• Tidak ada hasil yang ditemukan

J U R N A L Y U D I S I A L

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "J U R N A L Y U D I S I A L"

Copied!
121
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBIDIK PENALARAN HAKIM DI BALIK SKOR "KOSONG-KOSONG" DALAM KASUS PRITA MULYASARI

Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2 DAN 3 UUPTPK Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst

Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT

S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

"UNDUE PROCESS OF LAW" DALAM PERKARA PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK

Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan

RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS PUTUSAN DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN

Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

SIMULACRA KEADILAN

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-IV/No

-03/Desember/2011

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(2)

MEMBIDIK PENALARAN HAKIM DI BALIK SKOR "KOSONG-KOSONG" DALAM KASUS PRITA MULYASARI

Kajian Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

PENGUSUNGAN POLA PIKIR POSITIVISME HUKUM DALAM PERKARA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

PERGULATAN PEMAKNAAN PASAL 2 DAN 3 UUPTPK Kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAK.SEL Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

KANDASNYA KRIMINALISASI PERKARA PERDATA MURNI Kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst

Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung

PERSPEKTIF MORALITAS DALAM PERKARA ABORSI Kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JKT.UT

S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

"UNDUE PROCESS OF LAW" DALAM PERKARA PIDANA PERJUDIAN DENGAN TERDAKWA ANAK

Kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan

RELASI PEMAHAMAN HAKIM DAN KUALITAS PUTUSAN DALAM KASUS PIDANA LINGKUNGAN

Kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

SIMULACRA KEADILAN

Jl. Kramat Raya 57 Jakarta Pusat

Telp. 021 390 5455, Fax. 021 390 5455 PO BOX 2685 email : jurnal@komisiyudisial.go.id

V

ol-IV/No

-03/Desember/2011

J

U

R

N

A

L

Y

U

D

I

S

I

A

L

(3)
(4)

J

urnal Yudisial adalah jurnal ilmiah berkala empat bulanan yang diterbitkan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia. Jurnal ini beredar pada setiap awal April, Agustus, dan Desember, memuat hasil kajian/riset atas putusan-putusan pengadilan oleh jejaring peneliti dan pihak-pihak lain yang berkompeten. Penerbitan jurnal ini bertujuan untuk memberi ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil, yang pada gilirannya ikut membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.

Isi tulisan dalam jurnal sepenuhnya merupakan pandangan independen masing-masing penulis dan tidak merepresentasikan pendapat Komisi Yudisial Republik Indonesia. Sebagai ajang diskursus ilmiah, setiap hasil kajian/riset putusan yang dipublikasikan dalam jurnal ini tidak pula dimaksudkan sebagai intervensi atas kemandirian lembaga peradilan, sebagaimana telah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Redaksi menerima kiriman naskah kajian/riset dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Pedoman penulisan dapat dilihat pada halaman akhir jurnal.

Alamat Redaksi:

Gedung Komisi Yudisial Lantai 3

Jalan Kramat Raya Nomor 57 Jakarta Pusat Telp. 021-3905876, Fax. 021-3906215 Email: jurnal@komisiyudisial.go.id

(5)

MeMbidik penalaran hakiM di balik skor “kosong-kosong”

dalaM kasus prita Mulyasari ... 251

kajian Putusan Nomor 300 k/Pdt/2010,

Shidarta, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

pengusungan pola pikir positivisMe hukuM

dalaM perkara korupsi ... 262

kajian Putusan Nomor 207/PID.B/2008/PN.MPW

Ricca Anggraeni, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

pergulatan peMaknaan

pasal 2 dan 3 uuptpk ... 279

kajian Putusan Nomor 2060/PID.B/2006/PN.JAk.SEL Rifkiyati Bachri, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

kandasnya kriMinalisasi

perkara perdata Murni ... 293

kajian Pustaka Nomor 259/Pid.B/2010/PN.Jkt.Pst Sholahuddin Harahap, Fakultas Hukum

Universitas Islam Bandung

persfektif Moralitas

dalaM perkara aborsi ... 308

kajian Putusan Nomor 377/Pid/B/2002/PN.JkT.UT S. Atalim, Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara

“undue proCess of laW” dalaM perkara pidana

perJudian dengan terdakWa anak ... 324

kajian Putusan Nomor 38/PID.AN/2009/PN.BDG Melani, Fakultas Hukum Universitas Pasundan

relasi peMahaMan hakiM dan kualitas putusan

dalaM kasus pidana lingkungan ... 339

kajian Putusan Nomor 2240/Pid.B/2007/PN.Mdn Deni Bram, Fakultas Hukum Universitas Pancasila

D

AF

TAR

(6)

PENGANT

AR

Simulacra adalah dunia yang di dalamnya ditampilkan sifat kepura-puraan. “SIMULACRA KEADILAN” Dunia yang penuh dengan topeng, kedok dan make up. Ada terdakwa pura-pura, pengadilan pura-pura, dan keadilan pura-pura. Cara-cara penyelesaian hukum serba palsu dan serba semua memperlihatkan bahwa sesungguhnya lembaga hukum tepatnya aparat hukum sudah tenggelam di dalam dunia virtualitas dan perversalitas. Ada yang tersajikan tak lebih dari wacana-wacana hukum yang semu, the virtual law, keadilan yang palsu, the virtual justice.

K

alimat di atas disadur dari salah satu aline buku Hantu-hantu Politik dan Matinya Sosial, karya Yasraf Amir Piliang. Kalimat tersebut mengambarkan apa yang dinamakan SIMULACRA. Simulacra berasal dari bahasa latin

simulacrum yang berarti “rupa dan kesamaan” untuk menggambarkan representasi dari

fakta yang terjadi dihadapan mata yang sebenarnya bertolak belakang.

Simulacra dicetuskan pertama kali oleh Jean Baudrillard, salah seorang filosof Perancis. Jean mengacu pada teori hyper-reality dan simulation. Simulasi yang mencitrakan sebuah realitas dan pada hakikatnya tidak senyata realitas yang sesungguhnya. Singkat kata simulasi adalah realitas semu (hyper-reality).

Secara sederhana simulacra dilustrasikan bahwa konstruksi-konstuksi kebenaran yang bersifat fiktif, retoris dan palsu. Kondisi itu telah mengambil alih fakta kebenaran formil dan materiil melalui kata atau simbol. Simbol-simbol yang diagung-agungkan itu sebagai ilusi alam bawah sadar yang justru mengungkapkan fakta sesungguhnya. Dalam dunia hukum, simulacra adalah dunia semu yang dibentuk oleh permainan citra dan retorika serta trik pengelabuhan. Di dalam simulacra berlangsung permainan hukum sebagai wacana semata yang diperdebatkan oleh aparat hukum, politisi, hingga akademisi. Di sini tercipta sebuah arena permainan terhadap hukum dan undang-undang.

Arena itu penuh dengan permainan bahasa hukum, permainan kata-kata, simbol dan makna. Muara dari permainan itu untuk mengatakan sesuatu itu benar-salah, baik-buruk, moral-amoral. Kata-kata seperti akan diselidiki, akan diusut tuntas, akan dilakukan penyelidikan menyeluruh, dan akan memberikan keadilan yang seadil-adilnya adalah contoh dari permainan simulacra.

Kalimat-kalimat dalam simulacra sungguh sangatlah menenangkan. Sayang, itu hanyalah ilusi yang berkiblat arah yang berbeda dari sesungguhnya. Justru kalimat itu menjauhkan dari makna yang sebenarnya yang berintikan pada keadilan.

(7)

Simbol Langit

Keadilan adalah kebutuhan kolektif yang diimpikan semua orang atas sesuatu yang sesuai dengan hak-haknya. Keadilan berasal kata benda dari kata dasar ADIL yang bersumber dari Bahasa Arab ‘ADALA. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, adil bermakna sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak yang benar, berpegang pada kebenaran, tidak sewenang-wenang, dan sepatutnya. Sementara menurut Black’s Law Dictionary, adil atau fair bermakna impartial, free of bias of justice, just, dan equitable.

Keadilan adalah tujuan tertinggi dalam hukum maka tidak berlebihan apabila dikatakan hukum menjadi alat dan sarana untuk mewujudkan keadilan. Hukum dan keadilan kadang tidak selalu sejalan karena keadilan sebagai nilai tidak mudah diwujudkan dalam hukum. Keadilan sarat dengan nilai abstrak, irrasionalitas dan tidak selalu diterjemahkan dalam pasal-pasal hukum. Meski demikian, kepastian hukum adalah bagian dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan.

Keadilan merupakan simbol langit dan kalimat Tuhan yang senantiasa menebarkan kebaikan. Banyak firman Tuhan yang mewajibkan manusia untuk senantiasa bersikap adil termasuk hakim dengan putusannya. Maka, keadilan yang merupakan inti putusan pengadilan harus diwujudkan secara substantif dan atributif. Bagaimana apabila pengadilan tanpa keadilan? Tanpa keadilan, pengadilan bukan lagi tempat untuk memeriksa dan memutuskan sebuah perkara. Nilai sakralitas pengadilan yang sarat dengan nilai-nilai Tuhan telah sirna.

