• Tidak ada hasil yang ditemukan

makalah PPWK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "makalah PPWK"

Copied!
98
0
0

Teks penuh

(1)

1

1..11 LLaattaar r BBeellaakkaanngg

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota merupakan salah satu jurusan di Fakul

Fakultas tas TekniTeknik k UnivUniversitas Brawijaya ersitas Brawijaya Malang yang Malang yang mempemempelajari lajari perencperencanaananaan  penataan

 penataan wajah wajah kota kota dan dan wilayah wilayah yang yang baik, baik, dengan dengan memberikan memberikan perhatian perhatian padapada aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan aspek spasial dan aspek sosial terutama aspek budaya lokal guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan kesejahteraan masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut, maka juga diperlukan adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan adanya wawasan yang berkaitan dengan beberapa aspek mengenai perencanaan wilayah dan kota.

wilayah dan kota. Sej

Sejak ak dildilahiahirkarkannynnya a ilmilmu u perperencencanaanaan an ataatau u tattata a kotkota a dan dan prapraktekteknyknyaa melalu

melalui i koorkoordinasi atau dinasi atau birokbirokrasi rasi modemodern rn dalam konteks kolonialidalam konteks kolonialisme, sme, secarasecara tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena tekstural kota telah menjadi etalase modernitas global sekaligus menjadi arena ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial ekspresi kesadaran diri sebagai bagiandari perjalanan sebuah bangsa post-kolonial yang terus bergerak dinamis hingga saat ini.

yang terus bergerak dinamis hingga saat ini. Ger

Gerak ak yayang ng sansangat gat dindinamiamis s ini ini dapdapat at dildilihaihat t di di daedaerah rah perperkotkotaan aan yayangng diidentikkan sebagai p

diidentikkan sebagai pusat pertumbuhan, usat pertumbuhan, pusat kerajinan, dan pusat kerajinan, dan modernisasi modernisasi yangyang menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan menjadi daya tarik kuat bagi masyarakat atau penduduk desa untuk melakukan mi

migrgrasasi i atatau au ururbabaninisasasisi. . KoKota ta memerurupapakakan n susuatatu u ekekososisistetem m yyanang g dadapapatt mend

mendatangkatangkan an kerawankerawanan an lingklingkunganungan, , baik untuk baik untuk lingklingkungaungan n kota itu kota itu sendirisendiri maupun untuk lingkungan di pinggiran kota. Walaupun secara ekologi, ekosistem maupun untuk lingkungan di pinggiran kota. Walaupun secara ekologi, ekosistem ko

kota ta lelebibih h rawrawan an tetetatapi pi papada da kekenynyataataan an umumumumnynya a kokondndisi isi kokota ta lelebibih h mamajuju dib

dibandandingingkan kan desdesa. a. KenKenyatyataan aan ini ini mermerangangsang sang oraorang ng desdesa a untuntuk uk melmelakuakukankan urbanisasi.

urbanisasi.

Pemahaman ini mengakibatkan penduduk desa terutama pemuda-pemuda Pemahaman ini mengakibatkan penduduk desa terutama pemuda-pemuda desa berlomba-lomba mencari kerja di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang desa berlomba-lomba mencari kerja di kota untuk mendapatkan pekerjaan yang merup

merupakan upaya akan upaya untuk meninguntuk meningkatkan status katkan status diri diri dan dan keluakeluarganyrganya. a. OrangOrang-orang-orang desa yang bekerja di kota dianggap mempunyai nilai lebih di desanya. Fenomena desa yang bekerja di kota dianggap mempunyai nilai lebih di desanya. Fenomena itu kemudian menarik pemuda yang lain untuk mendapatkan status pemuda yang itu kemudian menarik pemuda yang lain untuk mendapatkan status pemuda yang tidak ketinggal

tidak ketinggalan an jamanjaman. . DengaDengan n adanyadanya a urbanurbanisasi isasi pertampertambahan penduduk kotabahan penduduk kota

BAB

BAB

(2)

men

menjadi jadi semsemakiakin n menmeningingkat kat pespesat. at. MasyMasyarakarakat at MigMigran ran atau atau urburban an ini ini padpadaa umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima

sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL).(PKL).

Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang ta

tanpnpa a fafasilsilititas as apapapapun un dadan n kekehahadidiranrannynya a selselalalu u memenynyertertai ai temtempapat-tt-temempatpat keram

keramaian, aian, mengmengelompelompok ok mengmenggunakgunakan an ruangruang-ruang umum -ruang umum yang ada, yang ada, sepertiseperti trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya  pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya  pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya

PKL

PKL sebesebenarnarnynya a mermerupaupakan kan konkonsekusekuensi ensi loglogis is dardari i hukhukum um timtimbal bal balbalik ik yayangng saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.

saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.

Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang me

mempmpununyyai ai akakar ar papada da mamasysyaraarakat kat InIndodonenesia sia dadan n didilalaksksananakakan an papada da ruruanangg terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992). orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992).

Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL  berkembang

 berkembang sangat sangat cepat cepat pada pada tempat-tempat tempat-tempat umum umum secara secara tidak tidak beraturan beraturan dandan hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya ada

adalah lah masmasalah alah lallalu u linlintas, tas, berberupa upa kemkemacetacetan an di di jaljalan an umumum. um. JalJalan an sebsebagaagaii  prasarana

 prasarana utama utama perhubungan perhubungan atau atau pengangkutan pengangkutan barang barang dari dari satu satu tempat tempat keke tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga fungs

fungsi i jalan menjadi jalan menjadi terganterganggu. Bertolak dari ggu. Bertolak dari pemikpemikiran iran ilmiailmiah h keberakeberadaan PKLdaan PKL di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, dan

dan difdifahamahami i sertserta a adaadanynya a polpolitiitical cal polpolicy icy dardari i pempemerinerintah tah berberupa upa dukdukungunganan kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. Pen

Penuliulis s menmencobcoba a menmengangangkagkat t perpermamasalasalahan han tertersebusebut t ke ke daldalam am makmakalaalah h yayangng  berjudul

 berjudul “ANALISA “ANALISA KEBIJAKAN KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL KEBERADAAN PKL DI DI SEKITAR SEKITAR TUGUTUGU PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.

(3)

men

menjadi jadi semsemakiakin n menmeningingkat kat pespesat. at. MasyMasyarakarakat at MigMigran ran atau atau urburban an ini ini padpadaa umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya umumnya bergerak di sektor informal di daerah perkotaan yang pada umumnya sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima

sering diidentikkan dengan Pedagang Kaki Lima (PKL).(PKL).

Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Secara mendasar PKL merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan sebuah kota. PKL muncul sebagai respon atas ketidakmampuan kota menciptakan lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang lapangan pekerjaan yang layak. PKL tumbuh secara alamiah di kota, berkembang ta

tanpnpa a fafasilsilititas as apapapapun un dadan n kekehahadidiranrannynya a selselalalu u memenynyertertai ai temtempapat-tt-temempatpat keram

keramaian, aian, mengmengelompelompok ok mengmenggunakgunakan an ruangruang-ruang umum -ruang umum yang ada, yang ada, sepertiseperti trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya trotoar, jalan raya, dan lainnya. Kegiatan PKL timbul karena tidak terpenuhinya  pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya  pelayanan perbelanjaan oleh sistem perbelanjaan formal. Dengan kata lain, adanya

PKL

PKL sebesebenarnarnynya a mermerupaupakan kan konkonsekusekuensi ensi loglogis is dardari i hukhukum um timtimbal bal balbalik ik yayangng saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.

saling membutuhkan antara penjual dan pembeli.

Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih Tuntutan masyarakat kota utamanya masyarakat menengah ke bawah lebih mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL mudah diperoleh di PKL, dan inilah sebenarnya salah satu faktor mengapa PKL tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. tetap eksis dalam arti bisa bertahan karena memang berfungsi bagi masyarakat. Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang Sektor informal atau dalam hal ini disebut PKL merupakan konsep budaya yang me

mempmpununyyai ai akakar ar papada da mamasysyaraarakat kat InIndodonenesia sia dadan n didilalaksksananakakan an papada da ruruanangg terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya terbuka. Orang Jawa umumnya suka pada keramaian pasar, disebabkan banyaknya orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992). orang dan suasana hiruk pikuk di sana (Dewey, dalam Koentjaraningrat, 1992).

Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL Kenyataan di lapangan menunjukkan, secara kuantitas atau jumlah, PKL  berkembang

 berkembang sangat sangat cepat cepat pada pada tempat-tempat tempat-tempat umum umum secara secara tidak tidak beraturan beraturan dandan hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya hal inilah yang selalu memunculkan masalah yang sebagai salah satu contohnya ada

adalah lah masmasalah alah lallalu u linlintas, tas, berberupa upa kemkemacetacetan an di di jaljalan an umumum. um. JalJalan an sebsebagaagaii  prasarana

 prasarana utama utama perhubungan perhubungan atau atau pengangkutan pengangkutan barang barang dari dari satu satu tempat tempat keke tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga tempat yang lain digunakan oleh para PKL sebagai sarana berjualan, sehingga fungs

fungsi i jalan menjadi jalan menjadi terganterganggu. Bertolak dari ggu. Bertolak dari pemikpemikiran iran ilmiailmiah h keberakeberadaan PKLdaan PKL di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, di Kota Surabaya sebagai masyarakat migran atau urban perlu diamati, dicermati, dan

dan difdifahamahami i sertserta a adaadanynya a polpolitiitical cal polpolicy icy dardari i pempemerinerintah tah berberupa upa dukdukungunganan kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. kebijakan yang merupakan solusi terkait permasalahan PKL dalam penataan kota. Pen

Penuliulis s menmencobcoba a menmengangangkagkat t perpermamasalasalahan han tertersebusebut t ke ke daldalam am makmakalaalah h yayangng  berjudul

 berjudul “ANALISA “ANALISA KEBIJAKAN KEBIJAKAN KEBERADAAN PKL KEBERADAAN PKL DI DI SEKITAR SEKITAR TUGUTUGU PAHLAWAN MENYANGKUT TATA RUANG KOTA SURABAYA”.

