• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sektor Informal (1)

Dalam dokumen makalah PPWK (Halaman 60-98)

Sampai saat ini belum ada pengertian yang baku mengenai pengertian sektor  informal. Hal ini tidak mengherankan karena istilah sektor informal sendiri baru mulai diperkenalkan pada tahun 1971 oleh Keith Hart, seorang antropolog Inggris ketika melakukan penelitian tentang unit-unit usaha berskala kecil di Ghana. Kebanyakan orang bahkan belum terlalu mengetahui apa itu sektor informal. Suatu definisi sederhana mengenai sektor informal dalam Varia Statistik, 2001 mengartikannya sebagai suatu pola pencarian nafkah "seadanya" demi mempertahankan hidup.

Berdasarkan data pada Kaltim dalam angka tahun 2000, pencari kerja yang terdaftar pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kaltim tahun 2000 sebanyak  24.488 orang, jumlah ini belum termasuk mereka yang tidak mendaftarkan diri,  padahal kesempatan kerja yang tersedia hanya ada untuk 13.085 orang saja. Diantara para pencari kerja tersebut, ada yang merupakan migran yang berasal dari luar daerah.Pertumbuhan suatu daerah yang pesat merupakan faktor penarik   bagi migran dari daerah asalnya.

Menurut Mazumdar (1976) dalam Saleh (1995), mobilitas angkatan kerja di sektor informal adalah relatif tinggi, sehingga sektor ini dapat bertindak sebagai suatu kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dan pengangguran. Timbulnya sektof informal sebagai sumber kesempatan kerja dengan pertumbuhan kesempatan kerja terutama pekerjaan disektor formal. Salah satu bentuk kegiatan sektor informal adalah usaha kaki lima.

Menurut BPS, usaha kaki lima adalah suatu usaha sektor informal (mencakup seluruh sektor yang ada seperti sektor perdagangan, jasa-jasa, dan industri), yang umumnya mempunyai sifat menghadang konsumen dengan

 jalan/trotoar untuk kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha serta tempat lain yang bukan miliknya kecuali pada lokasi resmi.

Sektor usaha kaki lima menurut konsep dalam BPS (2001) dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu :

1. Sektor perdagangan dan rumah makan 2. Sektor jasa-jasa

3. Sektor persewaan dan jasa perusahaan

Usaha kaki lima sebagai salah satu kegiatan di sektor informal cenderung dipilih karena tidak menuntut persyararan pendidikan yang tinggi dan tidak  membutuhkan keahlian tertentu. Selain itu ijin dari instansi atau asosiasi tertentu tidak diperlukan untuk membuka usaha kaki lima. Hanya sedikit modal dan tempat strategis yang diperlukan untuk memulai dan mengembangkan usaha kaki lima tersebut (BPS, 2001).

Keberadaan sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima menurut Saleh (1995) ternyata selain berdampak positif juga mempunyai dampak negatif. Dampak positifnya yakni ;

1. Sektor informal dalam hal ini usaha kaki lima mudah dimasuki oleh siapa saja terutama oleh pencari kerja yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keahlian khusus, maka sektor ini dapat menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran.

2. Sektor ini biasanya menjual/melayani barang-barang konsumsi untuk  masyarakat berpenghasilan rendah.

Sedangkan dampak negatifnya yakni karena keberadaan lokasi usaha  pedagang kaki lima yang tidak teratur seringkali menyebabkan kemacetan lalu

lintas atau dapat mengurangi keindahan kota.