Merujuk pada deskripsi di atas, Jurnal Yudisial edisi ini mengambil tema tentang SIMULACRA KEADILAN. Simulacra dan Keadilan adalah dua kata yang memiliki dua makna berbeda. Satu sisi Simulacra adalah simbol dan kamuflase dari impian yang penuh dengan ilusi, dan sisi yang lain keadilan adalah cita-cita ideal yang hendak diwujudkan manusia.

Beberapa kasus di edisi ini memperlihatkan hal-hal yang kontradiktif antara harapan dan fakta yang mengusik rasa keadilan, kemanusiaan dan keadilan. Tema itu menjadi edisi penutup jurnal edisi terakhir di tahun 2011 yang terbit pada Desember 2011.

Sebagai penutup, sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal Yudisial, kami mengucapkan terima kasih Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. H. Eman Suparman, S.H., M.H., dan Sekretaris Jenderal Komisi Yudisial Drs. Muzayyin Mahbub, M.Si., atas dukungan terhadap penerbitan jurnal ini. Tak lupa terima kasih juga kami ucapkan kepada para Mitra Bestari dan pihak-pihak lain yang membantu proses penerbitan hingga hadir di hadapan Anda.

Tertanda

(8)

PEDOMAN PENULISAN

Jurnal Yudisial menerima naskah hasil penelitian atas putusan pengadilan (court

decision) suatu kasus konkret yang memiliki kompleksitas permasalahan hukum, baik

dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri.

FORMAT NASKAH I.

Naskah dituangkan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris baku. Apabila ada kutipan langsung yang dipandang perlu untuk tetap ditulis dalam bahasa lain di luar bahasa Indonesia atau Inggris, maka kutipan tersebut dapat tetap dipertahankan dalam bahasa aslinya dengan dilengkapi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

Naskah diketik di atas kertas ukuran kwarto (A-4) sepanjang 20 s.d. 25 halaman (sekitar 6.000 kata), dengan jarak antar-spasi 1,5. Ketikan menggunakan huruf (font)

Times New Roman berukuran 12 poin.

Semua halaman naskah diberi nomor urut pada margin kanan bawah.

SISTEMATIKA NASKAH II.

Judul naskah

Judul utama ditulis di awal naskah dengan menggunakan huruf Times New Roman

14 poin, diketik dengan huruf kapital seluruhnya, ditebalkan (bold), dan diletakkan di tengah margin (center text). Tiap huruf awal anak judul ditulis dengan huruf kapital, ditebalkan, dengan menggunakan huruf Times New Roman 12 poin. Contoh:

PERSELISIHAN HUKUM MODERN DAN HUKUM ADAT DALAM KASUS PENCURIAN SISA PANEN RANDU Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.BTG

Nama dan identitas penulis

Nama penulis ditulis tanpa gelar akademik. Jumlah penulis dibolehkan maksimal dua orang. Setelah nama penulis, lengkapi dengan keterangan identitas penulis, yakni nama dan alamat lembaga tempat penulis bekerja, serta akun email yang bisa dihubungi! Nama penulis dicetak tebal (bold), tetapi identitas tidak perlu dicetak tebal. Semua keterangan ini diketik dengan huruf Times New Roman 12 poin, diletakkan di tengah margin. Contoh:

Mohammad Tarigan

Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Jalan S. Parman No. 1 Jakarta 11440,

(9)

Abstrak

Abstrak ditulis dalam dua bahasa sekaligus, yaitu bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Panjang abstrak dari masing-masing bahasa sekitar 200 kata, disertai dengan kata-kata kunci (keywords) sebanyak 3 s.d. 5 terma (legal terms). Jarak antar-spasi 1,0 dan dituangkan dalam satu paragraf.

PENDAHULUAN III.

Subbab ini berisi latar belakang dari rumusan masalah dan ringkasan jalannya peristiwa hukum (posisi kasus) yang menjadi inti permasalahan dalam putusan tersebut.

RUMUSAN MASALAH IV.

Subbab ini memuat formulasi permasalahan yang menjadi fokus utama yang akan dijawab nanti melalui studi pustaka dan analisis. Rumusan masalah sebaiknya diformulasikan dalam bentuk pertanyaan. Setiap rumusan masalah harus diberi latar belakang yang memadai dalam subbab sebelumnya.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS V.

Subbab ini diawali dengan studi pustaka, yakni tinjauan data/informasi yang diperoleh melalui bahan-bahan hukum seperti perundang-undangan dan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, juga hasil-hasil penelitian, buku, dan artikel yang relevan dan mutakhir. Paparan dalam studi pustaka tersebut harus menjadi kerangka analisis terhadap rumusan masalah yang ingin dijawab. Bagian berikutnya adalah analisis permasalahan. Analisis harus dikemas secara runtut, logis, dan terfokus, yang di dalamnya terkandung pandangan orisinal dari penulisnya. Bagian analisis ini harus menyita porsi terbesar dari keseluruhan substansi naskah.

KESIMPULAN VI.

Subbab terakhir ini memuat jawaban secara lengkap dan singkat atas semua rumusan masalah.

PENGUTIPAN DAN DAFTAR PUSTAKA

Sumber kutipan ditulis dengan menggunakan sistem catatan perut (body note atau side note) dengan urutan nama penulis/lembaga, tahun terbit, dan halaman yang dikutip. Tata cara pengutipannya adalah sebagai berikut:

Satu penulis: (Grassian, 2009: 45); Menurut Grassian (2009: 45), ... Dua penulis: (Abelson dan Friquegnon, 2010: 50-52);

Lebih dari dua penulis: (Hotstede. Et.al., 1990: 23);

Terbitan lembaga tertentu: (Cornell University Library, 2009: 10).

(10)

cara penulisan daftar pustaka dilakukan secara alfabetis, dengan contoh sebagai berikut:

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 2010. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 2009. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral

Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Cornell University Library. 2009. “Introduction to Research.” Akses 20 Januari 2010. <http:// www.library.cornell.edu/resrch/intro>.

PENILAIAN

Semua naskah yang masuk akan dinilai dari segi format penulisannya oleh tim penyunting. Naskah yang memenuhi format selanjutnya diserahkan kepada mitra bestari untuk diberikan catatan terkait kualitas substansinya. Setiap penulis yang naskahnya diterbitkan dalam Jurnal Yudisial berhak mendapat honorarium dan beberapa eksemplar bukti cetak edisi jurnal tersebut.

CARA PENGIRIMAN NASKAH

Naskah dikirim dalam bentuk digital (softcopy) ke alamat e-mail:

jurnal@komisiyudisial.go.id

dengan tembusan ke:

a_nicedp@yahoo.com dan nuraguss@yahoo.com. Personalia yang dapat dihubungi (contact persons): Nur Agus Susanto (085286793322);

Dinal Fedrian (085220562292); atau Arnis (08121368480).

Alamat redaksi:

Pusat Data dan Layanan Informasi, Gd. Komisi Yudisial Lt. 3, Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat 10450, Fax. (021) 3906215.

(11)

MITRA BEST

ARI

Segenap pengelola Jurnal Yudisial menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas sumbangsih Mitra Bestari yang telah melakukan review terhadap naskah Jurnal Yudisial Edisi April 2011, Agustus 2011, dan Desember 2011. Semoga bantuan mereka mendapatkan balasan dari Allah SWT

1. Dr. Shidarta, S.H., M.Hum. 2. Dr. Anton F. Susanto,S.H., M.Hum.

3. Dr. Yeni Widowati, S.H., M.Hum. 4. Prof. Dr. Paulus Hadi S., S.H., M.H. 5. Prof. Dr. Adji Samekto, S.H., M.Hum. 6. Prof. Dr. B. Arief Sidharta, S.H.

7. Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, S.H., LL.M. 8. Prof. Dr. L. Budi kagramanto, S.H., M.H., M.M. 9. Barkah, S.H., M.H.

(12)

Penanggung Jawab : Muzayyin Mahbub.

Pemimpin Redaksi : Patmoko

Penyunting/Editor : 1. Hermansyah 2. Onni Roeslani 3. Heru Purnomo 4. Imron

5. Asep Rahmad Fajar 6. Suwantoro

Redaktur Pelaksana : Dinal Fedrian

Arnis Duwita

Sekretariat : 1. Sri Djuwati 2. Yuni Yulianita 3. Romlah Pelupessy. 4. Ahmad Baihaki 5. Arif Budiman. 6. Adi Sukandar 7. Aran Panji Jaya 8. Nur Agus Susanto

Desain Grafis & Fotografer : Widya Eka Putra

(13)

MeMbidik penalaran hakiM

di balik skor “kosong-kosong”

dalaM kasus prita Mulyasari

Shidarta

Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, Jalan Letjen S. Parman Nomor 1 Jakarta email darta67@yahoo.com

kajian putusan nomor 300 k/pdt /2010

AbstrAct

The case of Prita Mulyasari versus Omni International Hospital et al. is one of attractive legal problems happened in the last three years. In the context of private legal action, the Supreme Court had declared Prita was not guilty to spread her email because expressing somebody’s feeling through personal and restricted communication media is not considered unlawful. On the other hand, any claim of malpractice should be proved by the claimant. According to the court’s ruling, Prita failed to establish the evidences in order to support her statement. The court also relied on the assessment of malpractice to the Indonesian Medical Doctor Ethics Board. Such ways of thinking are the focuses of analysis in this article. The author believes there are some fallacies of legal reasoning occurred in this court decisio

Keywords: legal reasoning, tort, malpractice, ethics

ABSTRAK

Kasus Prita Mulyasari melawan Omni International Hospital dkk adalah sebuah perkara hukum yang menarik perhatian publik dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Dalam kasus perdata, MA menyatakan Prita tidak bersalah menyebarluaskan surat elektroniknya karena perbuatan mengungkapkan persaan seseorang melalui media komunikasi pribadi dan terbatas bukanlah perbuatan melawan hukum. Pada sisi lain, gugatan malpraktik yang diajukan Prita haruslah dibuktikan oleh si penggugat. Menurut majelis hakim kasasi, Prita gagal membuktikan gugatannya itu. Pengadilan juga mengandlkan penilaian malpraktik ini pada Majelis Kehormatan Dokter Indonesia. Artikel ini memfokuskan perhatiannya pada cara hakim bernalar atas kasus ini. Penulis menemukan sejumlah kesesatan penalaran dalam putusan ini.

