• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L Y U D I S I A L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "J U R N A L Y U D I S I A L"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

PERGULATAN NALAR DAN NURANI

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.AB Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM "HARD CASE" PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT Widodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda

Sidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang PENGUJIAN SUBSTANSI PERDA

DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 119/Pid.B/2005/PN.Ska

Hari Purwadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN

KASUS KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLP Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-III/No

-03/Desember/2010

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(2)

PERGULATAN NALAR DAN NURANI

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.AB Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM "HARD CASE" PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT Widodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram

CACAT YURIDIS PUTUSAN HAKIM BERSIFAT NON EXECUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda

Sidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang PENGUJIAN SUBSTANSI PERDA

DALAM SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI Kajian Putusan Nomor 119/Pid.B/2005/PN.Ska

Hari Purwadi, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret TELAAH ATAS ADJUDIKASI PUTUSAN

KASUS KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLP Widiada Gunakaya, Sekolah Tinggi Hukum Bandung Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-III/No

-03/Desember/2010

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(3)
(4)

J

urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:

Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email: jurnal@komisiyudisial.go.id

(5)

D

AF

TAR ISI

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM

DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT ... 207 Kajian Putusan Nomor 22K/PDT.G/2004/PN.AB,

Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara MENcARI KEbENARAN MATERIIL DALAM HARD cASE PENcURIAN TIGA bUAH KAKOO

DALAM PERKARA KORUPSI ... 220 Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT

Widodo Dwi Putro, Fakultas Hukum Universitas Mataram cAcAT yURIDIS PUTUSAN HAKIM bERSIfAT

NON ExEcUTORIAL DALAM PERKARA KORUPSI ... 238 Kajian Putusan Nomor 696/Pid.B/2005/PN.Sda

Sidik Sunaryo, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang PENGUJIAN SUbSTANSI PERDA DALAM

SIDANG PENGADILAN PERKARA KORUPSI ... 301 Kajian Pustaka Nomor 119/Pid.B/2005/PN.Ska

Hari Purwadi, Fakultas Hukum Sebelas Maret TELAAH ATAS ADJUDIKASI

PUTUSAN KASUS KORUPSI ... 327 Kajian Putusan Nomor 236/Pid.B/2009/PN.CLP

(6)

PENGANT

AR

PERGULATAN NALAR DAN NURANI

N

alar dan nurani, dua kata sederhana yang memiliki makna sangat mendalam. Membutuhkan kejernihan pikiran dan hati guna menerjemahkan dua kata di atas guna menunjukkan adanya kebenaran dan keadilan.

Sesungguhnya konsepsi tentang nalar dan nurani merupakan dua keping mata uang yang berbeda. Nalar cenderung mengedepankan pertimbangan rasionalitas dan bukti kasat mata, sementara nurani sarat dengan kejernihan hati melihat esensi di balik peristiwa. Alangkah indahnya apabila rasionalitas berbalut kejernihan hati menjadi satu kesatuan dalam setiap pengambilan keputusan, terlebih menyangkut nasib seseorang.

Bagi mereka yang memiliki wewenang untuk memutuskan perkara, dua kata di atas sangatlah sakral karena akan menghasilkan kesimpulan yang berbeda 180 derajat seperti salah benar, hitam putih, atau bahagia derita. Tanpa dengan nurani, keputusan yang diambil berdasarkan nalar terasa hambar lantaran mengedepankan logika-logika, begitu sebaliknya putusan apabila mengandalkan nurani sangat abstrak.

Dua kata di awal kata pengantar ini menjadi tema Jurnal Yudisial Volume III, yang merupakan edisi terakhir di tahun 2010. Apa yang menjadi dasar tema tersebut? Pertanyaan ini layak diajukan kepada kami selaku penerbit jurnal. Dari tujuh naskah yang layak diterbitkan memang memiliki karakter yang berbeda, ada naskah yang mengulas aspek filosofi, aspek illegal logging, korupsi, dan perempuan. Namun dari naskah di atas, ada kesamaan yang bisa diambil sebagai kesimpulan yaitu nalar dan nurani dalam memutuskan perkara.

Kami patut bersyukur dengan hadirnya Jurnal Volume III tahun 2010 karena kualitas naskah yang dikirimkan ke redaksi Jurnal Yudisial semakin membaik. Hal itu terbaca dari sisi alur berpikir, teori dan rujukan yang digunakan dalam menyusun naskah, dan tata bahasa sehingga tidak banyak perubahan naskah asli yang dilakukan oleh mitra bestari agar sesuai dengan prinsip-prinsip penulisan Jurnal Yudisial. Fakta lain yaitu dari tujuh naskah yang dikirimkan oleh penulis dari tujuh universitas yang berbeda sebagaimana termuat dalam edisi kali ini.

Tentu saja sangat membanggakan. Hal itu sesuai harapan kami agar pada masa- mendatang kualitas Jurnal Yudisial semakin meningkat dan menjadi salah satu rujukan kajian ilmiah terkemuka.

Sebagai penutup, kami mengucapkan terima kasih kepada Ketua Komisi Yudisial Dr. M. Busyro Muqoddas, S.H., M.Hum, Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si, Dr. Shidarta selaku Mitra Bestari, dan pihak-pihak lain yang membantu penerbitan Jurnal Yudisial ini.

Tertanda

(7)

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

fORMAT NASKAH I.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font)

Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH II.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman

14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

(8)

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN III.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH IV.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS V.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

KESIMPULAN VI.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah. PENGUTIPAN DAN DAfTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

(9)

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http:// www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

cARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

jurnal@komisiyudisial.go.id

dengan tembusan ke:

a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

(10)

MITRA BEST

ARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2011, Agustus 2011, dan Desember 2011. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. 2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. 4. Prof. Dr. Paulus Hadi S., S.H., M.H. 5. Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum. 6. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.

7. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M. 8. Prof. Dr. L. Budi Kagramanto, S.H., M.H., M.M. 9. Barkah, S.H., M.H.

(11)

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani 3. Heru Purnomo 4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar 6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita 3. Romlah Pelupessy. 4. Ahmad Baihaki 5. Arif Budiman. 6. Adi Sukandar 7. Aran Panji Jaya 8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

(12)
(13)

PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM

DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT

Kajian Putusan Nomor 22/PDT.G/2004/PN.AB

Shidarta

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email: darta67@yahoo.com

AbstrAct

Explicit formulation of legal reasoning is hardly ever existed in many court decisions. In theory, judges can articulate the reasoning by developing rigid and standardized sylogisms. Through the pattern of such sylogisms, this article aims to share the ways in analyzing the characteristics of legal reasoning and assessing the quality of a judicial decision concerning property dispute in Ambon, Maluku. The core problems as expressed in the sylogisms also draw our attention to the tension between adat and state laws.

Keywords: legal reasoning, property adat-law, legal pluralism.

AbSTRAK

Rumusan eksplisit tentang penalaran hukum terbilang sulit ditemukan dalam putusan-putusan pengadilan. Dalam teori, para hakim dapat menegaskan penalarannya melalui silogisme baku yang dibangun menurut tata aturan yang rigid. Lewat pola silogisme demikian, artikel ini memperagakan cara analisis terhadap penalaran hukum dan menilai kualitas dari putusan hakim tersebut terkait suatu perkara perebutan hak milik di Ambon, Maluku. Problema utama dari kasus ini diungkapkan dalam bentuk silogisme, yang pada gilirannya juga memperlihatkan adanya ketegangan antara hukum adat dan hukum negara.

(14)

PENDAHULUAN I.

Penalaran hukum adalah esensi terpenting dari pekerjaan seorang hakim, sekalipun eksponen

Critical Legal Studies seperti Duncan Kennedy selalu menyangsikan kekhasan dari penalaran hukum tersebut. Kennedy pernah berujar, “Teachers teach nonsense when they persuade students that legal reasoning is distinct, as a method for reaching correct results, from ethical or political discourse in general. There is never a ‘correct legal solution’ that is other than the correct ethical or political solution to the legal problem” (Kairys, 1982: 47). Kennedy mungkin lupa bahwa hukum berhubungan dengan problematika kemanusiaan yang kompleks, sehingga mustahil ia dapat senantiasa dinalarkan secara monolitik.