(4)

1

1..22 RRuummuussaan Mn Maassaallaahh

Rumusan masalah dalam makalah ini adalah: Rumusan masalah dalam makalah ini adalah: 1.

1. BagaimBagaimana ketana keterkaitaerkaitan keberan keberadaan Pdaan PKL di seKL di sekitar Tkitar Tugu Pugu Pahlawan ahlawan dengadengann konsep tata ruang kota ?

konsep tata ruang kota ? 2.

2. BaBagagaimimananakakah ah kekebibijajakakan n pepememeririntntah ah kokota ta teterkrkaiait t dedengngan an mamasasalalahh tersebut?

tersebut? 3.

3. MenMengapgapa kebia kebijakjakan teran tersebsebut masut masih belih belum berum berhashasil ?il ? 4.

4. BagaimBagaimanakah anakah kebijakebijakan ykan yang tepaang tepat untut untuk menk mengatasi mgatasi masalah teasalah tersebut ?rsebut ?

1

1..33 TTuujjuuaann Tujuan

Tujuan makalah makalah ini ini adalah:adalah: 1.

1. MengeMengetahui ktahui keterkaieterkaitan kebtan keberadaan Peradaan PKL di sekKL di sekitar Tugitar Tugu Pahlau Pahlawan denwan dengangan konsep tata ruang kota.

konsep tata ruang kota. 2.

2. MengeMengetahui ktahui kebijakebijakan peman pemerintah kerintah kota terota terkait denkait dengan mgan masalah teasalah tersebutrsebut.. 3.

3. MenMengetgetahuahui sebab kegi sebab kegagaagalan keblan kebijakijakan tersan tersebuebut.t. 4.

4. MeMererekokomemendndasasikikan an kekebibijajakakan n yyanang g tetepapat t ununtutuk k mmenengagatatasi si mamasasalalahh tersebut.

(5)

2.1 Letak Geografis

Kota Surabaya merupakan Ibukota Provinsi Jawa Timur. Secara geografis Kota Surabaya terletak diantara 07.12” – 07.21” Lintang Selatan dan 112.36” –  112.54” Bujur Timur. Merupakan dataran rendah dengan ketinggian 3-6 meter di atas permukaan laut, kecuali disebelah selatan dengan ketinggian sekitar 25-50 meter di atas permukaan laut. Kota ini memiliki luas wilayah kurang lebih 326,37 km2.

2.2 Batas Administrasi

Sebelah Utara : Selat Madura

Sebelah Selatan : Kabupaten Sidoarjo Sebelah Timur : Selat Madura

Sebelah Barat : Kabupaten Gresik  

2.3 Fungsi dan Peranan Kota Surabaya

Sesuai kebijaksanaan pembangunan Kota Surabaya dalam RTRW tahun 2005 menetapkan bahwa Kota Surabaya adalah kota yang berwawasan “BUDIPAMARINDA” (budaya, pendidikan, pariwiwsata, maritim, industri dan  perdagangan, informasi, administrasi, social, dan kesehatan).

2.4 Pembagian Wilayah Kota Surabaya

Kota Surabaya terdiri atas 31 kecamatan dan 163 kelurahan (PERDA no. 5 dalam Suarabaya Dalam Angka, 2003:28). Dimana kecamatan terbanyak ditemui  pada wilayah Surabaya selatan sebanyak 8 kecamatan sedangkan wilayah dengan  jumlah kecamatan paling sedikit ditemui pada wilayah Surabaya bagian pusat,

dimana hanya terdiri atas 4 kecamatan saja.

BAB

II

(6)

2.5 Fasilitas Perdagangan

Perkembangan perekonomian Kota Surabaya dipengaruhi oleh aktivitas sector produksi perdagangan, pasar, restoran, hotel, dan jasa lainnya. Tidak hanya kontribusi sector ini terhadap perekonomian Kota Surabaya, akan tetapi kecenderungan ke depan pun dapat diperkirakan sector ini akan mengalahkan sector industri menjadi leading sector di Kota Surabaya. Fasilitas perdagangan di Kota Surabaya didominasi oleh pedagang kaki lima ataupun pedagang yang  berada di pusat-pusat perbelanjaan yang ada di Kota Surabaya.

(7)

2.6 Tugu Pahlawan

Tugu Pahlawan, adalah sebuah monumen yang menjadi landmark Kota Surabaya. Monumen ini setinggi 45 meter, memiliki sisi sebanyak 10 bidang. Tugu Pahlawan dibangun untuk memperingati peristiwa Pertempuran 10  November  1945 di Surabaya, dimana arek-arek Suroboyo berjuang melawan  pasukan Sekutu bersama Belanda yang hendak menjajah Indonesia kembali. Monumen ini berada di tengah-tengah kota, dan di dekat Kantor Gubernur Jawa Timur. Tugu Pahlawan merupakan salah satu icon Kota Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Monumen Tugu Pahlawan menjadi pusat perhatian setiap tanggal 10  November  dimana pada tahun 1945  banyak pahlawan yang gugur dalam perang

(8)

3.1 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan lebih bersifat keahlian, bukan i1mu pengetahuan teoritis. Seorang analist kebijakan selalu mengandalkan diri pada proses yang dapat dipertahankan, metode yang tepat, dan pertimbangan yang didasarkan  pengalamannya.

 Policy Analysis atau analisa kebijakan mneurut Charles E Lindblom dalam  buku Perencanaan Wilayah Kota karangan Catanese adalah suatu tipe analisis kuantitatif yang melibatkan perbandingan incremntal, dimana metode kualitatif  dimasukkan untuk mengenal interaksi antara nilai dan kebijakan

3.1.1 Tahapan-Tahapan Dalam Analisis Kebijakan

BAB

III

(4) Mengevaluasi Setiap alternatif  kebijakan (5) Memaparkan dan memilih di antara berbagai alternatif  (6) Memantau dan mengevaluasi hasil (2) Menentukan kriteria evaluatif  (3) Mencari alternatif  kebijakan (1) Menentukan Masalah (Menguji, merinci)

(9)

Menentukan Masalah

Dilakukan atas 2 dasar prinsip (kunci) : (1) Memilih waktu untuk  memikirkan, berarti memikirkan masalah secara bebas, bukan dengan menjaring informasi dan pendapat yang mungkin dapat menyesakan atau terlalu di sederhanakan. (2) mengungkapkan dengan angka-angka, berarti menguantifikasiakn masalah dengan maksud untuk menguji ukuran dan signifikannya.

Bagimana masalah itu didefinisikan, akan sangat berpengaruh terhadap  permasalahannya. Analisis merupakan peran yang sangat penting. Tuijuan analisis harus terbuka terhadap berbagai persepektif, menjelasakan suatu realitasa dari berbagai segi.

Contoh : Suatu daerah permukiman mempunyai peluang untuk  dikembangkan menjadi komplek perkantoran dan perbelanjaan. Developer menyediakan biaya-biaya untuk pembebasan lahan dan  bangunan. Para pemilik rumah yang termasuk dalam rencana tersebut menekan pemerintah daerah untuk memberikan ijin  perubahan zoning, karena mereka akan mendapat penjualan dari rumah mereka. Pemerintah setempat juga akan mendapatkan manfaat dari pertumbuhan lingkungan tersebut, meskipun harus menyediakan fasilitas dan utulitasa yang baru.sebaliknya ada sebagian pemilik rumah yang tidak termasuk dalam rencana itu yang akan mendapat gangguan atau dampak. Akibat pembangunan tersebut dan cenderung menolak adanya pembangunan.