Keberadaan para pedagang kaki lima seringkali menjadi masalah bagi  pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait, karena di satu sisi lokasi usaha mereka yang cenderung merupakan public area menimbulkan  berbagai masalah, namun di sisi lain pemerintah berkewajiban melindungi mereka dalam berusaha karena setiap warga negara berhak memperoleh kehidupan yang layak. Mereka harus tetap berdagang untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Akibatnya timbul berbagai permasalahan seperti kemacetan lalu lintas,

kebersihan, keindahan kota, dan kesehatan lingkungan (Simanjuntak, 1986 dalam BPS 2001). Selain itu juga akan mengganggu fasilitas sosial, fasilitas umum atau aset negara lainnya bila tidak dilakukan pembenahan dan pembinaan secara terus menerus dan konsisten untuk mengarahkan dan mengatur perkembangan dan  pertumbuhannya.

Beberapa permasalahan mengenai pedagang kaki lima yang sempat dikupas oleh harian ini beberapa waktu yang lalu pasti masih kita ingat. Sebut saja  pembongkaran rombong (gerobak dorong,red) milik sejumlah pedagang kaki lima demi penertiban dan keindahan kota. Ini membuktikan kurang adanya "kerjasama" yang baik antara pedagang kaki lima tersebut dengan aparat  pemerintah. Sangat disayangkan memang. Untuk pedagang kaki lima yang hanya  bermodal pas-pasan, rombong itu merupakan sesuatu yang sangat berarti.

Kalau saja mau dicermati secara lebih dalam dan kalau sosialisasi mengenai hal tersebut sudah sangat jelas atau kalau saja para pedagang kaki lima  juga mau bekerja sama dengan aparat pemerintah mungkin hal seperti itu tidak 

akan terjadi. Masalah ini memang telah berlalu, namun bukan tidak mungkin bila suatu saat masalah ini akan terjadi lagi. Tidak ada yang harus disalahkan dalam hal ini, semua dengan argumennya masing-masing akan berupaya untuk mencari  pembenaran-pembenaran itu. Upaya pemerintah yang terkesan keras dalam

menghadapi pedagang kaki lima yang membandel tidak bisa disalahkan seratus  persen karena itu adalah suatu bentuk upaya penertiban sebab jika dibiarkan terus akan menyebabkan semakin bertambahnya masalah. Sementara sikap pedagang kaki lima untuk mempertahankan lokasi usahanya mungkin karena sudah mempunyai banyak pelanggan di tempat tersebut. Sekarang tinggal bagaimana kerjasama yang baik diantara kedua belah pihak sambil berusaha menumbuhkan saling pengertian yang mendalam. (bersambung)

Theresia Parwati

Staf BPS Kota Bontang

Resume

Sampai saat ini definisi mengenai sektor informal masih mengundang tanda tanya. Oleh karena adanya hal tersebut, keberadaannya pun dianggap sesuatu yang mengundang masalah. Pada kenyataannya sekotor informal

merupakan sumber kesempatan kerja yang juga merupakan kekuatan penyangga antara kesempatan kerja dengan pengangguran. Salah satu bukti nyata adanya sektor informal yang merupakan kekuatan penyagga tersebut yakni dengan menjamurnya usaha-usaha kaki lima.

Usaha kaki lima dipilih sebagian masyarakat khususnya golongan menengah ke bawah sebagai sumber mata pencaharian karena tidak menuntut syarat pendidikan dan keahlian tertentu, namun keberadaannya mengundang masalah bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan-kebijakan terkait. Pemerintah harus menjaga dan melindungi PKL-PKL tersebut karena mereka pun  berhak atas penghidupan yang layak, namun di lain pihak keberadaan mereka di dalam public area menimbulkan masalah seperti kemacetan, rendahnya kesehatan lingkungan, kebersihan, dan keindahan kota.

Dalam ‘menertibkannya’, sering kali pemerintah harus menggunakan cara yang keras. Hal tersebut menandakan tidak adanya kerja sama antara pihak   pemerintah dengan pedagang kaki lima, begitu pun sebaliknya. Diantara kedua  belah pihak ini harus ada pengertian yang mendalam, pemerintah yang terus menggunakan cara keras untuk menertibkan PKL namun PKL yang sudah mempunyai banyak pelanggan di kawasan tersebut tetap mempertahankan keberadaannya.

