• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L Y U D I S I A L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "J U R N A L Y U D I S I A L"

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

RELEVANSI FAKTA HUKUM DALAM PENGGUNAAN SIFAT MELAWAN HUKUM NEGATIF

Kajian Putusan Nomor 29/ Pid. B/2007/PN/PL. R, Luh Rina Apriani, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Pancasila

DALIH KEADILAN DAN ERROR JURIS SEBAGAI ALASAN MELEPASKAN TERDAKWADARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM

Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel. Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN EFEKTIVITAS SANKSI UNTUK KASUS HAKIM PENERIMA SUAP

Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM Nur Agus Susanto, PNS Komisi Yudisial RI

PERAN HERMENEUTIKA DALAM

RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PUTUSAN Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R

Deni Bram,Fakultas Hukum Universitas Pancasila

KEKUATAN PEMBUKTIAN

SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA YANG DIJADIKAN ALAT BUKTI

Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis N. Ike Kusmiati, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

POTRET BURAM ANAK PEREMPUAN INDONESIA Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

OPTIK GENDER DALAM PUTUSAN PERKARA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA

Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG

INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-IV/No

-01/A

pril/2011

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(2)

RELEVANSI FAKTA HUKUM DALAM PENGGUNAAN SIFAT MELAWAN HUKUM NEGATIF

Kajian Putusan Nomor 29/ Pid. B/2007/PN/PL. R, Luh Rina Apriani, S.H., M.H., Fakultas Hukum Universitas Pancasila

DALIH KEADILAN DAN ERROR JURIS SEBAGAI ALASAN MELEPASKAN TERDAKWADARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM

Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel. Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta

INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN EFEKTIVITAS SANKSI UNTUK KASUS HAKIM PENERIMA SUAP

Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM Nur Agus Susanto, PNS Komisi Yudisial RI

PERAN HERMENEUTIKA DALAM

RANGKA MENINGKATKAN KUALITAS PUTUSAN Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R

Deni Bram,Fakultas Hukum Universitas Pancasila

KEKUATAN PEMBUKTIAN

SURAT BERITA ACARA PEMERIKSAAN TERSANGKA YANG DIJADIKAN ALAT BUKTI

Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis N. Ike Kusmiati, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

POTRET BURAM ANAK PEREMPUAN INDONESIA Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

OPTIK GENDER DALAM PUTUSAN PERKARA KEKERASAN FISIK DALAM RUMAH TANGGA

Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG

INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-IV/No

-01/A

pril/2011

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(3)
(4)

J

urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:

Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email: jurnal@komisiyudisial.go.id

(5)

D

AF

TAR

ISI

dAlAm PenggunAAn siFAt RelevAnsi FAktA Hukum

melAwAn Hukum negAtiF ... 1 Kajian Putusan Nomor 29/ Pid. B/2007/PN/PL. R,

Luh Rina Apriani, Fakultas Hukum Universitas Pancasila dAliH keAdilAn dAn eRROR JuRis

seBAgAi AlAsAn melePAskAn teRdAkwA

dARi segAlA tuntutAn Hukum ... 15 Kajian Putusan Nomor 583/Pid.B/2010/PN.Jkt Sel.

Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta indePendensi kekuAsAAn keHAkimAn

dAn eFektivitAs sAnksi

untuk kAsus HAkim PeneRimA suAP ... 28 Kajian Putusan Nomor 904/PID/B/2010/PN.JKT.TIM

Nur Agus Susanto, PNS Komisi Yudisial RI PeRAn HeRmeneutikA dAlAm

RAngkA meningkAtkAn kuAlitAs PutusAn ... 46 Kajian Putusan Hakim Nomor 31/PID.B/2009/PN.PL.R

Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila kekuAtAn PemBuktiAn

suRAt BeRitA ACARA PemeRiksAAn

teRsAngkA YAng diJAdikAn AlAt Bukti ... 62 Kajian Putusan Nomor 06/Pdt.G/2001/PN.Ciamis

N. Ike Kusmiati, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung

POtRet BuRAm AnAk PeRemPuAn indOnesiA ... 75 Kajian Putusan No. 1210/PID.B.B/2007/P.N.BB tentang Incest

Anthon F. Susanto, Fakultas Hukum Universitas Pasundan, Bandung OPtik gendeR dAlAm PutusAn PeRkARA

kekeRAsAn Fisik dAlAm RumAH tAnggA ... 89 Kajian Putusan Nomor 1309/Pid.B/2008/PN.TNG

(6)

PENGANT

AR

“indePendensi dAn RAsiOnAlitAs”

I

ndependensi dan rasionalitas menjadi tema pertama Jurnal Yudisial edisi pertama tahun 2011. Pemilihan tema tersebut bukan tanpa alasan. Tema tersebut sesuai dengan komitmen Komisi Yudisial selama ini untuk mendorong independensi dan transparansi kekuasaan kehakiman. Independensi kekuasaan kehakiman sesuai dengan prinsip pembagian kekuasaan dibutuhkan untuk mewujudkan konsep Negara demokrasi modern yang menjunjung tinggi asas check and balances. Tanpa ada independensi maka kekuasaan kehakiman tidak lebih sebagai kepanjangan tangan atau alat kekuasaan belaka.

Meski demikian, konsep independensi bukan tanpa batasan. Al insaanu ma’al khoto’ wal nisyaan, manusia adalah tempat salah dan lupa. Pepatah Arab tersebut sepertinya sama seperti teori yang diungkapkan oleh Lord Acton, power tends to corrupt, kekuasaan cenderung dikorupsi. Apabila ditarik benang merah dengan pemangku kekuasaan kehakiman yaitu hakim, maka dapat disimpulkan bahwa hakim juga manusia yang dapat salah dan menyalahgunakan kekuasaan. Oleh sebab itu, independensi kekuasaan hakim tidak tak terbatas. Independensi yang diusung oleh hakim harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan Illahi dan umat manusia. Apabila hal itu tidak terjadi maka independensi akan selalu disalahgunakan oleh pemangku kekuasaan kehakiman. Fakta itu terlihat di salah satu artikel jurnal edisi ini yang mengungkapkan seorang hakim telah memperjualbelikan putusan dan independensinya.

Selain independensi, transparansi juga prinsip penting dalam kekuasaan kehakiman. Ketidaktransparan pemangku kekuasaan kehakiman mengakibatkan mereka dapat bermain mata dalam menjalankan wewenangnya. Oleh sebab itu tidak berlebihan apabila transparansi mutlak dibutuhkan guna mendorong kekuasaan kehakiman dalam hal pengambilan keputusan di pengadilan dan pemberian informasi yang mengedepankan keadilan dan pertanggungjawaban kepada publik.

Bagi pencari keadilan, patut disyukuri adanya kesadaran dari Mahkamah Agung sebagai puncak peradilan mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung yaitu SK KMA No.144/ KMA/SK/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Dalam SK tersebut setidaknya adanya upaya Mahkamah Agung mendorong transparansi. Prinsip-prinsip transparansi akan ditemukan dalam beragam artikel yang tersaji dalam jurnal kali ini, misalnya saja tulisan Dr. Shidarta yang mengungkapkan tentang tuduhan pemalsuan kelamin, dan juga yang ditulis oleh Luh Rina Apriani, S.H., M.H., begitu juga artikel yang ditulis oleh nara sumber yang lain.

