bahwa peran (kewenangan) pemerintah hanya sebatas regulator yang mencakup penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu, izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dengan kata lain, tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dari

Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Minerba ini dalam bentuk penerbitan izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah tidak terlibat sama sekali, misalnya melalui instansi/jawatan/dinas pemerintah, dalam kegiatan usaha pertambangan. Yang melakukan kegiatan usaha pertambangan adalah badan usaha milik negara/daerah, koperasi, perseorangan, dan badan usaha (perusahaan) swasta. Posisi badan usaha milik negara/daerah adalah sama dengan poisi yang dimiliki oleh perseorangan dan/atau badan usaha milik swasta.

Lebih persisnya, Pasal 38 UU/2009 ini menyatakan:

“IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.”

Sedangkan pengertian badan usaha menurut Pasal 1 UU Minerba/2009 adalah:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan

berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.”

Sederhananya, badan usaha tersebut adalah perusahaan pertambangan mineral batubara yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ini dapat berupa perusahaan swasta atau perusahaan milik negara (BUMN) dan BUMD serta Koperasi.

Pada tanggal 30 Juni 2011 kementerian ESDM mempublikasikan daftar perusahaan MInerba dengan IUP yang masuk dalam kategori C and C (Clear and Clean). Kategori C and C adalah yang sudah memenuhi persyaratan PP 23 Tahun 2010 serta Surat Edaran Menteri ESDM No 03.E/31/DJB/2009, yang mencakup: wilayah tidak tumpang tindih, diterbitkan sebelum 1 Mei 2010, dan lain sebagainya. Jumlah usaha pertambangan dengan IUP yang sudah memenuhi kriteria CNC ini banyak sekali dan dalam hitungan ribuan. Walaupun demikian, jumlah kumulatif BUMN/D/koperasi yang memiliki IUP C and C ini sangat kecil dibandingkan dengan yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki

21 Perubahan PP No. 25/1964 dan di UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, tidak ada definisi tentang masing-masing golongan bahan galian. Disini hanya dikatakan bahwa bahan-bahan galian terdiri dari tiga golongan yaitu a, b, dan bukan a dan b.

kegiatan usaha pertambangan yang sudah IUP C and C. Daftar perusahaan pertambangan kategori C and C untuk 10 provinsi disajikan dibawah ini.

Tabel 6. Daftar Jumlah IUP C and C Pertambangan Mineral dan Batubara di 10 Provinsi Indonesia No Provinsi Jumlah IUP Badan Hukum Pemegang IUP

1 Bangka Belitung 303 16 BUMN dan 287 Perusahaan Swasta

2 Banten 14 Semua perusahaan swasta

3 Bengkulu 68 2 BUMN dan 66 perusahaan swasta

4 Yogyakarta 2 Semua usaha perseorangan

5 Gorontalo 11 1 Koperasi dan 10 perusahaan swasta

6 Jawa Barat 312 3 BUMD, 2 BUMN, 11 Koperasi, dan 296 perusahaan swasta/perseorangan

7 Jambi 90 3 BUMN dan 87 perusahaan swasta

8 Jawa Tengah 118 1 BUMN dan 117 perusahaan swasta/perseorangan 9 Jawa Timur 209 2 BUMN, 3 BUMD, 5 Koperasi, dan 199 usaha perseorangan

dan perusahaan swasta

10 Kalimantan Barat 235 2 BUMN, 2 BUMD, dan 231 perusahaan swasta 11 Kalimantan

Selatan, dan provinsi di Indonesia yang lain

>1000 Pola yang sama seperti no 1 s/d 10 yaitu hanya terdapat beberapa koperasi, beberapa BUMN/D, selebihnya adalah perusahaan swasta.

Sumber: Ditjen Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2011. Pengumuman Hasil Rekonsialisasi IUP

Sekarang coba kita mundur sedikit untuk melihat tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UD 1945 tersebut di sektor (cabang produksi) mineral dan batubara ini dalam periode-periode sebelum diberlakukannya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 ini. Dalam periode-periode tersebut masih berlaku UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sejauh yang penulis dapat akses sampai saat ini, ada enam peraturan pelaksana UU ini yang terkait lansgung dengan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP)22 dan tiga dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres). Ketiga Keppres tersebut hanya terkait dengan subsektor pertambangan batubara.

Selanjutnya coba kita lihat aturan utamanya dulu yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Tafsir “dikuasai oleh negara” di undang-undang ini tidak tegas dan berbelit-belit. Namun demikian, dapat kita tafsirkan “dikuasai olehnegara” adalah dikuasai oleh Menteri

Pertambangan. Menteri pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kegiatan usaha pertambangan, hak kuasa pertambangan, di setiap wilayah pertambangan, baik kepada instansi pemerintah/perusahaan negara (badan usaha milik negara) maupun kepada perusahaan swasta. Menteri Pertambangan lah nantinya akan memutuskan ada tidaknya hak eksklusif monopoli kuasa pertambangan

baik untuk instansi pemerintah maupun untuk badan usaha milik negara (d/h perusahaan negara). Ini dapat berlaku di seluruh subsektor pertambangan (seluruh golongan bahan galian) atau hanya untuk satu dan/atau beberapa subsektor saja. Jika nantinya tidak ada dan/atau dalam perkembangan terkini ternyata tidak ada, maka dengan demikan, ini dapat berarti bahwa posisi instansi pemerintah/BUMN dengan perusahaan swasta akan relatif sama di sektor pertambangan ini. Untuk lebih mempertajam tafsir frasa tersebut, berikut ini disajikan beberapa kasus golongan bahan baku.

