• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 U

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 U"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945?

Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI

Pokok Permasalahan

Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. Frasa “dikuasai oleh negara” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa

“digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam

berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasaioleh negara” termaksud.

Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi:

Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.” Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi:

Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.”

Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu, itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak eksklusif monopoli pada perusahan negara/badan usaha milik negara (PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan BUMN diperlakukan relatif setara dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh asing. Kemudian berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini. Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang lain dan untuk bidang ekonomi (cabang produksi) yang lain juga tentunya, peran BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara dengan perusahaan swasta tetapi juga terpaksa hanya sebagai pemain minoritas.

Hasan (2013) mengatakan bahwa Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga

memilik kesatuan

“(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan;

(2) Cabang cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara;

(3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

(5)1; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang

(2)

untuk menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer dalam mengelola cabang-cabang produksi yang penting dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak. Dikatakannya lebih lanjut bahwa yang terpenting

adalah negara “tetap menguasai dan mengatur”. Selanjutnya, disampaikan sebagian kutipan dari

pemikiran Bung Hatta tersebut, yaitu:

Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ondernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna melancarkan jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal…..”1

Sektor Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi

Mencla menclenya dan tidak konsistenya interpretasi, atau, pelaksanaan frasa-frasa termaksud sangat mencolok di cabang produksi minyak dan gas bumi. Di era awal kemerdekaan ketika mulai diberlakukannya UUD 1945 hingga terbitnya

UU Pertambangan tahun 1960, frasa “dikuasai oleh negara” dilaksanakan dengan pemberian konsesi (perizinan) kepada perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch/Shell, Caltex, dan Stanvac masih beroperasi dengan pola konsesi, yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari warisan kolonial Belanda. Publik belum sempat mengekspus isu Pasal 33 UUD 1945 di masa ini, yang kelihatannya disebabkan oleh buruknya kondisi sosial ekonomi dan politik. Masifnya berbagai gerakan separatist, langkahnya berbagai komoditas pokok termasuk obat-obatan dan sembako, dan sangat rapuhnya pemerintahan. Pembubaran dan pembentukan kabinet pemerintahan silih berganti dalam waktu yang sangat pendek dan banyak kabinet itu yang hanya berumur dalam beberapa bulan saja. Selain itu, UUD Indonesia mengalami perubahan beberapa kali hingga Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.

Seiring dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945, UU Pertambangan tahun 1960 disyahkan. UU ini menafsirkan frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian hak pengelolaan pertambangan (kuasa pertambangan) minyak dan gas bumi hanya kepada perusahaan negara. Perusahaan swasta utamanya swasta asing hanya diizinkan beroperasi sebagai kontraktor perusahaan negara. Ini dituangkan secara eksplisit dalam dua pasal dan penjelasan UU Pertambangan 1960 (Perpu No. 44/1960), sebagai berikut:

Pasal 1 huruf h berbunyi:

1Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm. 201 204, dalam Hasan (2013) Hak Eksklusif Monopoli

Pertamina

(3)

Kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi.”

Pasal 3 berbunyi:

“(1) ……pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara.”

(2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata.”

Selanjutnya, penjelasan pada angka 10 alinea terakhir Perpu No.44/1960 berbunyi:

“……perusahaan minyak asing hanya dapat mempunyai status kontraktor saja berdasarkan suatu atau beberapa “perjanjian karya” dengan Perusahaan Negara yang bersangkutan.”

Implikasi dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara” pada UU Pertambangan tahun 1960 (Perpu No. 44/1960) tersebut adalah tidak berlaku laginya hak konsesi pertambangan perusahaan swasta, utamanya hak konsesi tiga perusahaan asing terbesar, yaitu, Shell, Stanvac, dan Caltex. Negosiasi yang panjang dan berlarut-larut antara ketiga perusahaan tersebut dengan Indonesia yang difasilitasi oleh Amerika Serikat mencapai kesepakatan di tahun 1963. Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa tiga perusahaan asing tersebut masing-masing diperlakukan sebagai konktraktor perusahaan minyak nasional yaitu Permigan, Permina, dan Pertamin, yang kewajiban masing-masing mencakup 60% dari laba masing-masing kontraktor tersebut diserahkan kepada Indonesia. Dengan kata lain, pola kerjasama dengan para kontraktor tersebut adalah KKS Bagi Laba. Selain itu, disepakati juga bahwa manajemen dari masing-masing perusahaan kontraktor tersebut sepenuhnya ada ditangan masing-masing kontraktor tersebut.2

Pengaturan-pengaturan yang demikian, terkait erat dengan jasa-jasa pejuang kemerdekaan yang mengambil alih dan/atau menyita berbagai ladang dan kilang Migas yang ketika itu ditinggalkan oleh Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua. Sebelumnya, ladang dan kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan-perusahaan asing terutama perusahaan-perusahaan Balanda. Gale (2006), menulis:

With the end of the war in ……….country's anticolonial independence fighters,...…quickly seized on what remaining oil fields and installations they could secure from the retreating Japanese. ……... At the same time, independence fighters in south Sumatra retained control of regional oil facilities and set up their own company, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Elsewhere in Java, another oil company, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMN), held jurisdiction.”

Pengekspusan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka adalah sangat penting di era ini. Hembusan angin nasionalisasi perusahaan asing sangat populer yang merupakan bagian gerakan penghapusan banyak atribut “warisan penjajah Belanda”. Persepsi publik yang dihembuskan adalah konstruksi (pola) konsesi itu hanya menguntungkan penjajah yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun demikian, tidak begitu jelas apakah dengan menerapkan sistem kontrak ini akan menghasilkan “sebesar -besarnya kemakmuran bagi segenap prakyat dan tumpah darah Indonesa”.

(4)

Di tahun 1966, Direktur Utama PN Pertamina pada waktu itu, Ibnu Sutowo, mengadopsi model kontrak baru tanpa perlu melanggar interpretasi frasa “dikuasai oleh negara.” Model kontrak baru tersebut adalah model Kontrak Production Sharing (PSC) Bagi Hasil, atau KKS Bagi Hasil. Berbeda dengan model kontrak terdahulu yang membagi laba, disini yang dibagi adalah hasil produksi. Misalnya, untuk minyak bumi Pemerintah dan kontraktor berbagi volume lifting (natura dan bukan uang yang dibagi). Selain itu, kontraktor juga masih memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar beberapa jenis iuran dan perpajakan. PSC pertama PN Pertamina adalah PSC dengan Independent Indonesian American Petroleum Company (IIAPCO), yang ditandatangani oleh Dirut PN Pertamina, Ibnu Sutowo. di tahun 1966.3 Model

IIAPCO ini kemudian dituangkan dalam UU PN Pertamina tahun 1971.

Kembali lagi, pertimbangan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” terabaikan disini. Tidak jelas dan tidak ada fakta yang dapat diakses oleh publik yang memperlihatkan konstruksi KKS Bagi Hasil itu lebih superiror dibandingkan dengan KKS Bagi Laba yang diterapkan sebelumnya. Tidak ada referensi yang terurai dengan baik dan shahih yang mengatakan bahwa ada

pertimbangan “kemakmuran” dalam melakukan perubahan dari konstruksi “Bagi Laba” menjadi konstruksi

“BagiHasil”.

Yang jelas, terlepas dari itu, PN Pertamina mendapat fee dari pengelolaan KKS bagi hasil tersebut. Nilainya adalah 5% dari hasil penjualan Migas bagian pemerintah dalam KKS tersebut. Nilai fee terkini hingga tahun 2004 dan berpola hak retensi yaitu dipotong langsung dari hasil penjualan termaksud, berkisar antara 2 s/d 5 triliun rupiah pertahun. (Mahkamah Konstitusi (2004))

Lebih jauh lagi, tidak jelas apakah hasil keseluruhan dari perubahan pola tersebut lebih menguntungkan Indonesia. Maksudnya, tidak jelas apakah nilai uang secara keseluruhan yang diterima Indonesia lebih besar dengan Pola Bagi Hasil dibandingkan dengan Pola Bagi Laba, terlepas dari pola pembagian antara Pemerintah dengan PN Pertamina. Lebih tidak jelas lagi perbedaan dalam aspek makroekonomi. Selain itu,juga, tidak jelas ada tidaknya klausal cost recovery dalam pola bagi hasil ketika itu.