Lalu bagaimana dengan rasionalitas? Dimana letak rasionalitas dalam putusan hakim? Pertanyaan itu layak bergelayut bagi Anda. Transparansi tanpa adanya rasionalitas sangat mustahil terjadi. Rasionalitas menjadi dasar sistem kekuasaan kehakiman yang transparan. Tanpa rasionalitas, jangan berharap adanya transparansi dalam kekuasaan kehakiman karena rasionalitas membutuhkan pertanggungjawaban yang dapat diterima oleh akal dan nurani. Pada akhirnya, hanya putusan pengadilan yang mengedepankan

(7)

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORmAt nAskAH i.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font) Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

sistemAtikA nAskAH ii.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman 14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

mohammad tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

(8)

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PendAHuluAn iii.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RumusAn mAsAlAH iv.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

studi PustAkA dAn AnAlisis v.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

kesimPulAn vi.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah. PengutiPAn dAn dAFtAR PustAkA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

(9)

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http:// www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PenilAiAn

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PengiRimAn nAskAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail: jurnal@komisiyudisial.go.id

dengan tembusan ke:

a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

(10)

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah

2. Onni Roeslani 3. Heru Purnomo 4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar 6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati

2. Yuni Yulianita 3. Romlah Pelupessy. 4. Ahmad Baihaki 5. Arif Budiman. 6. Adi Sukandar 7. Aran Panji Jaya 8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

(11)

Relevansi Fakta Hukum

dalam Penggunaan siFat

melawan Hukum negatiF

luh Rina Apriani

Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: apriani.rina@yahoo.co.id

kajian Putusan nomor 29/Pid.B/2007/Pn/Pl.R

ABSTRACT

This paper examines the relevance of the term ‘nature against the law in negative sense’ as the reason for the suppression of criminal law to the facts revealed at trial. The relevance is important because proving the existence of nature against the law in a negative sense associated with the values of decency and living habits in society. The judges in this case seems to disregard to assess the facts of existing law as a unity, and value it as something that is partial and stand alone. Logical thinking is also not used when assembling the facts to one another when it is impossible that the defendant’s actions are assumed to serve the public interest when the public interest that wants to be served has been completed long before the defendant’s caught red-handed transporting timber without legal documentation. When the judges missed in assessing the facts that are based on a reasonable interpretation and logical thought patterns, the decision therein therefore is a decision that denies the values of justice, expediency, and legal certainty as seen in this decision.

Keywords: nature against the law in negative sense, relevance, legal facts

ABstRAk

Tulisan ini menguji relevansi definisi “sifat melawan hukum” sebagai alasan menyembunyikan

hukum pidana sebagai fakta dalam persidangan. Relevansi ini penting disebabkan sifat melawan hukum dikaitkan dengan nilai-nilai kesusialaan dan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat. Hakim dalam kasus ini sepertinya luput untuk melihat hukum yang berlaku sebagai fakta

satu kesatuan yang bukan berdiri sendiri dan terpisah. Logika berfikir juga tidak mengunakan

dasar kepentingan umum sebagaimana fakta terdakwa tidak membawa dokumen hukum dalam

menjalankan aksi pengangkutan kayu. Dokumen tersebut dapat disebut sebagai fakta reasonable,

sehingga pengabaikan hal itu juga berarti mengabaikan nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

(12)

PendAHuluAn i.

Putusan Nomor 29/Pid.B/2007/PN/PL.R dengan terdakwa P alias LN merupakan putusan atas perkara illegal logging. Terdakwa ditangkap saat mengangkut kayu mempergunakan Dump Truck Mitsubishi tipe Colt DSL FE 73 berwarna kuning. Kayu yang diangkut adalah kayu hutan jenis meranti dengan ukuran 5x7x5 m sebanyak 54 (lima puluh empat) potong dengan volume 0,95 m3, kayu olahan ukuran 5x7x4 m sebanyak 75 (tujuh puluh lima) potong dengan volume 1,05 m3, kayu olahan ukuran 20x2x4 sebanyak 119 (seratus sembilan belas) potong dengan volume 1,90 m3, dengan jumlah volume keseluruhan sebanyak 3,90 m3.

Terdakwa membeli kayu-kayu tersebut dengan harga Rp. 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) tiap kubiknya dari masyarakat di Desa Tuyun dan dari pinggir jalan Desa Dahian Tambuk untuk dipergunakan sebagai sarana memperbaiki jembatan darurat antara Palangka Raya menuju Kuala Kurun untuk memperlancar transportasi pada saat Pesparawi tingkat Propinsi Kalimantan Tengah. Perbaikan jembatan darurat ini merupakan proyek Pemerintah Daerah cq. Dinas Pekerjaan Umum (PU) Tingkat I Kalimantan Tengah. Alasan penangkapan terhadap terdakwa dikarenakan terdakwa tidak dapat menunjukkan kepada kedua saksi surat-surat atau dokumen yang sah atas kayu yang diangkut oleh terdakwa saat dilakukan pemeriksaan surat-surat atau dokumen yang sah atas kayu-kayu tersebut.

Berdasarkan temuan awal di lapangan mulai dari proses penyelidikan dan penyidikan maka penuntut umum mendakwa terdakwa dengan dakwaan alternatif yang disusun sebagai berikut:

Kesatu: melanggar Pasal 50 ayat (3) hurf f

1. jo. Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan;

Kedua: melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h

2. jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Dakwaan penuntut umum merupakan dakwaan alternatif yang biasanya dikarenakan penuntut umum tidak mengetahui perbuatan mana yang akan terbukti nantinya di persidangan atau jika penuntut umum memiliki keraguan dasar hukum mana yang akan dipergunakan oleh hakim atas perbuatan yang menurut pertimbangannya telah terbukti. Dakwaan alternatif memperbolehkan majelis hakim mengadakan pilihan dakwaan mana yang telah terbukti dan bebas menyatakan bahwa dakwaan kedua tidak terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama (Hamzah, 1996: 189).

Majelis hakim dalam perkara ini setelah menilai kesesuaian fakta hukum yang terungkap di persidangan, akhirnya menentukan bahwa dakwaan yang lebih sesuai untuk didakwakan kepada terdakwa adalah dakwaan kedua yaitu terdakwa dipersalahkan telah melanggar Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

(13)

Berdasarkan perumusan Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tersebut maka unsur-unsur tindak pidana dalam dakwaan alternatif kedua adalah sebagai berikut:

Setiap orang, 1.

Dengan sengaja mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan keterangan sahnya hasil hutan.

Terpenuhinya semua unsur dalam dakwaan alternatif kedua menjadikan terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya dalam dakwaan penuntut umum. Namun majelis hakim tidak serta merta menjatuhkan sanksi pidana kepada terdakwa karena majelis hakim masih harus mempertimbangkan adanya unsur melawan hukum dari perbuatan terdakwa. Pembuktian terpenuhi atau tidaknya sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa dititik beratkan pada fakta persidangan bahwa kayu-kayu yang diangkut terdakwa pada saat terjadi penangkapan akan dipergunakan untuk memperbaiki jembatan agar tidak terjadi kecelakaan menjelang kegiatan Pesparawi sesuai dengan perintah Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU).

Untuk itu majelis hakim berpendapat bahwa meskipun secara formil perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang namun jika ditinjau dari kepentingan yang ada pada masyarakat maka secara materiil perbuatan terdakwa bukanlah merupakan suatu perbuatan yang tercela karena dilakukan semata-mata untuk melayani kepentingan umum.

Kesimpulan majelis hakim ini didukung dengan adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam perkara Machroes Effendi dengan pertimbangan bahwa “suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor Negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.

Berdasarkan alasan dan pertimbangan di atas maka perbuatan terdakwa mengangkut kayu tanpa dilengkapi dengan SKSHH akan tetapi dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan umum serta tidak ditemukannya fakta selama di persidangan bahwa terdakwa mendapatkan untung dari perbuatannya, telah kehilangan sifat melawan hukumnya sehingga bukanlah suatu perbuatan pidana. Pertimbangan majelis hakim sebagaimana diuraikan di atas mengerucut menjadi suatu putusan sebagai berikut:

1. Menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan, tetapi perbuatan tersebut tidaklah dapat dipidana;

(14)

2. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging); 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya; 4. Memerintahkan agar barang-barang bukti berupa 1 (satu) mobil No. Pol B 9682 YZ dengan

No. Sin: 4D34T-C22334 No. Ka/Nik: MHMFE 73 P 37 K000086, Merk/type: Mistsubishi/ Colt Dsl FE 73 (4x2) MT warna kuning serta kayu olahan ukuran 5x7x5 m sebanyak 54 (lima puluh empat) potong dengan volume 0,95 m3, ukuran 5x7x4 m sebanyak 75 (tujuh puluh lima) potong dengan volume 1,05 m3, 20x2x4 sebanyak 119 (seratus sembilan belas) potong dengan volume 1,90 m3, dengan jumlah volume keseluruhan sebanyak 3,90 m3 dikembalikan kepada terdakwa;

5. Membebankan biaya perkara kepada Negara.

RumusAn mAsAlAH ii.