Bahan Galian Golongan a

UU Pertambangan tahun 1967 ini membagi sektor pertambangan kedalam tiga subsektor yaitu: 1. Bahan galian golongan a (bahan galian strategis); 2. Bahan galian golongan b (bahan galian vitaL; dan 3. Bahan galian yang tidak termasuk a dan b. Pasal 3 Huruf (1) berbunyi:

Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk a atau b.”

PP No. 27 /198023 tentang Penggolongan Bahan Galian mendefinisikan pengertian masing-masing golongan bahan galian tersebut sebagai berikut. Bahan galian strategis mencakup minyak bumi dan gas alam, nikel, timah dan batubara; Bahan galian vital mencakup besi, tembaga, emas, platina, perak, seng, belerang, dan arsin. Bahan galian bukan a dan b mencakup nitra-nitrat, asbes. Yarosit, batu permata, pasir kwasa, dan pasir sepanjang tidak mengandung bahan yang ada di golongan a dan/atau b.

Coba kita lihat beberapa Pasal UU No. 11/1967 ini, misalnya pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ini, yang merujuk ke Pasal 3 huruf (1) diatas.

Pasal 6 berbunyi:

usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) dilakukan oleh: a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara.”

Pasal 6 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara perlu diprioritaskan dan/atau hak ekslusif monopoli untuk melakukan usaha pertambangan golongan a (golongan bahan galian startegis). Namun demikian, Pasal 7 dibawah ini mementahkan kesimpulan pemberian prioritas dan/atau hak eksklusif monopoli tersebut. Pasal 7 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa posisi instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara dengan perusahaan swasta adalah setara. Masing-masing memiliki hak yang sama untuk mendapatkan izin usaha pertambangan. Pasal 7 berbunyi:

Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan

23 PP No. 27/1980 ini mencabut PP No. 25 tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan Galian.Namun demikian, kedua PP ini pada prinsipnya tidak berubah banyak. Untuk minyak dan gas bumi, batubara, emas, tembaga, misalnya, tetap berada dalam golongan bahan galian yang sama.

perkembangan-perkembangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh pihak swasta.

Kata “lebih menguntungkanbagi negara” dapat kita tafsirkan usaha pertambangan tersebut dapat

lebih besar memberikan kontribusi keuangan ke negara, dapat lebih baik dan lebih berkelanjutan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta komersialisasi, dan/atau dapat lebih baik memelihara lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam pertambangan, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan pengorbanan sumber-sumber langkah yang paling kecil. Secara sederhana, pertimbangan efisiensilah yang menentukan kepada siapa suatu wilayah pertambangan tertentu akan diberikan. Menteri Pertambangan memutuskan pemberian hak kuasa pertambangan kepada siapa saja, ya itu, bisa BUMN/D, koperasi, perseorangan, atau, perusahaan swasta tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menciptakan efisiensi yang lebih baik. Dengan demikian, kesan prioritas apalagi hak eksklusif monopoli di sektor Pertambangan untuk BUMN/D menjadi hilang disini. Tidak adanya ketentuan prioritas tersebut lebih diperkuat oleh Pasal 1 PP No. 32/1969 yang berbunyi:

“Setiap usaha pertambangan bahan galian jang termasuk dalam golongan bahan galian strategis

dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan……”

Dengan demikian, terlepas apakah itu instansi pemerintah, atau, perusahaan negara, atau, perusahaan swasta, masing-masing wajib memiliki Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri Pertambangan untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Selanjutnya, Kuasa Pertambangan tersebut dapat berbentuk salah satu dari: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; dan c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (Pasal 2 Ayat (1) PP No. 32/1969 tersebut diatas.

Pertambangan Galian Batubara (sub bahan golongna a; bahan galian strategis)

Sebagaimana telah disampaikan diatas, khusus untuk pertambangan bahan galian batubara (sub bagian pertambangan bahan galian golongan a) terdapat tiga peraturan pelaksana UU No. 11/1967 yang terkait langsung dengan frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 UUD 194524. Ketiga peraturan pelaksana yang berbentuk Keppres ini adalah Keppres No. 49/1981, Keppres No. 21/1993, dan Keppres No. 75/1996. Keppres No. 75/1996 ini mencabut hak eksklusif monopoli Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA) yang diberikan oleh dua Keppres terdahulu itu. Selanjutnya, dalam Keppres tahun 1996 ini, Kuasa Pertambangan langsung diberikan oleh Kementerian Pertambangan kepada perusahaan swasta. Di dua Keppres terdahulu Kuasa Pertambangan untuk perusahaan swasta diberikan oleh PT BA kepada perusahaan swasta melalui Perjanjian Kontrak Karya.