Bagi analis kebijakan, ada empat persepektif yaitu pemrintah daerah, para  pemilik rumah yang kan mendapatkan ganti rugi, Developer dan pemilik 

rumah di lingkungan yang berdekatan dengan lokasi tersebut. Ada bebrapa metode yang dapat dipakai untuk menganalisa antara lain :

o  Perhitungan Back-Of_The_Envelope (Untiuk estimasi besarnya masalah) Pembahsan kebijakan peklu di lengkapi dengan hasil perhitungan statistic, karena angka satatistik dapat menunjukan seberapa besar 

(10)

masalahnya. Frederick Mosteler menyarankan empat metode untuk  menentukan angka-angka yang tidak di ketahui :

1. Melihat angka yang terdapat dalam sumber rujukan 2. Mengumpulkan angka melalui survey yang sistematis 3. Menebak angka

4. Meminta bantuan para ahli untuk memberikan angka o  Analisis Keputusan(Untuk menentukan komponaen penting) o  Definisi Operasional  (Untuk mengurangi konsep yang mendua)

Pengungkapan suatu masalah atau tujuan ukuran tertentu, disebut sebagai menentukan definisi-definisi operasional. Jika langkah ini dilakukan dengan sembrono atau tidak dilakukan sama sekali, maka kebijakan yang sudah digariskan akan sulit dievaluasi atau tidak jelas keberhasilannya.

o  Analisis Politik (Untuk tidak mengabaikan factor non kualitatif)

Meskipun analisa politis bersifat kualitatif, hal ini dapat dilakukan secara lebih metodologi, sebagaimana dinyatakan olh Meltsner bahwa masalah-masalah politis dapat dianalis dari segi yang terlibat. Termasuk  didalamnya motivasi serta keyakinan mereka, sumber daya yang mereka miliki, serta kemampuan mereka untuk menggunakan sumber daya secara efektif dan posisi-posisi mana yang akan diambil.

o  Kertas Kerja (Untuk membantu memutuskan penelitian lanjutan)

Berupa penyiapan suatu dokumen yang dapat memberikan penjelasan kepada klien mengenai analisa apa yang diperlukan untuk memahami masalah dan untuk mencapai beberapa rekomendasi. Kertas kerja didasarkan pada usulan-usulan mengenai bagaimana mempelajari masalah. Hasilnya harus  berupa program kerja yang jelas dan terinci agar mudah dipahami klien.

3.1.2 Mencari Berbagai Alternatif 

Ada dua jenis cara pemecahan yaitu

(1) Yang telah ada dan dapat digunakan sebagaimana adanaya atau dimodifikasi agar sesuai dengan masalah yang ada.

(11)

1. Altertatif tanpa tindakan(no action alternative)

Seorang analisis kebijakan harus mempertimbangkan alternative tanpa tindakan apapun, atau mempertahankan status quo. Terkadang alternatif ini diabaikan atau dilecehkan oleh mereka yang berpandangan sederhana yaitu untuk  mengatasi masalah yang sudah diketahui perlu adanya tindakan . Alternatif ini  penting perannya sebagai tolok ukur untuk membandingkan alternative lainnya. Jika sampai pada tahap mengevaluasi setiap alternative, semua dampak dari setiap alternative akan dipertimbangkan. Perbandingan itu akan menunjukkan peran alternative tanpa tindakan, dan mungkin saja dalam waktu 10 tahun alternative tanpa tindakan masih lebih baik dari pada lainnya.

2. Alternatif lain yang didasarkan kebijakan yang ada

Berdasarkan alternative tanpa tindakan tersebut, dapat dikembangkan alternative tindakan terbatas, sehingga memberi kemungkinan adanya perubahan incremental dari alternative tanpa tindakan. Sumber alternative ini berasal dari  pengalaman pihak lain. Analisis dapat minta para professional, menanyakan  pengalaman mereka dalam penerapan kebijakan atau program-program yang  berkaitan dengan masalah ini. Para ahli tersebut dapat dicari dari perkumpulan atau ikatan profesi dan perguruan tinggi. Pendapat para ahli ini tentu akan memberikan perspektif yang beragam dibanding pendapat seorang awam, dan tugas analisis adalah mendapat berbagai alternative yang besar manfaatnya.

3. Alternatif yang didasarkan kebijakan yang baru

Teknik lain untuk mendapatkan alternative adalah berusaha mencari ilham. Ada dua kaidah utama untuk mendapatkan alternative tersebut, yaitu :

(1). Memisahkan tahap yang kritis dari salah satu tahap dimana diajukan ide-ide, agar tidak melumpuhkan kreativitas,

(2). Memperkuat suatu ide yang tidak praktis atau ekstrim untuk  dijadikan lebih praktis disbanding dengan memikirkan ide yang mulai dari dasar 

(12)

3.1.3 Mengevaluasi Setiap Alternatif 

Langkah pertama untuk mengevaluasi suatu alternatif kebijakan adalah meramalkan kondisi-kondisi dimasa mendatang atau pengaruh-pengaruhnya, apabila kebijakan ini diterapkan. Langkah berikutnya adalah membandingkan  pengaruh yang sudah diramalkan dari setiap alternatif dalam bentuk kriteria

evaluasi, termasuk analisis terhadap setiap ketidakpastian yang diramalkan. 1. Meramalkan setiap pengaruh

Untuk meramalkan setiap pengaruh tersebut ada tiga jenis metode  peramalan sebagai berikut:

(1). Metode ekstrapolasi

Dilakukan dengan melakukan ektrapolasi terhadap kecenderungan (trend) masa mendatang. Hal ini mudah dilakukan jika hal-hal yang lalu dapat digambarkan dalam angka-angka kualitatif, seperti jumlah  penduduk. Jika data kuantitatif sudah diperoleh, maka hal itu dapat dijadikan dasar untuk melakukan ekstrapolasi secara mekanis kemasa yang akan datang.

(2). Metode modelling

Sebenamya semua keputusan itu dilakukan berdasarkan beberapa model, beberapa merupakan konstruksi dari perilaku suatu subsistem. Beberapa model sudah dikembangkan, diuji dan distandardisasikan.

Salah satu contoh sederhana adalah model ekonomi mengenai  penawaran, permintaan serta harga dari suatu komoditi. Model ini sering digunakan dalam pembuatan kebijakan untuk memprediksi bagaimana setiap orang, pemerintah atu perusahaan akan bereaksi terhadap  perubahan-perubahan Iingkungan.

(3). Peramalan intuitif 

Metode ini paling banyak digunakan dalam analisis kebijakan. Analis dapat minta bantuan dari orang-orang yang memang mempunyai intuisi dan visi yang tajam terhadap topik-topik kritis dengan segala konsekuensinya. Dalam hal ini dituntut kepekaan dan ketajaman analis dalam mensikapi pandangan~pandangan orang-orang tersebut.

(13)

2. Mengevaluasi setiap pengaruh

Pada umumnya cara yang digunakan intuk mengevaluasi pengaruh dari setiap alternatif kebijakan adalah dengan membandingkan pengaruh altematif  tanpa tindakan dengan pengaruh altematif lairmya (dengan tindakan). Perbandingan ini, akan terfihat jelas jika disusun dalam bentuk matriks, gunanya untuk menentukan setiap pengaruh neto (net impact). Analis menggunakan kriteria evaluasi yang telah ditetapkan dalam tahap sebelumnya (tahap 2), untuk  memutuskan pengaruh neto yang mana yang akan digunakan untuk evaluasi dan  bagaimana mengukur arti pentingnya secara relatif.

3. Menanggulangi ketidakpastian

Salah satu kesulitan yang dihadapi ana lis adalah ketidakpastian. Jika resiko memberi arti bahwa terdapat dua atau lebih peluang dimasa mendatang dan kita dapat mengkaitkan suatu kemungkinan untuk setiap keadaan ini dengan tingkat kehandalan tertentu, maka ketidakpastian mengartikan bahwa kita tidak  dapat mengkaitkan adanya kemungkinan tersebut dimasa mendatang dengan kehandalan tertentu. Kebanyakan analisis kebijakan mengandung ketidakpastian.

3.2 Memaparkan Dan Memilih Alternatif   Prinsip-prinsip

Ada empat yang harus digunakan analisis sebagai pedoman dalam menunjukkan dan memlih tiap alternatif, yaitu:

1. Kesimpulan yang ditarik oleh analisis dari tiap alternative harus jelas. Analisis hendaknya menggunakan metode sedemikian sehingga klien dapat memahami bagaimana proses penilaian melalui cara sama bagi setiap alternative.

2. Teknik-teknik yang digunakan untuk menunjukkan dan memilih tiap altrtnatif harus dapat diterapkan penilaian secara berganda. Hanya sedikit masalah yang menyangkut kebijakan diputuiskan berdasar satui criteria saja.

3. Kriteria yang tidak dikuantifikasikan seringkali sama pentingnya dengan criteria yang dapat dikuantifikasikan.

(14)

4. Bagaimanapun caranya pemaparan, hendaknya dapat mengarahkan analisis dan klien kepada suatu keputusan. Pemaparan ini hendaknya dapat menunjukkan sifat dari tiap alternative sehingga dapat dilakukan berbagai  pertimbangan atas factor-faktor penting bagi semua pihak dan membuka kemungkainan kompromi apabila situasinya memang menghendaki demikian.

3.3 Pedagang Kaki Lima (PKL) 3.3.1 Pengertian PKL

Perdagangan sektor informal dapat diartikan kelompok/golongan yang usahanya berskala kecil, meliputi pedagang kakilima, pemulung, usaha industri kecil dan kerajinan rumah tangga (Arundhati, 2000). Pada penelitian yang dilakukan penulis sektor informal ini hanya dibatasi khusus pedagang kakilima. Sebagai batasan untuk menjelaskan apa atau siapa yang dimaksud dengan  pedagang kakilima, Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 5 Tahun 1978 mendefinisikan pedagang kakilima sebagai: "mereka yang dalam usahanya mempergunakan bagian jalan/trotoar dan tempat kepentingan umum yang bukan diperuntukkan tempat usaha, serta tempat lain yang bukan miliknya".

Bucheri Alma (2000), yang mengutip hasil penelitian Fakultas Hukum UNPAR, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah “Orang (pedagang-pedagang) golongan ekonomi lemah, yang berjualan barang kebutuhan sehari-hari, makanan atau jasa dengan modal sendiri atau modal orang lain, baik   berjualan ditempat terlarang atau tidak”.