Penalaran hukum adalah fenomena yang multifaset. Kendati demikian, penalaran itu tidak boleh dilakukan sekehendak hati. Penalaran hukum adalah penalaran yang reasonable, bukan semata logical. William Zelermeyer (1960: 4) membedakan antara kedua istilah itu dengan kata-kata sebagai berikut: “We are dealing with human beings and not with things. We must reasonable. This means that the law and its decisions must be supported by reason; they must be products of arbitrary action. To be reasonable does not necessarily mean to be logical. Logic can lead to injustice, hence we must guard against its abusive use.”

Penalaran hukum memang paling tepat ditelusuri jika berangkat dari putusan hakim. Alasannya sederhana, sebagaimana dikatakan oleh A.G. Guest, “The object of a scientific inquiry

is discovery; the object of a legal inquiry is decision” (Hooft, 2002: 23). Tentu saja penalaran hukum berlaku dalam semua pekerjaan para pengemban profesi hukum lainnya di luar hakim. Namun, intensitas penalaran hukum yang dilakukan oleh para hakim memang paling tinggi tingkatannya. Tidak mengherankan jika akhirnya ada pandangan yang menyatakan bahwa legal reasoning itu pada hakikatnya adalah judicial reasoning.

Berangkat dari latar belakang pandangan para ahli hukum di atas, pada kesempatan ini akan diambil satu putusan sederhana untuk dapat dijadikan contoh guna memperagakan pola umum penalaran hakim dalam rangka penanganan suatu kasus hukum. Putusan yang terpilih secara arbiter berasal dari majelis hakim Pengadilan Negeri Ambon yang dibacakan pada tanggal 21 Oktober 2004, dengan registrasi perkara nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB. Walaupun dipilih secara arbiter, tidak dapat dipungkiri bahwa putusan ini memang mengandung segi-segi yang menarik untuk dianalisis dari aspek penalaran hukumnya. Putusannya sendiri hanya terdiri dari 25 halaman kertas ukuran kuarto dengan jarak ketikan 1,5 spasi. Dari total jumlah halaman tersebut, pertimbangan majelis hakim terkait “tentang hukumnya” dan “dalam pokok perkara” menyita tidak lebih dari lima halaman.

Kasus dalam putusan ini bermula dari gugatan perdata seseorang bernama KM melawan tergugat Pemerintah Republik Indonesia (cq Panglima TNI cq Kepala Staf AD cq Pangdam XVI Pattimura cq Kapaldam XVI Pattimura). Penggugat KM pada tahun 2004 mempersoalkan

(15)

keabsahan tanah yang diduduki oleh Paldam XVI Pattimura. Penggugat mengklaim dirinya, bersama dengan seseorang bernama HM (saudara kandung penggugat, tetapi ia tidak ikut menjadi penggugat) adalah ahli waris sah dari AM, pemilik sah Dusun Dati Pusaka Hautunan, atau yang sekarang dikenal sebagai daerah Skip di wilayah Ambon, Provinsi Maluku. Penggugat sendiri adalah cucu dari AM atau anak dari DM. Dengan demikian penggugat menyebut dirinya sebagai generasi ketiga dari AM, yang konon sudah menguasai tanah di sana sejak tahun 1814.

Jika menilik keterangan saksi-saksi yang dihadirkan di pengadilan, dapat ditangkap kenyataan bahwa nuansa sengketa atas tanah tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama, sekalipun tidak sampai ke pengadilan. Pada era penjajahan Belanda, tanah ini dipakai oleh Tentara Kolonial Belanda. Pasukan TNI-AD hanya mengambil alih bangunan di atas lahan seluas 10.000 m2, terhitung sejak tahun 1958. Saat ini lahan itu dipakai oleh Paldam XVI Pattimura. Sementara itu, di sekeliling Paldam itu berdiri rumah-rumah masyarakat, yang menurut kesaksian mereka, didirikan di atas tanah milik AM dan atas seizin keluarga penggugat. Namun, seiring perjalanan waktu, cukup banyak penghuni di lahan tersebut yang tidak lagi tahu asal-usul tanah itu sehingga ada yang justru membayar sewa ke Datasemen Bangunan Kodam XVI Pattimura dan pihak tergugat dengan berdasar pada perjanjian yang dibuat antara tergugat dan masyarakat. Penggugat menganggap pembayaran sewa demikian tidak sah mengingat dirinyalah sebagai pemilik lahan tersebut. Akibat perbuatan tergugat, penggugat menyatakan telah menderita kerugian Rp3,3 milyar.

Atas dasar itu, penggugat minta kepada majelis hakim agar dalam provisi diletakkan sita jaminan terhadap objek sengketa. Sementara dalam pokok perkara, primer penggugat meminta majelis: (1) mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; (2) menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang dilakukan oleh pengadilan terhadap objek sengketa; (3) menyatakan secara hukum bahwa Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah milik sah dari almarhum AM yang diwariskan kepada penggugat dan HM selaku para ahli waris yang sah; (4) menyatakan bahwa objek sengketa adalah satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Dusun Dati Pusaka Hautunan; (5) menyatakan tidak mempunyai kekuatan berlaku dan tidak sah seluruh surat perjanjian dan surat pembayaran yang diterbitkan secara sepihak oleh tergugat guna adanya pengakuan masyarakat bahwa tanah tersebut adalah hak tergugat; (6) menyatakan bahwa penguasaan objek sengketa oleh tergugat dengan tanpa izin dan sepengetahuan penggugat dan saudara penggugat HM adalah tanpa hak dan merupakan perbuatan melawan hukum; (7) menghukum tergugat membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp3.335.000.000,-; (8) memerintahkan kepada tergugat atau sekalian orang yang mendapat hak dari tergugat dengan tanpa seizin dan sepengetahuan penggugat agar keluar meninggalkan objek sengketa tanpa ikatan apapun dengan pihak lain dalam keadaan kosong dan aman; (9) menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan terlebih dulu walaupun ada banding, kasasi, dan perlawanan; dan (10) membebankan biaya perkara kepada tergugat.

Dalam jawaban atas surat gugatan itu, tergugat mengajukan eksepsi. Dalam eksepsi tersebut, tergugat mengajukan beberapa hal yang kemudian semuanya ditolak oleh majelis hakim, yakni

(16)

menyangkut:

Bahwa gugatan seharusnya ditujukan ke Presiden RI. Ada kesalahan penyebutan jabatan 1.

Ka. Staf AD karena tidak hierarkis;

Bahwa penggugat prinsipal diragukan keberadaannya karena tidak pernah hadir di 2.

pengadilan. Apalagi bukti haknya adalah akta di bawah tangan;

Bahwa silsilah keturunan penggugat diragukan. Jika menilik usianya seharusnya penggugat 3.

adalah generasi keempat, bukan ketiga (terhitung sejak 1814) dari pemilik Dusun Dati Pusaka Hautunan yang hidup sekitar 190 tahun lalu.

Selain tiga hal di atas, tergugat juga mengutarakan satu pandangan menarik. Menurut tergugat, dalam hukum adat Ambon dan Lease, tidak dikenal istilah dusun dati pusaka, yang ada adalah dusun pusaka dati. Menurut Keputusan Landraad Amboina No. 17/1918, dusun pusaka dati berarti dusun yang digarap atau diperusa oleh anggota dati sejak dulu dan kemudian menjadi pusaka. Rupanya penyebutan istilah dusun dati pusaka ini bertentangan dengan penyebutan atas status dusun-dusun sebagaimana lazim dikenal menurut ketentuan hukum adat yang berlaku di Ambon dan Lease. Intinya, tergugat ingin menegaskan bahwa akibat kesalahan penyebutan ini klaim kepemilikan penggugat patut diragukan, dan tergugat menilai ada kemungkinan gugatan ini hanyalah pura-pura.

Dalam pokok perkaranya, tergugat kembali mengutarakan dalih bahwa kesalahan penyebutan menjadi dusun dati pusaka telah menghilangkan substansi dari maksud gugatan karena berarti dusun ini tidak ada, sehingga dalil tentang kepemilikan penggugat atas Dusun Dati Pusaka Hautunan sesuai Register Dati 1814 tanpa menyebutkan di Negeri Adat mana di pulau Ambon tersebut tercatat atau teregister pada tahun 1814, telah mengakibatkan gugatan penggugat kabur dan tidak jelas.