(14)

PENDAHULUAN I.

Kasus Prita Mulyasari melawan Rumah Sakit Omni International Hospital dan sejumlah dokter di rumah sakit itu, telah menuai perhatian publik yang sangat luas. Ada dua perkara dari kasus ini yang berjalan secara bersamaan, yakni perkara pidana dan perdata. Hasilnya sama-sama sudah diketahui oleh publik. Terdapat divergensi dalam penjatuhan putusan dari kedua perkara yang berujung di Mahkamah Agung ini.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk membandingkan kedua putusan (perdata dan pidana) tersebut. Tulisan ini akan memfokuskan pada dimensi perdata yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap sejak ditetapkan melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010. Terlepas putusan ini konon mendapat apresiasi publik, ada hal-hal menarik yang sebenarnya patut direnungkan di balik pertimbangan hukum dan amar putusan yang dipilih oleh majelis hakim tersebut. Oleh karena kasus ini sudah menjadi diskursus publik dan sudah berkekuatan hukum tetap, dipandang tidak cukup bermanfaat untuk membuat singkatan inisial nama-nama para pihak yang terlibat dalam kasus ini. Hanya beberapa nama dokter yang tidak terkait sebagai para pihak dalam kasus ini, dicantumkan sebagai nama inisial.

Garis-garis besar pandangan penulis dalam artikel ini sebelumnya juga pernah diajukan sebagai salah satu analisis terhadap sekian banyak putusan pilihan Mahkamah Agung dalam laporan penelitian putusan tahun ini. Analisis tersebut terkait dengan penelitian profesionalisme hakim (program Komisi Yudisial tahun 2011). Namun, patut dicatat bahwa substansi kajian ini sepenuhnya berangkat dari sudut pandang penulis sepenuhya dan tidak mewakili pandangan kelembagaan Komisi Yudisial.

Kasus Prita sendiri sebenarnya sudah cukup dikenal masyarakat karena mendapat liputan media massa secara luas. Kasus ini bermula pada malam tanggal 7 Agustus 2008, ketika Prita Mulyasari (selanjutnya disingkat Prita) datang ke layanan Unit Gawat Darurat RS Omni dan ditangani dr. IPA (nama inisial) dengan keluhan panas selama beberapa hari, kepala berat, mual, muntah, lemas, dan sakit tenggorokan. Menurut dr. IPA, hal ini merupakan indikasi dari penyakit demam berdarah, tipus, dan infeksi virus. Atas keluhan itu dr. IPA melakukan pemeriksaan medis secara umum (general) dan menginstruksikan petugas laboratorium RS Omni untuk melakukan pemeriksaan penunjang, di antaranya pemeriksaan darah. Petugas laboratorium memberitahu hasil pemeriksaan ini secara lisan kepada dokter bahwa trombosit Prita 27.000/ul (mikroliter); normalnya 200.000/ul. Menurut pihak RS Omni, petugas laboratorium ini tidak yakin dengan pemeriksaan awal ini karena masih terdapat bekuan darah. Petugas laboratorium menyarankan pemeriksaan darah ulang.

Dr. IPA meminta izin Prita melakukan pemeriksaan ulang. Prita setuju dengan permintaan ini. Pada saat pengambilan darah waktu pemeriksaan ulang ini, tubuh Prita belum dipasang infus. Oleh karena kondisi Prita lemah, sakit ulu hati, mual, dan tidak ada nafsu makan, dr. IPA

(15)

menyarankan Prita dirawat inap. Baru setelah itu, terhadap Prita diberikan cairan infus. Prita dimasukkan ke dalam kamar 409.2 lantai 4 B RS Omni.

Keesokan harinya, seorang dokter bernama dr. Henky Gozal memberitahu hasil tes laboratorium kedua (ulangan) bahwa trombosit Prita 181.000/ul, dan selanjutnya dilakukan tindakan medis (terapi pengobatan). Menurut pihak Prita, sebelum pemeriksaan kedua (versi RS) ini sebenarnya ada pemeriksaan ulang yang hasilnya pun sama dengan pemeriksaan lab sebelumnya yaitu trombosit 27.000/ul. Atas dasar itu, Prita langsung diinfus dan diberikan suntikan tanpa penjelasan dan tanpa izin Prita/keluarganya. Baru pada tanggal 8 Agustus 2008 ada pemberitahuan bahwa RS merevisi hasil lab, yaitu bukan 27.000/ul melainkan 181.000/ul. Sewaktu ditanya, pihak RS mengatakan Prita mengalami demam berdarah. Selanjutnya, kembali Prita diberikan berbagai macam suntikan dan infus sehingga lengan kiri dan leher serta matanya mengalami pembengkakan. Prita minta supaya infus dan suntikan dihentikan. Prita ditangani dokter pengganti. Suhu tubuh Prita 39 derajat Celcius.

Dua hari kemudian, yaitu tanggal 9 Agustus 2008, menurut Prita, dokter baru datang sore harinya, dengan memberi instruksi kepada suster agar suntikan tetap diberikan. Waktu ditanya kejelasan penyakitnya, dokter menjelaskan selain demam berdarah, pasien juga terkena virus udara. Infus kembali diberikan. Malam harinya, Prita disuntik dua ampul sekaligus. Setelah itu, Prita sesak napas sehingga diberikan bantuan oksigen selama 15 menit.

Pada tanggal 12 Agustus 2008, Prita sudah dirawat inap selama lima hari di RS Omni. Menurut dokter, kondisinya sudah membaik (tidak demam, tidak mual, nafsu makan membaik). Menurut pihak RS Omni, Prita minta izin pulang, tetapi sebaliknya, menurut Prita, dirinyalah yang justru minta pulang paksa. Menurut beberapa dokter yang menanganinya (kemudian menjadi para penggugat) menyampaikan ada temuan gejala penyakit gondongan (MUMP/parotitis).

RS menyatakan, mereka mengizinkan Prita pulang dengan catatan harus melakukan terapi lebih lanjut atas virus gondongan yang baru ditemukan. Menurut pihak RS, setelah itu Prita mulai menunjukkan sikap marah-marah dengan alasan ia tidak puas dengan pelayanan perawatan RS dan dr. Henky Gozal. Lalu, dr. Grace Hilda selaku penanggung jawab komplain RS menyarankan agar Prita mengisi lembar “masukan dan saran” mengenai ketidakpuasannya. Pengisian ini sudah dilakukan. Menurut pihak Prita, temuan penyakit gondongan/MUMPS itu adalah temuan setelah Prita dirawat di RS International Bintaro. Prita justru merasa belum sembuh sebagaimana terlihat pada kondisi kedua tangan, kedua mata, dan leher bengkaknya yang bengkak, serta ia menderita demam. Prita memutuskan untuk keluar dari RS Omni dan melanjutkan perawatan di RS International Bintaro. Untuk melanjutkan perawatan di RS lain, Prita memerlukan rekam medis pada RS Omni, tetapi RS ini tidak bersedia memberikan hasil pemeriksaan laboratorium (terkait trombosit 27.000/ul) yang merupakan hak pasien. Prita kemudian dirawat di RS Bintaro yang mendiagnosisnya menderita penyakit gondongan yang telah parah karena membengkak.

(16)

Apabila penanganannya terlambat, dapat menyebabkan pembengkakan pankreas dan kista. Baru satu hari dirawat di RS Bintaro ini, Prita justru sudah dinyatakan sembuh dan boleh pulang.

Pada tanggal 15 Agustus 2008, Prita membuat surat elektronik terbuka pada situs customercare@banksinarmas.com dengan judul “Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang”. Surat elektronik ini kemudian disebarluaskan ke berbagai alamat email. Dalam email tersebut ada kata-kata yang ditulis Prita, yang menurut pihak RS Omni sebagai bukti telah terjadinya perbuatan melawan hukum. Kata-kata yang dianggap tendensius itu adalah: (1) Penipuan OMNI International Hospital Alam Sutera Tangerang; (2) Manajemen Omni pembohong besar semua; (3) Saya informasikan juga dr. Henky praktek di RSCM juga, saya tidak mengatakan RSCM buruk tapi lebih hati-hati dengan perawatan medis dari dokter ini; (4) Tanggapan dr. Grace yang katanya adalah penanggung jawab masalah complaint saya ini tidak profesional sama sekali; dan (5) Tidak ada sopan santun dan etika mengenai pelayanan customer.