Sedangkan menurut Roy Bromley seperti dikutip oleh Tadjudin Noer  Effendi (1988) menyatakan bahwa: “PKL digambarkan sebagai perwujudan  pengangguran atau setengah penganggur. Menurut gambaran yang paling buruk 

PKL dipandang sebagai parasit dan sumber pelaku kejahatan. Sedangkan menurut  pandangan yang paling baik, ia dipandang sebagai korban langkanya kesempatan

kerja di kota”.

Menurut Hans Dieters Evers, seperti dikutip oleh Didik J Rachbini (1994) menyatakan bahwa: “PKL disebut juga ekonomi bayangan atau black economy atau underground economy“. Sedangkan Yan Pieter Karafir, seperti dikutip oleh

(15)

Didik J Rachbini (1994), mengartikan: “PKL adalah pedagang kecil yang  berjualan tidak resmi di suatu tempat umum seperti emper toko dan proses yang

sebenarnya tidak dimaksudkan untuk mereka”.

Istilah Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan yang lebarnya lima kaki (5 feet). Tempat ini umumnya terletak di trotoar depan toko dan tepi jalan. Ada yang menyatakan bahwa istilah PKL berasal dari orang yang  berdagang dengan menggelar barang dagangannya, para PKL c ukup menyediakan tempat darurat, seperti bangku atau meja yang biasanya berkaki empat, ditambah sepasang kaki pedagangnya sehingga berjumlah lima, maka timbullah julukan Pedagang Kaki Lima (PKL).

Terlepas dari asal usul nama PKL tersebut, maka dapat disimpulkan  bahwa PKL ialah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha dengan maksud memperoleh penghasilan yang sah, dilakukan secara tidak tetap, dengan kemampuan terbatas, berlokasi di tempat atau pusat-pusat keramaian dan tidak  memiliki ijin usaha.

3.3.2 Karakteristik PKL

Karakteristik PKL menurut Iwan P. Hutajulu, Tadjudin Noer Efendi dan  beberapa literatur sektor informal adalah sebagai berikut:

1. Berdasarkan cara melakukan kegiatan

• PKL menetap, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata pelaksanaan kegiatannya dilakukan dengan menetap pada lokasi tertentu.

• PKL berpindah, merupakan bentuk perdagangan kaki lima yang dalam tata cara pelaksanaan kegiatannya hanya menetap pada suatu saat tertentu saja,selama lokasi tersebut menguntungkan dan segera pindah bila sepi  pembeli.

• PKL berkeliling, merupakan pola kegiatan PKL yang dalam tata cara  pelaksanaan kegiatannya dilakukan secara berkeliling dan satu lokasi ke

(16)

2 Berdasarkan sarana jual yang diperdagangkan

• Hamparan di Lantai, merupakan kelompok kegiatan PKL yang mempergunakan alat jual seperti : tikar, plastik,bakul atau sejenisnya.

• Pikulan, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan dua buah keranjang cara dipikul.

• Meja/Jongko, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan meja/jongko sebagai sarana penjualan barang yang dijual. Dimana ada yang diberi pelengkap atap dan ada juga yang tidak beratap.

• Kereta dorong, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan sebuah kereta dorong atau gerobak.

• Kios, merupakan kegiatan perdagangan kaki lima yang mempergunakan kios sebagai sarana penjualan barang dimana kios ini bersifat permanen maupun semi permanen.

3. Berdasarkan sumber modalnya

• PKL dengan modal diperoleh dari pinjaman, baik yang berasal dari keluarga, pedagang grosir (khusus peminjaman barang) atau lembaga keuangan mikro (resmi maupun tidak resmi).

• PKL dengan modal pribadi, baik dari tabungan, diperoleh dari penjualan harta benda atau diberi nama-nama oleh keluarganya.

3.3.3 Fungsi Pedagang Kaki Lima

Peranan perdagangan kaki lima yang merupakan alternatif peluang kerja di  perkotaan juga turut berperan pula dalam aktivitas perekonomian. Menurut  Noegraha (1989) (dalam Ernawati, J dan Tunjung W.S, 1995: 15) secara umum

kegiatan pedagang kaki lima mempunyai fungsi yaitu: 1. Fungsi pelayanan pedagang eceran

Pedagang kaki lima yang tergolong ekonomi lemah berfungsi sebagai  pedagan eceran yang mana langsung dikonsumsi oleh konsumen. Karena skala kegiatan kecil, maka barang atau jasa yang dihasilkan atau ditawarkan terbatas dan tergantung dari modal dan keterampilan yang dimiliki.

(17)

2. Fungsi pelayanan jasa

Selain sebagai unit usaha yang menyediakan barang terdapat pula PKL yang menyediakan pelayanan jasa dengan unit usaha yang lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok pertama yang mempunyai fungsi komersial (pedagang eceran) karena kelompok ini memerlukan keterampilan khusus untuk membuka usaha (pelayanan jasa). Misal: tukang tambal ban dan reparasi.

3. Fungsi hiburan

Artinya keberadaan pedagang kaki lima dapat memberikan suatu suasana yang menyenangkan atau mempunyai ciri khas yang pada umumnya dimiliki oleh kegiatan pedagang kaki lima yang beraktivitas pada malam hari.

4. Fungsi Sosial Ekonomi

Fungsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu sisi pemerintah dan pedagang. Bagi pemerintah keberadaan kaki lima dapat mengurangi pengangguran, sedangkan dari sisi pedagang merupakan sumber penghasilan terakhir yang dapat dikerjakan atau sebagai penghasilan tambahan.

3.3.4 Kelengkapan PKL

Kelengkapan atau saran penjualan yang sering digunakan PKL dalam menjalankan aktivitasnya (Wawarantoe, 1974) adalah sebagai berikut :

1. Hamparan lantai atau tikar 

2. Pikulan (untuk yang berjualan dengan berkeliling/berpindah)

3. Meja / jongko dengan atap untuk melindungi barang dagangannya. 4. Kereta dorong

5. Kios (baik permanen maupun semi permanen) dan sifatnya menetap 3.3.5 Penentuan Lokasi

Berdasarkan studi yang dilakukan Goenadi (dalam Widjajanti. 2000 : 35),  penentuan lokasi yang diminati oleh sektor informal khususnya pedagang kaki

lima adalah sebagai berikut :

• Terdapat akumulasi orang yang melakukan kegiatan bersama-sama pada waktu yang relatif sama dan sepanjang hari

(18)

• Berada pada kawasan tertentu yang merupakan pusat-pusat kegiatan  perekonomian kota dan pusat non ekonomi perkotaan. tetapi sering

dikunjungi dalam jumlah besar 

• Mempunyai kemudahan untuk teIjadi hubungan antara pedagang kaki lima dengan calon pembeli. walaupun dilakukan dalam ruang yang relatif sempit

• Tidak memerlukan ketersediaan fasilitas dan utilitas pelayanan umum dan menurut McGee dan Yeung ( 1977 : 108)

• Pedagang kaki lima beraglomerasi pada simpul-simpul  pada jalur pejalan kaki yang lebar dan tempat-tempat yang sering dikunjungi orang dalarn jumlah besar yang dekat dengan pasar publik, terminal, daerah kawasan komersial.

Dari hasil survei IDRC oleh McGee dan Yeung (1977 : 51-56), penentuan lokasi sektor informal diharapkan menempati lokasi yang sesuai dengan rencana  penataan pada masing-masing kota yang mana disesuaikan dengan kondisi eksisting dan karakteristik pedagang kaki limanya. Kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah daerah/kota setempat dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)  jenis yaitu :

1 .Relokasi/pemugaran

Yaitu pemugaran suatu lokasi baik untuk dijadikan suatu bentuk  fungsional baru yang berbeda dari yang semula maupun berupa perbaikan dari kondisi yang ada. Kelompok sektor informal yang semula menempatinya dikeluarkan dari tempat tertentu, sementara tempat usaha mereka sedang diperbaiki atau dibangun kcmbali dan apabila telah selesai maka mereka dapat kembali berusaha/berjualan di tempat tersebut. Relokasi dapat diterima sepanjang tidak mengganggu hubungan dengan konsumen dari pedagang kaki lima.

2. Stabilisasi/pengaturan

Dalam hal ini stabilisasi dimaksudkan sebagai upaya dalam menata keberadaan sektor informal pada suatu lokasi. Salah satu tindakan yang dilakukan adalah pengaturan kembali pedagang kaki lima agar harmonis dan tidak  mengganggu fungsi kola di lingkungan sekitar, tempat mereka melakukan usahanya. Dan dasar pertimbangan operasionalnya adalah adanya akses bagi aliran konsumen.

(19)

Dalam upaya pengaturan dan penataan ruang bagi sektor informal terdapat  beberapa altematif yang didasarkan pada pengalaman-pengalaman yang pemah diterpkan atau dilakukan pada berbagai kota di Asia Tenggara diantaranya adalah:

• Peruntukkan dalam ruang terbuka (open market)

Merupakan ruang pelataran terbuka yang secara khusus disediakan bagi aktivitas perdagangan informaI dan dimaksudkan untuk kemudahan  pergerakan konsumen dalam menggunakan jasa pelayanan pedagang kaki lima dan tidak mengganggu fungsi kota di lingkungan lokasi tempat  berjualan terscbut.