Tergugat juga mempersoalkan kekeliruan batas-batas tanah objek sengketa yang disebut oleh penggugat. Demikian pula dengan sejarah penguasaan dan/atau pemilikan tanah, yang menurut tergugat selayaknya patut dimiliki oleh penggugat. Sejarah tanah itu, menurut tergugat bermula dari eks daerah/areal penguasaan kolonial Belanda yang bernama Plat Zelijk Motordiens, yakni tempat perbaikan peralatan teknis Tentara KNIL Belanda. Pemerintah Republik Indonesia memperoleh tanah objek sengketa itu setelah kemerdekaan berdasarkan penyerahan aset (overdrag). Selain itu, penggugat selama ini tidak pernah dikenal selaku pemilik objek sengketa dan selama puluhan tahun tidak mempunyai tanda perusa di atas tanah tersebut.

Sekalipun tergugat mengajukan dalih bahwa ketidakjelasan penyebutan istilah dusun dati pusaka sebagai bukti gugatan kabur dan tidak jelas, ternyata hal ini sama sekali tidak dibahas oleh majelis hakim terkait mana di antara kedua istilah itu yang tepat. Bahkan, majelis hakim cenderung untuk juga menggunakan istilah yang sama dengan penggugat. Majelis hakim kemudian masuk

(17)

ke dalam pokok perkara dengan memetakan duduk persoalan, dengan menyatakan: (1) hakikat dan bukti pokok yang dipersoalkan adalah tentang siapa pemilik sah Dusun Dati Pusaka Hautunan dan objek yang dipersengketakan adalah suatu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Dusun Dati Pusaka Hautunan; (2) Dusun Dati Hautunan sesuai Register Dati 1814 terletak di daerah yang saat ini dikenal bernama Skip, sebagian berada di Kelurahan Karang Panjang dan sebagian lagi berada di Kelurahan Batu, Kecamatan Sarimau, Kota Ambon; (3) penggugat tidak menyebut Negeri mana di pulau Ambon yang meliputi Dusun Dati Hautunan kecuali menyatakan dusun itu tercatat dalam Register 1814; dan (4) berdasarkan Surat Ukur Nomor 20 Tahun 1958 dan Surat Keterangan Nomor 600-234/2004 (dikeluarkan Kantor Pertanahan Ambon) disebutkan bahwa tanah sengketa ini adalah tanah negara yang selama ini dikuasai atau dimiliki tergugat.

Atas dasar fakta-fakta yang diyakini oleh majelis hakim tersebut, akhirnya pengadilan memutuskan (dalam pokok perkara) untuk menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dan menghukum penggugat membayar biaya perkara. Dasar pertimbangan yang digunakan oleh majelis untuk sampai pada amar putusan itu adalah sebagai berikut:

1. Penggugat tidak jelas menyebutkan ukuran luas tanah Dusun Dati Pusaka Hautunan mana yang akan dinyatakan sah secara hukum milik sah dari almarhum AM karena di dalam dalil-dalil gugatan penggugat disebutkan bahwa yang dikuasai oleh tergugat adalah sebagian dari tanah Dusun Dati Pusaka Hautunan yaitu seluas kurang lebih 10.000m2 (sementara ternyata tanah yang dikuasai oleh tergugat adalah seluas 108.900 m2 atau 10,89 ha).

2. Penggugat telah menyatakan bahwa pada tahun 1958 tergugat telah menguasai tanah sengketa dengan cara adanya pengalihan hak dari Pemerintah Belanda (Tentara Belanda), sehingga dengan demikian penggugat telah membenarkan bahwa tanah sengketa yang dikuasai oleh tergugat setelah Tentara Belanda keluar dari tanah sengketa tersebut.

3. Tergugat telah menguasai tanah sengketa itu selama 46 tahun dan telah memiliki surat ukur yang menegaskan bahwa tanah sengketa itu adalah tanah negara, maka menurut majelis hakim, tergugat berhak menguasai tanah negara tersebut.

RUMUSAN MASALAH II.

Atas dasar latar belakang pemikiran tersebut, dapat diajukan rumusan masalah dalam tulisan ini, yaitu bagaimana hakim menampilkan pola-pola penalarannya dalam putusan Pengadilan Negeri Ambon bernomor perkara 22/Pdt.G/2004/PN.AB? Pola-pola penalaran ini sekilas memang sudah terkandung secara implisit melalui pertimbangan majelis hakim, namun pola-pola tersebut tidak terdeskripsikan dengan jelas. Padahal, di balik ketidakjelasan itulah terbuka peluang untuk memahami--- dengan meminjam istilah Zelermeyer---seberapa reasonable dan logical putusan tersebut.

(18)

Manfaat dari tampilan pola-pola penalaran ini diharapkan menjadi contoh bagaimana peragaan penalaran hukum suatu putusan pengadilan dapat ditelaah kekuatan argumentasinya. Status objek tanah sengketa berupa tanah adat menjadi konteks tersendiri yang ikut mewarnai pola penalaran hukum ini karena bukan tidak mungkin pula majelis hakim dalam kasus ini akan terpengaruh oleh tarik-menarik posisi hukum adat vis-a-vis hukum negara.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Sebelum isi putusan hakim ini diulas lebih jauh dengan menggunakan teori dan referensi pustaka yang relevan, kiranya tiga pertimbangan utama dalam latar belakang di atas perlu dijabarkan terlebih dulu dalam suatu analisis silogistis. Untuk itu akan dipakai pola silogisme kategoris dan silogisme hipotetis, yang keduanya diharapkan mampu menggambarkan penalaran yang sangat khas sebagaimana lazim dipraktikkan dalam putusan hakim.

Hampir dapat dipastikan tidak banyak putusan hakim yang memuat rumusan silogisme demi silogisme ini secara rapi dan sistematis. Umumnya para hakim hanya membuat uraian pertimbangan dengan kalimat yang longgar secara agak panjang lebar. Namun, jika dicermati secara saksama, esensi dari pertimbangan-pertimbangan itu pastilah berupa silogisme. Eksaminasi putusan yang secara khusus ingin menelaah aspek penalaran hukum dalam putusan, selayaknya memang menderivasi pertimbangan-pertimbangan hakim itu dalam bentuk silogisme-silogisme sehingga pola penalaran hakim pun menjadi lebih jelas, utuh, dan terfokus.

Jika putusan hakim dalam tulisan ini juga ingin disusun dalam suatu silogisme kategoris, akan terlihat pola penalaran pertama majelis hakim yang kurang lebih mempersoalkan adanya batas-batas tanah objek sengketa yang tidak disebutkan dengan jelas dalam gugatan penggugat. Padahal, menurut majelis, pencantuman batas-batas ini demikian vitalnya karena di situlah terletak objek tanah yang dipersengketakan. Premis mayor dalam silogisme di bawah ini adalah bangunan pemikiran majelis hakim yang dipakai sebagai titik tolak pertimbangannya. Untaian silogisme tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:

Premis mayor Semua materi gugatan terkait dengan objek tanah adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

Premis minor Isi gugatan KM mengenai Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah materi gugatan terkait dengan objek tanah.

Konklusi Isi gugatan KM mengenai Dusun Dati Pusaka Hautunan adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

Selanjutnya, jika pola penalaran itu diterapkan dalam silogisme hipotetis, akan muncul pola penalaran sebagai berikut:

(19)

p ﬤ q Jika ada gugatan terkait dengan objek tanah yang tidak memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batas objek sengketanya maka gugatan itu harus ditolak.

p Ada gugatan [dari Penggugat KM] terkait dengan objek tanah [Dusun Dati Pusaka Hautunan] yang tidak memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batas objek sengketanya.

ﬤ q Jadi gugatan itu harus ditolak.

Bangunan silogisme di atas bersambungan pula dengan silogisme berikutnya. Majelis hakim mendapati penggugat telah menyatakan bahwa pada tahun 1958 tergugat telah menguasai tanah sengketa dengan memperoleh pengalihan hak dari Pemerintah Belanda (Tentara Belanda). Hal ini dinilai oleh majelis bahwa sejak saat itu penggugat telah membenarkan penguasaan tergugat atas tanah tersebut. Alur pemikiran majelis hakim dapat dipetakan dalam silogisme kategoris berikut ini:

P r e m i s mayor

Semua pengakuan penggugat atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut. P r e m i s

minor

Pernyataan penggugat [KM] atas ditempatinya tanah sengketa oleh tergugat [TNI] sejak tahun 1958 adalah pengakuan atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya [Tentara Belanda].