Rupanya surat elektronik Prita ini cepat tersebar luas. Belum berselang waktu satu bulan, tulisan Prita telah beredar luas di jaringan komunikasi dunia maya. Atas perkembangan ini, pada tanggal 5 September 2008, RS Omni mengadukan Prita ke pihak kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik. Pada saat bersamaan, RS Omni juga menyampaikan pengumuman (bantahan) di harian Media Indonesia. Tiga hari kemudian, RS Omni memuat pengumuman serupa di harian Kompas.

Selain melakukan laporan tindak pidana, PT Sarana Mediatama Internasional (pengelola RS Omni), dr. Henky Gozal, dan dr. Grace Hilza Y.N. juga mengajukan gugatan perdata kepada pihak Prita dengan dasar perbuatan melawan hukum. Perkara ini kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Tangerang, yang memutuskan perkara perdata dengan amar putusan (Putusan Nomor 300/ Pdt.G/2008/PN.TNG tanggal 11 Mei 2009) yang intinya “memenangkan” pihak penggugat (RS Omni dkk). Pada saat kasus perdata ini diputus, laporan pidana di atas belum ditindaklanjuti sampai pada putusan in kracht.

Patut dicatat bahwa menurut pihak RS Omni, pernah ada rapat Komite Medik, yang hasilnya menyimpulkan bahwa dalam kasus ini tidak ada penyimpangan dalam standard operation procedure dan tidak ada penyimpangan dalam etik. Tidak jelas dalam paparan putusan MA ini apakah rapat Komite yang dimaksud sama dengan rapat MKDI, yang tertuang dalam Surat Keputusan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/MK/DKI/V/2010. Jika benar sama, dengan mengacu ke nomor surat tersebut, berarti rapat baru dilakukan sekitar Mei 2010.

Prita mengajukan banding atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang ini. Pengadilan Tinggi Banten memutuskan perkara tingkat banding (Putusan Nomor 71/Pdt/2009/PT.BTN tanggal 8 September 2009) dengan amar yang intinya tetap “memenangkan” RS Omni dkk. Prita mengajukan permohonan kasasi atas putusan Pengadilan Tinggi Banten tersebut. Pemohon kasasi adalah Prita Mulyasari melawan PT Sarana Mediatama Internasional sebagai pengelola pelayanan kesehatan

(17)

bernama Omni International Hospital Alam Sutera bersama dengan dua orang dokter yang bekerja di rumah sakit tersebut, yaitu dr. Hengky Gozal, Sp.Pd. dan dr. Grace Hilza Yarlen Nela.

Mahkamah Agung memutuskan perkara tingkat kasasi yang intinya seolah-olah “memenangkan” pihak Prita Mulyasari (Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010 tanggal 29 September 2010). Putusan ini mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi, membatalkan putusan PT Banten yang memperbaiki putusan PN Tangerang. Mahkamah Agung juga mengadili sendiri: (1) dalam konpensi: (dalam eksepsi) menolak eksepsi tergugat; dan (dalam pokok perkara) menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya; (2) dalam rekonpensi: menolak gugatan rekonpensi untuk seluruhnya; menghukum para termohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp500 ribu.

Amar putusan seperti yang disampaikan oleh majelis hakim Mahkamah Agung menarik untuk dicermati. Amar putusan memang di satu sisi mengabulkan permohonan kasasi Prita, tetapi di sisi lain tidak juga “menghukum” RS Omni dkk. Dapat dikatakan, ibarat pertandingan sepak bola, perjalanan kasus ini berakhir pada skor imbang kosong-kosong. Skor ini dapat dimaknai bahwa baik tindakan yang dilakukan oleh Prita (menulis surat keluhan yang dinilai melawan hukum oleh pihak RS Omni) maupun tindakan RS Omni (memberi rangkaian layanan medik tertentu yang juga dinilai melawan hukum oleh pihak Prita), oleh majelis hakim sama-sama diposisikan sebagai perbuatan konkret biasa.

Kedua peristiwa itu dinyatakan tidak terbukti, yang berarti keduanya adalah bukan perbuatan hukum. Sesuatu perbuatan yang bukan perbuatan melawan hukum berarti perbuatan keduanya adalah perbuatan yang tidak memiliki akibat hukum. Cara melihat persoalan yang ditunjukkan oleh majelis hakim perkara perdata ini ternyata sangat kontras dengan perkembangan pada perkara pidana untuk kasus ini. Dalam perkara pidana di tingkat kasasi, Prita dinyatakan bersalah. Artinya, dalam konteks pidana, perbuatan Prita sebenarnya merupakan perbuatan hukum.

RUMUSAN MASALAH II.

Sebagaimana dinyatakan dalam bagian pendahuluan di atas, analisis tulisan ini tidak diarahkan untuk membandingkan kedua putusan dalam kedua perkara (perdata dan pidana). Juga tidak akan difokuskan pada perdebatan terkait konsep-konsep perbuatan melawan hukum. Kajian akan diarahkan pada Putusan Nomor 300 K/Pdt/2010, dengan mempersoalkan konstruksi penalaran hukum hakim di balik skor “kosong-kosong” yang dijatuhkan oleh majelis kasus ini.

Kendati konsep-konsep perbuatan melawan hukum tidak menjadi sorotan utama dalam kasus ini, tidak dapat dihindari bahwa rumusan pertanyaan tersebut tidak dapat lepas dari isu tersebut. Sebagaimana luas dipahami, sejak tanggal 31 Januari 1919 (Arrest Lindenbaum vs. Cohen), kata “hukum” dalam onrechtmatige daad sudah ditafsirkan tidak lagi sekadar onwetmatige daad. Perbuatan melawan hukum adalah juga berarti perbuatan yang memenuhi salah satu kriteria

(18)

berikut, yaitu: (1) melanggar hak orang lain, (2) bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat, (3) bertentangan dengan kesusilaan yang baik, dan/atau (4) bertentangan dengan kepatutan yang terdapat dalam masyarakat terhadap diri atau barang orang lain (Setiawan, 1991: 12). Gerakan “koin untuk Prita” jelas menunjukkan ada kegalauan sedemikian luas di dalam masyarakat kita terhadap perilaku salah satu pihak dalam kasus ini, dan hal itu tentu mengindikasikan satu atau beberapa kriteria di atas telah terjadi di dalam kasus ini.

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 300 K/Pdt/2010 tidak semua pertimbangan yang diajukan para pihak dipertimbangkan satu demi satu oleh majelis. Mahkamah Agung menyimpulkan Pengadilan Tinggi Banten (judex facti) telah salah menerapkan hukum dengan pertimbangan cukup singkat sebagai berikut:

Bahwa pengungkapan suatu perasaan tentang apa yang dialami tidak dapat dikatakan a.

perbuatan melawan hukum, karena ungkapan tersebut hanya berupa keluhan;

Bahwa berita yang dikirim oleh tergugat melalui email kepada teman-temannya tidak b.

dapat dikategorikan sebagai maksud untuk menghina karena hal tersebut hanya merupakan keluhan tergugat kepada teman-temannya;

Bahwa berdasarkan fakta, pemohon kasasi dirawat inap di Omni Internasional Hospital c.

dari tanggal 7 Agustus 2008 s.d. 12 Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan kepala pusing;

Bahwa selama dirawat, pemohon kasasi telah memperoleh tindakan medis, tetapi bukan d.

kesembuhan yang diterima, tetapi justru mengakibatkan kondisi kedua tangan, kedua mata, leher bengkak serta demam dan akhirnya pemohon kasasi memutuskan untuk keluar dan melanjutkan perawatan di RS International Bintaro;

Bahwa kejadian dan pengalaman yang dialami oleh pemohon kasasi, diceritakan kepada e.

kawan-kawannya melalui email yang merupakan media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup yang tidak setiap orang dapat mengaksesnya;

Bahwa kasus/gugatan para termohon kasasi terhadap pemohon kasasi terkait dengan f.

perkara pidana No. 1269/Pid.B/2009/PN TNG. Pemohon kasasi/terdahulu tergugat telah didakwa melakukan perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan/pencemaran nama baik, melanggar Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 sebagaimana dirumuskan dalam dakwaan kesatu, dakwaan kedua, dan dakwaan ketiga;

(19)

Bahwa atas dakwaan JPU tersebut PN Tangerang telah menjatuhkan putusan tanggal 22 g.