• Pembebasan/penutupan jalan-jalan tertentu, yaitu dengan menutup jalan-jalan tertentu dan menutup sirkulasi kendaraan bermotor  dan kendaraan tak bennotor dan selanjutnya hanya diperuntukkan bagi  pejalan kaki dan penampungan perdagangan kaki lima. Upaya Ini  biasanya bersifat sementara dan dilakukan pada waktu-waktu tertentu.

• Pemanfaatan bagian tertentu dari jalan/trotoar 

Dengan menempatkan pedagang kaki lima di atas sebagian trotoar pada  jalan-jalan tertentu yang telah dipilih dan tidak mengganggu aktivitas

lingkungan sekitar serta sirkulasi lalu-lintas.

• Multifungsi ruang terbuka (taman, lapangan, area parkir dan sebagainya), yaitu pemanfaatan ruang terbuka di sekitar kawasan perbelanjaan atau  pusat keramaian untuk penampungan aktivitas perdagangan kaki lima  pada waktu-waktu tertentu ketika tidak/kurang dimanfaatkan.

3. Pemindahan (removal)

Dimaksudkan untuk pemindahan sektor informal ke lokasi yang telah ditentukan berdasarkan penelitian sebelumnya. Pemindahan ke lokasi tetap ini dapat berupa pasar resmi atau sebuab lokasi khusus yang ditetapkan sebagai lokasi sektor informal. Adapun upaya memindahkannya seeara permanen ke dalam pasar  yang telah dilakukan pada beberapa kota, terdapat kendala yaitu pertama rancangan bangunan yang tidak sesuai. Dimana rancangan fisik pasar sangat  penting bagi kebutuhan yang bermacam-macam dan tipe yang berbeda-beda pula.

Kedua, adalah faktor finansial yaitu terkait dengan tarif sewa ruang di dalam pasar yang tinggi sehingga salah satu altematif pemecahannya adalah

(20)

dengan membuat ruang-ruang kecil untuk menekan harga sewa namun hal tersebut juga masih terdapat kendala yaitu jenis komoditas dagangannya. Sehingga apabila dilakukan upaya memindahkan sektor informal ke pasar legal, maka pertimbangannya adalah rancangan bangunan pasar yang sesuai dan akomodatif, tingkat harga sewa yang memadai, reneana yang terperinci, dan jarak  lokasi berjualan dari tempat berjualan semula.

3.3.6 Pola Pengelolaan Struktural

Berdasarkan penelitian yang dilaku.kan oleh McGee dan Yeung (1977 : 5660), yang dilakukan pada beberapa negara berkembang bahwa pemerintah kota selain menerapkan pengelolaan lokasional juga melakukan pengelolaan struktural diantaranya :

• Perijinan

Hal ini didasarkan menurut jenis barang/jasa yang ditawarkan, waktu, usaha serta lokasi tertentu. Perijinan bagi aktivitas PKL dalam melakukan usahanya didasari atas :

a. Memudahkan dalam pengaturan, pengawasan dan pembatasan  jumlah

 b. Membantu dalam penarikan retribusi

• Pembinaan

Tindakan pengendalian dalam hal ini dilakukan dengan pembinaan terhadap kualitas pola pikir para pedagang dan pelaksana aktivitas PKL secara keseluruhan karena diketahui bahwa pola pikir PKL sebagian masih memiliki tingkat  pendidikan relatif rendah dan sederhana untuk menelaah peraturan yang ada, sehingga dapat menimbulkan interpretasi yang salah dan kurangnya perhatian mengenai visualisasi aktivitas secara keseluruhan.

• Bantuan/pinjaman

Di Malaysia, pemberian bantuan dan pinjaman dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada PKL untuk berkembang dan meningkatkan efisie nsi bagi PKL yang telah ada.

(21)

3.4 Daftar Nama Kelompok 

3.4.1 Teori

• Eka Noer Maya Sari (0610660026) : Teori Perencanaan Pembangunan • Tri Muliyani Sunarharum (0610660064) : Reformasi Perencanaan Tata

 Ruang Kota

3.4.2 Artikel

• Tri Mulyani Sunarharum (0610660064) :  Penertiban PKL di Surabaya  Parsial dan Diskriminatif 

Anastasia Prima Desi (0610660006 ) : Pemkot Malang Minta Perda PKL  Dikaji 

• Anggun Nikita (0610660008) : Kebijaksanaan Pemerintah Daerah Kota  Blitar Tentang Pedagang Kaki Lima (Studi di Dinas Pasar Kota Blitar) Dyana Ika Sari (0610660025) :  Akibat Kesalahan Tata Ruang Kota,

 Pedagang Kaki Lima Terkena Dampak 

• Wahyu Eko (0610660066) :  Pemkot Lakukan Pendekatan PKL Tugu  Pahlawandan Relokasi PKL Pahlawan Batal 

• Wulan Dwi Purnamasari (0610660069) :  Kesejahteraan PKL Versus  Kesejahteraan Kota Di Surabaya dan  Menata PKL Perlu Penataan  Ruang 

• Eka Noer Maya Sari (0610660026): Apa Selalu Menjadi Masalah  Keberadaan Usaha Kaki Lima Bagian Sektor Informal (1 )

• Anggi Misaful Bewani(0610660007) : "Katanye" Kota Kaki Lima

• Amelia Dewi Safitra (0610660005) :  PKL

 Mengganggu dan Memperindah Kota

(22)

3.5 Kumpulan Teori dan Artikel

3.5.1 Kumpulan Teori

• Teori Perencanaan Pembangunan

Teori yang mengungkapkan bahwa pemerintah daerah pengirim di dalam merencanakan suatu program adalah dengan jalan memberikan keterbukaan antara  pemerintah dengan masyarakat. Teori-teori yang dimasud diantaranya adalah Teori Perencanaan Pembangunan. Tokoh sentral dalam teori ini adalah John Friedman (1986). Ia melakukan kajian atas praktik-praktik perencanaan  pembangunan dalam kurun waktu 200 tahun, kemudian tersimpulkan perencanaan sebagai Analisa Kebijakan (Planning Policy Analysis), di mana pemerintah  bersama-sama masyarakat merumuskan permasalahan dan menyusun berbagai alternatif kebijakan. Disini, perencanaan dilakukan dengan terdesentralisasi, mempergunakan pola interaktif, kebijakan direncanakan dengan ilmiah, dan dengan politik yang terbuka. Teori lain adalah Teori kebijakan atau Ilmu Kebijakan (Pilicy Science). Teori ini merupakan disiplin yang relatif baru dalam administrasi kenegaraan. Teori kebijakan didasarkan pada tiga perinsip. Pertama,  perinsip bahwa pengambilan kebijakan harus melibatkan masyarakat sebanyak 

mungkin. Kedua, pengambilan keputusan mengikuti Policy Cycle, yaitu  perumusan persoalan, kemudian dilanjutkan dengan perumusan dan pemilihan alternatif kebijaksanaan, dilanjutkan dengan pelaksanaan, serta kemudian evaluasi kebijakan. Prinsip ketiga, melakukan analisis dengan menerapkan kombinasi tiga macam pengetahuan: empiris positivisme, pengalaman individu, dan nilai-nilai hidup di dalam masyarakat.

Teori di atas juga didukung oleh Samuel Huntington (1968), Lucian W Pye (1966), serta Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Mereka menyarankan tiga kondisi sebagai bukti adanya suatu pembangunan, yaitu:

1. Adanya diversifikasi fungsi dalam masyarakat.

2. Adanya desentralisasi fungsi di masyarakat, mulai dalam hal berfikir, keinginan, sampai dengan manajemen pribadi, kelompok dan masyarakat. 3. Adanya sekulerisasi, dalam arti berkembangnya budaya yang analitis dan

rasional. Bukan budaya sakral yang mistis. Sumber : http://air.bappenas.go.id 

(23)

• REFORMASI PERENCANAAN TATA RUANG KOTA

Written by Sunardi Sunday, 16 July 2006

Terdapat hubungan yang sangat erat antara masyarakat terhadap ruang sebagai wadah kegiatan. Kota sebagai tempat terpusatnya kegiatan masyarakat, akan senantiasa berkembang baik kuantitas maupun kualitasnya, sesuai perkembangan kuantitas dan kuali-tas masyarakat. Hal tersebut merupakan indikator dinamika serta kondisi pembangunan masyarakat kota tersebut berserta wilayah di sekitarnya.

Disadari bahwa berbagai macam usaha pembangunan di kota telah dilaksanakan di Indonesia selama ini. Namun secara umum diketahui pula bahwa di balik hasil pembangunan fisik kota yang menunjang kesejahteraan masyarakat, tidak sedikit pula dampak pembangunan yang dirasa merugikan kehidupan (fisik  dan psikhis) masyarakat.

Berkurangnya lahan pertanian subur di sepanjang jalur transportasi, banjir- banjir lokal karena tersumbatnya saluran drainase oleh sampah, galian-galian pipa dan kabel yang tidak kunjung selesai dan lain-lain yang semua itu sebagai akibat  pembangunan yang dilaksanakan tidak secara terpadu antara satu sektor dengan

sektor lainnya. Di samping itu izin pembangunan yang direkomendasikan Pemerintah Daerah sering tidak terpadu dengan peraturan daerah yang telah ditetapkan. Seperti daerah hijau (sebagai penyangga) diijinkan untuk daerah  permukiman.

Hasil penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa di daerah  perkotaan (khususnya di kota-kota besar) terjadi:

(a) penurunan persentase rumah tangga terhadap rasa aman dari tindak  kejahatan;

(b) peningkatan jumlah pengangguran dan jumlah kriminalitas oleh kelompok   pemuda.