Konklusi Pernyataan penggugat [KM] atas ditempatinya tanah sengketa oleh tergugat [TNI] sejak tahun 1958 adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut.

Sebagai konsekuensinya, maka konklusi di atas lalu diturunkan majelis hakim melalui suatu silogisme hipotetis sebagai berikut:

r ﬤ s Jika terdapat pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah yang digugatnya, maka gugatan itu harus ditolak.

r Terdapat pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah yang digugatnya. ﬤ s Jadi gugatan itu harus ditolak.

Argumentasi terakhir yang disajikan oleh majelis hakim adalah terkait pembuktian yang disodorkan tergugat bahwa tergugat telah menguasai tanah sengketa itu selama 46 tahun dan telah memiliki surat ukur yang menegaskan bahwa tanah sengketa itu adalah tanah negara yang dipergunakan untuk kepentingan negara, dalam hal ini oleh Paldam XVI Pattimura. Silogisme kategoris dari majelis hakim untuk argumentasi ini dapat ditampilkan sebagai berikut:

(20)

P r e m i s mayor

Semua penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut.

P r e m i s minor

Keberadaan tergugat [Paldam XVI Pattimura] di atas tanah sengketa adalah penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara.

Konklusi Keberadaan tergugat [Paldam XVI Pattimura] di atas tanah sengketa adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut.

Akhirnya, konklusi di atas dapat diajukan kembali sebagai rangkaian silogisme hipotetis sebagai berikut:

t ﬤ u Jika ada gugatan terhadap alas hak yang sah terhadap subjek yang menduduki suatu bidang tanah maka gugatan itu harus ditolak.

t Ada gugatan terhadap alas hak yang sah terhadap subjek yang menduduki suatu bidang tanah.

ﬤ u Jadi gugatan itu harus ditolak.

Dalam penalaran hukum yang terbiasa menggunakan silogisme deduktif, posisi argumen terpenting terletak pada rumusan premis mayor. Premis ini biasanya dibangun berdasarkan formulasi sesuai norma peraturan perundang-undangan. Dalam putusan hakim yang dikaji ini, majelis hakim sama sekali tidak menyinggung dasar hukum dari peraturan perundang-undangan. Hal ini dapat dimaklumi karena perkara hukum ini adalah suatu sengketa perdata, sehingga hakim lebih bersandar pada dalil-dalil yang diajukan para pihak.

Kebetulan dalam kasus ini para pihak memang tidak mengutarakan satu norma peraturan perundang-undangan pun dalam surat gugatan dan jawaban mereka (kecuali beberapa dasar hukum acara perdata yang tidak terkait langsung dengan pokok perkara), sehingga rupanya hakim tidak terdorong pula untuk mengutarakan suatu norma hukum positif untuk mendukung pertimbangannya. Padahal, seharusnya hakim dapat lebih jeli untuk menagih hal ini dan bahkan dapat memakainya sebagai dalil yang melemahkan gugatan. Dalam kasus ini, penggugat telah menyatakan bahwa tergugat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), tetapi ia tidak menyebutkan apa norma hukum yang secara konkret dilanggar. Pengertian “norma hukum” di sini tentu tidak harus berarti undang-undang, melainkan dapat mengacu pada kepatutan, termasuk kepantasan menurut ukuran adat kebiasaan setempat, namun eksplisitas acuannya haruslah tetap dinyatakan oleh penggugat sehingga ada kesepahaman tentang apa hukum yang dipandang telah dilanggar tersebut.

Dalam kasus-kasus pidana yang cenderung menggunakan pendekatan perbuatan melawan hukum formal, problema di atas praktis tidak ditemui. Hakim biasanya akan membuat argumentasi

(21)

dengan memilah unsur-unsur tindak pidana yang diajukan oleh jaksa penuntut umum. Setiap unsur dapat diformulasi menjadi satu silogisme tersendiri. Baru setelah semua unsur selesai diargumentasikan, maka hakim sampai pada silogisme final yakni mengaitkan semua unsur tindak pidana itu dengan norma sekunder yang menjadi konsekuensi logisnya. Norma sekunder yang dimaksud di sini adalah ancaman sanksi pidana (jika memang terbukti bersalah) atau altenatif diktum lainnya berupa putusan bebas/lepas dari segala tuntutan.

Dalam konteks penjatuhan sanksi pidana ini, penalaran hukum para hakim tidak lagi sepenuhnya logis, melainkan lebih intuitif. Faktor yang memberatkan dan meringankan ikut dijadikan pertimbangan, demikian juga dengan filosofi pemidanaan yang paling proporsional untuk diterapkan. Semua ini menjadi satu kesatuan pertimbangan ketika amar putusan dijatuhkan. Kompleksitas penalaran demikian telah mengalami reduksi pada kasus-kasus perdata karena asumsi bahwa hakim perdata memang harus pasif, bersifat menunggu, tidak boleh memutuskan lebih daripada yang diminta, dan seterusnya.

Walaupun dalam kasus-kasus pidana ada keharusan hakim membuat pertimbangan setiap unsur tindak pidana, kerap terjadi hakim tidak dapat dengan mudah membangun silogisme tersebut unsur demi unsur. Ada unsur tertentu yang terkadang membuat hakim harus berpikir keras agar premis mayor yang diformulasikan dapat tepat berlaku pada premis minornya. Satu contoh klasik adalah putusan majelis hakim yang diketuai Bismar Siregar saat mereka harus memaknai unsur “barang” pada Pasal 378 KUHP (putusan nomor 144/Pid/1983/PT.Mdn). Dalam kasus yang melegenda itu, majelis hakim harus membuat konklusi melalui silogisme antara (silogisme yang dibuat sebelum silogisme final) yang terlebih dulu menyatakan bahwa kegadisan adalah barang

menurut ketentuan Pasal 378 KUHP (tindak pidana penipuan). Dapat dibayangkan, apabila hakim tidak terlebih dulu membuat silogisme antara ini, pastilah putusan itu akan menimbulkan tanda tanya besar karena kegadisan tidak bisa persis-tepat dimaknai sebagai barang sebagaimana halnya tindak pidana penipuan pada umumnya.

Pengidentifikasian kegadisan sebagai barang menurut Pasal 378 KUHP itu adalah sebuah penemuan hukum. Penemuan hukum ini juga dilakukan dalam bentuk silogisme. Jika ingin disilogistiskan, premis mayor dari argumentasi tersebut kurang lebih berbunyi: “Semua organ yang melekat pada tubuh seseorang adalah barang menurut ketentuan Pasal 378 KUHP.” Premis minornya: “Kegadisan adalah organ yang melekat pada tubuh seseorang.” Konklusinya kemudian menjadi: “Kegadisan adalah barang menurut ketentuan Pasal 378 KUHP.” Rumusan premis mayor di atas merupakan rumusan yang signifikan dalam putusan ini karena formulasi penemuan hukumnya justru terletak pada premis mayor tersebut.

Dalam penalaran hukum perkara-perkara perdata, gambarannya sedikit berbeda. Biasanya peragaan silogisme tidak disusun sesistematis perkara-perkara pidana. Kendati demikian, tetaplah premis mayor menjadi indikator penting untuk menandai penalaran hukum para hakim. Ini berarti,

(22)

jika kembali kepada analisis perkara nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB, maka sedikitnya ada tiga premis mayor yang menjadi tiang penyanggah pertimbangan hakim. Ketiganya adalah sebagai berikut:

1. Semua materi gugatan terkait dengan objek tanah adalah substansi yang harus memuat dengan jelas luas lokasi dan batas-batasnya.

2. Semua pengakuan penggugat atas fakta penguasaan tanah sengketa oleh tergugat secara fisik selama 46 tahun sejak dialihkan dari penguasa fisik sebelumnya adalah bukti pembenaran penggugat atas hak tergugat terhadap tanah tersebut.

3. Semua penguasaan fisik atas tanah lebih dari 46 tahun dengan bukti surat ukur sebagai tanah negara adalah alas hak yang sah dari subjek yang menduduki bidang tanah tersebut. Tiga premis mayor ini adalah roh dari penalaran hukum yang disajikan oleh majelis hakim dalam kasus ini. Dengan meminjam pernyataan Zelermeyer sebagaimana dikemukakan sebelumnya, inti putusan hakim ini tidak boleh hanya semata-mata logical, melainkan juga harus

reasonable.