Roeslan Saleh (1987: 1) menyatakan “memidana sesuatu yang tidak bersifat melawan hukum tidak ada artinya. Sehingga untuk dapat dikatakan seseorang melakukan tindak pidana, perbuatannya tersebut harus bersifat melawan hukum. Perbuatan melawan hukum saat ini sudah mengalami pergeseran tidak sebatas perbuatan melawan hukum formal namun juga perbuatan melawan hukum materiil. Perbuatan hukum materiil pun dapat dipergunakan dalam artian yang positif maupun negatif.

Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Penggunaan yurisprudensi yang dalam sistem hukum kita lebih berifat persuassive force of precedent daripada the binding force of precedent mengakibatkan hakim harus pandai dalam mengelaborasi fakta-fakta hukum yang ada berdasarkan inteprestasi dan keyakinannya hingga didapat suatu kesimpulan bahwa dalam suatu perkara sudah terpenuhi atau tidak unsur perbuatan melawan hukum.

Tulisan ini akan menyoroti relevansi antara penggunaan yurisprudensi serta fakta-fakta hukum dengan pertimbangan hakim saat mempergunakan pengertian perbuatan melawan hukum secara negatif yang menghasilkan suatu kesimpulan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan. Ini menjadi penting karena dalam mempergunakan pengertian negatif dari perbuatan melawan hukum selain diperlukan pembuktian dari fakta-fakta hukum di persidangan namun juga perlu adanya kepekaan majelis hakim untuk dapat merasakan nilai keadilan dan kepatutan yang ada di dalam masyarakat. Dengan demikian, didapatkan suatu putusan yang selain mengedepankan nilai kepastian juga bermuatan kemanfaatan dan keadilan.

(15)

studi PustAkA dAn AnAlisis iii.

Hakim dalam mencari makna “melawan hukum” seharusnya mencari dan menemukan kehendak publik yang bersifat unsur pada saat ketentuan tersebut diberlakukan pada kasus konkrit. Tegasnya, sebagaimana disebutkan Hamaker bahwa hakim seyogianya mendasarkan putusannya sesuai dengan kesadaran hukum dan penerapan hukum yang sedang hidup di dalam masyarakatnya ketika putusan itu dijatuhkan, oleh karena itu menurut I.H. Hymans hanya putusan hukum yang sesuai dengan kesadaran hukum dan kebutuhan hukum warga masyarakatnya yang merupakan “hukum dalam makna sebenarnya” (Ali, 2002: 140).

Konklusi dasarnya, sebagaimana dikatakan Lie Oen Hock bahwa, “apabila kita memperhatikan undang-undang, ternyata bagi kita bahwa undang-undang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali juga tidak jelas. Walaupun demikian hakim harus melakukan peradilan.

Undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis baik “rechts maupun wetshistoris”, secara sistimatis atau secara sosiologis atau dengan cara memperbandingkan hukum (Hock, 1965: 11).

Oleh karena itu maka hakim tidaklah harus berarti menjadi penyambung lidah atau corong undang-undang (bousche de la loi/mouth of the laws) akan tetapi hakim harus dapat menerapkan, sebagai filter dan mengimplementasikan peraturan tersebut yang masih bersifat abstrak terhadap kasus konkrit.

Konsekuensi logis dimensi demikian hakim dihadapkan kepada pilihan keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Hakim harus menggali, memahami dan menghayati norma-norma hukum yang hidup di dalam masyarakat. Apabila dijabarkan lebih jauh paradigma konteks di atas dikarenakan hakim hidup di masyarakat, menggali dan menetapkan hukum untuk masyarakat, peraturan dibuat untuk suatu masyarakat dan juga tentu harus menjatuhkan hukuman sesuai dengan dimensi keadilan kepada masyakarat pendukungnya di mana hukum itu hidup (living law). Dalam paradigma modern sekarang dapat disebutkan dengan paradigma bahwa, “hakim tidak hidup dalam menara gading”.

Dikaji dari perspektif teoretis dan praktik konsepsi perbuatan melawan hukum dikenal dalam dimensi hukum perdata dan hukum pidana. Dari aspek etimologis dan terminologis maka perbuatan melawan hukum dalam bahasa Belanda dikenal dengan terminologi “wederrechtelijk” dalam ranah hukum pidana dan terminologi “onrechtmatige daad” dalam ranah hukum perdata. Akan tetapi, pengertian dan terminologi “wederrechtelijk” dalam hukum pidana tersebut ada diartikan sebagai bertentangan dengan hukum (in strijd met het recht), atau melanggar hak orang

(16)

lain (met krenking van eens anders recht) dan ada juga yang mengartikan sebagai tidak berdasarkan hukum (niet steunend op het recht) atau sebagai tanpa hak (zonder bevoegheid).

Dalam hukum pidana, khususnya terhadap perkara tindak pidana korupsi telah terjadi pergeseran perspektif di mana perbuatan melawan hukum formal (formele wederrechtelijkheid) menjadi perbuatan melawan hukum materiil (materiele wederrechtelijkheid) dalam artian setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.

Pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil tersebut dalam hukum pidana dipengaruhi dari pengertian luas ajaran perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata melalui arrest Cohen-Lindenbaum tanggal 31 Januari 1919.

Pada dasarnya, pergeseran perbuatan melawan hukum formal menjadi perbuatan melawan hukum materiil dilakukan pembentukannya melalui yurisprudensi (putusan hakim). Konkritnya, yurisprudensi Mahkamah Agung RI telah memberi landasan dan terobosan serta melakukan pergeseran dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi dari pengertian perbuatan melawan hukum bersifat formal menjadi bersifat materiil yang meliputi setiap perbuatan yang melanggar norma-norma dalam kepatutan masyarakat atau setiap perbuatan yang dianggap tercela oleh masyarakat.

Tegasnya, landasan, terobosan dan pergeseran pengertian “wederrechtelijk”, khususnya perbuatan melawan hukum materiil dalam hukum pidana tersebut mendapat pengaruh kuat dari pengertian perbuatan melawan hukum secara luas dari hukum perdata.

Praktik peradilan khususnya melalui yurisprudensi maka Mahkamah Agung RI juga telah memberikan nuansa baru perbuatan melawan hukum materiil bukan hanya dibatasi dari fungsi negatif sebagai alasan peniadaan pidana guna menghindari pelanggaran asas legalitas maupun penggunaan analogi yang dilarang oleh hukum pidana. Akan tetapi juga Mahkamah Agung dengan melalui yurisprudensinya melakukan pergeseran perbuatan melawan hukum materiil ke arah fungsi positif melalui kriteria limitatif dan kasuistik berupa perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik dipandang dari segi kepentingan hukum yang lebih tinggi ternyata menimbulkan kerugian yang jauh tidak seimbang bagi masyarakat/negara dibandingkan dengan keuntungan dari perbuatan pelaku yang tidak memenuhi rumusan delik tersebut.

Sebagai salah satu contoh yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang menerapkan sifat melawan hukum materiil dengan fungsi negatif yang bertujuan menghilangkan alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) adalah dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1966 tanggal 8 Januari 1966 atas nama terdakwa Machroes Effendi (kemudian diikuti pula Putusan Mahkamah Agung Nomor: 71/K/1970 tanggal 27 Mei 1972, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 81/K/Kr/1973 tanggal 30 Mei 1977) di mana Mahkamah Agung berpendapat bahwa adanya 3

(17)

(tiga) sifat hilangnya unsur (bestandellen) melawan hukum materiil sebagai alasan penghapus pidana (yang tidak tertulis) berupa faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa tidak mendapat untung. (Mulyadi, 2006: 22).