Desember 2008 (seharusnya 2009) No. 1269/Pid.B/2009, di mana terdakwa Prita Mulyasari (pemohon kasasi) dinyatakan tidak terbukti melakukan perbuatan pidana sebagaimana dakwaan JPU. Karena itu, pemohon kasasi selaku terdakwa dinyatakan bebas dari segala dakwaan;

Bahwa dengan demikian, secara pidana tidak terbukti adanya pencemaran nama baik dan h.

dalam perkara ini dalil gugatan penggugat/pemohon kasasi mengisi “masukan dan saran” serta menggunakan alamat email pemohon kasasi dengan surat elektronik terbuka pada customercare@banksinarmas.com dan pemberitahuan pemohon kasasi kepada kawan-kawannya adalah masih dalam batas kewajaran dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum, hal mana sejalan dengan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia;

Bahwa dengan demikian apa yang dilakukan oleh pemohon kasasi terhadap para termohon i.

kasasi tidak memiliki itikad buruk untuk melakukan penghinaan terhadap para termohon kasasi, karena hal itu merupakan kejadian nyata yang dialami langsung oleh pemohon kasasi dan pula pemohon kasasi tidak dapat dikatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum atau melanggar asas kepatutan, karena tidak nyata adanya maksud untuk menyerang pribadi dan apa yang diberitahukan oleh pemohon kasasi kepada teman-temannya tersebut berkaitan dengan masalah pelayanan medis yang diberikan oleh para pemohon kasasi; Bahwa oleh karena dalam putusan pidana terdakwa Prita Mulyasari dinyatakan bebas, maka j.

putusan pengadilan tinggi dalam perkara ini (maksudnya Putusan Pengadilan Tinggi Banten No. 71/Pdt/2009/PT.BTN) yang telah menguatkan putusan pengadilan negeri adalah salah dalam menilai dan mempertimbangkan fakta hukum serta salah dalam menerapkan hukum, oleh karena itu berdasarkan pertimbangan di atas, putusan judex facti harus dibatalkan; Bahwa tentang gugatan rekonpensi dari pemohon kasasi yang dinyatakan ditolak karena k.

pemohon kasasi tidak dapat membuktikan adanya malpraktek dari para termohon kasasi, hal ini sesuai dengan Keputusan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia No. 130/Kep/ MK/DKI/V/2010 yang menyatakan tidak ditemukan pelanggaran disiplin kedokteran dalam melakukan pemeriksaan medis pada pasien (pemohon kasasi), karenanya gugatan rekonpensi harus dinyatakan ditolak;

Bahwa dengan demikian, perbuatan pemohon kasasi tidak memenuhi kriteria melawan l.

hukum yang menimbulkan kerugian pada pihak termohon kasasi, oleh karenanya gugatan para penggugat harus dinyatakan ditolak.

(20)

Dua belas butir di atas merupakan keseluruhan pertimbangan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung. Jika disusun dalam bentuk rangkaian pertimbangan di atas, sebenarnya akan tampak dua runtutan silogisme sebagai berikut:

P r e m i s mayor

Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama baik.

P r e m i s minor

Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni adalah keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup.

Konklusi Tindakan Prita menceritakan kejadian tidak menyenangkan saat dirawat di RS Omni via email kepada rekan-rekannya selama dirawat di RS Omni adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/ mencemarkan nama baik.

Silogisme berikutnya adalah sebagai berikut:

Premis mayor Semua pernyataan malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia adalah perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien.

Premis minor Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan pernyataan malpraktek yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia.

Konklusi Gugatan Prita atas perilaku RS Omni yang telah memberi tindakan medis dengan mengakibatkan kondisinya memburuk adalah bukan perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien.

Premis mayor yang dibangun: “Semua keluhan berupa ungkapan perasaan atas apa yang dialami melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup adalah bukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk menghina/mencemarkan nama baik” sesungguhnya memperlihatkan sebuah penemuan hukum. Penemuan hukum ini dapat diikuti sebagai sikap bagi hakim-hakim selanjutnya dalam menghadapi kasus serupa. Hal ini terutama penting dalam

(21)

menyikapi makin berkembangnya penggunaan sarana dan forum komunikasi yang memanfaatkan jejaring sosial.

Dari proposisi yang dibangun dalam premis mayor di atas terdapat kata-kata “media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup”. Pengiriman surat elektronik (email) yang dilakukan oleh Prita digolongkan oleh majelis hakim sebagai pengiriman melalui media komunikasi yang bersifat pribadi dan tertutup.

Dalam sengketa hukum perdata, dimensi personal (individual para pihak) lebih menonjol dibandingkan dengan sengketa hukum publik. Oleh sebab itu, ketika para pihak membawa kasus ini ke ranah pengadilan, masing-masing berharap mendapatkan kemanfaatan atas putusan itu. Jika dibawa ke dalam konteks keadilan, maka setiap hubungan hukum keperdataan sebenarnya lebih mengedepankan filosofi keadilan komutativa (justitia comutativa), yakni “keadilan” yang dicapai melalui proses tawar-menawar di antara para pihak.

Dalam kasus ini hubungan hukum keperdataannya adalah pihak Prita sebagai pasien datang sebagai konsumen RS Omni. Ia datang dengan kewajiban membayar biaya perawatan seperti biasa, dengan harapan memperoleh kesembuhan atas penyakitnya. Pihak RS Omni berkewajiban mengupayakan kesembuhan itu (bukan menjanjikan kesembuhan). Ini berarti hubungan hukum di antara mereka diikat menjadi suatu perikatan untuk mengupayakan (inspanningsverbintenis), bukan menjanjikan hasil (resultaatsverbintenis). Jika posisi ini dijadikan titik tolak berpikir, maka setiap pasien berhak menyatakan puas atau tidak puas dalam upaya penyembuhan itu. Titik sentral peristiwa hukumnya justru terjadi di sini, yakni “Pernyataan ketidakpuasan itu dianggap oleh pihak RS Omni sebagai perbuatan melawan hukum. Majelis hakim jelas berpendapat bahwa pernyataan ketidakpuasan itu bukan perbuatan melawan hukum.”

Apabila duduk persoalan ini dijadikan titik sentral, yaitu tentang tidak terbuktinya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Prita sebagaimana dijadikan dasar gugatan RS Omni, maka kecenderungan keberpihakan majelis hakim selayaknya diarahkan kepada pihak Prita. Namun sayangnya, kecenderungan ini tidak diperlihatkan secara jelas.

Pada silogisme pertama, tampak bahwa majelis hakim memang memberi pertimbangan yang menguntungkan bagi pihak tergugat Prita, namun tidak untuk silogisme kedua. Di sini terlihat ketidakjelasan “filosofis penjatuhan sanksi” dari kasus ini. Pada silogisme pertama, majelis terkesan membenarkan pihak Prita, tetapi “keberpihakan” atas posisi Prita ini tidak memberi keuntungan apapun bagi Prita. Hal yang sama juga sebaliknya dapat dilihat dari sudut RS Omni. Jika mengacu pada silogisme kedua, terlihat bahwa gugatan bahwa RS Omni telah melakukan malpraktik ditolak oleh majelis (dengan mengandalkan pada bukti formal dari MKDI), tetapi penolakan inipun tidak serta merta memberi keuntungan bagi RS Omni. Dengan perkataan lain, kasus ini lalu di bawah ke titik awal bahwa apa yang dipersengketakan ini adalah

(22)

peristiwa konkret biasa dan bukan peristiwa hukum sama sekali. Padahal, jika mengacu kepada inti persoalan (lihat kalimat yang dicetak tebal di atas), maka justru sangat tidak adil jika inisiatif RS Omni untuk menggugat Prita, yang notabene telah mengakibatkan penderitaan lahir batin bagi Prita sekeluarga, sama sekali tidak dijadikan alasan memberikan “keuntungan” sesuatu bagi posisi tergugat Prita. Sekarang perlu juga dibahas titik sentral berikutnya, yaitu kesimpulan majelis hakim: “Semua pernyataan malpraktik yang dapat dibuktikan oleh pemohon klaim dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Dokter Indonesia adalah perbuatan melawan hukum dalam disiplin kedokteran melakukan penatalaksanaan medis pada pasien.” Oleh karena pernyataan malpraktik ini dinilai majelis hakim tidak dapat dibuktikan oleh pihak Prita dan klaim itu tidak dibenarkan Majelis Kehormatan Dokter Indonesia, maka perbuatan RS Omni pun dinilai bukan sebagai malpraktik.

Pembuktian oleh pemohon kasasi adalah satu persoalan tersendiri yang sebenarnya masih terbuka untuk dinilai apakah berhasil atau tidak berhasil dilakukan oleh pihak Prita. Dalam pertimbangan majelis hakim, konklusi ketidakberhasilan pembuktian itu tidak cukup jelas terelaborasi. Terlebih-lebih jika urusan ini dikembalikan ke Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengisyaratkan beban pembuktian ada pada pihak pelaku usaha. Namun, tanpa mengurangi arti penting isu beban pembuktian ini, pilihan majelis hakim untuk menyerahkan tafsiran “malpraktik” ini kepada tafsiran etis (dan bukan tafsiran undang-undang semata), merupakan hal yang justru lebih menarik untuk dikaji dalam konteks penalaran hukum yang menjadi topik dalam tulisan ini.