Setelah tergulingnnya rezim Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1965, kesinambungan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” seperti itu dipertahankan. Tafsir tersebut lebih diperkuat lagi dengan disyahkannya UU PN Pertamina di tahun 1971, yang memberikan hak eksklusif monopoli kepada PN Pertamina untuk mengelola sektor Migas Indonesia. Dengan kata lain, sejak

berlakunya UU Pertamina ini frasa “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai pemberian hak eksklusif

monopoli kepada PT (Persero) Pertamina untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia, dari sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga ke sektor hilir (distribusi dan penjualan BBM/gas). Ini dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 2 seperti berikut ini.

Pasal 3 ayat (3) UU PN Pertamina 1971 berbunyi:

Definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 Pasal 1 ...harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang-undang ini.”

Perusahaan yang dimaksud tersebut adalah tidak lain dari PN Pertamina dan ini dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) UU PN Pertamina 1971 tersebut, yang menyatakan:

(5)

“…disingkat Pertamina, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Perusahaan, …..”

Mencla mencle interpretasi/pelaksanaan frasa “dikuasai oleh negara” terus berlanjut seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto dan mulainya Era Reformasi di tahun 1997/1998. Di Era ini pada mulanya, tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” yang dituangkan dalam UU MIgas 2001, adalah identik dengan penghapusan hak eksklusif monopoli pengelolaan Migas PT Pertamina. Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab pengelolaan dialihkan dari PT Pertamina ke BP Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir4 Migas, yang keduanya adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan bukan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT Pertamina dengan demikian diperlakukan setara dengan badan usaha swasta dan bentuk usaha tetap. Perbandingan wewenang dan tanggungjawab antara BP MIgas, BPH MIgas, dan PT Pertamina, disajikan dalam Tabel 1 dbawah ini.

4 BP Migas adalah singkatan dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan BPH Migas adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Salah satu fitur unggulan PSC/KKS berpola bagi hasil yang sering didengungkan sebagai bentuk nyata dari kedaulatan ekonomi serta sebagai pelaksanaan langsung dari

frasa “dikuasai oleh negara” adalah hasil tambang

termaksud tetap menjadi milik negara hingga ke titik penyerahan. Walaupun demikian, tidak jelas apa pentingnya disini utamanya jika dikaitkan harga dan kontrak ekspor. Untuk LNG, misalnya, para kontraktor tersebut memiliki kewajiban kontrak ekspor jangka panjang dengan pembeli di luar negeri hingga tahun 2022. Dengan demikian, walaupun dalam aspek peraturan perundang-undangan produksi itu masih dimiliki oleh Indonesia, tidak demikian halnya dengan apa yang tercantum dalam KKS.

Lebih jauh lagi, PT Pertamina akan mengimpor LNG dari USA sebanyak 0,76 juta ton/tahun mulai tahun 2019 berdasarkan perjanjian kontrak 20 tahun. Sebelumnya, PT pertamina sudah menandatangani kontrak serupa sebanyak 0,8 juta ton LNG per tahun yang akan mulai direalisasikan di tahun 2018. Terkait dengan harga, tidak ada artinya frasa

“produksi tambang itu tetap dimiliki negara hingga ke titik penyerahan” jika harga jualnya untuk

(6)

Terabaikannya tafsir frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kembali terjadi. Tidak tersedia data, fakta, dan analisis yang mumpuni, yang dapat diakses oleh publik terkait isu

“kemakmuran rakyat” atas keputusan untuk

mengalihkan wewenang PT Petamina ke BP MIgas. Sederhananya, publik tidak memiliki informasi yang memadai terkait masalah dan/atau kendala apa saja yang melekat pada PT Pertamina sehingga kebijakan pencabutan kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut digulirkan. Atau, jika kita lihat dari sisi yang lain, publik tidak memiliki akses informasi

yang mencukupi terkait janji “kemakmuran rakyat” yang lebih besar dengan pengalihan

kewenangan termaksud. Persisnya, publik tidak dapat mengakses, jika ada, Naskah Akademis RUU Migas 2001 tersebut. Juga, walaupun NA Itu ada, tetap saja belum ada jaminan bahwa isu sebesar-besar kemakmuran rakyat disajikan dengan baik dan menggunakan tenaga-tenaga profesional kelas satu baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun yang merupakan rekrutan internasional. Selain itu, BP MIgas juga memerlukan berbagai data dan analisa Migas yang hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan/atau profesional kaliber dunia, yang tentunya juga akan banyak menelan dana dalam jumlah yang besar. Diatas kesemua itu, BP Migas memerlukan uang untuk menutupi biaya kegiatan untuk menjual miyak dan gas bumi bagian pemerintah.

Setelah berjalan selama 11 tahun, yaitu, di tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sembilan LSM dan 33 pemohon perorangan untuk mencabut keseluruhan wewenang dan tanggungjawab BP Migas, utamanya ketujuh wewenang dan tanggungjawab yang disajikan dalam tabel diatas. Lebih jauh lagi, MK menyatakan bahwa seluruh pasal-pasal beserta penjelasannya yang terkait dengan Badan Pelaksana (BP Migas) dalam UU Migas 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

5 Lihat diskusi terdahulu tentang pola Bagi Hasil Vs pola Bagi Laba KKS yang dikelola oleh PT Pertamina. Krisis Pertamina 1975

Krisis menghantam PT Pertamina di tahun 1975 dengan terkuaknya lilitan utang sebesar US$10.5 miliar dan gagal bayar atas kewajiban-kewajiban utang yang jatuh tempo. Ada dua sebab utama yang menjadi sumber krisis tersebut, yaitu::

Selain itu, PT Pertamina juga terlibat penggelapan pajak dan penerimaan bukan pajak pemerintah termasuk tidak membayar utang-utang pajaknya sendiri.

(7)

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, MK memerintahkan pembubaran BP Migas.

Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina

Kewenangan dan Tanggung Jawab BP Migas Kewenangan dan Tanggung Jawab BPH Migas Melakukan pengelolaan dan pengendalian

Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup:

1. melakukan pengawasan terhadap kegiatan usaha hulu minyak dan gas;

2. memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerjasama;

3. melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

4. mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

5. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

6. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

7. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara. (UU No 22 tahun 2001)

Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hilir di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa; e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan pelanggan kecil;

f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi. (UU No 22 tahun 2001)

Kewenangan & Tanggung Jawab PT Pertamina

1. Sebagai Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang mencakupeksplorasi, eksplotasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan. 2. Membangun dan memelihara ketahan enerji nasional.

3. Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri 4. Mengelola Kontrak Kerja Sama (persisnya, Kontrak Bagi Hasil (Kontrak Production Sharing) dengan

badan usaha dan bentuk usaha tetap (UU Pertambangan 1960 dan UU Pertamina 1971)

(8)

Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas 2001 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Ada beberapa pertimbangan hukum MK2012 ini untuk membubarkan entitas BP Migas itu.

Walaupun demikian, pertimbangan hukum yang terkait dengan tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33

UUD1945 secara berulang dijadikan acuan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain. Tafsir tersebut merujuk ke tafsir yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2004 yaitu bahwa penguasaan oleh negara, atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai

hajat hidup orang banyak termasuk atas “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,” atau dapat kita disingkat menjadi sumber daya alam (SDA), adalah pemerintah melaksanakan lima fungsi secara setara dan/atau terintegrasi. Kelima fungsi tersebut adalah: 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan (bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); dan 5.pengawasan (toezichthoudensdaad). Kecuali untuk unsur kebijakan (beleid), keempat unsur yang lain disertai dengan penjelasan pengertian masing-masing unsur tersebut. Selain itu, penjelasan tentang fungsi pengelolaan (beheersdaad) dalam pertimbangan hukum Putusan MK2012 menyimpang dengan penjelasan yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK2004.