Keadaan yang demikian ini semakin meningkat pada akhir-akhir ini, terutama disebabkan oleh kondisi perekonomian nasional yang semakin terpuruk, yang  berakibat begitu besarnya pemutusan hubungan kerja (PHK), perkelahian antar 

(24)

Keadaan sebagai tergambar di atas telah merupakan keadaan yang umum di negara-negara berkembang sebagai akibat dari pembangunan lebih  berorientasikan pada daerah perkotaan. Dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju urbansisasi berjalan dengan cepatnya. Namun urbanisasi tersebut tidak dibarengi perubahan pola pikir masyarakat dari perdesaan menjadi pola pikir   perkotaan. Keadaan seperti ini justru merugikan para urbanisan sendiri, yang

akibatnya menjadi beban masyarakat kota pada umumnya, dan pengelola kota  pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari lebih tingginya persentase penduduk 

miskin di daerah perkotaan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara nasional persentase jumlah  penduduk miskin di daerah perkotaan (17,6 %) dan di daerah perdesaan (14,2 %),

sedang di wilayah P. Jawa dan Bali nasional persentase jumlah penduduk miskin di perkotaan: 18,5 %, sedang di perdesaan 12,5 %). Hal ini diperkirakan karena  besarnya laju urbanisasi (3,38 %) di daerah perkotaan, yang pada umumnya

dilakukan oleh mereka yang belum memiliki ketrampilan khusus sebagai modal menghadapi persaingan antar masyarakat perkotaan.

Perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia Kiranya pemerintah telah menyadari bahwa perencanaan itu mahal. Namun lebih mahal lagi adalah  pembangunan tanpa perencanaan. Hal ini terasa sekali pada pembangunan kota. Dalam hal perencanaan pembangunan kota, di Indonesia telah lama dilaksanakan, diawali dengan diberlakukannya De Statuten van 1642, khusus bagi kota Batavia (Jakarta sekarang. Periode berikutnya oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948. Ketentuan ini berlaku sampai dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang secara tegas mencabut berlakunya Standsvorming Ordonantie, Staatblaad No. 168 tahun 1948, yang berbau kolonial tersebut.

Walau undang-undang tentang Penataan Ruang baru ditetapkan pada tahun 1992, yang tepatnya pada tanggal 13 Oktober 1992, hal ini tidak berarti bahwa kegiatan perencanaan tata ruang kota tidak dilakukan Pemerintah. Sejak sekitar  tahun 1970-an, perencanaan tata ruang secara komprehensif telah dilaksanakan di  bawah tanggung jawab Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, yang  bekerjasama dengan Ditjen PUOD (Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah)

(25)

Departemen Dalam Negeri. Pada umumnya pola penataan ruang pada masa itu lebih mengacu pada pola penataan ruang di Eropah, yakni dengan pola  pemintakatan atau zoning yang ketat.

Dalam pelaksanaannya produk penataan ruang pola zoning tidak efektif, sehingga terbit Instruksi Menteri Dalam Negeri No.: 30 tahun 1985 tentang Penegakan Hukum/ Peraturan Dalam Rangka Pengelolaan Daerah Perkotaan, yang diikuti dengan terbitnya: (a) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 tahun 1986 tentang Penetapan Batas Wilayah Kota di Seluruh Indonesia, dan (b) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 2 tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Kota. Kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan acuan para pihak terlibat dalam penyusunan tata ruang kota, sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Penataan Ruang.

Produk perencanaan tata ruang kota yang mengacu pada kedua peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut dirasa lebih luwes (fleksible), karena lebih mendasarkan pada kecenderungan yang terjadi, dan setiap 5 (lima) tahun dievaluasi dan bila terjadi penyimpangan dapat direvisi kembali. Namun dengan tidak adanya sanksi terhadap pelanggaran rencana tata ruang kota ini menunjukkan pula adanya ketidakpastian dari rencana tata ruang kota yang telah ditetapkan sebagai peraturan daerah tersebut.

Dari penelitian diketahui bahwa pada umumnya penyimpangan terhadap rencana tata ruang kota justru berawal dari kebijaksanaan pemerintah. Hal ini  berarti pemerintah daerah sebagai penanggung jawab rencana tata ruang kota dirasa kurang konsekuen dalam melaksanakan pembangunan kota. Sebagai  penyebab utama kurang efektifnya rencana tata ruang kota (dengan indikator 

adanya berbagai penyimpangan) adalah selain kurang adanya koordinasi antar  dinas/instansi, juga kurang dilibatkannya unsur masyarakat, sehingga aspirasi masyarakat kurang terakomodasikan di dalam rencana tata ruang kota.

Dari hal-hal terurai di atas dapat dikatakan bahwa penetapan peraturan daerah tentang rencana tata ruang kota hanyalah sekedar formalitas, sesuai dengan ketentuan peraturan Menteri Dalam Negeri. Tetapi mulai dari proses penyusunan,

(26)

sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya jauh dari apa yang diinginkan oleh peraturan dasarnya.

Reformasi perencanaan kota Di Indonesia reformasi total telah digulirkan, dengan dimotori oleh unsur mahasiswa, sebagai akibat telah membudayanya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di setiap aspek kehidupan masyarakat. Di dalam  proses perencanaan kota juga tidak luput dari KKN. Dimulai dari penunjukkan

konsultan perencana yang menyalahi prosedur, mark up anggaran, maupun proses  penetapan peraturan daerah, kesemuanya berbau KKN. Karenanya di dalam  proses penyusunan rencana tata ruang kota sampai dengan pelaksanaan perlu adanya reformasi, yang dimulai dari teori/konsepsi yang dipergunakan, prosedur  sampai dengan implementasi dan pelaksanaannya perlu adanya  perubahan/reformasi.

Sebagaimana diketahui bahwa Rencana Tata Ruang kota yang berisi rencana  penggunaan lahan perkotaan, menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 tahun 1987, dibedakan dalam Rencana Umum Tata Ruang Kota, yang merupakan rencana jangka panjang; Rencana Detail Tata Ruang Kota, sebagai rencana jangka menengah, dan Rencana Teknis Tata Ruang Kota, untuk jangka pendek. Ketiga  jenis tata ruang kota tersebut disajikan dalam bentuk peta-peta dan

gambar-gambar yang sudah pasti (blue print).

Sebagaimana dikemukakan oleh para pakar ilmu sosial, bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang sedang berkembang, sangatlah dinamis dengan  perubahan-perubahan yang terjadi. Terlebih lagi dengan berkembang-pesatnya teknologi komunikasi dan transportasi di dalam era globalisasi. Pada kondisi masyarakat yang demikian kiranya kurang tepat dengan diterapkannya  perencanaan tata ruang kota yang bersifat pasti atau blue print planning. Blue print  planning lebih tepat diterapkan pada masyarakat yang sudah mantap, karena pada masyarakat yang sudah mantap ini, perubahan-perubahan yang terjadi sangatlah kecil. Sedang untuk masyarakat yang sedang berkembang lebih tepat diterapkan model process planning.

Kebijaksanaan selama ini yang mengejar pertumbuhan tingkat ekonomi makro menjadikan rencana tata ruang kota berfungsi sebagai sarana penunjangnya. Pembangunan kota lebih berorientasikan kepada si kaya dari pada kepada si

(27)

miskin. Karenanya si kaya semakin kaya, dan si miskin semakin tersingkir. Hal ini menjadikan kota yang lebih egois, kurang manusiawi, dan dampaknya sebagai tergambar di atas, serta terjadinya kecemburuan sosial, yang berakibat terjadinya kerusuhan-kerusuhan masal. Karena itulah reformasi dalam perencanaan kota merupakan suatu keharusan bagi pemerintah Indonesia saat ini.

Beberapa hal yang dirasa sangat penting dalam rangka reformasi perencanaan tata ruang kota antara lain:

1. Merubah dari perencanaan fisik, seperti yang seperti sekarang dilakukan menjadi perencanaan sosial. Dengan perubahan pola pikir dan kondisi masyarakat, diharapkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan lahan akan meningkat. Advocacy planning sangat diperlukan demi kepentingan masyarakat, demi terakomodasikannya aspirasi masyarakat. Memang Advocacy Planning dirasa lebih mahal. Namun lebih mahal lagi  perencanaan yang tidak efektif maupun pembangunan yang tanpa  perencanaan. Advocacy planning dapat diterapkan pula pada pembahasan oleh anggota DPRD. Dalam hal ini konsultan memberikan masukan-masukan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan rencana sebagai Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Ruang Kota.

2. Merubah kebijaksanaan top down menjadi bottom up karena top down merupakan sumber korupsi dan kolusi bagi pihak-pihak yang terlibat. Sering kali propyek-proyek model top down dari pusat kurang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan. Aspirasi dari masyarakat tidak  terakomodasikan di dalam ketetapan rencana tata ruang kota. Para wakil masyarakat yang diundang dalam seminar, seperti: Kepala Kelurahan / Desa, Ketua LKMD setempat selain kurang berwawasan terhadap  perencanaan makro, juga dapat dikatakan sebagai kepanjangan tangan  pemerintah.