Dengan menyerahkan tafsirannya kepada tafsiran etis, seolah-olah majelis hakim menunjukkan ia tidak ingin keluar dari jalur penafsiran ekstentif sebagaimana diperlihatkan dalam kasus Lindenbaum-Cohen tahun 1919. Sayangnya, di sini sebenarnya telah terjadi kesesatan penalaran yang dikenal dalam logika sebagai argumentum ad verecundiam atau argumentum

auctoritatis. Majelis hakim melakukan pembenaran argumen atas dasar otoritas pihak lain yang

dinilainya lebih pantas, dalam hal ini oleh MKDI.

Penilaian MKDI dalam konteks perkara ini patut dipersoalkan bukan semata-mata karena kecurigaan atas adanya esprit de corps semata. Penilaian ini jelas tidak bisa diandalkan lagi karena salah satu pihak, yakni Prita sendiri sudah menyerahkannya kepada majelis hakim untuk menilainya. Artinya, majelis hakim diminta untuk mengambil alih penilaian itu sendiri dan tidak menyerahkannya kembali kepada penilaian MKDI itu. Dengan menyerahkan penilaian ini kepada MKDI, majelis hakim sesungguhnya sudah melakukan kesesatan kedua, yaitu petitio principii

(circulus vitosus) atau biasa dalam bahasa Belanda disebut cirkelredenering.

MKDI tentu memberi pertimbangan-pertimbangan yang terfokus pada hal-hal yang sangat teknis, seperti SOP dalam lingkup ilmu dan etika kedokteran. Oleh karena hanya berpijak pada lingkup yang terbatas inilah, maka lagi-lagi kesesatan penalaran dapat terjadi dalam konteks

(23)

ini. Kesesatan tersebut biasanya disebut converce accident, yakni pembenaran argumen karena hanya terfokus pada sifat/karakter tertentu saja yang dianggap melekat. Artinya MKDI dapat saja melihat ini hanya dari sifat/karakter yang berlaku dalam ilmu dan etika kedokteran semata, bukan dari sudut pandang ilmu hukum dan/atau etika profesi pada umumnya. Dengan memakai sudut pandang MKDI sebagai sudut pandang majelis hakim, jelas sebenarnya penafsiran majelis hakim Mahkamah Agung dalam kasus ini menjadi makin sempit, bahkan lebih sempit daripada era sebelum tahun 1919. Ketika itu, perbuatan melawan hukum sekadar diartikan sebagai perbuatan melawan undang-undang (onwetmatige daad). Jika undang-undang adalah produk lembaga legislatif, maka kali ini perbuatan melawan hukum diartikan sebagai perbuatan melawan kode etik kedokteran yang notabene kode etik produk sebuah organisasi profesi.

SIMPULAN IV.

Jika mengacu pada skor “kosong-kosong” yang diibaratkan terjadi pada putusan Mahkamah Agung No. 300 K/Pdt/2010 ini, maka putusan ini jelas tidak berpihak pada penyelesaian kasus secara tuntas. Dalam bahasa hukum, kondisi demikian jelas melanggar asas lites finiri oportet. Ketika para pihak berpaling ke ruang pengadilan, maka para pencari keadilan itu berharap memperoleh ekspektasi dari pilihan tersebut. Di sinilah hukum harus berfungsi memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi mereka.

Nilai terpenting dari putusan ini lebih terletak pada penemuan hukum yang memberi ruang bagi masyarakat untuk mengekspresikan keluhan mereka melalui surat elektronik. Mahkamah Agung dalam putusan ini menyatakan perbuatan demikian bukan termasuk perbutan melawan hukum. Namun, sayangnya, secara keseluruhan putusan ini belum mampu menunjukkan konstruksi penalaran yang runtut dan sistematis untuk dapat dikategorikan sebagai sebuah landmark decision.

DAFTAR PUSTAKA

Abelson, Raziel & Marie-Louise Friquegnon. Eds. 1975. Ethics for Modern Life. New York: St. Martin’s Press.

Grassian, Victor. 1981. Moral Reasoning: Ethical Theory and Some Contemporary Moral

Problems. New Jersey: Prentice-Hall.

Henket, M. 2003. Teori Argumentasi dan Hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Bandung: Penerbitan tidak berkala No. 6 Laboratorium Hukum FH Unpar.

Pannett, A.J. 1992. Law of Torts. London: Pitman Publishing.

Setiawan, Rachmat. 1991. Tinjauan Elementer Perbuatan Melanggar Hukum. Bandung: Binacipta.

(24)

pengusungan pola pikir positivisMe hukuM

dalaM perkara korupsi

Ricca Anggraeni

Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jalan Srengseng Sawah Jakarta Selatan, 12640 email: cha2_khan@yahoo.com

kajian putusan nomor 207/pid.b/2008/pn.MpW

AbstrAct

Slogan that power tends to corrupt is not just a phrase. Several cases of corruption seem to prove that power has encouraged persons to engage in corruption. Erradicating corruption requires extraordinary efforts of law enforcers. However, again the fact shows that many law enforcers are dragged into corruption practices. In fact, they often use the law to neatly wrap their crimes. Packaging is done through a court decision. Judge as the spearhead of law enforcement in Indonesia should be given a maximum role in enforcing the law. That role should have two values of upholding the value of justice and law enforcement. In some cases of corruption, the perpetrators were given lenient sentences, even released. Mild sanctions against the perpetrators

of corruption are also reflected in the case of corruption committed by the Head of Semudun

Regional Water Company (PDAM Semudun), Pontianak regency. Mild sanctions for the accused is caused by the tendency of judges who carry the mindset of schools of legal positivism, that is by simply using the law as a source of reference to rely on a monolithic interpretation methods.

Keywords: corruption, legal positivism, law enforcement, justice.

ABSTRAK

Kekuasaan cenderung melakukan korupsi bukan hanya slogan semata. Beberapa kasus korupsi menunjukkan bahwa seseorang yang memiliki kekuasaan melakukan korupsi, oleh sebab itu memangkas korupsi membutuhkan perjuangan dan penegakan hukum yang ektraordinary. Sebaliknya, fakta berbicara lain pada saat hakim justru memberikan hukuman minimal bukan maksimal, dan bahkan dalam beberapa kasus korupsi bahkan terdakwa dilepaskan. Kasus korupsi yang dilakukan oleh pejabat perusahaan perairan di Kalimantan yang dihukum ringan memperlihatkan hal itu. Itu terjadi karena hakim mengunakan pendekatan legalistik dan metode interpretasi monolistik. Putusan hakim cenderung mengakomodasikan nilai-nilai hukum saja, dan mengeliminasi nilai-nilai keadilan sebagai tujuan akhir putusan hakim.

(25)

PENDAHULUAN I.

Korupsi di Indonesia telah menggerogoti hampir seluruh segi kehidupan (Rahardjo, 2006: 126) sehingga tindak pidana korupsi telah dipandang sebagai kejahatan serius. Untuk menggambarkan akibat yang disebabkan oleh korupsi, prognosisnya Syed Hussein Alatas menyatakan bahwa korupsi sebagai parasit yang mengisap pohon akan menyebabkan pohon itu mati dan saat pohon itu mati maka koruptor pun akan mati karena tidak ada lagi yang akan dihisap (Rahardjo, 2006: 136). Jadi, korupsi hanya akan menggerogoti habis dan menghancurkan masyarakatnya sendiri.

Realitas ini membuat penanganan korupsi di Indonesia menjadi begitu extraordinary. Tidak hanya dari sisi produk hukumnya, tetapi juga dari penegak hukumnya. Bahkan presiden secara resmi mencanangkan dan masuk dalam agenda kerjanya untuk memberantas korupsi. Namun, upaya pemberantasan dan pencegahan korupsi di Indonesia seolah-olah tidak berarti. Produk hukum yang ada, komisi yang dibentuk, kesadaran masyarakat akan bahaya korupsi, tetap saja tidak merubah keadaan, korupsi tetap menjadi common enemy (musuh bersama) bagi masyarakat Indonesia.

Hal itu terjadi, karena perilaku korupsi juga telah melanda para penegak hukum bahkan menembus ranah peradilan. Istilah mafia peradilan digelontorkan untuk menyebut para penegak hukum yang “berdagang hukum”. Penegak hukum yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menghadapi korupsi justru gagal dalam membawa nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat. Peradilan yang seharusnya menjerakan para koruptor, justru malah memberi kelegaan. Bahkan Daniel Kaufmann dalam laporannya menyebutkan bahwa tingkat korupsi di peradilan Indonesia ialah yang paling tinggi di antara negara-negara sebagai berikut: Ukraina, Rusia, Venezuela, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura (Sudirman, 2007: 2). Korupsi yang terjadi di peradilan diakibatkan oleh tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum.

Tumpulnya peradilan sebagai benteng terakhir dari keadilan lebih disebabkan oleh ukuran yang digunakan ialah menguntungkan atau tidak menguntungkan dari segi ekonomi dan politik saat menentukan pihak mana yang layak mendapat keadilan, dan mekanisme itu sah apabila itu telah sesuai prosedur. Mekanismenya ialah standar legal formal. Hal ini mengakibatkan masyarakat akan semakin termarginalkan bahkan menjadi korban dari sistem dan proses peradilan yang eksklusif bagi pelaku korupsi. Demi mengakhiri hal ini, hakim tidak boleh hanya mementingkan prosedur dan menyandarkan dirinya pada undang-undang. Pandangan yang luas, keinginan untuk menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat harus dikedepankan. Tetapi yang paling penting ialah hakim harus juga menggunakan hati nurani.