Kebetulan karakter kasus Dusun Dati Pusaka Hautunan di atas adalah perkara perdata yang berdimensi hukum adat. Dalam kasus ini terlihat penggugat memang kesulitan mengutarakan batas-batas wilayah dusun adatnya karena ia hanya berpegang pada Register Dati 1814, yang

notabene sangat mungkin sudah berubah seiring dengan perjalanan waktu. Hal ini berbeda dengan posisi tergugat yang pada tahun 1958 dan 2004 telah memiliki surat resmi dari Kantor Pertanahan yang mengukuhkan tanah sengketa sebagai tanah negara.

Terlepas dari kenyataan adanya perbedaan batas-batas yang ditunjukkan oleh penggugat dengan kondisi kekinian dari tanah yang ditempati tergugat, hakim selayaknya juga perlu memperhatikan keterangan-keterangan para saksi yang mengenal penggugat dan keluarga penggugat. Banyak dari saksi yang mengaku membangun rumah di tempat itu setelah mendapat izin dari kakek penggugat yang menjadi pemilik tanah setempat. Keterangan saksi ini sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan hakim. Majelis juga telah memotong sejarah penguasa objek tanah sengketa itu terhitung sejak tergugat mendapat pengalihan hak dari Tentara Belanda, sementara kejadian sebelum periode itu tidak menjadi bahan pertimbangan, termasuk fakta bahwa Register Dati 1814 itu benar-benar ada. Jika ada, berarti besar sekali kemungkinan terdapat persinggungan antara tanah yang diklaim oleh penggugat seluas kurang lebih 10.000 m2 dengan

tanah yang dikuasai secara fisik oleh tergugat seluas 108.900 m2. Alasan majelis hakim yang

menafikan gugatan karena tidak ada penyebutan negeri mana yang mencakupi Dusun Dati Pusaka Hautunan, sebenarnya tidak cukup bisa ditoleransi.

Menurut sistem hukum adat di Ambon, memang dikenal ada tiga bentuk tanah adat, yaitu

(23)

“tanah dati pusaka” atau “tanah pusaka dati” yang sempat dipersoalkan dalam kasus ini. Putusan Mahkamah Agung Nomor 968K/Sip/1975 yang memperkarakan perebutan tanah dati (kasus serupa) di antara keluarga Anggoda, misalnya, menyebut istilah dusun dati dan dusun pusaka dati. Perbedaan keduanya adalah bahwa pada dusun dati, anak-anak di luar nikah berhak atas dati bagian ibunya, sedangkan dalam pusaka dati hanya ahli waris sah yang berhak atas dati itu. Istilah dusun pusaka dati juga dipakai dalam literatur karya Ziwar Effendi (1987: 144).

Ulrich Löffler (1996) menuliskan kerumitan hukum tanah adat di Ambon sebagai berikut: “.... Thus adat law on Ambon differentiates between land rights and rights to trees or crops. Along with this, the rights to land and to the trees on this land can be in completely different hands. Thus the land can belong to the community (dati), while the sago palms may belong to individual members of the community. Since it is normally the children and grandchildren of the person who planted the sago palm, and not the person himself who will use the tree, sago palms on one property can belong to different people, since sago palms can be bequeathed to descendants. Since descendants from the female line as well as from the male line can be considered as heirs, sago palms can be in the possession of different clans. Other trees of value can have been planted on land between sago palms (durian, manggis or clove). Some of these trees may have been planted by the current generation and may be in their possession while others may belong to earlier generation. These various legal entitlements may exist on a piece of land only 70 by 70 meters.

Sebagai bagian dari Dusun Dati Pusaka (atau Dusun Pusaka Dati) Hautunan yang dikuasai oleh satu marga, sebenarnya sangat tidak logis jika penggugat tidak dapat menyebutkan negeri

yang mencakupi tanah yang menjadi objek sengketa. Jika hakim tidak menemukan penyebutan

negeri itu dalam surat gugatannya, tentu tidak berarti penggugat tidak mengetahui negeri tersebut. Cara pandang yang menyatakan bahwa hakim dalam kasus perdata harus bersikap pasif dan hanya terfokus untuk mencari kebenaran formal, tidak lalu berarti hakim tidak perlu mencari tahu hal-hal yang signifikan untuk menggapai putusan yang berkeadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengabaian demikian justru menunjukkan kesesatan penalaran yang disebut

argumentum ad ignorantiam.

Fokus perhatian hakim juga terletak pada kenyataan bahwa tergugat telah memperoleh tanah itu dari pengalihan dari Tentara Belanda dan menduduki tanah itu secara fisik sampai sekarang. Cara pandang seperti ini sebenarnya tidak bisa serta merta membenarkan tanah itu bukan milik penggugat. Di sini hakim juga tampaknya lebih menempatkan Surat Ukur Nomor 20 Tahun 1958 dan Surat Keterangan Nomor 600-234/2004 pada posisi lebih tinggi daripada Register dati 1814. Di sinilah terlihat tarik-menarik antara hukum adat vis-a-vis hukum negara dalam kondisi pluralisme hukum agraria (baca: hukum pertanahan) di Indonesia.

Kasus tanah adat seperti ditampilkan dalam tulisan ini merupakan potret umum yang memprihatinkan terkait sengketa-sengketa hukum agraria di Tanah Air. Keberadaan

(24)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disingkat UUPA) yang sudah berumur lebih dari 50 tahun, terbukti tidak pernah menyurutkan jumlah kasus-kasus demikian bermunculan dari waktu ke waktu.

UUPA sebenarnya secara sadar didesain untuk mengakhiri pluralitas pranata hukum yang mengatur bidang pertanahan dan ingin menciptakan satu tata hukum tanah nasional, dengan menjadikan hukum adat sebagai dasarnya. Perlu dicatat bahwa sekalipun UUPA menggunakan istilah agraria, namun inti pengaturannya lebih berhubungan dengan hukum tanah sebagai bidang hukum utama dari hukum agraria. Penjelasan Pasal 5 UUPA menyatakan: “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Dengan memakai istilah John Griffiths (1986), pluralisme hukum agraria (atau khususnya hukum pertanahan) di Indonesia saat ini dapat disebutkan sebagai pluralisme hukum yang lemah (weak legal pluralism). Untuk itu, ada politik hukum agraria yang perlu diberikan pemahaman mendalam kepada para hakim tentang bagaimana memposisikan hukum adat di bidang agraria ini bilamana berhadapan dengan hukum negara (hukum positif yang berlaku secara nasional). Bukan tidak mungkin bahwa hakim-hakim memberikan penafsiran atas kata-kata dalam Penjelasan Pasal 5 UUPA, yaitu: “... sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara” itu sebagai bentuk “mengalah” kepada institusi negara tatkala institusi itu menjadi pihak dalam persengketaan tanah-tanah adat.

Tatkala terjadi silang selisih antara penerapan hukum adat dan hukum negara, dalam arti keduanya memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih sebagai dasar penyelesaian sengketa, maka hakim seyogianya dapat melakukan forum shopping, yakni mencari sistem hukum mana yang paling sesuai untuk penyelesaian klaim-klaim para pihak tersebut. Pemilihan ini tentu bukan pekerjaan mudah karena para hakim yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kasus-kasus demikian mutlak perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang hukum adat setempat. Dalam hal ini, ketua pengadilan dituntut memiliki kebijakan untuk mendistribusikan setiap kasus terkait sengketa hukum adat kepada hakim-hakim dari latar belakang yang dekat dengan adat setempat. Di sini lagi-lagi terlihat bahwa peragaan penalaran hukum memang tidak berjalan monolitik, melainkan sangat kompleks sesuai dengan wujud hukum yang juga multifaset.

SIMPULAN IV.

Sebagai penutup tulisan ini, dapat dikemukakan beberapa kesimpulan: (1) peragaan penalaran hukum dapat ditampilkan secara sederhana melalui perumusan silogisme-silogisme; (2)

(25)

posisi premis mayor dalam suatu silogisme menjadi indikator paling fundamental terkait kualitas putusan tersebut, termasuk untuk mencermati ada tidaknya penemuan hukum baru dari putusan tersebut; (3) putusan hakim yang bersinggungan dengan kasus-kasus hukum adat, termasuk hukum tanah adat, kerap dipengaruhi oleh konfigurasi politik hukum yang menempatkan posisi hukum negara di atas hukum adat; dan (4) kondisi pluralisme hukum yang lemah akan memberi keuntungan pada pihak-pihak yang mampu menampilkan bukti-bukti formal semata menurut perspektif hukum negara.