Sementara itu untuk melengkapi pengertian fungsi dikuasai oleh negara, coba kita lihat pengertian unsur beleid (kebijakan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beleid/be·leid/ /beléid/ Bld n cara (langkah) yang ditempuh untuk melaksanakan program dan sebagainya; kebijaksanaan: usaha ekspor yang mereka lakukan semakin seret karena terjegal oleh -- negara asing. Contoh KBBI itu menyatakan kebijakan impor negara asing membuat usaha eskpor mereka menjadi seret.Kebijakan impor itu dapat berupa kebijakan hambatan tarif atau hambatan bukan tarif.

Contoh lain adalah kebijakan OJK yang dirilis oleh Detik.com baru-baru ini yaitu tentang beleid asuransi digital. Disini OJK memberikan izin dan/atau kesempatan pada perusahaan asuransi untuk menjual asuransinya secara online (lewat internet). Kebijakan OJK ini menyusul realita sudah banyaknya produk lain yang sudah lebih dulu dijual secara online seperti tiket pesawat, paket wisata/hotel, baju, dan lain sebagainya.

Untuk lebih memahami konsep terintergasinya fungsi-fungsi “dikuasai oleh negara” menurut Putusan MK 2004 itu, berikut ini diuraikan masing-masing dari keempat fungsi termaksud. Kutipan langsung dari masing-masing pengertian keempat fungsi tersebut menurut Putusan MK 2004 adalah sebagai berikut.

(9)

penguasaan oleh negara atassumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat

Kita mulai dulu dari pengawasan. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad). Menurut putusan MK2004 ini, ini dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. ” Ini merupakan fungsi umum manajemen yaitu fungsi untuk mengarahkan agar pelaksanaan dari kebijakan/perencanaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Selanjutnya kita ke fungsi pengurusan. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) menurut putusan MK2004 ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Tidak ada penjelasan lebih lanjut baik tentang fungsi ini maupun keempat fungsi yang lainnya. Walaupun demikian, kita tentu saja dapat menguraikannya sendiri dengan memperlihatkan beberapa contoh yang logis. Misalnya, untuk melaksanakan fungsi ini pemerintah menerbitkan/mencabut Izin Usaha Pertambangan batubara, tembaga, emas, dan Minerba yang lainnya. Contoh yang lain adalah penerbitan/pencabutan izin pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). Contoh yang selanjutnya adalah penerbitan/pencabutan hak-hak atas tanah yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah.

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad). Menurut putusan MK ini, ini dilakukan sesuai dengan kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ini dapat kita urai lebih lanjut sebagai berikut. Kewenangan legislasi itu mencakup pembuatan dan revisi UU seperti UU Migas, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pajak, dan lain sebagainya. Regulasi itu adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU dan sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dan lebih teknis. Ini mencakup penerbitan Peraturan Pemerintah, Peraturan/Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, dan regulasi-regulasi lain yang lebih teknis lagi.

Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Ini merupakan fungsi kunci dalam analisa tafsir frasa “dikuasai

oleh negara” Pasal 33 UUD1945. Menurut putusan MK ini, ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada dua unsur penting yang perlu kita cermati disini. Pertama unsur pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Kedua unsur instrumen kelembagaan BHMN. Kita coba menafsirkan konsep yang pertama dulu yaitu pemilikan saham dan keterlibatan langsung dalam manejemen BUMN.

(10)

Dengan demikian, mungkin maksud frasa kepemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN tersebut dalam pertimbangan hukum MK tersebut adalah pemerintah memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD1945. BUMN itu yang akan melakukan kegiatan usaha yang bersifat operasional dan investasi. Misalnya, kegiatan operasional dan investasi itu mencakup kegiatan eksplorasi dan eksplotasi untuk sektor hulu Migas6. Kegiatan eksplorasi bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Konsep kedua adalah instrumen kelembagaan. Instrumen kelembagaan ini biasanya diartikan sebagai Satker (Satuan Kerja) Instansi Pemerintah seperti Satker Direktorat Jenderal, atau, Badan, yang langsung bertanggungjawab kepada Menteri Kabinet. Selain itu, instrumen kelembagaan ini dapat juga kita artikan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri dan mencakup yang langsung bertanggungjawab kepada presiden. Entitas ini lebih umum disebut sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Contoh entitas ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BHMN untuk sektor hulu MIgas yang kita kenal adalah BP dan SKK MIgas.

Sampai disini, pengabungan konsep pertama dan kedua itu mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa ada dua opsi penyerahan wewenang pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Opsi pertama adalah BUMN dan opsi kedua adalah Satker pemerintah atau badan hukum milik negara. Opsi mana yang akan dipilih dan/atau bagaimana cara memilihnya dan/atau cara menetapkan prioritas pilihan tidak disinggung dalam pertimbangan hukum MK2004 itu.

Walaupun demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tim Hakim Konstitusi MK 2004 ini memposisikan kesetaraan BUMN dengan BHMN. Entitas mana yang akan diserahkan untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara termaksud tergantung dari parameter efisiensi. Entitas mana yang dipilih adalah tidak menjadi masalah sepanjang entitas yang terpilih itu memang lebih efisien untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Bahkan walaupun BUMN yang diserahkan tugas itu nantinya akan diprivatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tujuan privatisasi dan/atau kompetisi adalah untuk pencapaian efisiensi yang lebih tinggi dan prinsip negara tetap menguasai atau mengendalikan BUMN itu masih tetap terjaga. Pertimbangan hukum pengujian materil yang tertuang dalam Putusan MK2004 berbunyi:

“Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 …..maka penguasaan dalam arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan

(11)

sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. ….Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, …juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, …...”

Kelihatannya pertimbangan hukum ini dijadikan pertimbangan utama oleh Tim Hakim Konstitusi MK2004 untuk menolak permohonan pembubaran BP MIgas dan/atau membatalkan UU Migas 2001 secara keseluruhan. Ironinya, pertimbangan hukum ini digunakan oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 untuk mengabulkan permohonan pembubarkan BP MIgas. Untuk melakukan ini, Tim MK2012 terlebih dahulu merekayasa dan/atau menggunakan pendekatan alternatif bertingkat tiga untuk menafsirkan

frasa “dikuasai oleh negra” Pasal 33 UUD1945. Butir [3.12] pertimbangan hukum MK2012 ini berbunyi:

“…..kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara ……. harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. … peringkat pertama dan yang paling penting …. Peringkat kedua adalah… dan fungsi negara dalam peringkat ketiga…”

Pengertian masing-masing tingkatan itu menurut MK2012 adalah sebagai berikut. Tingat pertama dan yang paling penting dari makna dikuasai oleh negara itu adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas. Sedangkan penguasaan negara pada tingkat kedua adalah negara sebagai pembuat kebijakan dan melakukan pengurusan. Tingkat ketiga adalah negara melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan dan pengawasan.

Pengelolaan langsung yang dimaksud dalam pertimbangan hukum MK2012 ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dengannya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan hukum [3,12] Putusan MK2012 berbunyi:

“…..Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam….Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara…”

Seperti sudah disampaikan diatas, untuk sektor hulu Migas itu ada dua kegiatan utama yaitu kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Kedua kegiatan ini harus dilakukan oleh BUMN dan BUMN yang ada untuk itu sekarang ini hanya PT Pertamina. Dengan kata lain, MK 2012 ini secara tidak langsung menghendaki PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

PT Pertamina memang melakukan kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) untuk ladang Migas dan kilang minyak, yang dimilikinya. Namun demikian, kegiatan eksplorasi, yang membutuhkan modal dan kapasitas manajemen yang tinggi serta mengandung risiko yang sangat tinggi juga, bukan dilakukan oleh PT Pertamina. Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai badan usaha dan bentuk usaha tetap7. Perusahaan-perusahan swasta ini juga, yang sebagian besar adalah perusahaan

(12)

asing, juga memproduksi Migas (melakukan kegiatan eskploitasi). Lebih jauh lagi, seperti nanti dijelaskan secara lebih terurai, produksi kegiatan eksploitasi Migas (produksi Migas) PT Pertamina sangat kecil dibandingkan dengan produksi Migas nasional Indonesia. Misalnya, di tahun 2013, produksi Migas PT Pertamina hanya 12% dari produksi nasional. Selebihnya, 82% diproduksi oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap itu.