Dengan demikian, Keppres No. 75/1996 ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemerintah memiliki mandat penuh berdasarkan UU No. 11/1967 untuk secara langsung membuat perjanjian dengan perusahaan swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Perusahaan swasta adalah kontraktor pemerintah secara langsung, yang kewajibannya mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres no. 75/1996 ini berbunyi:

“Dalam Keputusan Presiden ini, yang dimaksud dengan Perjanjian adalah Perjanjian Karya antara Pemerintah dan perusahaan Kontraktor Swasta untuk melaksanakan pengusahaan pertambangan galian batubara.”

Disini akan disajikan dua contoh Kontrak Karya yang ditandatangani oleh Pemerintah cq Kementerian Pertambangan dan Energi dengan kontraktor swasta. Pertama, dengan PT Kalimantan Energi Lestari yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 20 November 1997. Kontrak karya ini berjangka waktu selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta Kementerian Pertambangan dan Energi bertindak selaku wakil Pemerintah RI. Kedua, dengan PT Mahakam Sumber Jaya yang ditandatangani di Jakarta pada tanggal 29 Desember 2000. Kontrak Karya ini berjangka waktu selama 30 tahun (periode eksploitasi) dan dapat diperpanjang serta sebagai wakil pemerintah adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Sebaliknya, dua Keppres terdahulu yaitu Keppres No. 21/1993 dan Keppres No. 49/1981

menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian mandat oleh UU No.

11/1967 kepada perusahaan negara (BUMN) yang dalam hal ini adalah PT BA untuk membuat peerjanjian dengan kontraktor swasta dalam pengusahaan pertambangan batubara. Sedangkan kewajiban kontraktor kepada negara pada prinsipnya sama dengan yang diatur dalam Keppres tahun 1996 tersebut yaitu mencakup memberikan 13.5 persen hasil produksinya ke negara selain dari kewajiban-kewajiban perpajakan yang lain. Pasal 1 Keppres No. 49/1981 berbunyi:

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan pihak swasta sebagai Kontraktor untuk pengusahaan tambang batubara untuk jangka waktu 30 (tigapuluh) tahun berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Keputusan Presiden ini.”

Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak Karya dengan PT Kaltim Prima Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 8 April 1982 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang.

Sedangkan Pasal 1 Keppres No. 21/1993 berbunyi:

Dalam Keputusan Presiden ini yang dimaksud dengan Perjanjian Kerjasama adalah perjanjian antara Perusahaan Negara Tambang Batubara sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan dan perusahaan kontraktor baik dalam rangka Penanaman Modal Asing maupun dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri untuk mengadakan pengusahaan pertambangan bahan galian batubara.”

Disini jelas terlihat bahwa Keppres tahun 1993 itu hanya menegaskan bahwa pihak swasta yang dimaksud dalam Keppres terdahulu mencakup swasta asing. Prinsip tafsir frasa “dikuasai oleh negara”

dalam kedua Keppres ini persis sama yaitu entitas yang diberikan mandat untuk memberikan izin pengusahaan tambang batubara kepada perusahaan swasta, yang dalam hal ini berbentuk Kontrak Karya, adalah PT Tambang Batubara Bukit Asam (PT BA).

Contoh Kontrak Karya antara PT BA dengan kontraktor swasta dalam periode ini adalah Kontrak Karya dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal. Perjanjian ini ditandatangani di Jakarta pada tanggal 15 Agustus 1994 dan berlaku selama 30 tahun serta dapat diperpanjang. Sebagai catatan Keppres Nomor 75 tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara ditujukan untuk mencabut Keppres Nomor 21 tahun 1993 tentang hak Kuasa Pertambangan PT Tambang Batubara Bukit Asam.

Bahan Galian Golongan b

Tafsir “dikuasai oleh negara” untuk bahan galian golongan b (vital) pada prinsipnya sama dengan kasus

bahan galian a yaitu Menteri Pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kepada entitas-entitas tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Dengan kata lain, Menteri Pertambangan diperintahkan oleh UU ini untuk memberikan hak Kuasa Pertambangan kepada entitas-entitas tertentu dengan syarat-syarat tertentu.

Selanjutnya, pihak yang dapat diberikan hak oleh Menteri Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, yaitu, hak Kuasa Pertambangan untuk bahan galian vital ini (golongan b) hanya: 1. Koperasi; 2. Badan hukum swasta; dan c. Perseorangan. Dengan demikian, jangankan hak eksklusif monooli kuasa pertambangan, hak kuasa pertambangan biasa saja tidak dapat dimiliki oleh perusahaan negara/daerah untuk bahan galian golongan b (vital) ini.

Kesimpulan dari dua alinea diatas merujuk ke Pasal 12 UU No.11/1967 ini. Ayat (1)nya berbunyi:

Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang

Dalam dokumen Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 U (Halaman 40-52)

Dokumen terkait