Khusus terkait dengan putusan Pengadilan Negeri Ambon nomor 22/Pdt.G/2004/PN.AB ini, majelis hakim telah memperagakan pola-pola penalaran yang melalui analisis terhadap premis-permis mayornya, ternyata bertumpu sepenuhnya pada pendekatan formalisme hukum. Dalam konteks ini, karakteristik kasus ini sebagai sengketa tanah adat menjadi hilang dan berganti menjadi sengketa yang sepenuhnya bernuansa hukum negara. Hal ini menguatkan fenomena tentang pluralisme hukum lemah dalam tradisi sistem hukum Indonesia, sekalipun dalam ranah hukum agraria yang konon menurut UUPA, telah dibangun berdasarkan sendi-sendi hukum adat.

DAfTAR PUSTAKA

Effendi, Ziwar. 1987. Hukum Adat Ambon Lease. Jakarta: Pradnya Paramita.

Griffiths, John. 1986. “What’s Legal Pluralism?” International Journal of Legal Pluralism. No. 25: 1-54.

Kairys, D. Ed. 1982. Politics of Law. New York: Pantheon.

Löffler, Ulrich. 1996. “Land Tenure Developments in Indonesia.” <www. mekonginfo.org/mrc/ html/loeffler/loe3_5.htm>. Diunduh pada 12 Oktober 2010, pukul 15:30.

Safitri, Myrna & Tristam Moeliono. Eds. 2010. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia: Studi tentang Tanah, Kekayaan Alam, dan Ruang di Masa Kolonial dan Desentralisasi. Jakarta: HuMa, Van Vollenhoven Institute, KITLV.

Shidarta. 2005. Karakteristik Penalaran Hukum dalam Konteks Keindonesiaan. Bandung: Utomo.

Soemardjono, Maria S.W. 2009. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Zelermeyer, William. 1960. Legal Reasoning: the Evolutionary Process of Law. Englewood Cliffs: Prantice Hall.

(26)

MENCARI KEBENARAN MATERIIL DALAM “HARD

CASE” PENCURIAN TIGA BUAH KAKAO

Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT

Widodo Dwi Putro

Fakultas Hukum Universitas Mataram email: darta67@yahoo.com

AbstrAct

Legal certainly and justice are two values that are often persevere in the formulation of the judge’s decisions. This is more prominent, when judges face cases categorized as “hard cases”, one of which is the decision of the case of three cocoa, which are analyzed in this paper. The authors appreciate this decision because the judges do not just read the rules and laws, but also use their conscience so that this decision really give justice to the convict. The author points out there are so many non-legal aspects that go behind the formulation of a written decision. The case looks simple on paper. For example, in this case we can really go through even further into

the root causes of a more macro level, namely the existence of land conflicts in the area. In view

of that, we can resolve that good judge’s decision will be born from an intense struggle in search of material truth in every case.

Keywords: hard case, clear case, legal reasoning.

AbSTRAK

Kepastian hukum dan keadilan merupakan dua nilai yang selalu terformulasikan dalam putusan hakim. Hal itu akan semakin melekat pada saat hakim menghadapi kasus yang termasuk kategori “kasus sulit” seperti kasus Pencurian Kakao yang menjadi analisa dalam tulisan ini. Penulis sangat menghargai putusan ini karena tidak hanya merujuk pada hukum dan undang-undang, tetapi juga mengunakan pendekatan keadilan bagi terdakwa. Penulis mengambil hal penting bahwa ada aspek non hukum dibalik formulasi putusan yang tertulis. Kasus ini terlihat simpel

karena menyangkut konflik area pertanahan sebagai akar masalah. Dalam kasus ini secara

sederhana, kita dapat menyimpulkan bahwa putusan hakim yang baik akan lahir ketika adanya usaha secara intensif untuk mendapatkan kebenaran secara materiil

(27)

PENDAHULUAN I.

Putusan yang menjadi objek kajian kali ini adalah putusan atas kasus pencurian tiga buah kakao (cokelat) yang dilakukan oleh seorang wanita tua bernama Min (selanjutnya disebut Min). Mengingat kasus ini demikian menyita perhatian khalayak ramai, sudah banyak tulisan yang diangkat terkait dengan putusan tersebut. Namun, sampai saat ini belum ada kajian putusan yang cukup komprehensif yang mencoba menggali sisi lain di balik putusan ini. Untuk keperluan itu, penulis berusaha menggali latar belakang putusan dengan melengkapi data/informasi melalui serangkaian wawancara mendalam dengan ketua majelis hakim dan dengan terpidana. Dalam rangka ikut menghormati etika profesi, wawancara dengan hakim tidak dimaksudkan untuk meminta yang bersangkutan mengomentari putusannya, melainkan justru lebih difokuskan pada filosofi pemidanaan yang sangat mungkin tidak terlacak hanya melalui analisis tekstual atas putusan.

Kasus tersebut bermula pada suatu hari di bulan Agustus 2009, seorang nenek tua dari Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, memanen kedelai di lahan garapannya. Berbatasan dengan sebuah kebun kakao (di daerah itu lazim dinamai cokelat) milik PT RSA, ketika sedang memanen kedelai, mata nenek Min itu melihat pohon-pohon cokelat yang banyak berbuah dan ranum. Min memetik tiga buah cokelat yang ada di kebun itu, lalu meletakkannya di tempat. Tak ada maksud padanya untuk menyembunyikannya dan tidak pula ada maksud di benaknya untuk membawanya pergi. Sebagaimana dalam wawancara;

Inyong seq teng kebon, enten kopi- coklat mateng inyong pendhet digletakaken eng siti

(Saya di kebun, ada kakao matang saya ambil dan diletakkan di tanah.),” (wawancara dengan Min, 10 Maret 2010).

Tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Min mengaku hal itu perbuatannya, sebagaimana dikisahkan;

Mandor tanglet; sinten sing mendet kopi- coklat ? Jawab inyong, ajeng nggewinih, angsal mboten ?” , “Nek mboten angsal, nggih dibekto mriko (Mandor bertanya, siapa yang mengambil kakao. Jawab saya untuk digunakan sebagai benih. Kalau tidak diperbolehkan ya silakan dibawa kesana. (wawancara dengan Min, 11 Maret 2010) .

Mandor lalu memberi ceramah bahwa perbuatannya termasuk pencurian. Min lalu meminta maaf pada sang mandor dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 buah kakao yang dipetiknya pun dia serahkan kepada mandor tersebut. Nenek Min berpikir semua beres dan ia kembali bekerja.

Sepekan kemudian, Min dipanggil dan diperiksa polisi di Polsek Ajibarang. Dari hasil pemeriksaan, polisi menyimpulkan bahwa perbuatan Min sepenuhnya memenuhi unsur-unsur

(28)

yang disebutkan dalam Pasal 362 KUHP yang secara legal-formal dikategorikan sebagai tindak pidana pencurian. Tanpa menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, Nenek Minah yang tak hanya buta huruf, tetapi juga buta hukum, tanpa didampingi pengacara Min mengiyakan saja apa yang ditulis polisi dalam BAP-nya dan apa yang ditulis jaksa dalam surat dakwaannya. Min juga harus menjalani tahanan rumah sehingga sebagai petani ia tidak bisa lagi bekerja ke ladangnya.

Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencurian di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Min yang disidang tanpa didampingi pengacara mengaku tidak tahu liku-liku acara pengadilan, dengan prosedur-prosedur yang diatur secara formal dalam bahasa Indonesia yang sepanjang hidup tinggal di desa dan hanya ,menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari. Yang dipikirkan hanyalah bagaimana kasusnya cepat selesai. Karena jika tidak, ia harus pulang-pergi dari rumah ke kantor jaksa dan kantor pengadilan berjarak 40 kilometer, sehingga terpaksa mengutang uang angkot dan ojek Rp. 50 ribu kepada tetangga setiap kali menjalani pemeriksaan.(wawancara dengan Min, 12 Maret 2010).

Setelah acara pembuktian dan pemeriksaan perkara terhadap terdakwa selesai, Jaksa Penuntut Umum pada pokoknya menuntut kepada Majelis Hakim memutus;

Menyatakan terdakwa Min terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan 1.

tindak pidana pencurian sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP;

Mejatuhkan pidana terhadap terdakwa Min dengan pidana penjara selama 6 (enam) 2.

bulan dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan;

Menyatakan barang bukti: 3.