Ini berarti bahwa hanya sebagain kecil saja dari kegiatan-kegiatan sektor hulu Migas yang dikelola secara langsung oleh PT Pertamina. Sebagian besarnya dikelola oleh perusahaan swasta yang berbadan hukum badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Dengan demikian, pertimbangan hukum MK2012 itu masih belum terpenuhi seandainya BUMN yang ditugaskan untuk itu adalah PT Pertamina. Itu juga masih belum terpenuhi seandainyapun dibuat BUMN baru untuk menggantikan dan/atau mendampingi PT Pertamina. Indonesia belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen untuk melakukan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Selain itu, sebagian besar kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang ada sekarang ini sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Indonesia, yang sebagian lebih dari 20 tahun. Sangat sulit sekali untuk membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada tersebut dan/atau menerapkan kebijakan (beleid) nasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan Migas swasta tersebut.

Kemustahilan untuk melaksanakan pertimbangan hukum ini juga sudah diantisipasi oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut. Ini terlihat dari pertimbangan hukum lebih lanjut dari Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut, yang menyatakan bahwa pengelolaan langsung oleh BUMN ini tidak mutlak. Pengelolaan itu dapat juga diserahkan kepada asing sepanjang negara belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Untuk memperkuat argumen ini, MK 2012 ini juga menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir seperti yang dikehendaki oleh Proklamator Mohammad Hatta. Untuk itu MK2012 menyatakan:

“……Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia….

Uraian-uraian diatas mengarahkan kita pada dua kesimpulan penting. Pertama, negara akan lebih diuntungkan jika SDA yang dalam hal ini Migas dikelola oleh BUMN. Kedua, keuntungan yang lebih besar itu hanya mungkin terjadi jika negara memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Jika tidak memiliki hal-hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika SDA Migas itu tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah. Beri kesempatan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas.

Dengan demikian, isu kritis yang perlu kita bahas sekarang adalah menentukan pilihan entitas yang diserahkan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap itu. Maksud melakukan deals itu termasuk melakukan rangkaian kegiatan yang mencakup penandatanganan kontrak. Dan, pertimbangan hukum MK2012 menghendaki bahwa yang melakukan deals itu adalah BUMN. Butir [3.14] pertimbangan hukum MK dalam putusan ini berbunyi:

“…dikonstruksi dalam bentuk KKS8 ….. BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”

(13)

Tidak ada penjelasan mengapa MK2012 ini menghasilkan pertimbangan hukum seperti diatas. Tidak ada penjelasan bagaimana negara diuntungkan dengan menunjuk BUMN untuk melakukan deals tersebut. Diatas kesemua ini, tidak ada penjelasan apakah kegiatan BP MIgas selama 11 tahun terakhir untuk melakukan deals dengan perusahaan swasta tidak membuat negara lebih diuntungkan. Yang ada hanyalah petimbangan bahwa BP Migas tidak melakukan kegiatan pengelolaan SDA Migas secara langsung. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas.

Pertimbangan hukum Putusan MK 2012 pada butir [3.13.1], yang menyatakan bahwa BP Migas tidak melakukan pengelolaan langsung SDA Migas tetapi hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan, berbunyi:

“….BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas ….”

Seperti sudah disampaikan diatas, memang betul, fungsi pengelolaan (beheersdaad) tidak dilakukan oleh BP Migas. Tetapi, hal yang sama berlaku juga untuk PT Pertamina. PT Pertamina hanya melakukan sebagian kecil saja dari fungsi pengelolaan tersebut. Lebih persis lagi, wewenang dan tanggungjawab PT Pertamina dalam melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan tersebut yang mencakup melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap adalah persis sama dengan yang melekat pada BP Migas. Dalam kaitan ini Hasan (2013) menyatakan:

“…..tugas BP Migas sebagaimana ditetapkan ….. pada prinsipnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh PT PERTAMINA berdasarkan …..Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. …dalam pelaksanaan KKS yang menjangkau hingga ke manajemen operasi. Disini tanggung jawab BP Migas mencakup memberikan persetujuan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang diajukan oleh Kontraktor, termasuk pelaksanaan dari RKA seperti misalnya memberikan persetujuan untuk pengeluaran biaya (Authorization for Expenditure atau AFE), dan penetapan pihak ketiga sebagai sub-kontraktor.”

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pertimbangan hukum butir [3.14] MK2012 termaksud adalah cacat hukum. Pertimbangan hukum tersebut memihak ke PT Pertamina walaupun BP Migas berada pada posisi yang sama dengan PT Pertamina. Baik PT Pertamina maupun BP Migas tidak melakukan pengelolaan SDA Migas secara langsung. Masing-masing entitas tersebut hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas untuk wilayah kerja pertambangan yang dikelola oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap.

(14)

“….ketika kontrak telah ditandatangani, negara menjadi terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk membuat regulasi …….. kehilangan kedaulatannya dalam penguasaan sumber daya alam ……. Padahal negara, ….harus memiliki keleluasaan membuat aturan yang membawa manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Mungkin kita sependapat bahwa pokok pikiran MK itu cacat hukum. Pertama, MK tidak dapat menunjukan satupun bukti tentang terjadinya ketidakleluasaan pemerin-tah untuk menerbitkan regulasi termaksud, jika ada, dalam kurun waktu 11 tahun Rezim KKS BP Migas. Dari sisi sebaliknya, MK juga tidak dapat menunjukan satupun bukti, juga jika ada, tentang tersedianya ke-leluasaan pemerintah untuk mener-bitkan regulasi termaksud selama 51 tahun rezim KKS PT pertamina. Kedua, Pemerintah tidak dapat sesuka hati (sewenang-wenang), dengan dalih apapun, membuat regulasi yang bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak yang sudah ditandatangani, terlepas apakah kontrak itu ditandatangani oleh BUMN atau BHMN. Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang merasa dirugikan dengan terbitnya regulasi baru pemerintah tetap saja dapat memperkarakan regulasi itu ke badan arbitrase internasional, terlepas dari apakah itu BUMN, atau, BHMN yang menandatangani kontrak termaksud.

Lebih jauh lagi, perlu dipahami bahwa kapasitas diskresi pemerintah dalam membuat regulasi dan/atau peraturan perundang-undangan dengan tujuan pencapaian “kemakmuran” tersebut, tetap terbatas sekalipun pada rezim konsesi dan bukan rezim KKS. Diskresi yang berlebihan dan menjurus kesewenang-wenangan akan menyebabkan investasi di sektor hulu Migas menjadi tidak menarik lagi dan para kontraktor hengkang ke luar negeri. Ini tentu saja tidak menguntungkan dan oleh karena itu tidak diingini serta bertentangan dengan semangat pengelolaan SDA Proklamator Mohamad Hatta.

Faktor penting yang menyebabkan ini adalah besarnya nilai investasi dan/atau risiko dalam bidang usaha sektor pertambangan. Selain itu, sektor ini membutuhkan highly skilled manpower dan tingginya tingkat efisiensi dalam pengelolaan organisasi perusahaan.