Hakim sebagai seseorang yang pekerjaannya berintikan keadilan (Sudirman, 2007: 51), seharusnya berempati terhadap rakyat yang telah menjadi korban korupsi. Bukan justru berbelas

(26)

kasihan terhadap para pelaku korupsi, sehingga mereka dijatuhi hukuman ringan belum lagi dipotong remisi. Ketidakadilan inilah yang semakin mengusik rakyat, sehingga timbullah reaksi untuk meniadakan sistem remisi bagi para koruptor. Sebenarnya masalah bukan terletak dari remisinya tapi bagaimana mekanisme pemberiannya serta teguhnya hakim dalam memberikan hukuman kepada para koruptor.

Jadi ketika, hakim berani untuk menerobos bunyi undang-undang dengan memberikan hukuman yang berat terhadap koruptor, maka remisi tidak akan berarti apa-apa. Tidak tegaknya hukum dalam memberantas korupsi menurut M. Syamsudin ialah kecenderungan pola pikir hakim yang mengikuti pola berpikir positivisme hukum yang hanya menekankan pada ukuran-ukuran formal teks aturan. Pola pikir seperti ini mengakibatkan sulitnya untuk membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi, sehingga banyak sekali koruptor yang bebas atau dihukum dengan hukuman yang paling ringan (Syamsudin, 2011: 11).

Sebagaimana yang terjadi dalam kasus bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW. Hakim telah memutus para terdakwa yaitu H dan DS hanya dengan pidana penjara masing-masing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Putusan ini lebih rendah dari yang dituntut jaksa penuntut umum yaitu pidana selama 2 (dua) tahun penjara dengan dikurangi selama para terdakwa berada dalam masa tahanan dan membayar denda masing-masing sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan.

Disparitas penjatuhan pidana ini bisa terjadi, karena di dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yaitu H dan DS yang mengambil uang tagihan rekening air dan non air tidak dilakukan dengan melawan hukum. Tetapi, H telah menyalahgunakan wewenangnya selaku kepala tugas (Plt) Kepala Unit Semudun Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 02/STG/PDAM/X/2003 tertanggal 23 September 2003 dan terdakwa II (DS) selaku pelaksana pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak berdasarkan Surat Tugas Nomor 06/ST/PDAM/III/2003 tertanggal 10 Maret 2003. Majelis hakim kemudian lebih memilih untuk menggunakan dakwaan dan tuntutan subsidair dari jaksa penuntut umum yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dalam kasus tersebut majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur-unsur yang terkandung dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum tuntutan jaksa, tanpa menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat Semudun. Majelis hakim hanya mempertimbangkan unsur menyalahgunakan wewenang bahwa perbuatan terdakwa H yang mengambil inisiatif sendiri untuk membuat nota/memo dengan tujuan untuk mengambil uang rekening air tanpa menyetorkannya ke rekening PDAM Pontianak dengan alasan akan menggunakannya untuk biaya

(27)

operasional kantor, merupakan penyalahgunaan wewenang. Selain itu, perbuatan para terdakwa yang menerima permohonan sambungan baru dan kemudian hasil dari dana itu tidak disetorkan ke rekening PDAM Pontianak, juga merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang terdakwa selaku Kepala Unit Semudun dan Pelaksana Pembukuan Unit Semudun PDAM Kabupaten Pontianak.

Unsur selanjutnya, yang menjadi pertimbangan majelis hakim dalam kasus ini adalah tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi. Perbuatan terdakwa yang telah mengambil uang, kemudian tidak dapat mempertanggungjawabkannya, menurut majelis hakim, termasuk untuk menguntungkan dirinya sendiri. Majelis hakim juga mempertimbangkan unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan para terdakwa, dalam pertimbangan majelis hakim, merupakan perbuatan yang dapat atau berpotensi untuk merugikan salah satu antara keuangan negara atau perekonomian negara. Hal itu dikarenakan PDAM Kabupaten Pontianak, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1982 tentang Perusahaan Daerah, dapat digolongkan sebagai Perusahaan Daerah, sehingga kekayaan yang dimilikinya pun dapat digolongkan sebagai keuangan negara.

Termasuk dalam pertimbangan majelis hakim adalah mengenai unsur jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut. Menurut majelis hakim, perbuatan para terdakwa yang dalam jangka waktu dari tahun 2004-2005 telah berulang kali mengambil uang pembayaran rekening air dan nonair, sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 91.080.950,- (sembilan puluh satu juta delapan puluh ribu sembilan ratus lima puluh rupiah) yang dilakukan dengan jalan membuat nota/memo, dan menerima permohonan sambungan baru tanpa melalui prosedur permohonan sambungan baru, tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut, karena tidak dilatar-belakangi oleh maksud dan tujuan yang sama.

Berdasarkan pertimbangan inilah majelis hakim hanya menjatuhkan pidana penjara masing-masing bagi para terdakwa selama 1 (satu) tahun dan denda masing-masing-masing-masing Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dengan penjatuhan pidana tersebut, tentu saja majelis hakim dinilai tidak mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat, karena apabila dibandingkan dengan kasus nenek Minah yang mencuri kakao, jelas hukuman yang diterima oleh para terdakwa H dan DS tidak ada apa-apanya, mengingat yang dicuri oleh H dan DS ialah uang rakyat dan jumlahnya puluhan juta.

Seolah menjadi pola bagi hakim di Indonesia, memutus hanya mempertimbangkan bunyi undang-undang, seolah hakim hanya menghidupkan bahasa undang-undang tanpa mempertimbangkan nilai atau norma yang ada di masyarakat.

(28)

RUMUSAN MASALAH II.

Berangkat dari latar belakang yang terurai di atas, pokok permasalahan yang akan dianalisis berdasarkan putusan perkara bernomor 207/PID.B/2008/PN.MPW ini ialah: Apakah hakim dalam menangani perkara korupsi masih menggunakan pola pikir positivisme hukum? Apakah pola pikir semacam itu dapat menghasilkan putusan yang mengakomodasi nilai keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat?

STUDI PUSTAKA DAN ANALISIS III.

Sekilas tentang Positivisme Hukum A.

Dalam paradigma positivisme hukum, undang-undang atau keseluruhan peraturan perundang-undangan dipikirkan sebagai sesuatu yang memuat hukum secara lengkap sehingga tugas hakim tinggal menerapkan ketentuan undang-undang secara mekanis dan linear untuk menyelesaikan permasalahan masyarakat, sesuai bunyi undang-undang. Namun, paradigma positivisme hukum klasik yang menempatkan hakim sebagai tawanan undang-undang, tidak memberikan kesempatan pada pengadilan untuk menjadi suatu institusi yang dapat mendorong perkembangan masyarakat.

Apabila dilacak basis epistemologinya, menurut Anthon F. Susanto, positivisme hukum merupakan kepanjangantangan dari paradigma Cartesian-Newtonian ( Susanto, 2010: 29).

Cartesian-Newtonian telah membawa pengaruh yang paling mendasar terhadap positivisme

ilmu yang juga kemudian mempengaruhi positivisme hukum adalah pandangan dualisme dan reduksionis. Dalam penjelasan Satjipto Rahardjo dinyatakan bahwa pandangan dualisme yang dikembangkan oleh Descartes (cartesian) telah membuat para ilmuwan hukum disibukkan oleh dengan membuat definisi, konsep serta deskripsi, dan sebagian lagi berkonsentrasi pada bentuk, seperti Austin dan Kelsen, dan sebagian lagi pada isi, misalnya Dworkin dan Fuller (Susanto, 2010: 149).

Dengan pandangan dualisme itu, hukum dipisahkan dari keadilan, seperti yang dilakukan oleh Austin dan Kelsen telah memisahkan secara tajam hukum yang senyatanya dan hukum yang seharusnya. Hans Kelsen memandang bahwa hukum harus terbebas dari segala unsur yang asing bagi metode khusus dari suatu ilmu yang tujuannya hanyalah pengetahuan hukum, bukan pembentukannya. Bidang kajian ilmu hukum ialah hukum positif atau hukum sesungguhnya yang berbeda dari hukum ideal yang disebut keadilan atau hukum alam, dan eksistensi dari hukum terlepas dari kesesuaian atau tidak kesesuaiannya dengan keadilan atau hukum alam. Jadi, hanya bersifat wadah dan tidak bersangkutan dengan isi hukum yang bisa berubah dalam waktu tertentu (Kelsen, 1995: iv). Pandangan Reduksionis telah mempengaruhi positivisme hukum untuk mereduksi realitas hukum yang terdiri dari realitas ide (sesuatu yang dapat ditangkap melalui kapasitas akal budi), realitas material (sesuatu yang bersifat aktual) dan realitas artifisial menjadi

(29)

tunggal. Jika meminjam ajarannya Kelsen, yaitu the pure theory of law, maka hukum harus dibersihkan dari unsur non yuridis, hukum harus mengabaikan pendekatan lain terhadap hukum. Menurut Kelsen, hukum selalu merupakan hukum positif, dan positivisme hukum terletak pada fakta bahwa hukum itu dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri (Kelsen, 1995: 115).