3 (tiga) buah coklat atau kakao berikut bii dan kulitnya dikembalikan pada pihak •

PT RSA.

1 (satu) buah kandi dirampas untuk dimusnahkan. •

Menetapkan supaya terpidana membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,-4.

Pada akhirnya, Min dinyatakan hakim terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Hakim menjatuhkan vonis pidana satu bulan 15 hari, dengan masa percobaan tiga bulan. Putusan hakim lebih rendah dari tuntutan jaksa yang mohon agar hakim memidana si nenek dengan pidana penjara enam bulan. Nenek Minah menerima putusan hakim, bukan karena dia menganggap putusan hakim itu adil atau tak adil, melainkan karena dia sudah lelah berurusan dengan hukum yang berlaku di negeri ini, sebagaimana komentarnya,”

Inyong nrima mawon, mboten sanggup maleh” (saya menerima saja, (karena) tidak sanggup lagi) (wawancara Min, 11 Maret 2010).

(29)

Berbeda dengan Nenek Min, jaksa pada putusan dijatuhkan belum menerima putusan hakim yang jauh lebih rendah dari tuntutannya, dan oleh sebab itu Jaksa Penuntut Umum menyatakan masih pikir-pikir untuk berkonsultasi dulu dengan Kajari. Setelah beberapa hari kemudian, JPU menerima sehingga putusan itu berkekuatan hukum tetap. (berbagai sumber media massa).

RUMUSAN MASALAH II.

Menurut hemat penulis, ada beberapa hal yang membuat kasus ini menjadi menarik.

Pertama, kasus Min ini memenuhi rumusan delik tindak pidana biasa (pencurian) karena undang-undang yang mengatur ukuran nilai barang yang bisa diperkarakan sudah sudah usang atau tidak pernah direvisi (updated) sejak tahun 1960 sehingga perbuatan yang tidak menimbulkan bahaya terhadap individu/publik atau tidak ada bahaya sosialnya tetap bisa dijerat. Kedua, kasus Min sekilas memang kelihatan remeh temeh (hanya tiga kakao) tetapi sesungguhnya dibalik itu sarat dengan perselisihan paradigma sehingga mudah terjadi ketegangan antara tuntutan kepastian hukum dengan keadilan. Permasalahannya; Apakah putusan hakim telah mengakomodasi nilai keadilan dengan menemukan kebenaran materiil dalam kasus hard case?

STUDI PUSTAKA, WAWANcARA, DAN ANALISIS III.

Penelitian ini hendak menganalisis dan mengkritisi putusan hakim, lapisan pertama; pertimbangan (konsiderans) yang menampilkan alasan-alasan yang mencakup fakta-fakta dan dasar-dasar hukum terkait; bagaimana penalaran hukum (legal reasoning) hakim. Lapisan kedua

diktum (kesimpulan) yang memuat isi putusan.

Sebagaimana telah disinggung pada pendahluan, untuk menganalisis putusan hakim, penulis tidak hanya melihat teks putusan tetapi juga melakukan wawancara dengan hakim (ketua majelis hakim dan seorang hakim anggota) sehingga lebih memahami mengapa teks putusan itu lahir, bagaimana hukum positif ditafsirkan, bagaimana hakim dalam putusannya mempertimbangkan faktor-faktor kenyataan sosial dan ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu nilai-nilai kultural dan kemanusiaan yang fundamental (filosofikal), latar belakang sejarah (historikal) dalam kaitan dengan tujuan yang hendak diwujudkannya (teleologikal) dan ratio-legis-nya. Untuk menggambarkan realitas di luar putusan, penulis juga mewancarai para pihak misalnya terdakwa/ terpidana dan budayawan. Guna mempertajam analisis penulis juga melakukan kajian pustaka.

Dalam memutus kasus Min, dalam menafsirkan pencurian hakim memulainya dengan penalaran silogisme (metode deduktif), yakni premis mayor dibangun dari norma positif dalam sistem peraturan perundang-undangan dan kemudian disandingkan dengan fakta yang merupakan premis minor, sehingga akan menghasilkan konklusi, sebagai berikut:

(30)

362 KUHP (premis mayor) dari peraturan perundang-undangan yang didakwakan JPU (Jaksa Penuntut Umum) untuk dianalisa apakah fakta-fakta tersebut memenuhi unsur-unsur;

1. a. Premis mayor: unsur Barang Siapa

Menurut hakim apa yang dimaksud barang siapa adalah orang yang identitasnya jelas, diajukan ke persidangan karena telah didakwa melakukan tindak pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

b. Premis minor

Setelah mendengar keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa di persidangan, didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan orang (error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar Min, … maka (c. hakim mengambil kesimpulan) unsur kesatu ini telah terpenuhi.”

2. a.Premis mayor: unsur mengambil sesuatu Barang

“Menurut hakim apa yang dimaksud ‘mengambil suatu barang’ adalah memindahkan barang kesatu tempat ke tempat lain,

b. Premis minor: berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa Min pada hari minggu pahing tanggal 2 Agustus 2009 sekitar pukul 13.00 WIB telah mengambil 3(tiga) buah kakao/ cokelat dengan cara memetik dari pohon pada perkebunan PT. RSA dan hingga tertangkap tangan oleh saksi mandor Tarno Bin Sumanto dan saksi Rajiwan …maka (kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum tersebut diatas, maka unsur ke-dua ini terpenuhi.

3. a. Premis mayor: Unsur Yang Sama Sekali atau Sebagian termasuk Kepunyaan Orang Lain.

b. Premis Minor: berdasarkan keterangan saksi- saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangn terdakwa dimuka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3(tiga) buah kakao atau coklat seluruhnya milik PT. RSA bukan milik terdakwa Min;…maka (c. kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum di atas, maka unsur ketiga ini telah terbukti;

4. Premis Mayor: Unsur dengan maksud Memiliki Barang dengan Melawan Hukum; Premis Minor: berdasarkan keterangan saksi-saksi yang dihubungkan dengan petunjuk yang diperkuat oleh keterangan terdakwa di muka persidangan maka diperoleh fakta yang bersesuaian bahwa benar terdakwa telah mengambil 3 (tiga) buah kakao atau cokelat seberat +- 3kg yang seluruhnya milik PT. RSA dan terdakwa mengambil barang tersebut diatas tanpa ijin dan sepengetahuan pemiliknya yaitu PT. RSA

(31)

dengan maksud akan dimiliki untuk bibit tanaman dan perbuatan terdakwa tersebut mengakibatkan PT. RSA menderita kerugian sebesar Rp. 30.000,- (tiga puluh ribu rupiah);…maka (c. kesimpulan) berdasarkan pertimbangan hukum diatas, maka unsur ke empat terpenuhi;

Karena semua unsur-unsur yang terkandung dalam pasal-pasal 362 KUHP telah terpenuhi, hakim berkeyakinan bahwa terdakwa Min dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan, melanggar pasal 362 KUHP karena itu terdakwa harus dihukum sesuai dengan perbuatannya tersebut;

Hakim kemudian mempertimbangkan apakah ada dasar pembenar dan alasan pemaaf yang dapat meniadakan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa tersebut. Berkaitan dengan alasan pemaaf, hakim merujuk pada KUHP dan hukum yang tidak tertulis, yakni;

a. Tidak mampu bertanggung jawab (pasal 44 KUHP); b. Daya paksa (Pasal 48 KUHP);

c. Pembelaan darurat yang melampaui batas (Pasal 49 ayat 2 KUHP); d. Sedangkan alasan pemaaf yang tidak tertulis adalah “tidak tercela”.

Alasan pemaaf dan pembenar, memungkinkan seorang subjek hukum untuk terhindar dari konsekuensi-konsekuensi hukum tertentu, misalnya karena adanya gangguan jiwa, belum dewasa, daya paksa, pembelaan paksa karena darurat, dan karena menjalankan tugas jabatan. Dalam putusannya, hakim berpendapat tidak menemukan alasan pemaaf dan pembenar sebagaimana yang ditentukan dalam pasal-pasal KUHP tersebut.