Tafsir Pasal 33 UUD 1945 dalam Putusan MK 2004:

Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Catatan: BHMN atau BUMN untuk melakukan pengelolaan SDA Migas secara tidak langsung adalah tidak bertentangan dengan konstitusi. Juga, yang patut dicermati bahwa keempat unsur selain unsur keempat, pengelolaan (beheersdaad), pada prinsipnya otomatis melekat pada fungsi atau peran negara dan ini bersifat universal

(15)

Contoh terkini tentang terbatasnya diskresi pemerintah untuk membuat regulasi yang bertentangan dengan kontrak-ontrak yang sudah ditandatangani adalah kasus UU Minerba 2009 yang mulai diberlakukan dalam tahun 2010. UU ini menyatakan bahwa KKS-KKS pengusahaan batubara dan/atau mineral yang sudah ditandatangani masih tetap berlaku. Pasal 169 huruf a berbunyi:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian

Ketentuan tersebut berlaku secara umum dan terlepas apakah dengan deals PT (Persero) Bukit Asam, atau, PT (Persero) Antam, atau, deals yang dibuat langsung oleh Pemerintah c.q. Kementerian ESDM (d/h Kementerian Pertambangan). Misalnya, kasus KKS antara PT Bukit Asam (Persero) dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal tetap dinyatakan berlaku walaupun banyak regulasi yang tertuang dalam UU Minerba 2009 bertentangan dengan isi kontrak antara kedua perusahaan pertambangan batubara tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk KKS yang ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan Energi, I.B. Sudjana dengan PT Kalimantan Energi Lestari.

Jauh ke belakang, hal yang serupa juga berlaku dalam kasus pemberlakuan UU Pertambangan 1960. UU ini jelas menyatakan bahwa rezim pengelolaan sektor pertambangan Indonesia adalah kontrak kerja sama (KKS). Walaupun, demikian perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi dengan konstruksi izin (konsesi) dan juga diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, utamanya tiga terbesar perusahaan asing ketika itu yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex tidak secara otomatis mengganti konstruksi hukum usaha mereka. Diperlukan negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kesepakatan perubahan konstruksi konsesi menjadi konstruksi kontrak (lihat uraian terdahulu).

Terlepas dari cacatnya pokok-pokok pikiran pertimbangan hukum MK diatas, kita masih dapat mengatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut adalah sebagai tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Disini kelihatannya yang ingin dikatakan adalah bahwa “pengelolaan cabang produksi hulu Migas dengan konstruksi (pola) Kontrak Kerja Sama (KKS), yang mencakup penandatanganan (KKS) dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap, harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina9.”

Perlu juga kita cermati kata kunci “konstruksi”. Kata konstruksi Ini perlu kita artikan sebagai batasan dari tafsir tersebut yaitu keharusan penyerahan pengelolaan sektor hulu Migas kepada BUMN hanya sebatas jika konstruksi pengelolaan tersebut adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Keharusan BUMN tersebut gugur dengan sendirinya jika menggunakan konstruksi lain seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) Migas. Disini tidak ada kontrak yang perlu dibuat antara Pemerintah dan/atau BUMN dengan perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sektor hulu Migas. Yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah izin konsesi atau izin usaha.

Konstruksi IUP ini berlaku di rezim pertambangan mineral dan batubara (UU Minerba 2009). Konstruksi yang serupa terdapat juga di banyak cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak yang lain. Misalnya, di sektor kehutanan, izin-izin usaha yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencakup penerbitan IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam.

(16)

Lihat juga sektor agraria (pertanahan) yang dikelola langsung oleh Pemerintah dan tidak ada penugasan sama sekali ke BUMN. Pemerintah c.q. Badan Pertanahan Nasional (Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional) menerbitkan beberapa hak pemanfaatan tanah yang mencakup Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Sewa. Guna Tanah. (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria)

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan entitas BHMN SKK Migas masih dapat dipertahankan jika rezim pengelolaan sektor hulu Migas diganti dari rezim kontrak menjadi rezim perizinan. Disini BHMN SKK MIgas sangat jelas adalah setara dengan BHMN BPN (Badan Pertanahan Nasinal). Jika demikian halnya, maka SKK Migas dapat diberikan tugas dan tanggungjawab lain misalnya pengelolaan perizinan dan pegawasan sektor hulu Migas.

Selanjutnya, coba kita lanjut dengan Amar Putusan MK 2012 butir 1.7, yang nantinya, minimum, membawa implikasi hukum yang berlarut-larut. Butir ini berbunyi:

Fungsi dan tugas Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi10 dilaksanakan oleh Pemerintah, c.q. Kementerian terkait, sampai diundangkannya Undang-Undang yang baru yang mengatur hal tersebut.”

Setelah dibubarkan, MK mengalihkan tugas BP Migas ke pemerintah. Namun, yang menarik adalah ternyata Pemerintah bukan saja tetap mempertahankan rezim kontrak tetapi juga tidak segera menunjuk BUMN seperti PT Pertamina untuk mengelola sektor hulu Migas yang merupakan bagian terpenting dari Amar Putusan MK 2012 ini. Coba kita lihat kembali sebagian kutipan dari Pertimbangan hukum MK butir [3.14] yang sudah disajikan diatas, yang berbunyi:

“…….BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap……”

Sebaliknya, Pemerintah setelah membubarkan BP Migas membentuk BHMN baru yaitu SKK Migas yang ditugaskan untuk melakukan KKS dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap. Wewenang dan tanggungjawab SKK MIgas, yang masih tetap melanjutkan pola (konstruksi) KKS, pada prinsipnya persis sama dengan BP Migas. Hanya ganti nama doang, dari BP Migas menjadi SKK Migas. Perbandingan antara tugas dan fungsi BP Migas dengan SKK Migas disajikan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2. Perbandingan Tugas dan Fungsi BP/SKK Migas

Tugas dan Fungsi BP Migas Tugas dan Fungsi SKK Migas 1. Melakukan pengawasan terhadap kegiatan

usaha hulu minyak dan gas;

2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerjasama;

3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak Kerja Sama;

1. Melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha

hulu minyak dan gas bumi berdasarkan Kontrak Kerja Sama

2. Memberikan pertimbangan kepada Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral atas kebijaksanaannya dalam hal penyiapan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Kerja Sama;

(17)

4. Mengkaji dan menyampaikan rencana pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri untuk mendapatkan persetujuan;

5. Memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

6. Melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

7. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(UU No 22 tahun 2001)

3. Melaksanakan penandatanganan Kontrak

Kerja Sama;

4. Mengkaji dan menyampaikan rencana

pengembangan lapangan yang pertama kali akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral untuk mendapatkan persetujuan;

5. Memberikan persetujuan rencana

pengembangan selain sebagaimana dimaksud dalam poin sebelumnya;

6. Memberikan persetujuan rencana kerja dan

anggaran;

7. Melaksanakan monitoring dan melaporkan

kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama; dan

8. Menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas

bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(Peraturan Menteri ESDM No 9/2013 & Perpres No 9/2013)

Masing-masing butir 1 dari BP Migas dan SKK Migas pada prinsipnya menyatakan bahwa baik BP maupun SKK Migas diberikan wewenang dan tanggungjawab yang sama untuk mengelola sektor hulu MIgas. Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab tersebut dijabarkan dalam butir-butir selanjutnya, yang untuk BP Migas itu dijabarkan dalam butir 2 sampai dengan butir 7 dan untuk SKK Migas dijabarkan dalam butir 2 hingga butir 8. Namun demikian, perbedaan jumlah butir tersebut tidak menyebabkan adanya perbedaan wewenang dan tanggungjawab yang prinsipil. Hal ini mirip dengan dagelan Tukul Arwana, yang menurut Mujiburohman (2013) adalah:

Ingat dengan program Talk Show Tukul Arwana di Trans7, yang kemudian pada tahun 2008 empat mata dilarang oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap tidak layak tayang karena tidak sesuai dengan norma dan tradisi ke-Indonesia-an. Namun, justru pihak Trans7 mengakali vonis tersebut dengan mengubah nama program tersebut menjadi Bukan Empat Mata dan tetap menayangkannya. Hal ini serupa dengan yang terjadi dengan BP Migas…….Tidak ada perbedaan yang berarti antara BP Migas dengan SKK Migas

(18)

“……hak menguasai negara yang dipermasalahkan ketika BP Migas eksis pun terulang kembali dengan adanya SKK Migas. Kewenangan BP Migas yang hanya sebatas pengendalian dan pengawasan ….ternyata tetap diterapkan pada SKK Migas.”