Selain itu, Mahkamah Agung berpendirian dengan membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi bahwa hilangnya sifat melawan hukum dapat juga dikarenakan asas-asas keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis sebagaimana pertimbangan itu disebutkan dengan redaksional sebagai berikut: “bahwa Mahkamah Agung pada azasnya dapat membenarkan pendapat dari Pengadilan Tinggi tersebut, bahwa suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan azas-azas keadilan atau azas-azas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum sebagaimana Pengadilan Tinggi dianggap ada dalam perkara penggelapan yang formil terbukti dilakukan oleh terdakwa.”

Dengan tolok ukur sebagaimana di atas, maka berdasarkan kasus Machroes Effendi inilah timbul suatu yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor: 42 K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang jelas menganut asas “perbuatan melawan hukum materiil” (materiele wederrechtelijkheid) dalam fungsi negatif. Sedangkan yurisprudensi Mahkamah Agung yang berpendirian perbuatan melawan hukum materiil dalam fungsi positif terdapat dalam perkara Putusan Nomor: 275 K/ Pid/1983 tanggal 29 Desember 1983 atas nama terdakwa Drs. R.S. Natalegawa (kemudian diikuti pula dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2477 K/Pid/1988 tanggal 23 Juli 1993, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1571 K/Pid/1993 tanggal 18 Januari 1995).

Pada asasnya, yurisprudensi Mahkamah Agung ini pertimbangan putusannya bersifat futuristis dengan titik tolak penafsiran yang keliru pengertian “melawan hukum” dari yudex facti diidentikan sebagai “melawan peraturan yang ada sanksi pidananya”, sebagaimana dikatakan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut Mahkamah Agung penafsiran terhadap sebutan “melawan hukum” tidak tepat, jika hal itu hanya dihubungkan dengan policy perkreditan direksi yang menurut Pengadilan Negeri tidak melanggar peraturan hukum yang ada sanksi pidananya, akan tetapi sesuai pendapat yang sudah berkembang dalam ilmu hukum, seharusnya hal itu diukur berdasarkan asas-asas hukum tak tertulis, maupun asas-asas yang bersifat umum menurut kepatutan dalam masyarakat.”

Kemudian, yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut secara implisit memberikan pertimbangan bahwa penanganan kasus ini mengacu kepada pengertian melawan hukum materiil dari fungsi positif. Aspek ini lebih detail dipertimbangkan dengan redaksional sebagai berikut: “Menimbang, bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi, apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud agar pegawai negeri itu menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya secara menyimpang, hal itu sudah

(18)

merupakan “perbuatan melawan hukum”, karena menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatan yang tercela atau perbuatan yang menusuk perasaan hati masyarakat banyak.”

Pada hakikatnya, pertimbangan putusan Mahkamah Agung inilah yang dianggap sebagai perkembangan interpretasi futuristis yang menyelami perasaan keadilan masyarakat di satu pihak, sedangkan di sisi lainnya berpendapat bahwa sejak putusan itu ajaran sifat melawan hukum materiil telah mempunyai fungsi positif. Fungsi positif ini, menurut ajaran umum hukum pidana, tidak diperbolehkan karena akan bertentangan dengan asas legalitas. Konklusi dari apa yang telah diuraikan konteks di atas maka putusan Mahkamah Agung RI memberikan ruang dan dimensi tentang diterapkannya perbuatan melawan hukum materiil baik dalam fungsi negatif dan fungsi positif. Ajaran perbuatan melawan hukum materiil tetap dipertahankan dan diterapkan secara normatif, teoretis dan praktik peradilan.

Salah satu contoh dari perkara di mana hakim mempergunakan ajaran perbuatan melawan hukum negatif adalah perkara illegal logging dengan terdakwa Ir. Palamoor Als. Lamor Nababan. Majelis hakim nampaknya berpandangan bahwa hukum acara pidana tidak hanya bersifat formil namun juga materiil sehingga perlu diuji apakah secara materiil tindakan terdakwa tersebut memenuhi unsur melawan hukum. Untuk mendukung pendapatnya majelis hakim mempergunakan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 42/K/Kr/1965 tanggal 8 Januari 1966 yang menyatakan bahwa ”suatu tindakan pada umumnya dapat hilang sifatnya sebagai melawan hukum bukan hanya berdasarkan suatu ketentuan dalam perundang-undangan, melainkan juga berdasarkan keadilan atau asas-asas hukum yang tidak tertulis dan bersifat umum, dalam perkara ini misalnya faktor-faktor negara tidak dirugikan, kepentingan umum dilayani dan terdakwa sendiri tidak mendapat untung”.

Salah satu fakta hukum yang menjadi pertimbangan majelis hakim untuk menerapkan ajaran perbuatan melawan hukum negatif dengan didasarkan pada yurisprudensi di atas adalah fakta bahwa kayu-kayu yang diangkut oleh terdakwa akan dipergunakan untuk membangun jembatan antara Palangka Raya menuju Kuala Kurun demi kelancaran transportasi pada saat pelaksanaan Pespawari tingkat Propinsi Kalimantan Tengah. Terdakwa, dalam kesaksiannya, menyatakan bahwa sebagai petugas proyek dirinya mendapat tanggung jawab agar tidak terjadi kecelakaan di jembatan tersebut saat berlangsungnya Pespawari. Berdasarkan hal tersebut majelis hakim berpendapat bahwa pengangkutan kayu-kayu oleh terdakwa, yang tidak disertai dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), semata-mata untuk melayani kepentingan umum tanpa adanya keuntungan bagi diri pribadi terdakwa.

Penulis menilai bahwa hakim memiliki kebebasan untuk mempergunakan semua sumber hukum yang ada mulai peraturan perundang-undangan, doktrin maupun yurisprudensi dalam memutuskan suatu perkara. Namun yang perlu diingat adalah hakim memiliki tanggung jawab terhadap semua pilihan yang dipergunakannya berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di

(19)

persidangan serta tidak boleh meniadakan anasir nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat. Sehingga saat majelis hakim menilai bahwa perbuatan hukum terdakwa secara formil dapat dipidana kemudian memutuskan untuk meneliti alasan peniadaan pidana dengan menerapkan ajaran perbuatan hukum negatif, keputusan hakim tersebut harus sangat didukung oleh fakta yang ada serta kepekaan majelis hakim berkaitan dengan nilai-nilai keadilan. Karena sekali lagi perlu ditekankan perbuatan hukum materiil tidaklah berpatokan pada ketentuan peraturan perundang-undangan namun lebih mengedepankan sensitivitas hakim untuk menilai suatu perbuatan hukum apakah dapat dipidana atau tidak berdasarkan ketentuan-ketentuan yang kadang menyentuh sisi subyektifitas hakim.

Sayangnya penilaian majelis hakim untuk meniadakan sifat melawan hukum terdakwa berdasarkan fakta bahwa kayu-kayu yang diangkat dipergunakan untuk kepentingan umum, menurut Penulis adalah kurang tepat. Ada beberapa hal yang menjadikan penggunaan fakta ini tidak tepat antara lain:

Kegiatan Pespawari merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah bekerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum Tingkat I Kalimantan Tengah, sehingga semua kegiatan dan/atau orang-orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut seharusnya dilengkapi oleh Surat Tugas yang menyatakan bahwa orang-orang tersebut benar terlibat dalam kegiatan itu. Namun majelis hakim dalam perkara ini nampaknya luput untuk mempertanyakan kelengkapan administrasi dari terdakwa walaupun terdakwa dalam kesaksiannya menyatakan sebagai koordinator proyek yang memiliki tanggung jawab besar dalam perbaikan jalan serta jembatan yang akan dipergunakan dalam kegiatan Pespawari tersebut,

Fakta di persidangan memperlihatkan bahwa kegiatan Pespawari diadakan pada tanggal 20 November 2007 sampai dengan tanggal 26 November 2007 sehingga secara logika pembangunan dan/atau perbaikan jembatan dilakukan sebelum acara Pespawari tersebut dilaksanakan. Sedangkan terdakwa ditangkap tangan mengangkut kayu-kayu tanpa disertai SKSHH pada tanggal 1 Desember 2007 setelah Pespawari selesai dilakukan. Sehingga asumsi bahwa kayu-kayu yang diangkut terdakwa dipergunakan untuk kegiatan Pespawari yang secara tidak langsung ikut melayani kepentingan umum tidak dapat dipergunakan. Bagaimana mungkin terdakwa dibebaskan dari dakwaannya dengan alasan tindakan terdakwa dilakukan untuk melayani kepentingan umum sedangkan kepentingan umum yang seharusnya dilayani oleh terdakwa telah selesai diselenggarakan saat terdakwa tertangkap tangan sedang mengangkut kayu-kayu tanpa disertai dokumen yang lengkap?