3. Comprehensive Planning lebih tepat dari pada sectoral planning. Comprehensive Planning sebagai perencanaan makro untuk jangka  panjang bagi masyarakat di negara sedang berkembang (dengan dinamika masyarakat yang begitu besar) dirasa kurang sesuai. Akibatnya  perencanaan tersebut tidak/kurang efektif, dengan begitu banyaknya

(28)

 penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik disengaja maupun tidak. Perencanaan sektoral merupakan perencanaan terhadap sektor-sektor yang  benar-benar dibutuhkan masyarakat dalam waktu mendesak.

4. Peranserta secara aktif para pakar secara terpadu dari berbagai disiplin ilmu sangat diperlukan di dalam proses penyusunan tata ruang kota. Komisi Perencanaan Kota (sebagaimana diterapkan di Amerika Serikat) kiranya perlu diterapkan pula di Indonesia. Hal ini didasari bahwa  permasalahan perkotaan merupakan permasalahan yang sangat komplek, tidak hanya permasalahan ruang saja, tetapi menyangkut pula aspek-aspek: ekonomi, sosial, budaya, hukum dan lain sebagainya.

5. Merubah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan tanah, lahan, dan ruang khususnya di perkotaan menjadi lebih berorientasi pada kepentingan dan perlindungan rakyat kecil. Lembaga magersari dan bagi hasil yang oleh UUPA dihapus perlu dihidupkan kembali (sebagaimana disarankan Eko Budihardjo). Penataan lahan melalui Land Consolidation, Land Sharing, dan Land Readjustment perlu ditingkatkan.

6. Tidak kalah pentingnya adalah bahwa Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan menjadi Peraturan Daerah, perlu ditindak-lanjuti dengan implementasinya, menjadi acuan dalam penyusunan program-program kegiatan pembangunan, dan tidak sekedar menjadi penghuni perpustakaan Bappeda. (Sumber : http://www.bktrn.org  )

(29)

3.5.2 Kumpulan Artikel

• Penertiban PKL di Surabaya Parsial dan Diskriminatif 

BELAKANGAN ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya kembali melakukan berbagai operasi penertiban terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang hingga kini masih tetap memadati sudut-sudut Kota Surabaya. Ruas-ruas jalan  protokol yang telah dinyatakan steril dari PKL, ternyata tidak bisa seratus persen  bebas PKL.

BAHKAN, ada indikasi mereka (PKL) sepertinya mencoba bermain petak  umpet dengan aparat penertiban. Pada saat operasi penertiban gencar dilakukan, memang PKL seolah menghilang. Tetapi, ketika operasi mulai kendur, maka  jalan-jalan itu pun kembali dipadati PKL.

Daerah-daerah di seputar Jalan Genteng Kali, Kapasari, Rumah Sakit Karang Menjangan dan sebagainya, kini kembali ditempati para PKL. Bahkan, akibat sebagian trotoar sudah dipasangi pot-pot besar, kini sebagian PKL malah  berdagang di pinggir jalan sehingga makin mengganggu arus lalu lintas. Kenapa PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia?

Di mata Pemkot Surabaya, khususnya aparat penegak hukum, mungkin  benar bahwa keberadaan sektor informal acapkali dinilai selalu melanggar hukum

dan menjadikan kota tampak kumuh. Tetapi, untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan persoalan.

Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan sejenisnya, pada dasarnya adalah program penataan kota yang sifatnya parsial dan cenderung hanya memotong kompas karena sikap tak sabar.

Kenapa gagal?

Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif. Dikatakan parsial karena kegiatan penertiban yang dilakukan hanya

(30)

menyentuh aspek kulitnya saja-yakni sekadar menyingkirkan orang-orang miskin dari wilayah kota-tanpa ada penanganan yang menyentuh akar masalah.

Dikatakan temporer, karena cenderung hanya memfokuskan kegiatan  penertiban pada jalan-jalan protokol demi terciptanya pemandangan yang serba tertib dan indah untuk sementara waktu tanpa ada kelanjutan program yang pasti. Sedangkan dikatakan diskriminatif, karena obyek penertiban hanya terfokus pada kelompok marginal kota, sementara kekuatan komersial yang juga sama-sama melanggar tata tertib kota seolah-olah tidak tersentuh. Misalnya, pabrik di wilayah stren kali dan sejumlah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) yang menempati jalur hijau kota, dan bangunan-bangunan komersial yang melanggar  garis sempadan.

Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistik-yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota sentralistik-yang semakin terpolarisasi.

Program yang dikembangkan Pemkot Surabaya-meminjam istilah David Baker (1980)- cenderung bersifat punitif (menghukum). Tindakan pemkot menggusur permukiman kumuh di sepanjang stren kali, menggusur PKL dari lokasi mereka berdagang, membebaskan kawasan pusat kota dari PKL, dan upaya untuk mengembalikan kaum migran miskin ke daerah asalnya, pada dasarnya adalah bagian dari upaya Pemkot untuk mengembangkan kebijakan "pintu tertutup" bagi kaum migran.

Untuk jangka pendek, cara-cara penertiban kota yang sifatnya represif  mungkin tampak berhasil. Tetapi, upaya penertiban PKL yang semata hanya mengedepankan peran penindakan yang sifatnya represif, sementara untuk peran  pembinaan, peran monitoring atau pengawasan, dan peran preventif umumnya masih belum banyak dikembangkan. Maka, jangan heran jika hasilnya seolah hanya jalan di tempat.

Upaya penataan

Sebagai sebuah masalah sosial di kota besar, harus diakui bahwa upaya menata PKL dan menertibkan bangunan liar di Kota Surabaya bukanlah hal yang

(31)

mudah. Program penanganan yang bersifat parsial jelas hanya akan melahirkan masalah baru, sedangkan bentuk perlindungan dan sikap belas kasihan yang  berlebihan dikhawatirkan juga akan menimbulkan bentuk ketergantungan baru yang dapat menghilangkan mekanisme self-help kaum migran yang masuk dalam kategori miskin.

Sementara itu, kegiatan penertiban kota yang semata-mata bersifat represif-punitif, niscaya hanya akan melahirkan perlawanan dan mekanisme "kucing-kucingan" yang sama sekali tidak menyelesaikan masalah hingga akarnya. Untuk kepentingan Surabaya ke depan, perlu adanya upaya penataan PKL dan bangunan liar yang benar-benar komprehensif dan menyentuh akar  masalah.

Perlu disadari bahwa keberadaan PKL pada dasarnya bukanlah semata-mata beban atau melulu gangguan bagi keindahan dan ketertiban kota. Tetapi, PKL dan kaum migran sesungguhnya merupakan potensi ekonomi. Bahkan jika keberadaan PKL dikelola dengan baik dan bijak dapat menjadi sumber bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.

Misalnya di Jakarta, setiap tahun dilaporkan bahwa Pemprov DKI Jakarta kehilangan uang pemasukan sebesar Rp 53,4 milyar karena adanya pungutan liar  (pungli) yang ditarik dari sektor informal kota. Pungli itu dilakukan oknum  pengurus RT/RW, petugas keamanan hingga aparat Dinas Kebersihan DKI

Jakarta. Belum lagi pungli yang dilakukan sejumlah preman.

Jika di Surabaya retribusi yang ditarik dari seluruh sektor informal kota dapat masuk ke kas pemkot dan campur tangan oknum atau preman yang selama ini mengeksploitasi PKL dan migran dapat dieliminasi, maka tidak mustahil kehadiran PKL justru menjadi salah satu sumber PAD yang strategis.

Kalau misalnya di Surabaya terdapat 50.000 PKL, kemudian mereka masing-masing dikenakan retribusi Rp 500, maka dalam satu hari Pemkot Surabaya dapat menerima pemasukan sebesar Rp 25 juta.

Di tengah situasi dan kondisi lahan di Surabaya yang serba terbatas,  perkembangan PKL tidak bisa dibiarkan lepas kendali. Akan tetapi, mereka perlu ditata sedemikian rupa agar tidak mengganggu ketertiban dan keindahan kota. Masalahnya, dengan segala keterbatasan jumlah personel, dana dan lahan yang

(32)

dimiliki Pemkot Surabaya, maka upaya menata PKL tidak bisa tidak harus melibatkan pengusaha dan pengelola pusat perbelanjaan dan pusat perkantoran.

Selama ini ada kesan kuat bahwa yang namanya dunia usaha atau pihak  swasta umumnya cenderung bersikap acuh tak acuh, dan seolah-olah menyerahkan sepenuhnya upaya penataan PKL hanya kepada pemkot. Plaza yang setiap hari ramai dikunjungi warga kota dan memiliki karyawan, seolah-olah menutup mata terhadap situasi di sekitarnya. Padahal, para karyawan pusat  pertokoan/plaza tersebut, setiap hari membutuhkan jasa PKL untuk makan atau

minum.

PKL yang berjasa melayani kebutuhan karyawan mereka dibiarkan  berjejal di jalan-jalan atau ruang publik, tanpa ada keinginan sedikit pun dari  pihak swasta untuk ikut membantu menyediakan lahan guna menampung para

PKL itu di sekitar mal/plaza.

Agar penataan PKL dapat berjalan dengan maksimal tanpa mengorbankan kepentingan PKL, ada baiknya jika Pemkot dan DPRD Surabaya segera menyusun peraturan daerah (perda) yang mengatur peran serta swasta dalam upaya penataan PKL. Setiap mal atau pusat perkantoran diwajibkan menyediakan sekian persen dari luas lahan mereka untuk menampung PKL.