Wicaksono (2015) tersebut dalam kesimpulannya menggugat agar SKK Migas juga segera dibubarkan dan diganti dengan BUMN. Ini dinyatakannya sebagai berikut:

“….revisi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 ….kelembagaan pengelola minyak dan gas bumi yang berbentuk Badan Usaha Milik Negara ….sesuai dengan pertimbangan yang diberikan oleh Mahkamah Konstitusi…

Desakan untuk sesegera mungkin merevisi UU MIgas 2001 tersebut juga disuarakan jauh sebelum ini oleh LSM Gerakan Menegakan Kedaulatan Negara (GMKN). Aspirasi LSM ini yang disampaikan di Gedung DPR RI tanggal 8 Januari 2013 disampaikan oleh beberapa politisi nasional seperti Fuad Bawazier dan beberapa tokoh yang juga merupakan penggugat UU Migas 2001 tersebut seperti Adhie M. Massardi, Marwan batubara, dan Din Syamsudin. Adhie M. Massardi menyatakan:11

Kami mendesak DPR dan Pemerintah untuk segera membentuk UU Migas baru yang sesuai dengan amanat UUD 45 Pasal 33.”

Dapat kita duga bahwa UU Migas yang baru yang mereka maksudkan tersebut tentunya adalah yang memberikan kewenangan dan/atau semacam kuasa pertambangan ke BUMN seperti PT Pertamina. BHMN semacam BP/SKK Migas tentunya menurut pendapat mereka itu tidak sesuai dengan konstitusi.

Dari berbagai uraian diatas dapatlah disimpulkan bahwa sebetulnya penunjukan SKK Migas oleh Pemeritah sebagai ganti BP Migas, sepanjang masih menggunakan konstruksi kontrak, adalah

(19)

bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. SKK Migas yang saat ini operasinya sudah memasuki tahun keempat seharusnya segera dibubarkan. akan melaksanakan hal tersebut setelah revisi UU Migas 2001 disyahkan. Pertanyaannya sekarang adalah kapan revisi tersebut disyahkan?

Pertanyaan tersebut layak kita angkat sebab draft revisi UU Migas 2001 tersebut sudah disampaikan oleh Pemerintah ke DPR RI di tahun 2013. Pembahasan di DPR sangat alot dan berlarut-larut dan belum tercapai kesepakatan hingga berakhirnya jabatan DPR RI sebelumnya, DPR telah melakukan kajian dan hasilnya ‘hangus’ seiring dengan berakhirnya tugas mereka… ……Khusus soal Migas ……. bisa dibayangkan proses yang terjadi, tarik menarik antara kepentingan yang berbeda.”

Mungkin kita sependapat dengan penulis diatas bahwa faktor utama yang menyebabkan berlarut-larutnya penyelesaiaan revisi UU tersebut adalah adanya unsur tarik menarik antara “kepentingan” yang berbeda. Kementerian ESDM terkesan berkepentingan untuk mempertahankan keberadaan entitas BHMN SKK MIgas dengan alasan yang tidak begitu jelas. Di sisi lain, terkesan DPR berkeberatan akan hal

Ada 7 KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2014. 1. PT Baradinamika Citra Lestari; 2. Konsorsium Bukit Energy Palmerah Baru Pte Ltd-NZOG Palmerah baru Pty Ltd. – PT Surya Selaras Sejahtera; 3. Konsorsium Krisenergy (Sakti) B.V. - Golden Heaven Jaya; 4. Golden Code Commercial Ltd; 5. Husky Anugerah Limited; 6. PT Innovare Gas; 7. PT Pertamina Cepu Cepu ADK.

(Siaran Pers Kementerian ESDM 26 Februari 2014, diakses 29 April 2016)

KKS yang ditandatangani SKK Migas tahun 2015: 12 kontrak 1. Konsorsium Conocophilips – PC Kualakurun; 2. Mentari Garung Energy Ltd; 3. Shell Pulau Moa Pte Ltd; 4. Konsorsium Sepapua Energy Pte. Ltd – Kau 2 Pte. Ltd; 5. PT Pertamina Hulu Energi Abar;

6. PT Pertamina Hulu Energi Anggursi; 7. PC North Madura II Ltd; 8. Statoil Indonesia Aru Trough I B.V; 9. Konsorsium Pacific Oil & Gas Ltd. – Bukit Energy – NZOG MNK KIsaran; 10. Konsorsium

Blok MNK Kisaran, Sumatera Utara, dengan kontraktor

(Siaran Pers Kementerian ESDM, 22 Mei 2015, diakses 29 April 2016)

(20)

ini dan lebih menyukai untuk menugaskan bahwa pihak-pihak yang berperkara dan/atau terkait tersebut lebih terobsesi memperdebatkan frasa “dikuasai oleh

negara” dan mengkerdilkan frasa

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal kedua frasa tersebut diperlakukan setara, maka implementasi Pasal 33 UUD 1945 tersebut tidak akan menimbulkan polemik kronis seperti ini.

Pentingnya penyatuan kedua frasa

“dikuasai oleh negara” dan “dipergunakan

sebesar-besar kemakmuran rakyat,” secara eksplisit tertuang dalam Putusan MK (2012). Butir [3.11] alinea kedua Pertimbangan Hukum Putusan ini berbunyi:

“Menurut Mahkamah, Pasal 33 UUD 1945, menghendaki bahwa penguasaan negara itu harus berdampak pada sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, “pengertian dikuasai oleh negara” tidak dapat dipisahkan dengan makna untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang menjadi tujuan Pasal 33 UUD 1945.”

Perlu kita ingat bahwa “sebesar-besar kemakmuran rakyat” tercapai jika tercapainya efisiensi penguasaan oleh negara tersebut. Termasuk dalam pengertian efisiensi ini adalah tidak terjadinya pemborosan dan/atau KKN dalam pelaksanaan dikuasai oleh negara tersebut. Biaya-biaya yang dikorbankan adalah terkecil untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tersebut.

Ini konsisten dengan frasa “efisiensi” yang dituangkan dalam ayat 4 Pasal 33 UUD 1945. Lebih jauh lagi, ayat 4 ini merangkum roh ketiga ayat yang terdahulu: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara, menguasai hajat hidup orang banyak, dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuian bagi seluruh rakyat Indonesia. Ketiga roh tersebut harus dipersatukan dalam kesatuan wadah “efisiensi.” Ayat 4 Pasal 33 UUD 1945 berbunyi:

“Perekonomian nasional diselenggarakan ……dengan prinsip ……, efisiensi,..” Lima konten utama Revisi UU Migas 2001 yang

diusulkan oleh Menteri ESDM, Sudirman Said:

Text Box: 7

1. Perbaikan iklim investasi;

2.Merubah entitas BHMN SKK Migas menjadi BUMN Khusus yang diberikan hak kuasa pertambangan; 3.Mensinergikan BUMN Migas yang sudah ada seperti PT Pertamina dan PT Perusahaan Gas Negara (PT PGN);

4. Mendorong peningkatan daya saing PT Pertamina dan memberikan keistimewaan pada PT Pertamina untuk mendapatkan blok-blok Migas yang masa kontraknya telah habis; dan

5. Memperbaiki sistem pungutan negara di sektor Migas untuk menghilangkan cara pandang bahwa Migas hanya dijadikan sebagai alat penerimaan negara saja.1 Butir kedua merupakan butir yang terpenting.