Sedangkan Austin dalam penjelasannya telah mereduksi kekuatan-kekuatan lain selain negara, terutama kekuatan-kekuatan yang hidup dalam masyarakat yang beragam, karena dalam penjelasannya Austin menyatakan bahwa hukum adalah perintah yang berdaulat yang menempatkan lembaga-lembaga yang superior (Susanto, 2010: 162). Austin juga menambahkan bahwa hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, sehingga hukum harus dilepas dari sistem nilai. Hukum juga harus memenuhi unsur perintah, sanksi dan kewajiban, karena jika tidak, maka itu bukan hukum melainkan moral (Rahardjo, 2006: 163).

Dalam pandangan dasar mahzab positivisme hukum tata hukum suatu negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial melainkan karena mendapat bentuk positifnya dari suatu institusi yang berwenang, dan hukum hanya dikenal sebagai hukum formal, sehingga harus dipisahkan dari bentuk materialnya, karena akan merusak kebenaran ilmiah hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 162).

Menurut H.L.A Hart, essensi dari positivisme hukum ialah: 1. Hukum hanyalah perintah penguasa;

2. Tidak ada hubungan mutlak antara hukum, moral dan etika;

3. Analisa tentang konsepsi-konsepsi hukum dibedakan dari penyelidikan sejarah dan sosiologis;

4. Sistem hukum haruslah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup yang diperoleh atas dasar logika tanpa mempertimbangkan aspek sosial, politik, moral maupun etik (Rahardjo, 2006: 162).

Pada intinya dapat disimpulkan bahwa dualisme dan reduksionis telah membawa pengaruh terhadap pandangan positivisme hukum untuk memisahkan teks yang tertulis dalam hukum dengan realitas yang hidup di masyarakat.

Antara Nilai Keadilan dan Kepastian Hukum B.

Secara sadar atau tidak di dalam kehidupan selalu dikelilingi oleh yang namanya hukum. Dengan demikian, dapatlah disitir pernyataan Prajudi Atmosudiro bahwa hukum tidak hanya yang tertulis dalam sebuah teks berupa kumpulan aturan-aturan tetapi juga merupakan sesuatu yang hidup dalam masyarakat (Atmosudiro, 1994: 34). Hukum dalam apapun bentuknya, selalu

(30)

dimaksudkan untuk mencegah konflik di dalam masyarakat, selain itu juga berfungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Dengan kata lain, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia (Mertokusumo dan Pitlo, 1993: 1).

Apapun fungsinya, maka sebenarnya besar harapan agar hukum dapat memenuhi semua fungsinya. Hukum baik yang hidup di masyarakat maupun yang tertuang dalam dokumen negara-lazim disebut sebagai undang-undang-, dalam pelaksanaan fungsinya tidak boleh mencederai atau mengganggu tiga nilai dasar yang harus terkandung dalam hukum yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum (Sudirman, 2007: 44).

Entah sebagai konsekuensi dari era modern, bahwa hukum telah mengalami pergeseran. Pemahaman hukum secara materiil telah bergeser ke pemahaman secara formil. Maksudnya ialah bahwa hukum lebih diidentikkan dengan keputusan dari penguasa legislatif yang dilakukan menurut prosedur atau persyaratan teknis dan mengorganisasikannya dalam perundang-undangan (Indrati, 2007: 5). Hukum dalam era modern merupakan hukum negara yang dibuat oleh badan legislatif, dan hukum yang hidup di masyarakat akan mengikuti hukum yang telah dibuat oleh penguasa (Rahardjo, 2009: 58). Paradigma atau pemahaman hukum seperti ini mempengaruhi para penegak hukum yang hanya menjalankan peraturan-perundangan secara skripturalistik.

Padahal hukum tidak hanya sebatas pada apa yang dituangkan dalam dokumen negara, dalam teks perundang-undangan, melainkan juga apa yang hidup di dalam masyarakat. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Hukum Administrasi Negara, Prajudi Atmosudiro menyatakan bahwa selain undang-undang masih ada sumber hukum yang sangat penting yaitu yurisprudensi, perjanjian antara Indonesia dengan negara lain termasuk konvensi internasional, adat, kebiasaan dan doktrin atau pendapat para sarjana.

Hukum dalam pelaksanaannya oleh para penegak hukum, juga harus memperhatikan tiga nilai yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan Gustav Radbruch yang juga mengemukakan bahwa ada tiga nilai dasar yang harus terdapat dalam hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Namun, dalam prakteknya merupakan sebuah kesulitan untuk dapat menerapkan ketiga nilai itu secara seimbang, terkadang nilai kepastian hukum harus dikalahkan demi mengedepankan nilai keadilan. Dalam pertentangannya, manakah yang harus didahulukan keadilan kah atau kepastian hukum?

Keadilan pada hakekatnya memberikan perlindungan atas hak dan saat yang sama mengarahkan kewajiban sehingga terjadi keseimbangan antara hak dan kewajiban di dalam masyarakat (Sudirman, 2007: 44). Ulpianus mendefinisikan keadilan sebagai kemauan yang bersifat tetap dan terus-menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya untuknya. Sedangkan menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan publik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak.

(31)

Lain lagi menurut John Rawls, dalam pandangannya, keadilan merupakan fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya, hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki (Rawls, 2006: 12-19). Kelsen pun mengungkapkan pemikirannya bahwa keadilan merupakan suatu tertib sosial tertentu yang di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa berkembang subur. Dalam bukunya yang berjudul Teori Umum tentang Hukum dan Negara, Kelsen juga mengemukakan pemikirannya mengenai pengertian keadilan legalitas.

Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi dari suatu tatanan hukum positif, melainkan dengan penerapannya (Hans Kelsen, 1995: 11-12). Bahkan menurut penulis, secara ekstrem Hans Kelsen menyatakan bahwa keadilan bukan suatu tata yang memberikan kebahagiaan kepada setiap orang selama orang memiliki konsep kebahagiaannya sendiri, sehingga individu berusaha mencarinya di dalam masyarakat (Hans Kelsen, 1995: 4-5). Derrida terkait dengan pengambilan keputusan menyatakan bahwa keadilan berkait dengan pengambilan keputusan, dan keputusan sangat dipengaruhi oleh keraguan. Ditambahkan oleh Derrida bahwa keadilan dalam hukum memperoleh daya kekuatannya dari sesuatu yang melampaui hukum itu sendiri dan tidak bersumber dari tatanan hukum (Susanto, 2010: 91). Pendapat Derrida ini sebenarnya kontras dengan Immanuel Kant yang mengembalikan makna tindakan adil pada suatu undang-undang atau tatanan. Mempertimbangkan yang dimaksud oleh Immanuel Kant, hukum positif akan disebut adil jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Diperintahkan atau diundangkan demi kebaikan umum;

2. Ditetapkan oleh legislator yang tidak menyalahgunakan kewenangan legislatifnya; dan

3. Hukum positif memberikan beban yang setimpal demi kepentingan kebaikan umum (Sudirman, 2007: 47).

Keadilan yang terdapat dalam undang-undang atau tertuang dalam teks peraturan mungkin saja memberikan keadilan ketika dioperasikan oleh para penegak hukum, namun itu hanya sebatas dari keadilan prosedural yang memberikan jaminan terhadap ketertiban dan kepastian hukum, tetapi belum tentu memberikan keadilan secara substansial. Untuk dapat memberikan keadilan substansial, para penegak hukum harus melihat kenyataan yang ada pada masyarakat.

Penegak hukum dalam menerapkan hukum dalam peristiwa nyata tidak boleh menyimpang. Meminjam istilahnya fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan). Hukum harus berlaku sesuai dengan hukumnya atau bunyinya, inilah yang kemudian disebut dengan kepastian hukum. Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum merupakan

Referensi

Dokumen terkait

Informasi terkait adanya penambahan informasi terbuka pada Daftar Informasi Publik (Kepala) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian (Kepala) Sub Bagian Umum dan Kepegawaian Maret

Pada studi penelitian ini digunakan metode tomografi travel time dengan memanfaatkan travel time gelombang P untuk mencitrakan struktur bawah permukaan bumi di wilayah

Metode pengumpulan data dengan melakukan penilaian terhadap subyek penelitian melalui checklistyang dibuat berdasarkan indikator kemandirian anak dengan indikator

Scene tersebut merepresentasikan dakwah bil hal dalam bidang syariah karena tokoh dalam film tersebut memberikan contoh yang baik dalam melakukan aktifitas dalam

Sedangkan untuk pola yang kedua, tidak mempengaruhi antrian pada lapangan parkir dan pemuatan di kapal karena pengaruh bottleneck terjadi pada daerah di belakang

M PR PR (-) (-) yang yang ter ter masuk masuk tulangan pelat tulangan pelat didala didalam lebar e m lebar e ffek ffek tip balok , tip balok , akan hasilnya akan hasilnya yang

Sistem kerja lampu lalu lintas terpadu otomatis ini adalah ditampilkannya penampil waktu pada saat lampu merah, hijau, dan kuning menyala untuk setiap jalur pada empat