Penanganan tindak pidana kehutanan, perlu dipahami sebagai bagian mendorong terciptanya tujuan pembangunan kehutanan dalam rangka memenuhi kesejahteraan rakyat Indonesia dan tetap menjaga fungsi hutan sebagai konservasi, lindung dan produksi. Sehingga, penanganan permasalahan kehutanan harus lintas sektoral, termasuk keberanian untuk memahami tindak

(20)

pidana kehutanan bukan sekadar bagian dari tindak pidana umum, serta tidak mereduksinya menjadi sebuah pelanggaran administratif, melainkan sebagai salah satu sistem penyangga kehidupan yang memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia.

Pemahaman terhadap akar persoalan munculnya tindak pidana kehutanan, akan membuahkan hasil menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Sebab, penanganan tindak pidana kehutanan, tidak terlepas dari upaya bangsa Indonesia dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran yang ditujukan bagi pemenuhan kesejahteraan rakyat (baik secara ekonomi maupun sosial dan budaya) melalui pembangunan di sektor kehutanan (Alvi Syahrin, “Penegakan Hukum Tindak Pidana di Bidang Kehutanan”, http://alviprofdr.blogspot.com/2010/11/penegakan-hukum-tindak-pidana-bidang.htm, diunduh untuk didownloud pada Rabu 20 April 2011, jam 08:30).

Latar belakang penegakan hukum yang demikian, khususnya terhadap tindak pidana di bidang kehutanan, seyogianya dapat memberikan tekanan kepada hakim bahwa putusan yang dijatuhkan akan menjadi preseden dalam penegakan hukum di bidang kehutanan. Peniadaan sifat melawan hukum yang didasarkan atas kepentingan umum adalah lumrah namun bisa menjadi repetisi tidak positif dalam kasus-kasus serupa yang terjadi di masa yang akan datang. Terlebih lagi saat alasan tersebut tumpang tindih dengan fakta lain yang seharusnya diperhatikan oleh majelis hakim.

Terdakwa merupakan koordinator proyek yang mendapatkan mandat dari pemerintah daerah dan dinas pekerjaan umum untuk memperbaiki jembatan dalam rangka kegiatan Pespawari. Merupakan suatu harapan masyarakat apabila orang-orang seperti terdakwa selayaknyalah tidak melakukan tindakan yang didakwakan kepadanya (analogi yang sama saat masyarakat mengharapkan apabila seorang anggota DPR tidak melakukan tindakan tercela, misalnya melakukan korupsi).

Sehingga saat majelis hakim tidak mempertimbangkan bahwa tindakan pidana telah menciderai nilai kepatutan dan keadilan dalam masyarakat dan langsung memutuskan bahwa tindak pidana terdakwa dapat ditiadakan dengan alasan untuk melayani kepentingan umum, hakim dengan sendirinya telah meniadakan nilai keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum dari putusan yang dihasilkannya.

Menurut teori ilmu hukum, idealnya hukum harus mampu berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan manusia yang sering saling bertabrakan satu sama lain (conflict of human interest). Konflik yang sering terjadi inilah yang lalu menjadi sebab wujudnya (raison d’etre) hukum. Selanjutnya, agar kepentingan manusia terlindungi dengan baik, hukum harus ditegakkan. Pada saat ditegakkan inilah hukum mulai memasuki wilayah das sein (yang senyatanya) dan meninggalkan wilayah das sollen (yang seharusnya). Ia tidak lagi sekadar barisan pasal-pasal mati yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, tetapi sudah “dihidupkan” oleh living interpretator yang bernama hakim.

(21)

Hakim yang akan memutus suatu perkara di pengadilan harus mengombinasikan tiga hal secara simultan, kepastian hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Tugas ini tentu saja tidak mudah dilaksanakan. Unsur kepastian hukum dalam penegakan hukum merupakan perlindungan yustisiabel atas tindakan seseorang terhadap orang lain, karena hukum telah dianggap sebagai rujukan terakhir untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam masyarakat. Kepastian hukum ini, dalam teori ilmu hukum, sering diganti dengan istilah predictability. Maksudnya, penegakan hukum itu idealnya harus dapat diprediksi, pihak yang salah akan diputus bersalah dan pihak yang benar akan diputus benar.

Sebaliknya, pihak yang salah diputus benar dan pihak yang benar diputus salah oleh pengadilan. Predictability ini menjadi elemen amat penting untuk menjaga keadaan hukum tetap sebagai rujukan terakhir dalam masyarakat dan melindungi kewibawaan hukum itu sendiri. Tetapi, fakta empiris lebih menunjukkan lembaga peradilan kita sering membuat putusan yang unpredictable.

Unsur kemanfaatan hukum dalam penegakan hukum mempunyai makna filosofis yang amat mendalam, yaitu karena hukum ditujukan untuk manusia, maka harus memberi kemanfaatan sebesar-besarnya bagi manusia. Kemanfaatan ini terutama berbentuk terlindunginya kepentingan satu pihak dari perampasan yang dilakukan pihak lain. Sedangkan unsur keadilan dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang seharusnya paling genuine dan hakiki dari hukum itu sendiri. Aliran etis dalam hukum berpendapat, hukum dibuat dengan tujuan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Pengadilan berfungsi amat vital dalam menopang pelaksanaan ide-ide hukum (das sollen) menjadi kenyataan-kenyataan hukum (das sein) sehingga Oliver Wendel Holmes mengatakan, “Law is what the courts will do in fact” (Holmes, 1979: 409). Karena itu, hakim sebagai aktor penegak hukum utama di pengadilan harus benar-benar melakukan “konkretisasi hukum” dengan tetap memperhitungkan perasaan keadilan masyarakat.

Konkretisasi hukum berarti hakim telah menghidupkan pasal-pasal mati dalam sebuah peraturan perundang-undang (law in the book) menjadi suatu putusan nyata (law in action) untuk memberikan putusan terhadap suatu peristiwa hukum.

Persoalan utama yang dihadapi lembaga peradilan kita adalah cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Hakim kita hanya menangkap apa yang oleh Roscoe Pound (RJ Simon, 1969: 12) disebut “keadilan hukum” (legal justice), tetapi gagal menangkap “keadilan masyarakat” (social justice).

Oleh karena itu, kohesivitas antara hukum positif dan nilai-nilai keadilan dalam masyarakat menjadi conditio sine qua non untuk menghindari keadaan di mana hukum ada di puncak menara gading yang jauh dari jangkauan pemahaman keadilan masyarakat. Hal ini juga menjadi perhatian

(22)

dalam studi sosiologi hukum sebagaimana dianjurkan Eugen Ehrlich (1826-1922) dari aliran sociological jurisprudence. Ia mengatakan, hukum positif yang baik dan karenanya efektif adalah yang sesuai hukum yang hidup di masyarakat (living law). Dengan demikian, penegak hukum juga tidak bisa mengabaikan eksistensi living law, bahkan harus terus menggali, mengikuti, dan memahaminya. Agaknya pengabaian terhadap living law inilah yang terjadi pada hakim-hakim kita.