"Katanye" Kota Kaki Lima

KOTA Jakarta mungkin memang kota kaki lima, tetapi kota yang kaki limanya sudah jarang tampak lagi. Sebab di mana ada kaki lima, di situ pedagang kaki lima sudah menguasainya. Maka dari itu, kaki lima, yang juga kita kenal dengan istilah yang berasal dari bahasa Perancis trotoir (baca: trotoar), yang artinya tempat pejalan kaki, sudah tidak lagi berfungsi sebagai mana mestinya.

Dari mana sebenarnya asal-usul kata kaki lima? Belum ada yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan pasti. Ada yang memperkirakan, kaki lima itu ada hubungannya dengan dua kaki si abang tukang jualan, dua roda gerobaknya, dan kaki kelimanya adalah cagak yang dipasang si abang kalau lagi mangkal, untuk memastikan beban gerobak tertopang seimbang, dan gerobaknya tidak lari menggelinding.

Akan tetapi kemungkinan besar istilah itu datang dari perencanaan kota akhir abad silam hingga permulaan abad ini. Bangunan rumah toko yang  berbatasan langsung dengan jalan (GSB/garis sepadan bangunan), di kawasan  perdagangan tengah kota biasanya merupakan bangunan bertingkat dua atau lebih. Rupanya dulu, bagian depan dari tingkat dasar rumah toko itu, serambi yang lebarnya sekitar lima kaki, wajib dijadikan suatu lajur di mana pejalan kaki dapat melintas.

Lajur ini kemudian dikenal sebagai kaki lima, dari lebarnya yang lima kaki itu. Pedagang yang memanfaatkan lajur itu, kemudian dikenal sebagai pedagang kaki lima. Di Jalan Malioboro di Yogyakarta, hingga kini, kita dapat temui contoh kaki lima yang khas, lengkap dengan pedagangnya.

Kini di sebagian besar kota-kota modern di Indonesia, lajur trotoar untuk   pejalan kaki tinggal sekitar tiga kaki, itu pun kalau ada. Dan jika ada, biasanya

lajur itu sudah dikuasai pedagang kaki lima (apa kini kita harus sebut mereka  pedagang kaki tiga?), sehingga pejalan kaki terpaksa harus turun dari trotoar dan  berjalan di pinggir jalan.

Bagaimana jika kaki lima di Indonesia diperlebar seperti Orchard Road di Singapura? Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah. Malah, yang akan terjadi adalah seluruh lebar tempat pejalan kaki itu akan dimanfaatkan pedagang kaki lima. Ini terjadi di emperan pasar-pasar. Di Pasar Tanahabang misalnya, pedagang kaki lima malah merambah ke jalan raya!

Semrawutnya pedagang kaki lima membuat suasana kota sama sekali tidak  nyaman dan berpotensi kurang aman. Padahal, jika tertata baik, pedagang kaki lima sering kali membuat suasana kota menjadi menarik. Di sekitar Masjid Sunan Ampel di Surabaya, pedagang kaki lima menawarkan minyak zaitun, buah kurma dan dagangan lain khas Timur Tengah yang membuat kita seakan berada di Mesir  atau Arab Saudi.

Juga setiap perayaan sekaten di Alun-alun Yogyakarta atau Surakarta,  pedagang kaki lima menggelar dagangan mainan dan makanan kegemaran

anak-anak. Entah mengapa pedagang kaki lima yang sudah menjadi tradisi di kawasan tersebut tadi, tampak lebih teratur dan karena itu juga lebih menarik.

Tidaklah mengherankan jika ternyata semrawutnya pedagang kaki lima,  berhubungan dengan kebijakan Pemda yang lebih cenderung memperhatikan mal-mal perbelanjaan ketimbang kebutuhan pedagang kecil. Di kota seperti Solo,  beberapa pasar tradisional dikembangkan menjadi mal perbelanjaan, sehingga  pedagang tradisionalnya tergusur. Pindah ke tempat lain belum tentu mampu  bayar sewa, pedagang yang tergusur itu memilih untuk menjadi pedagang kaki

lima saja.