Tetapi kadar kekakuan formalistik mulai melunak, hakim tidak berhenti pada teks formal, juga mempertimbangkan opini yang berkembang di masyarakat sebagaimana dalam putusannya berbunyi sebagai berikut;

“Menimbang, bahwa di mass media dimuat secara luas, pemberitaan yang pada pokoknya mengemukakan bahwa simpati dan dukungan kepada Min warga Darmakradenan, kecamatan Ajibarang terus mengalir;

- sejumlah pegiat gender menyampaikan keprihatinannya dan mendatangi DPRD agar ikut memberikan dukungan moral, tujuannya agar Majelis Hakim bisa menegakkan keadilan yang sesungguhnya untuk masyarakat;

“Menimbang bahwa fenomena “kasus M” ini menjadi menarik perhatian masyarakat karena menyentuh sisi kemanusiaan, melukai keadilan rakyat, dimeja hijaukan ambil tiga biji kakao bernilai Rp. 2.100, aktivis dukung M dibebaskan,… mestinya polisi,

(32)

jaksa, dan majelis hakim bisa melihat dampak yang ditimbulkan dari perbuatan si pelaku. Kalau dampaknya tak begitu merugikan masyarakat secara luas termasuk pihak korban itu bisa ditangani dengan pendekatan lain dulu, tidak terus diproses pidana.”

Hakim mempertimbangkan opini yang berkembang di masyarakat suatu yang jarang dilakukan oleh hakim di Indonesia. Artinya apa ? Praktik penalaran hukum tidak sesederhana dan linier sebagaimana dalam logika deduktif (silogisme). Aturan hukum yang dipandang sebagai premis mayor selalu memerlukan interpretasi dengan konteks (menjadi intersubyektif). Itu sebabnya, mengapa aturan hukum selalu mengalami pembentukan dan pembentukan ulang (dengan interpretasi) sebagaimana dalam putusan kasus Min, hakim berpendapat;

“Menimbang bahwa ketentuan pidana yang tercantum dalam pasal perundangan yang didakwakan kepada terdakwa masih bersifat umum, masih bersifat abstrak, dalam arti tatkala terjadi suatu perkara dan dihadapkan ke pengadilan, maka hakimlah yang berkewajiban untuk memberikan roh keadilankepada pencari keadilan di dalam kasus melalui putusannya.”

Hakim kemudian mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sebagaimana dalam bunyi putusannya,”hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa...” Padahal dalam penalaran Positivisme Hukum, seseorang dihukum bukan karena sifat jahat atau baik, tetapi karena semata-tama melanggar norma hukum.

Dalam mempertimbangkan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa, hakim menyampaikan argumentasi sosiologis dan psikologis seperti terungkap dalam bunyi putusannya berbunyi hal-hal yang memberatkan tidak dijumpai pada terdakwa Minah. Sedangkan yang meringankan;

1. Terdakwa Min lanjut usia;

2. Terdakwa Min adalah petani tua, yang tidak punya apa-apa;

3. Tiga buah kakao, sangatlah berarti bagi petani Min, buat benih untuk ditanam kembali. Sedangkan dari sisi perusahaan perkebunan tidaklah terlalu merugi;

4. Semangat terdakwa Min, haruslah diapresiasi, menghadiri persidangan tepat waktu meski letih dan tertatih;

5. Peristiwa mengambil tiga kakao, bagi Min selaku terdakwa, merupakan hukuman baginya, mengganggu ketenangan jiwa, melukai hati, menguras tenaga dan harta serta memuat keropos jiwa raga.”

Pemilihan kata dan kalimat dalam pertimbangan meringankan tersebut mengartikulasikan rasa “empati” yang luar biasa hakim kepada terdakwa Min. Rasa empati tidak dapat disembunyikan

(33)

Ketua Majelis Hakim sewaktu membacakan putusan dengan menangis tersedu-sedu. Dalam kasus Min, menunjukan bahwa hakim juga manusia bahwa faktor psikologis juga ikut mempengaruhi. Hakim juga terlihat menangis saat membaca putusannya. Mengapa menangis ketika membaca putusan kasus Min ?

Dalam wawancara dengan Ketua Majelis Hakim mengaku sangat terharu sehingga tidak menyembunyikan perasaannya, sebagaimana yang diutarakan,

“Seharusnya dalam persidangan hakim harus kelihatan tegar dan netral. Tetapi perasaan saya terharu. Ibu setua itu mencari bibit karena keterpaksaan luar biasa. Jadi saya ingat ibu saya sendiri.”(wawancara dengan Ketua Majelis Hakim MBL, 5 Maret 2010)

Dalam teori penalaran klasik, bernalar dengan argumentasi rasa kasihan atau iba bertentangan dengan logika. Dalam konsep logika, dianggap kesesatan dalam penalaran atau disebut

argumentum ad Misericordiam. (B. Arief Sidharta, 2008, hal. 61). Rasa kasihan dianggap tidak logis, dikhawatirkan .terjadi pencampuradukan antara perasaan dan jalan pikiran hakim, sehingga mempengaruhi hakim dalam putusannya. Menurut ajaran Positivisme Hukum, hakim dilarang menggunakan perasaan dan faktor-faktor non hukum, tetapi harus dengan rasio atau nalar murni. Apakah pada waktu memeriksa perkara “kepala” dan “hati” hakim benar-benar bisa dikosongkan? Tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan Hans Kelsen dalam “The Pure Theory of Law” bahwa hukum tidak boleh terkontaminasi anasir nonhukum.( Hans Kelsen, 1976. )

MBL adalah profil hakim yang sederhana. Untuk kehidupan sehari-hari, istri Bambang membuat dan menjual roti. “Ide berawal ketika anak kedua tidak mau makan nasi sehingga untuk penggantinya beli roti tawar. Kalau tiap hari harus makan roti tawar, gaji hakim saat itu tidak cukup, hingga saya beli tepung dan mencoba membuat roti. Lumayan usaha berkembang pesat, dari 50 menjadi 100, bahkan kemudian meningkat diatas 200,” cerita NA (istri Bambang). Dari usaha roti itu kemudian keluarga Bambang bisa membeli mobil tua untuk mengantar roti ke toko-toko. “Coba dengarkan baik-baik suara mobil itu ‘roti-roti’ bukan suara palu hakim ‘tok-tok’ ,” seloroh MBL. Selama bertugas di PN Purwokerto Hakim MBL tidak tinggal di rumah dinas, melainkan kos bersama istri dan anak-anak. Kamar kos itu berukuran sekitar 4 x 3 dengan tarif sewa kamar

Dalam pengadilan, yang mengadili dan diadili bukan benda mati, sesungguhnya bukan totalitas kognitif dan logika tetapi juga tak terhindarkan hubungan kemanusiaan. Hukum adalah pergulatan manusia tentang manusia.Pertimbangan hakim dalam putusankasus Min menunjukan sisi kemanusiaan hakim menanggapi sisi kemanusiaan pihak yang berperkara. Selama hakim manusia, ia tidak bisa lepas dari faktor psikologis (empati, emosi, iba, marah, dan sebagainya), sebagaimana dituturkan oleh hakim MBL,

Referensi

Dokumen terkait

Di Indonesia biji kopi yang sudah diklasifikasikan mutunya disimpan di dalam karung goni dan dijahit zigzag mulutnya dengan tali goni selanjutnya disimpan didalam

- Terhadap jenis ikan yang sama, ikan yang lolos melalui jendela mata jaring bujur sangkar dan ikan yang masuk ke kantong kemudian dilakukan penimbangan

Pada studi penelitian ini digunakan metode tomografi travel time dengan memanfaatkan travel time gelombang P untuk mencitrakan struktur bawah permukaan bumi di wilayah

Metode pengumpulan data dengan melakukan penilaian terhadap subyek penelitian melalui checklistyang dibuat berdasarkan indikator kemandirian anak dengan indikator

Scene tersebut merepresentasikan dakwah bil hal dalam bidang syariah karena tokoh dalam film tersebut memberikan contoh yang baik dalam melakukan aktifitas dalam

Sedangkan untuk pola yang kedua, tidak mempengaruhi antrian pada lapangan parkir dan pemuatan di kapal karena pengaruh bottleneck terjadi pada daerah di belakang

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan manajemen, dan pendekatan sosiologis. Selanjutnya, metode

Kata Jannah (kebun) sama dengan jin, yaitu sesuatu yang tersembunyi. Jannah itu seperti hutan, sebab itu tersembunyi dari keramaian. Seperti kebun yang terletak di dataran