Pasar Atom, mungkin bisa dijadikan sebagai salah satu contoh. Lahan yang diperuntukkan untuk PKL di sekitar mal/pusat perkantoran itu tentu tidak  diberikan secara gratis. PKL diwajibkan untuk menyewa dengan tarif yang tidak  mahal, namun terjangkau dan menguntungkan kedua belah pihak, baik PKL maupun pengelola mal atau pusat perkantoran.

Untuk mengeliminasi perkembangan jumlah PKL yang berlebihan di Kota Surabaya, ada baiknya pemkot tidak melulu terjebak pada pendekatan yang sifatnya represif. Melainkan mencoba mengembangkan semacam mekanisme deteksi dini yang efektif melalui keterlibatan dan peran aparat di tingkat kelurahan dan kecamatan.

Di ruas jalan yang jelas-jelas disebutkan tidak boleh ditempati PKL atau  bebas PKL, sejak dini harus dilakukan pengawasan secara terus-menerus. Sebelum jumlah PKL yang mangkal di daerah terlarang bertambah banyak, maka

(33)

 pihak kelurahan dan kecamatan dapat segera mengambil langkah-langkah  penindakan.

Di wilayah di mana jumlah PKL sudah telanjur banyak, biasanya upaya  penindakan yang dilakukan akan jauh lebih sulit dan membutuhkan energi serta dana yang jauh lebih besar. Sistem deteksi dini ini tentu saja baru dapat berjalan dengan efektif jika pihak kelurahan atau minimal pihak kecamatan juga diberi dukungan, baik fasilitas fisik maupun sumber daya manusianya.

Di wilayah kecamatan yang termasuk jalur rawan dijejali PKL dan masih termasuk jalur utama yang dinyatakan bebas PKL, maka jumlah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) yang diperbantukan bagi kecamatan harus lebih besar  daripada kecamatan yang terletak di pinggiran kota.

Upaya penataan PKL sebaiknya tidak hanya berkutat pada bentuk-bentuk   penindakan atau operasi penertiban yang sifatnya represif karena hanya akan melahirkan pembangkangan dan resistensi dari para PKL. Oleh karena itu, yang lebih penting dilakukan adalah bagaimana mengombinasikan antara fungsi  pembinaan, pengawasan, dan fungsi preventif, serta fungsi penindakan itu sendiri

untuk situasi khusus.

Yang dimaksud fungsi pembinaan adalah bagaimana upaya yang dikembangkan pemkot terhadap kelompok PKL binaan tidak hanya sekadar  memberikan bantuan modal usaha, tetapi juga difokuskan pada penataan PKL itu sendiri ke lahan-lahan yang tidak mengganggu kepentingan publik.

Adapun yang dimaksud fungsi pengawasan adalah upaya pemkot untuk  terus-menerus mendata dan mengawasi pasang-surut perkembangan PKL serta  bangunan liar di berbagai wilayah kota. Tujuannya, supaya dapat diperoleh data

akurat dan up to date tentang keadaan PKL di Surabaya.

Sementara yang dimaksud fungsi preventif adalah upaya pemkot untuk  mencegah arus urbanisasi agar tidak kelewat batas atau melebihi kemampuan daya tampung kota. Yaitu dengan cara mengembangkan kerja sama dengan daerah hinterland untuk mengurangi kesenjangan desa-kota a gar tidak makin menyolok.

Sementara itu, untuk fungsi penindakan, dalam beberapa kasus tetap diperlukan, tetapi dengan catatan khusus ditujukan untuk PKL di kawasan tertentu

(34)

yang dinilai sudah melewati batas toleransi ketertiban dan kepentingan umum warga kota.

Untuk mengalihkan dan menampung PKL yang sudah terlalu mengganggu ruang publik, maka salah satu zone yang bisa dijadikan alternatif adalah pasar.  Namun demikian, sejak awal perlu disadari bahwa tidak semua PKL bisa langsung dipindahkan ke dalam pasar. Karena itu, semua juga tergantung pada  jenis barang dagangan yang diperjualbelikan PKL.

Untuk PKL yang memiliki dagangan yang spesifik seperti VCD atau  barang bekas, mereka mungkin bisa direlokasi ke tempat atau wilayah tertentu. Syaratnya, relokasi itu dilakukan bukan semata bertujuan untuk mengusir mereka dari pusat kota, tetapi keputusan relokasi itu dilakukan demi kebaikan PKL itu sendiri.

Gagasan untuk merelokasi PKL VCD ke kawasan THR, misalnya, sebenarnya cukup prospektif sepanjang dalam masa transisi perpindahan itu  pemkot benar-benar memiliki itikad baik membantu meramaikan suasana di sana dengan berbagai kegiatan yang nyata, seperti lomba senam poco-poco, pentas musik, lomba menggambar anak-anak, dan sebagainya.

Yang terpenting adalah bagaimana meyakinkan PKL bahwa relokasi  bukanlah bertujuan untuk membuang mereka, tetapi benar-benar bertujuan untuk 

membantu kelangsungan masa depan PKL itu sendiri. Bentuk dari program relokasi PKL ini antara lain bisa berupa pembangunan pasar atau pusat PKL.

Bagi PKL yang berada di kawasan tertentu yang masih memungkinkan untuk ditoleransi, kebijakan penataan yang realistis adalah dengan program rombongisasi atau tendanisasi. Meskipun program ini bukan jalan keluar yang terbaik bagi ketertiban kota, program ini paling realistis karena dapat mengompromikan kepentingan PKL agar tetap diperbolehkan berdagang di kawasan ramai. Sementara pada saat yang sama keindahan kawasan itu tetap terjaga karena para PKL bersedia diatur sedemikian rupa.

Strategi penanganan PKL dan persoalan urbanisasi berlebih yang paling ideal sesungguhnya adalah penanganan yang dimulai dari hulunya. Artinya, dengan menyadari bahwa akar masalah sektor informal kota adalah akibat adanya kesenjangan desa-kota, maka strategi penanganan masalah ini mau tidak mau

(35)

harus pada tingkat regional atau paling tidak melibatkan kerja sama dan dukungan kota-kabupaten yang lain, khususnya daerah- daerah yang menjadi hinterland Kota Surabaya.

Membiarkan Surabaya harus menanggung sendirian beban persoalan PKL, selain tidak adil, juga membuat masalah ini menjadi kian sulit dipecahkan. Betapa  pun harus disadari bahwa terjadinya urbanisasi berlebih (over urbanization) di Kota Surabaya adalah imbas dari persoalan yang muncul di desa asal migran. Akibatnya, sepanjang persoalan di daerah asal itu tidak ditangani dengan baik, maka kebijakan "pintu tertutup" yang dikembangkan kota besar di mana pun tidak  akan pernah mampu mengurangi arus migrasi.

(Helmi Prasetyo  Dosen FISIP Unair Surabaya, Redaktur Pelaksana Jurnal Masyarakat   Kebudayaan dan Politik FISIP Unair  )

Copyright © 2002 Harian KOMPAS   Sumber : http://www.kompas.com

Resume

PKL di Kota Surabaya ini tetap hadir dan sulit ditertibkan meski tidak  sedikit dana telah dikucurkan, dan tak jemu-jemunya aparat melakukan razia. Untuk menata sektor informal dan meregulasi agar kehadiran kaum migran tidak  membuat kota makin semrawut, maka yang dibutuhkan adalah sebuah kebijakan komprehensif yang menyentuh akar masalah, dan tidak sekadar hanya mengembangkan tindakan represif yang sama sekali tidak menyelesaikan  persoalan. Mengembangkan kebijakan pintu tertutup bagi migran, merazia PKL dan menyita barang dagangan mereka, membongkar paksa permukiman liar, dan sejenisnya, pada dasarnya dapat dinilai kurang bagus dan tidak sabar.

Selama ini, diakui atau tidak, kebijakan yang dikembangkan Pemkot Surabaya dalam menertibkan PKL cenderung parsial, temporer, dan bersifat diskriminatif. Dalam berbagai kebijakan dan operasi penertiban yang dilaksanakan Pemkot Surabaya, ada kesan kuat bahwa keberadaan PKL dan kaum migran miskin pada umumnya lebih banyak diposisikan sebagai "terdakwa" dan  bukan dianggap sebagai "korban" dari model pembangunan wilayah yang sentralistik-yang hanya melahirkan kesenjangan antara desa-kota yang semakin terpolarisasi.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian di atas, maka dibuatlah sistem pendukung keputusan yang diharapkan berfungsi untuk membantu pihak JSC (Jakarta Smart City) untuk melakukan

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

International Business & Marketing Management – Victoria University of Wellington. Marketing Management

Setiap Oarang atau Badan yang menjalankan kegiatan Usaha Jasa Konstruksi yang telah dicabut Izin Operasionalnya berdasarkan ketentuan sebagaiamana diatur dalam

Pada emulsi ganda A/M/A yang dibuat dengan menggunakan hidrokoloid sebagai penstabil antara fase dispers A/M dan fase air eksternal, viskositasnya dapat lebih

Tabel I.3 Data Hasil Survei Pendahuluan pada Pegawai Kantor Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Pangkalpinang .... Tabel I.4 Data Spesifikasi Jabatan Pegawai Struktural di

Adapun hasil analisis mengenai penerapan Sistem Pengendalian Internal dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi yang diterapkan perusahaan dapat tercapai jika

Terdapat perbedaan hasil penelitian antara variabel motivasi intrinsik dan kepuasan kerja dari penelitian Basthoumi Muslih dkk (2012) yang menyatakan motivasi