Pemda perlu menyediakan tempat yang layak bagi pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar- pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki

lima, bukan hanya pedagang yang mampu membayar sewa tempat.

Mungkin, kaki lima sekatenan di Yogya, kaki lima Pasar Ikan, dan kaki lima di sekitar Masjid Sunan Ampel, bisa dipelajari dan menjadi acuan untuk  kaki-kaki lima di Jakarta. Sepertinya, kaki-kaki lima yang paling berhasil adalah yang rapi, tertata, bersih dan punya ciri khas yang kontekstual. Sekalian saja kaki lima dikembangkan untuk mendukung pariwisata.  Pan katanye Jakarta kote kaki

lima. (Amir Sidharta, pemerhati arsitektur dan kurator Museum Universitas Pelita Harapan. (Kompas 02-08-2000)

Resume

Ada banyak versi yang menceritakan mengenai asal usul pedagang kaki lima (PKL). Entah yang mana yang benar, tapi yang pasti tentu ada alasan yang mendasari sejarah itu. PKL sering menjadi masalah yang serius hampir seluruh kota di Indonesia, khususnya kota-kota besar. Banyak trotoir yang disalahgunakan  penggunaannya untuk menjajakan dagangan para PKL tersebut. Hal ini akan mengurangi rasa aman dan nyaman para pejalan kaki mengingat trotoir adalah fasilitas khusus yang digunakan untuk para pejalan kaki, bukannya para PKL.  Namun apabila dapat diatur dengan baik, seringkali PKL membuat suasana kota

menjadi semakin menarik dan dapat menarik minat wisatawan.

Kesimpulan

Dari sedikit penjelasan di atas, maka dapat disimpilkan bahwa kota Jakarta dapat mengelola keberadaan para pedagang kaki lima dengan cara menyediakan tempat yang layak bagi para pedagang kaki lima untuk dapat menjalankan usaha mereka dengan layak, nyaman dan aman. Pasar-pasar tradisional perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi pedagang kaki lima, bukan hanya  pedagang yang mampu membayar sewa tempat. Hal ini tentunya perlu mendapat dukungan dari semua pihak agar harapan kota Jakarta untuk menjadikan PKL sebagai salah satu objek wisata dapat terlaksana.

PKL MENGGANGGU DAN MEMEPERINDAH

KOTA

 Nawa Tunggal

Keberadaan para pedagang Kaki Lima (PKL) atau yang melanggar  Peraturan Daerah (Perda) dipandang telah mengganggu tata ruang kota dan masyarakat banyak. Tetapi sekecil apapun peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran  pemerintah yang tidak mampu membuat peraturan publik yang saling

menguntungkan.

PKL yang ada dapat mengganggu citra kota, tetapi dapat pula memperindah citra kota. Seorang peneliti PKL Kota Malang, Bambang Nursetyo mengatakan birokrat mengambil yang mengambil keputusan tentang PKL tidak  dapat mengambil kebijakan publik yang saling menguntungkan, bahkan masih  berbudaya lama.

Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih sering tak terbantahkan. Tidak pernah ada birokrat pemerintah yang menar-benar  mau terjun langsung dan menyelami kehidupan para PKL. Ini menjadikan sedikit sekali harapan kehidupan PKL di sekitar sektor informal dapat terdukung dan memperindah citra kota. Tetapi yang sering terjadi adalah penertiban PKL sebagai  penghalusan bahasa dari pengusiran mereka.

Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya. Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk memecahkan masalah secara lebih beradab.