(21)

Di sektor hulu Migas, bebarapa indikator efisiensi tersebut mencakup investasi, konservasi sumber daya alam Migas, kesempatan kerja dan berusaha termasuk kesempatan berusaha perusahaan nasional, tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility), dan tentu saja penerimaan negara dalam bentuk pajak dan bukan pajak (royalty). Adanya tafsir yang berbeda dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 tersebut seharusnya hanya dapat terjadi jika dilandasi oleh pertimbangan efisiensi sebagaimana tertuang dalam ayat 4 Pasal 33 UUD1945 dan dalam kerangka “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.

Isu efisiensi juga sebetulnya tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2012. Butir [3.13.4]pertimbangan hukum tersebut berbunyi:

“Menimbang bahwa tujuan utama …..pengelolaan sumber daya alam “untuk sebesar

-besar kemakmuran rakyat” sehingga implementasinya …..harus disusun berdasar rasionalitas birokrasi yang efisien dan tidak menimbulkan peluang inefisiensi dan penyalahgunaan kekuasaan. ….segera memulai penataan ulang pengelolaan sumber daya alam ….yang berorientasi … “manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat” dengan organisasi yang efisien….”

Walaupun demikian, sebagaimana sudah disampaikan terdahulu, Putusan MK 2012 tersebut gagal menghadirkan bukti-bukti yang terkait dengan isu efisiensi ini. MK tidak dapat memperlihatkan bukti terjadinya inefisiensi selama 11 tahun operasi BP Migas sejauh ini dan/atau potensi kerugian di masa depan jika BP Migas tetap dipertahankan12. Hal serupa juga tertuang dalam dissenting opinion Putusan MK 2012 (Hakim Konstitusi Harjono) dan artikel Hasan (2013).

Pertimbangan efisiensi tersebut akan memperluas dan memperluwes tafsir “dikuasai oleh negara” termaksud. Ini berarti bahwa semua pola yang akan diterapkan tidak akan bertentangan dengan konstitusi sepanjang pola yang dipilih tersebut menjamin tercapainya efisiensi tertinggi dibandingkan dengan pola lain yang tersedia. Dengan kata lain, pertimbangan efisiensi lah yang akan menetapkan pola pengelolaan sektor ekonomi yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD 1945 termasuk sektor hulu Migas. Dengan demikian, apakah pola pengelolaan tersebut konsesi atau kontrak kerjasama, kontrak bagi laba atau bagi hasil, BUMN atau BHMN, tergantung dari pola mana yang akan menghasilkan efisiensi tertinggi.

Grafik 1. Perkembangan Produksi Minyak Mentah Indonesia: 1980 - 2016

(22)

Sumber: Index Mundi & NKRAPBN untuk 2014 – 2016

Grafik 1 diatas memperlihatkan trend menurun produksi minyak mentah Indonesia. Trend menurun sebetulnya sudah mulai di tahun 1982 ketika PT Petamina masih memegang hak eksklusif monopoli atas SDA Migas. Walaupun demikian, trend penurunan di Era Monopoli Pertamina yang terus berlanjut baru dimulai tahun 1991.

Ketika pengelolaan sektor hulu Migas, yang mencakup kegiatan produski minyak mentah, dialihkan dari PT Pertamina ke BP Migas seiring dengan berlakunya UU Migas 2001, penurunan produksi minyak mentah Indonesia sudah mencapai titik 1.340 barrel/hari, yang pada tahun 1991 masih pada titik 1.592 barrel/hari. Terlihat bahwa BP Migas tidak dapat berbuat banyak untuk mencegah laju penurunan produksi Migas Indonesia ini. Penurunan ini terus berlanjut dan sudah mencapai 875 barrel/hari pada tahun 2012 ketika MK mencabut kewenangan BP Migas dan menyerahkannya ke Pemerintah/SKK Migas. Selanjutnya, dalam periode pengelolaan SKK Migas, hal yang sama terus berlanjut dan produksi minyak mentah Indonesia penurunannya sudah mencapai 810 barrel/hari di tahun 2016 (asumsi makro APBNP_2016).

Pelajaran yang dapat kita ambil disini adalah terlihat indikasi yang kuat bahwa perubahan penyerahan kewenangan pengelolaan sektor hulu Migas, dari PT Pertamina ke BP Migas dan kemudian ke SKK Migas, tidak mempengaruhi pola alami penurunan produksi minyak mentah Indonesia. Dengan kata lain, ketiga entitas tersebut sama-sama tidak berhasil menghentikan deplesi dan/atau meningkatkan produksi minyak bumi Indonesia dalam periode 1981 hingga saat ini; selama 35 tahun.

Dengan demikian, UU Migas 2001 dapat dikatakan gagal memenuhi amanat Pasal 33 UUD 1945, dari perspektif efisiensi produksi utamanya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Hal yang serupa terjadi kembali dengan Putusan MK 2012. Putusan ini tidak berdampak sama sekali atas upaya peningkatan produksi minyak mentah Indonesia. Penciptaan perangkat hukum yang sia-sia dan hanya menghabiskan sumber-sumber langkah negara yang ada.

Walaupun demikian, sebetulnya kita masih bisa membandingkan tingkat efisiensi dari ketiga entitas tersebut dalam aspek biaya dan penerimaan negara. Unsur biaya tersebut utamanya mencakup

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1600 1800

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 2016

Produksi Minyak Mentah Indonesia; Ribu

BBL/Hari

UU Pertambangan 1960 & UU Pertamina 1971

UU Migas 2001

(23)

cost recovery dan fee penjualan bagian Migas Pemerintah. Sedangkan unsur penerimaan negara adalah penerimaan pajak dan penerimaan hasil penjualan Migas bagian pemerintah.

Kalu kita kembali pada opsi KKS bagi laba atau KKS bagi hasil, dalam kaitannya dengan analisa efisiensi tersebut, sementara dapat kita lihat bahwa ada dua kelemahan yang menonjol dari pola KKS bagi hasil. Pertama, pemerintah perlu mengeluarkan biaya cost recovery atas pembelian aset-aset yang dibeli dan digunakan oleh kontraktor KKS. Aset-aset tersebut ketika diserahkan ke pemerintah dalam waktu 20 hingga 30 tahun mendatang, sebagian sudah merupakan besi tua dan/atau teknologi yang digunakan sudah berubah. Kedua, pemerintah perlu mengeluarkan fee jasa penjualan Migas bagian pemerintah. Nilai fee tersebut berkisar antara 1,84 hingga 3,89 triliun rupiah setiap tahunnya.

Sebelum UU Migas 2001 fee ini diterima PT Pertamina. Setelah UU Migas 2001 hingga Putusan MK 2012, penerima fee tersebut adalah BP Migas dan PT Pertamina. Sedangkan pasca Putusan MK 2012, penerima fee adalah SKK Migas hingga tahun 2014. Penerima fee kembali ke PT Pertamina di tahun 2015 ketika pengelolaan SKK Migas didanai oleh APBN yaitu ketika SKK Migas dijadikan Satker di Kementerian ESDM.

Perkembangan fee penjualan Migas bagian pemerintah dari tahun 2007 hingga tahun 2012, disajikan di tabel dibawah ini. Formula fee tersebut 5% nilai jual – 60% pajak13. Sedangkan nilai jual merupakan hasil perkalian antara volume produksi dan harga.

Grafik 2. Perkembangan Fee untuk Pertamina/BP (SKK) Migas: 2007 – 2015. Rp Triliun

Sumber: Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), LKPP, beberapa edisi, diolah.

Perlu diketahui bahwa sebagian besar produksi minyak dan gas Indonesia berasal dari perusahaan swasta yang didominasi oleh perusahaan asing. Chevron Pacific Indonesia menguasai sebesar 47% dan PT Pertamina hanya 18%, selebihnya adalah swasta yang sebagian besar adalah swasta asing. Grafik 3 dibawah ini menyajikan komposisi produsen Migas Indonesia di tahun 2013.