Peradilan sebagai benteng terakhir keadilan merupakan salah satu dari lembaga kemasyarakatan (social institution). Karena itu, sebagaimana hukum positif, kohesivitasnya dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain harus tetap terjaga untuk menghindari terjadinya apa yang

oleh WF, Ogburn (1966: 200) disebut social lag, yaitu suatu keadaan di mana perkembangan

lembaga-lembaga kemasyarakatan berjalan secara tidak seimbang yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan di masyarakat.

Penegakan hukum, misalnya, tidak hanya dibaca sebagai sebuah proses yang berdimensi hukum saja, tetapi juga mempunyai dimensi lain di luar hukum. Dengan demikian, penegakan hukum yang tidak konsisten akan mengakibatkan social institution lain terganggu keseimbangannya. Kegagalan peradilan kita dalam mengemban fungsi kemasyarakatan, karena sebagai social institution, akan berakibat fatal: krisis kepercayaan terhadapnya. Jika peradilan tidak lagi mempunyai kewibawaan yang cukup, anarkisme dalam segala aspeknya tidak lagi dapat dihindarkan. Putusan atas perkara illegal logging ini memang tidak bisa dijadikan tolok ukur bahwa peradilan telah gagal, namun akan lebih baik apabila majelis hakim dalam memutuskan suatu perkara dapat lebih teliti dalam menilai fakta-fakta yang ada didasarkan atas interpretasi yang masuk akal dan pola pikir yang logis sehingga dapat diminimalisasi produk pengadilan yang mengingkari nilai-nilai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum seperti terlihat dalam putusan ini.

simPulAn iv.

Putusan majelis hakim atas perkara Nomor: 29/ Pid.B/2007 /PN.PL.R. dengan terdakwa P alias LN ini secara umum telah mengikuti prosedur hukum acara pidana, di mana formalitas putusan telah dipenuhi oleh majelis hakim dengan merangkai fakta dalam persidangan, bukti-bukti serta keterangan saksi yang mendukung pertimbangan hakim. Pembukti-buktian unsur tindak pidana telah dilakukan secara terperinci selain mempergunakan dasar hukum dalam peraturan perundang-undangan juga yurisprudensi.

Namun penalaran hukum yang dipergunakan di beberapa uraian mengenai unsur tindak pidana tidak dilakukan secara sistematis dan beberapa didasarkan atas fakta yang tidak relevan sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang terkesan dipaksakan seperti saat majelis hakim berkesimpulan bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan terdakwa hilang karena kayu yang

(23)

diangkut oleh terdakwa dipergunakan untuk membangun jembatan. Majelis hakim berpendapat dengan peruntukkan seperti itu maka perbuatan terdakwa sebenarnya dilakukan untuk melayani kepentingan umum tanpa mengambil keuntungan untuk dirinya pribadi.

Majelis hakim nampaknya luput mencermati ketepatan penggunaan yurisprudensi yang menjadi dasar pertimbangan majelis hakim dengan kronologis penangkapan dan waktu pembuatan jembatan sehingga langsung menyimpulkan bahwa walaupun terdakwa terbukti melakukan tindak pidana illegal logging namun karena tidak adanya sifat melawan hukum maka terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum.

Seharusnya majelis hakim tidak hanya berusaha menegakkan keadilan prosedural dengan mentransformasi ketentuan undang-undang dalam pembuktian unsur-unsur tindak pidana tetapi juga memperhatikan serta mempertimbangkan faktor-faktor non yuridis yang meng-interpretasi kebutuhaan riil masyarakat saat ini berkaitan dengan penegakan hukum dalam rangka pemberantasan tindak pidana illegal logging. Semoga hakim kita selalu ingat adagium hukum, equum et bonum est lex legum (apa yang adil dan baik adalah hukumnya hukum). (*)

dAFtAR PustAkA

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press.

Fadjar, Mukthie. 2003. Reformasi Konstitusi Dalam Masa Transisi Paradigmatik. Cet. 1., Malang: In-Trans.

Hamzah, Andi. 1996. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sapta Artha Jaya.

Huda, Chairul. 2008. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Jakarta: Kencana.

Indonesia Center of Environmental Law. 2006. Manual Investigasi Illegal Logging dengan Pendekatan Undang Undang Kehutanan, Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Kemitraan – ICEL.

Pecker, Herbert L. 1968. The Model in Operation : From Arrest to Charge. California: Stanford University Press.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Hukum dalam Jagat Ketertiban. Jakarta: UKI Press. _________, 2007. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Penerbit Kompas.

(24)

Sapardjaja, Komariah E. 2002. Ajaran Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia; Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Bandung: Alumni.

Shidarta. 2007. Utilitarianisme. Jakarta: UPT Penerbitan Universitas Tarumanagara. Sianturi,S.R. 1982. Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Penerbit Alumni.

Soemodipradja, Achmad S. 1984. Pokok-pokok Hukum Acara Pidana Indonesia. Bandung: Penerbit Alumni.

Van Bemmelen, J.M. 1997. Hukum Pidana 1. Bandung: Bina Cipta.

(25)

daliH keadilan dan eRROR JuRis

seBagai alasan melePaskan teRdakwa

daRi segala tuntutan Hukum

shidarta

Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email darta67@yahoo.com

kajian Putusan nomor 583/Pid.B/2010/Pn.Jkt sel.

ABSTRACT

There are many conditions that could be determined as valid defences in court decisions. Some have been specified in the Indonesian Criminal Code but others appear from legal practices. In the verdict number 583/Pid.B/2010/PN Jkt Sel., panel of judges concluded that the accused was unpunishable due to the existence of valid defences related to legal justice, moral justice, and social justice. This article scrutinizes those reasons of the valid defence and comes to the conclusion that judges failed to support their arguments. The author refers to “error juris” as a more appropriate rationale that should be establised in the judges’ arguments.

Keywords: valid defence, justice, error juris

ABstRAk

Ada banyak kondisi yang dapat ditetapkan sebagai alasan pembenar dan/atau pemaaf dalam putusan hakim. Beberapa di antaranya sudah diatur dalam KUHP, tetapi selebihnya muncul dalam praktik hukum. Dalam putusan No. 583/Pid.B/2010/PN Jkt.Sel., majelis hakim berkesimpulan bahwa si terdakwa tidak dapat dipidana karena adanya alasan pemaaf terkait dengan keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan sosial. Tulisan ini menelaah argumentasi majelis atas alasan-alasan pemaaf tersebut yang membawa pada kesimpulan bahwa hakim gagal dalam

mendukung penalaran mereka. Penulis artikel ini meujuk “error juris” sebagai dalih yang lebih

tepat digunakan oleh majelis hakim dalam membangun argumentasi mereka.

(26)

PendAHuluAn i.

Sekalipun setiap putusan hakim selalu diawali dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,” tidak banyak ditemukan argumentasi tentang keadilan dimuat di dalam analisis putusan. Biasanya konsep keadilan dibiarkan oleh hakim sebagai area yang tidak tersentuh karena bernilai transenden dan sarat subjektivitas. Pengecualian atas fenomena umum itu ternyata dapat ditemukan dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor 583/ Pid.B/2010/PN.Jkt Sel., yang akan dipilih sebagai topik kajian dalam tulisan ini.

Kasus ini sempat menyita perhatian publik di Tanah Air karena tergolong unik. Pihak terdakwa bernama AH (selanjutnya disebut terdakwa), seorang pria yang dituduh memalsukan jati diri terkait dengan status jenis kelaminnya. Jaksa menuntut terdakwa dengan menggunakan dakwaan berbentuk campuran kumulatif subsidaritas, yaitu dakwaan kesatu melanggar Pasal 266 ke-1 KUHP dan dakwaan kedua primer Pasal 266 ke-2 KUHP; dakwaan kedua subsidair melanggar Pasal 263 ke-2 KUHP.