Ketiadaan kreativitas kompromistis birokrat tentu bersumber dari keengganan mereka untuk terjun langsung dalam kehidupan PKL. Menurut

Bambang- ia meneliti PKL di Alun-alun Kota Malang- jumlah PKL di sana mencapai 1.700an orang dan saat ini mereka mau berbicara dengan pemerintah untuk memecahkan masalah bersama. Tetapi maukah para birokrat mencari  pemecahan bersama yang saling menguntungksn dengan bicara dan mendatangi  para PKL tersebut?

Bagi Bambang pilihan jalan hidup menjadi PKL adalah ra sional. Para PKL adalah tenaga kerja sosial yang tertolak di sektor formal. Ada yang menempuh itu karena terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tetapi sebagian adalah karena rendahnya kualitas hidup mereka yang tak sempat mengenyam pendidikan yang memadai. Setidaknya dengan pendidikan tinggi para PKL akan membuka peluang mendapat pekerjaan lainnya. Walaupun saat ini kita sedang dihadapkan pada masalah krisis moneter dan pengangguran.

Data penelitian Bambang menyebutkan bahwa saat ini terdapat 18% PKL yang tidak lulus SD, 42% lulus SD namun tidak tamat SLTP. Sebanyak 23% lulus SLTP dan yang lulus SLTA tercatat sebanyak 17%. Tidak ada yang lulus  perguruan tinggi. Data ini didapat dari wawancara secara acara acak terhadap 100

PKL di Alun-alun Kota Malang.

Lahan di Alun-alun Malang yang ditemoati PKL meliputi 34,2 % di badan  jalan, 41% di trotoar, 14.5% terletak di keduanya, badan jalan dan trotoar. Selebihnya 11.3% berdagang di halaman kantor-kantor dan permukiman  penduduk. Luas areal mangkal PKL diperkirakan sebanyak 36.7% yang memakai

areal seluas 0,5-1 meter persegidan 33% memakai 2-2,2 meter persegi.

Tingkat keramaian penjualan meliputi hari Minggu (44%), Sabtu(32%), liburan sekolah (21.37%) selebihnya (2%) pada hari kerja (Senin-Jumat).Tingkat  pendapatan PKL terdapat disparitas atau perbedaan nilai yang jauh yaitu antara

Rp 70.000,00 – Rp 500.000,00 per minggu.

Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law

enforcement  atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan sehingga sulit untuk dipindahkan.

Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau  penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih  beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga

PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula.

Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas  permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.

Sumber| Malang Pos, 21 Juni 2005

Resume

Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Tapi, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat saat ini. Masalahnya pada peran pemerintah yang tidak mampu membuat peraturan publik yang saling menguntungkan.

Untuk menyelesaikan masalah PKL para birokrat itu menggunakan cara lama dengan mengundang para PKL dan memberi mereka ceramah yang lebih sering tak terbantahkan. Konflik antara petugas birokrat dan PKL walau  bertameng demi kepentingan masyarakat yang jauh lebih banyak tetap juga konflik namanya. Ini tandanya tak ada kretivitas kompromistis untuk  memecahkan masalah secara lebih beradab.

Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Tapi sebenarnya adalah pungutan liar. Hal ini menunjukkan tidak adanya law

enforcement  atau penegakan hukum. Sehingga PKL sering merasa disahkan sehingga sulit untuk dipindahkan.

Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi dan penataan. Relokasi atau  penempatan PKL di suatu gedung yang memadai menurut Bambang relatif lebih  beresiko dibandingkan penataan karena kurang dikunjungi masyarakat sehingga PKL dikhawatirkan kembali berjaulan di tempat semula. Sedang penataan PKL ternyata lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota besar  dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat. Penataan dapat diterapkan dengan penetapan jadwal waktu berjualan disesuaikan dengan waktu pembelian terbesar tiap PKL. Namun upaya ini juga diikuti seni arsitektural, fasilitas permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.