13 Putusan MK 2004; data dari para pemohon.

2.13 1.84 1.84

3.89 3.68 2.56

2.31

3.71 2.72

0 1 2 3 4 5

(24)

Grafik 3. Distribusi Produksi Produsen Migas Indonesia

Sumber: SKK Migas-IPA Technical Division presentation dalam PwC (2014), diolah

Grafik itu sebetulnya dapat mengarahkan kita pada opsi efisiensi dengan masih merujuk ke konstruksi KKS bagi hasil (natura/in kind). Pertanyaannya adalah PT Pertamina atau SKK/BP Migas yang paling efisien dalam mengelola sembilan perusahaan-perusahaan Migas tersebut? Jika itu SKK/BP Migas dimana letak urgensi merubah status hukumnya menjadi BUMN baru? (lihat Tabel 1 dan 2 diatas).

Opsi selanjutnya adalah KKS bagi hasil, seperti sekarang, atau, KKS bagi laba seperti yang dilaksanakan di tahun 1960? Atau, pertanyaan yang lebih strategis lagi adalah apakah tidak sebaiknya pemerintah lebih menyempurnakan sistem perpajakan di sektor hulu Migas ini dan beralih ke rezim perizinan (konsesi) saja? Misalnya, dengan mengadopsi sistem Pajak Super Profit seperti yang diterapkan oleh Pemerintah Australia14.

Dengan demikian, adalah mendesak sekali untuk mengembangkan perbandingan tingkat efisiensi antara berbagai pola (konstruksi) yang tersedia. Hasil ini dengan demikian dapat dijadikan sebagai sebagian rujukan dalam menyusun Naskah Akademis revisi RUU Migas 2001. Sekali lagi, semua alternatif yang tersedia tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang menjamin tingkat efisiensi tertinggi dalam

kerangka tercapai “sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.”

Lebih menarik lagi, kesimpulan untuk lebih fokus pada isu efisiensi tersebut mengarahkan kita pada premis awal yang disampaikan dalam tulisan ini bahwa sebetulnya Pasal 33 UUD 1945 itu tidak mengatur apa-apa. Dengan kata lain, pencabutan/pembatalan Pasal 33 UUD 1945 tidak akan menggugurkan kewajiban negara untuk memakmurkan dan mensejahterahkan segenap bangsa dan rakyat Indonesia. Secara universal, adalah fitrah suatu negara untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan sumber-sumber langkah yang tersedia, termasuk SDA Migas, dalam kerangka maksimalisasi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat.

Demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara menyeluruh, Faisal Basri, Ekonom Universitas Indonesa, bahkan menyampaikan gagasan yang lebih revolusioner. Menurutnya, tidak

14 Lihat, Australia (2010)

47% 18%

9% 6% 5% 5% 4% 4% 2%

0% 10% 20% 30% 40% 50%

Chevron Pacific Indonesia Pertamina Total E&P Indonesia PHE-ONWJ CNOOC Ses.Ltd Conoco Phillips Ind. Ltd Cico Mobil Cepu Ltd. PetroChina Int. (Jabung) Ltd

(25)

diperlukan mengutakatik SKK Migas dan/atau merevisi UU Migas2001 untuk pencapaian efisiensi pengelolaan sektor minyak dan gas bumi Indonesia. Syeirezi (2015) menyatakan:

Tim Reformasi Tata Kelola Migas (TRTKM), yang dipimpin ekonom Faisal Basri, ….merilis 12 rekomendasi final, mencakup reformasi tata kelola hulu dan tata niaga hilir… …..,..TRTKM sama sekali tidak menyinggung dan merekomendasikan revisi UU Migas.”

Hikmah yang dapat kita ambil disini adalah bahwa terlalu naif (sangat keterlaluan) untuk menyerahkan tafsir Pasal 33 UUD 1945 hanya kepada Tim Hakim Konstitusi. Lebih mendasar lagi, perlu kita ingat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu terkait dengan prinsip tatanan ekonomi Indonesia. Perumusan tersebut seharusnya melibatkan juga para ekonom dan pakar pertambangan dalam skala nasional selain

melibatkan para pakar hukum.

Lebih jauh lagi, kita tentunya sepakat bahwa memang betul Naskah Akademis (NA) sebagai dasar dari penyusunan RUU melibatkan berbagai pakar termasuk pakar ekonomi dan pakar teknik. Walaupun demikian, perekrutan para pakar termaksud tidak begitu terbuka dan transparans serta umumnya pembahasan dan/atau perdebatan substansi yang dilakukan lebih bersifat dalam lingkungan internal dan tidak tuntas. Lebih parah lagi, banyak substansi penting NA RUU merujuk ke hasil kajian yang tidak dipublikasikan dan/atau tidak dapat diakses oleh publik.

Coba kita berkunjung ke website pihak-pihak yang terkait dengan legislasi dan/atau produk hukum. Di website DPR RI, misalnya, jangankan Naskah Akademis RUU, Naskah RUUnya sendiri pun tidak dapat kita akses. Kebuntuan yang serupa terjadi jika kita berkunjung baik ke website Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia maupun ke Kementerian Sektretariat Negara. Semua instansi pemerintah tersebut hanya menyediakan peraturan perundang-undangan yang sudah disyahkan.

Dengan demikian, sulit untuk mengatakan bahwa NA RUU sejauh ini sudah mengakomodir arus utama berbagai disiplin ilmu yang yang dibutuhkan. Untuk itu, penulis berpendapat memang sebaiknya jangan membuat UU Migas baru dulu sebelum adanya kesepakatan nasional tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara,” dan, tafsir frasa “sebesar-besarnya digunakan untuk kemakmuran rakyat,” atau, lebih luas lagi, sebelum adanya penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 secara utuh.

Hasan (2013) merupakan salah seorang penggagas penyatuan tafsir Pasal 33 UUD 1945 tersebut. Menurutnya penyatuan tafsir tersebut lebih memberikan kepastian hukum atas tafsir frasa-frasa dalam

Tugas Pokok Negara secara Universal

Text Box: 8

USA Embassy (2016), misalnya, menyatakan:

“…The United States and many other countries have intervened in their economies to limit concentrations of power and address many of the social problems associated with unchecked private commercial interests. As a result, the American economy is perhaps better described as a "mixed" economy, with government playing an important role along with private enterprise…..” Hasan (2006) menyatakan:

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina
Tabel 2. Perbandingan Tugas dan Fungsi BP/SKK Migas
Grafik 1 diatas memperlihatkan trend menurun produksi minyak mentah Indonesia. Trend
Grafik 2. Perkembangan Fee untuk Pertamina/BP (SKK) Migas: 2007 – 2015. Rp Triliun
+5

Referensi

Dokumen terkait

Ya oke, terus kalau begitu, Parninggolan Pengabean, Posma Uli Hutagalung, Dimpos Limbong, Pangibulan Situmeang, Edison Simanullang, Juhri Tanjung, Dede Pardede, Umriadi

Pnt. Berita yang diajukan adalah berita yang bisa dipertanggungjawabkan & diajukan secara tertulis. Warta Jemaat selalu diterbitkan setiap hari Minggu. Batas waktu pengajuan

Selain itu, perencanaan strategis SI/TI juga menjelaskan berbagai tools , teknik, dan kerangka kerja bagi manajemen untuk menyelaraskan strategi SI/TI dengan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Gencatan senjata yang telah terjadi diantara Korea Utara dan Korea Selatan pada tahun 1953 berakhir pada suatu keputusan, yaitu adanya pengakhiran perang setelah

Pelayanan pendidikan dapat dinilai baik dan berkualitas didasarkan dengan kinerja baik dari tenaga pengajar, tenaga administrasi maupun fasilitas yang ada, sehingga

Pada KHM, nilai fungsi tujuan dihasilkan dengan mencari total rata-rata harmonik dari seluruh titik data terhadap jarak antara masing-masing titik data ke seluruh

Jika pemberian ekstrak daun ketapang ( Terminalia catappa L.) mengandung antioksidan yang dapat memperbaiki kerusakan hepatosit serta menurunkan kadar enzim SGOT