Bunyi Pasal 266 KUHP lengkapnya adalah sebagai berikut: “(1) Barangsiapa menyuruh masukkan keterangan palsu ke dalam suatu akte otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain pakai akta itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, diancam, jika pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (2) Diancam dengan pidana yang sama barangsiapa dengan sengaja memakai akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.” Kemudian Pasal 263 ke-2 KUHP berbunyi: “Diancam dengan pidana yang sama (maksudnya sama dengan ayat di atasnya, yakni penjara paling lama enam tahun), barangsiapa dengan sengaja memakai surat yang isinya tidak benar atau yang dipalsu, seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.”

Duduk perkaranya sendiri dapat diruntutkan sebagai berikut. Terdakwa adalah seorang warga negara Indonesia yang dilahirkan di Jayapura, tanggal 1 November 1977. Dalam akta kelahiran yang dikeluarkan Pemda Tingkat II Jayapura, tertulis jenis kelamin yang bersangkutan adalah perempuan. Beberapa tahun kemudian terdakwa menetap di Jakarta, dan di dalam kartu keluarga yang bersangkutan tanggal 11 September 2003 di kelurahan Pondok Pinang, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, tercatat terdakwa adalah anggota keluarga dengan jenis kelamin perempuan. Kepala keluarganya adalah Ch, ibu kandung terdakwa.

Tahun 2006, terdakwa mulai memastikan ada kelainan pada pertumbuhan alat kelaminnya, sehingga ia mengajukan permohonan perubahan status jenis kelamin pada kartu keluarga mereka. Permohonan ini dikabulkan. Dengan bantuan ibunya, akta kelahirannya juga telah diurus perubahannya di Kantor Catatan Sipil Jayapura, sehingga kemudian tertulis sebagai laki-laki. Atas dasar perubahan itu, kartu tanda penduduk terdakwa juga telah disesuaikan statusnya menjadi

(27)

laki-laki. Untuk menghilangkan kegalauan adanya tonjolan payudara pada tubuhnya, terdakwa lalu mengadakan operasi pengangkatan payudara. Namun, di hadapan persidangan terdakwa menolak apabila ia pernah melakukan operasi kelamin. Menurutnya, kelaminnya adalah penis yang tumbuh alami, sekalipun bentuknya tidak normal. Ia juga mengaku penisnya bisa merasakan orgasme.

Bukti ilmiah yang diajukan oleh jaksa dan penasihat hukum ternyata saling bertolak belakang. Hasil laporan tes DNA yang disampaikan jaksa menunjukkan terdakwa adalah perempuan (gen XX). Sebaliknya, laporan ahli forensik yang ditampilkan oleh penasihat hukum terdakwa menyatakan bahwa terdakwa adalah laki-laki dengan jenis kelamin yang mengalami klinefelter syndrome (gen XXY). Majelis hakim juga telah memastikan hal ini dengan memeriksa sendiri secara fisik kelamin terdakwa, dan menyimpulkan pada alat kelaminnya tumbuh penis dengan ukuran kecil (tidak normal sebagaimana penis laki-laki dewasa). Hanya terdapat kantor zakar, tetapi tidak terdapat buah zakar, serta tidak terdapat lubang vagina.

Tindak pidana yang dituduhkan terhadap terdakwa bermula dari pernikahan yang dilakukan terdakwa. Tercatat terdakwa pernah menikah dua kali, pertama dengan seorang perempuan bernama Gr (lalu bercerai), dan kedua dengan perempuan bernama JD. Pernikahan kedua ini dilangsungkan di Amerika Serikat pada tanggal 9 September 2008. Pernikahan ini telah didaftarkan di Kantor Catatan Sipil Jakarta Pusat tanggal 28 Agustus 2009. Atas keterangan laporan perkawinan itu, selanjutnya terdakwa mengajukan penerbitan kartu keluarga di kediamannya di Jakarta, dengan dirinya sebagai kepala keluarga dan JD sebagai anggota keluarga.

Tanggal 3 September 2009, JD yang masih tinggal di Jakarta bersama orang tuanya itu bertemu secara diam-diam dengan terdakwa di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. JD datang dengan berdua ditemani seorang pembantu rumah tangganya. Pada kesempatan itu terdakwa menitipkan bukti surat keterangan perkawinan dan kartu keluarga kepada pembantu tersebut sambil berpesan apabila orang tua JD ingin bertemu dengan anaknya agar datang ke rumah terdakwa atau menelepon. Selanjutnya JD diajak pergi dan tinggal bersama dengan terdakwa. Kejadian demikian mengejutkan kedua orang tua kandung JD, yang masing-masing bernama BGH dan MGS. Selain mereka tidak pernah diberi tahu tentang pernikahan antara terdakwa dan JD, mereka juga selama ini mengenal terdakwa sebagai seorang perempuan. MGS mengenal terdakwa sejak tahun 2002 sebagai sesama anggota ladies club dari klub golf di Kedoya Kebon Jeruk, Jakarta Barat dan terdakwa bermain golf di bagian flat ladies yang khusus untuk perempuan.

Informasi pernikahan antara terdakwa dan JD yang diterima dari pembantu rumah tangga mereka selain mengejutkan, juga dinilai telah mempermalukan keluarga. Namun, kedua orang tua JD mengaku telah mengetahui adanya hubungan khusus antara anaknya dengan terdakwa, yakni saat mereka berdua menjemput JD di Singapura pada tanggal 8 Agustus 2008. Ternyata BGH dan MGS menemukan anak mereka bersama dengan terdakwa di sana. Saat itu terdakwa

(28)

mengatakan ingin pergi ke Kuala Lumpur. Keterangan tentang pertemuan ini berbeda dengan apa yang disampaikan JD di persidangan.

Menurut JD, ia baru kenal dengan terdakwa pada tanggal 28 Agustus 2008 di Singapura, diperkenalkan oleh MGS. JD mengaku bahwa ia benar-benar mencintai terdakwa dan selama menikah juga merasakan kepuasan di dalam melakukan hubungan suami isteri. Tentang pemberitahuan soal pernikahan mereka, JD mengatakan terdakwa berinisiatif memberi tahu pernikahan itu kepada orang tua JD, tetapi JD melarang karena takut kedua orang tuanya shock.

Di kemudian hari, kedua orang tua JD mendapati bahwa terdakwa telah memanfaatkan uang kiriman mereka untuk JD sewaktu anak mereka itu tinggal di luar negeri. Menurut keterangan MGS, ia pernah mengirim uang kepada JD sebesar US$46,000 untuk keperluan membeli mobil. Menurut keterangan kedua orang tua JD, anaknya memang membeli mobil seharga US$15,000, namun sisa uang itu telah ditransfer JD ke rekening terdakwa tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya.

Hal ini merupakan kerugian bagi BHG dan MGS, sehingga memenuhi unsur ‘kerugian’ sebagaimana dimaksudkan dalam pasal-pasal yang menjadi dasar dakwaan jaksa. Terkait pembelian mobil ini, saksi JD memberi keterangan berbeda. Menurutnya ia tidak jadi membelikan mobil karena kakaknya (di Amerika Serikat) sudah membeli mobil.

Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, majelis hakim berpendirian apa yang dilakukan terdakwa telah memenuhi perbuatan sebagaimana yang diuraikan dalam surat dakwaan. Dengan perkataan lain, terdakwa telah terbukti melakukan perbuatan yang diuraikan JPU dalam dakwaan kesatu dan dakwaan kedua primer terebut, tetapi majelis masih mempertanyakan: apakah perbuatan terdakwa tersebut tergolong sebagai tindak pidana? Untuk menjawab pertanyaan inilah, majelis hakim lalu membuat pertimbangan dengan mengajukan alasan perlunya diperhatikan aspek keadilan hukum, keadilan moral, dan keadilan sosial dalam kasus ini. Alasan-alasan ini akan dibahas dan dianalisis dalam bagian ketiga tulisan ini.