Kesimpulan

Dari artikel di atas, dapat disimpulkan bahwa Keberadaan Pedagang Kaki Lima (PKL) selama ini sering menyebabkan masalah. Namun, peran PKL harus diakui telah membantu kondisi ekonomi masyarakat. Pada intinya kehidupan PKL memiliki dinamika tersendiri dan dari situ muncul catatan buruk seperti para calon PKL yang akan menempati alin-alun meski dilarang oleh pemerintah melalui Perda tapi ada oknum birokrat yang menawari area dengan dipungut biaya semacam retribusi dari pemerintah. Pemecahan masalah PKL terdiri dari relokasi yaitu penempatan PKL di suatu gedung yang memadai dan penataan PKL di tempat yang lebih memungkinkan. Penataan ini mulai diterapkan di kota-kota  besar dan dapat memperindah citra kota sekaligus meningkatkan pendapatan

ekonomi masyarakat yang disesuaikan dengan seni arsitektural, fasilitas  permodalan dan komunitas PKL yang terjaga ketat.

.

Pasar Keputran K umat Lagi

MELUBER, ditertibkan, meluber lagi, ditertibkan lagi. Itulah yang terjadi di Pasar Keputran. Setelah sempat "dibersihkan "polisi pada 2004 akibat meluber 

di badan jalan, Satlantas Polwiltabes Surabaya melakukan penertiban lagi.

Ini setelah polisi menilai para pedagang di Pasar Keputran kembali mokong dan mulai memakan badan jalan padat itu. "Kendati belum terlalu parah, indikasinya ke arah sana. Kalau tidak ditertibkan mulai sekarang, bisa jadi parah," ujar Kasatlantas Polwiltabes Surabaya AKBP Moh. Iqbal kemarin.

Salah satu yang mencolok dari melubernya pasar di jantung kota Surabaya itu adalah mulai dipakainya sebagian badan Jalan Embong Sonokembang, serta adanya parkir liar di seberang jalan gedung Indosat. "Itu tidak bisa dibiarkan. Jalan bisa tertutup untuk kegiatan pasar. Padahal, itu jalan umum, " tandas  perwira dengan dua mawar di pundak itu.

Mengenai masalah parkir, Iqbal bahkan 'menegaskan bahwa ke depan tidak boleh lagi ada parkir di tempat tersebut. "Wong sudah jelas-jelas ada rambu dilarang parkir di tempat itu, kok malah dijadikan tempat parkir," ujarnya.

Tiga Kelompok PKL dipindah ke Genteng

Untuk  itu, sejak Selasa (15/5) malam lalu, polisi mulai melakukan penertiban. Barikade ber tuliskan "Batas PKL" kemball ditempatkan. Di sisi utara Keputran, barikade ditempatkan di mulut gang Keputran (dekat pintu masuk H otel Brantas). Sedangkan sisi  barat diletakkan persis di gang sebelah Wisma Dh armala.

Iqbal mengaku telah memanggil dua koordinator PKL Keputran. "Kami minta mereka bertanggungjawab untuk membatasi wilayah dagangnya. Jangan sampai

memakan badan jalan lagi," ucap mantan Koordinator Sekretaris Pribadi Kapolda Jatim itu.

Untuk menjaga ketertiban, Iqbal telah menempatkan delapan per sonel di lingkungan Pasar Ke putran. Em pat orang berja ga di barikade 'BatasP KL ', sedangkan empat lainnya berkeliling. Dela pan per sonel inidi-back up lagi sekitar satu peleton  personel. "Namun, ini sifatnyaon call,"  papar lulu san A kpol 1991 tersebut.

Bikin Sparkling Genteng

Sementara itu, pemkot terus menggencarkan program penataan dan  pemberdayaa n PK L. Setelah menata PK L taman bungkul dan karah, dinas koperasi dan

khas Surabaya. Konsep yang bakal dipopulerkan dengan istilah ’Sparkling Genteng” ini

Dalam dokumen makalah PPWK (Halaman 60-98)

Dokumen terkait