Atas dasar pertimbangan tersebut, majelis hakim lalu menetapkan di dalam amar putusannya, yaitu:

menyatakan terdakwa terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan dakwaan 1.

kesatu dan dakwaan kedua primer, akan tetapi perbuatan tersebut adalah bukan merupakan suatu tindak pidana;

melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum (

2. onstlag van alle rechtsvervolging);

memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya; 3.

menetapkan barang bukti berupa KTP, kutipan akta kelahiran, paspor, dan lain-lain 4.

(semuanya enam item) dikembalikan kepada terdakwa, dan beberapa barang bukti lain (dua item) tetap dilampirkan dalam berkas perkara;

(29)

membebankan ongkos perkara kepada negara. 5.

RumusAn mAsAlAH ii.

Pertimbangan majelis hakim untuk memasukkan perihal keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice), dan keadilan sosial (social justice), merupakan langkah yang sebenarnya wajar. Akan tetapi, topik tentang keadilan ini mutlak membutuhkan pemahaman yang mendalam agar tidak terdistorsi tatkala struktur kasus di atas dihubungkan dengan struktur aturan yang didakwakan. Tulisan ini ingin menelaah seberapa tepat pemahaman itu disajikan majelis hakim di dalam putusan ini, termasuk pencerminan dari aspek keadilan tadi di dalam amar putusan yang melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.

Di sisi lain ada perkembangan tentang alasan penghapus pidana berupa sesat tentang hukum (error juris) yang ingin diintroduksi oleh penulis dalam kajian kali ini. Alasan ini diajukan sebagai alternatif argumen yang layak dipertimbangkan oleh hakim dalam menyelesaikan kasus ini.

studi PustAkA dAn AnAlisis iii.

Terkait dengan putusan PN Jakarta Selatan ini, fokus analisis dapat diawali dari pembahasan tentang alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) atau terkadang disebut dasar peniadaan pidana. Alasan penghapus pidana adalah keadaan yang secara khusus dipertimbangkan oleh hakim, yang dapat membuat tidak dapat dijatuhkan pidana kepada terdakwa sekalipun semua unsur-unsur tindak pidananya sudah dipenuhi. Alasan demikian cukup dikemukakan oleh terdakwa, tanpa perlu ia dibebani kewajiban membuktikan.

Dalam literatur, alasan penghapus pidana itu biasanya dibedakan menjadi dua, yaitu alasan pembenar (rechtsvaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond). Di luar keduanya, dikenal juga alasan peniadaan penuntutan pidana (vervolgingsuitsluitingsgrond), yang tidak ikut dibahas dalam tulisan ini.

KUHP sendiri tidak memberikan definisi eksplisit yang membedakan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf. Pencampuradukan bahkan terlihat dalam KUHAP, misalnya dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Moeljatno (1987: 137) meletakkan perbedaan antara alasan pembenar dan alasan pemaaf dengan kata-kata sebagai berikut: “Alasan pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan.”

Penjelasan yang kurang lebih sama dapat dilihat dalam tulisan Zulfa (2010: 48-49), yang menambahkan uraian tentang dua aliran dalam melihat keterkaitan antara perbuatan dan kesalahan.

(30)

Aliran monistis berpendapat bahwa tidak ada perbedaan antara unsur tindak pidana yang sifatnya subjektif (kesalahan dalam arti luas) dan unsur tindak pidana yang sifatnya objektif (melawan hukum). Penghapusan salah satu unsur tersebut atas tindak pidana yang terjadi menyebabkan suatu konsekuensi yang sama, yaitu putusan hakim harus berbunyi membebaskan terdakwa (vrijspraag). Aliran dualistis memperlakukan unsur tindak pidana yang sifatnya subjektif (kesalahan dalam arti luas) dan unsur tindak pidana yang sifatnya objektif (melawan hukum) secara berbeda.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan penghapus pidana, penghapusan salah satu unsur tersebut atas tindak pidana yang terjadi menyebabkan suatu konsekuensi yang berbeda pula. Dalam kaitannya dengan dihapuskannya unsur kesalahan, maka terhadap pelaku, hukum pidana memaafkan perbuatan yang dilakukannya. Unsur kesalahan inipun tidak selalu harus dicantumkan sebagai unsur tertulis karena hukum pidana memang tidak membedakan unsur kesalahan ke dalam kategori tertulis dan bukan. Dalam pandangan ini, putusan hakim harus berbunyi melepaskan terdakwa dari tuntutan hukum (onstlag).

Secara umum dapat dikatakan bahwa alasan pembenar adalah dalih yang dipakai oleh hakim untuk menyatakan bahwa oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka perbuatan itu tidak sepantasnya dikategorikan tindak pidana. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat perbuatan itu menjadi dapat dibenarkan. Di sini terlihat bahwa aspek perbuatannyalah yang menjadi titik perhatian hakim. Lain halnya dengan alasan pemaaf. Dalam alasan pemaaf, yang menjadi titik perhatian hakim adalah si subjek pelaku, yaitu oleh karena ada keadaan khusus yang terjadi, maka si pelaku tidak sepantasnya dicela. Dengan perkataan lain, kondisi tertentu telah membuat si pelaku dapat dimaafkan.

Konsekuensi lebih lanjut dari pembedaan ini adalah bahwa pelaku utama yang mendapat alasan pemaaf (sehingga tidak dipidana), tidak serta merta lalu membuat pelaku lain bersama (mereka yang membujuk, ikut serta, menyuruh atau membantu melakukan), juga ikut dimaafkan. Hal ini tidak terjadi pada perbuatan yang mendapat alasan pembenar. Sekali suatu perbuatan dibenarkan, maka semua perbuatan yang dilakukan dalam kondisi yang sama, juga selayaknya ikut dibenarkan. Jadi, alasan pembenar berlaku untuk semua pelaku lain, sedangkan alasan pemaaf dipertimbangkan secara pribadi bagi si pelaku yang bersangkutan.

Hamdan (2008: 5-6) menyatakan, hakim yang memutuskan dihapusnya pidana karena adanya alasan pembenar, ingin menyatakan bahwa dia akan memperlakukan sama semua orang yang dalam keadaan sama juga berbuat demikian. Sebaliknya, hakim yang memutuskan adanya alasan pemaaf tidak ingin mengatakan lebih daripada bahwa pelaku individual ini karena keadaan khusus yang mengenai dirinya (tidak mampu bertanggungjawab, sesat yang dapat dimaafkan), deliknya tidak cukup dapat dicelakan kepadanya untuk dapat memidana dia (pelaku).

Dengan mengutip G. Fletcher, Hamdan (2008: 7) menyatakan, dalam hal alasan pembenar, perbuatan pelaku sudah memenuhi peraturan sebagaimana yang dirumuskan undang-undang,

Referensi

Dokumen terkait

- Terhadap jenis ikan yang sama, ikan yang lolos melalui jendela mata jaring bujur sangkar dan ikan yang masuk ke kantong kemudian dilakukan penimbangan

Metode pengumpulan data dengan melakukan penilaian terhadap subyek penelitian melalui checklistyang dibuat berdasarkan indikator kemandirian anak dengan indikator

Scene tersebut merepresentasikan dakwah bil hal dalam bidang syariah karena tokoh dalam film tersebut memberikan contoh yang baik dalam melakukan aktifitas dalam

Sedangkan untuk pola yang kedua, tidak mempengaruhi antrian pada lapangan parkir dan pemuatan di kapal karena pengaruh bottleneck terjadi pada daerah di belakang

Sistem kerja lampu lalu lintas terpadu otomatis ini adalah ditampilkannya penampil waktu pada saat lampu merah, hijau, dan kuning menyala untuk setiap jalur pada empat

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan manajemen, dan pendekatan sosiologis. Selanjutnya, metode

Dalam kata pengantarnya pada penerbitan buku Partisipasi Perempuan dalam Politik dan Pemerintah, El- Mostafa Benlamlih mengatakan bahwa pengalaman menunjukkan

Kata Jannah (kebun) sama dengan jin, yaitu sesuatu yang tersembunyi. Jannah itu seperti hutan, sebab itu tersembunyi dari keramaian. Seperti kebun yang terletak di dataran