• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. docx

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. docx"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia

Lembaga Negara

Pengawal Konstitusi

Beranda

Peradilan

Hakim

Perkara

Putusan

Peraturan

Administrasi Umum

Publikasi

Whistleblowing

Berita Populer

Selengkapnya >

Kamis, 25 Agustus 2016 | 09:54 WIB

(2)

Pemerintah Belum Siap, Sidang Uji UU Kedokteran Ditunda

Pemerintah: Kata Makar Tidak Dimaknai Sebagai Norma Hukum

MK Kembali Gelar Sidang Perdana PHP Bupati Intan Jaya

Beranda

>

Berita Media

>

Sejarah Dan Perkembangan Konstitusi Di Indonesia

Berita

Sejarah Dan Perkembangan Konstitusi Di Indonesia

Kamis, 13 Agustus 2015 | 10:38 WIB

(3)

SEJARAH KONSTITUSI

Sebenarnya. konstitusi (constitution) berbeda dengan Undang-Undang Dasar (Grundgezets),

dikarenakan suatu kekhilafan dalam pandangan orang mengenai konstitusi pada negara-negara

modern sehingga pengertian konstitusi itu kemudian disamakan dengan Undang-Undang Dasar.

Kekhilafan ini disebabkan oleh pengaruh faham kodifikasi yang menghendaki agar semua

peraturan hukum ditulis, demi mencapai kesatuan hukum, kesederhanaan hukum dan kepastian

hukum. Begitu besar pengaruh faham kodifikasi, sehingga setiap peraturan hukum karena

penting itu harus ditulis, dan konstitusi yang ditulis itu adalah Undang-Undang Dasar.

Secara umum terdapat dua macam konstitusi yaitu :

1) Konstitusi tertulis dan

2) Konstitusi tak tertulis.

Hampir semua negara di dunia memiliki konstitusi tertulis atau Undang-Undang Dasar (UUD)

yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja

berbagai lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia.

(4)

Pada hampir semua konstitusi tertulis diatur mengenai pembagian kekuasaan berdasarkan

jenis-jenis kekuasaan, dan kemudian berdasarkan jenis-jenis kekuasaan itu dibentuklah lembaga-lembaga

negara. Dengan demikian, jenis kekuasaan itu perlu ditentukan terlebih dahulu, baru kemudian

dibentuk lembaga negara yang bertanggung jawab untuk melaksanakan jenis kekuasaan tertentu

itu.

Beberapa sarjana mengemukakan pandangannya mengenai jenis tugas atau kewenangan itu,

salah satu yang paling terkemuka adalah pandangan Montesquieu bahwa kekuasaan negara itu

terbagi dalam tiga jenis kekuasaan yang harus dipisahkan secara ketat. Ketiga jenis kekuasaan itu

adalah :

1. Kekuasaan membuat peraturan perundangan (legislatif)

2. Kekuasaan melaksanakan peraturan perundangan (eksekutif)

3. Kekuasaan kehakiman (yudikatif).

Pandangan lain mengenai jenis kekuasaan yang perlu dibagi atau dipisahkan di dalam konstitusi

dikemukakan oleh van Vollenhoven dalam buku karangannyaStaatsrecht over Zee. Ia membagi

kekuasaan menjadi empat macam yaitu :

1. Pemerintahan (bestuur)

2. Perundang-undangan

3. Kepolisian

4. Pengadilan.

Van Vollenhoven menilai kekuasaan eksekutif itu terlalu luas dan karenanya perlu dipecah

menjadi dua jenis kekuasaan lagi yaitu kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan kepolisian.

Menurutnya kepolisian memegang jenis kekuasaan untuk mengawasi hal berlakunya hukum dan

kalau perlu memaksa untuk melaksanakan hukum.

Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia mendukung

gagasan Van Vollenhoven ini, bahkan ia mengusulkan untuk menambah dua lagi jenis kekuasaan

negara yaitu kekuasaan Kejaksaan dan Kekuasaan Pemeriksa Keuangan untuk memeriksa

keuangan negara serta menjadi jenis kekuasaan ke-lima dan ke-enam.

Berdasarkan teori hukum ketatanegaraan yang dijelaskan diatas maka dapat disimpulkan bahwa

jenis kekuasaan negara yang diatur dalam suatu konstitusi itu umumnya terbagi atas enam dan

masing-masing kekuasaan itu diurus oleh suatu badan atau lembaga tersendiri yaitu:

1. Kekuasaan membuat undang-undang (legislatif)

2. Kekuasaan melaksanakan undang-undang (eksekutif)

(5)

4. Kekuasaan kepolisian

5. Kekuasaan kejaksaan

6. Kekuasaan memeriksa keuangan negara

Konstitusi suatu negara pada hakekatnya merupakan hukum dasar tertinggi yang memuat

hal-hal mengenai penyelenggaraan negara, karenanya suatu konstitusi harus memiliki sifat yang

lebih stabil dari pada produk hukum lainnya. Terlebih lagi jika jiwa dan semangat pelaksanaan

penyelenggaraan negara juga diatur dalam konstitusi sehingga perubahan suatu konstitusi dapat

membawa perubahan yang besar terhadap sistem penyelenggaraan negara. Bisa jadi suatu negara

yang demokratis berubah menjadi otoriter karena terjadi perubahan dalam konstitusinya.

Adakalanya keinginan rakyat untuk mengadakan perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang

tidak dapat dihindari. Hal ini terjadi apabila mekanisme penyelenggaraan negara yang diatur

dalam konstitusi yang berlaku dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan aspirasi rakyat. Oleh

karena itu, konstitusi biasanya juga mengandung ketentuan mengenai perubahan konstitusi itu

sendiri, yang kemudian prosedurnya dibuat sedemikian rupa sehingga perubahan yang terjadi

adalah benar-benar aspirasi rakyat dan bukan berdasarkan keinginan semena-mena dan bersifat

sementara atau pun keinginan dari sekelompok orang belaka.

Pada dasarnya ada dua macam sistem yang lazim digunakan dalam praktek ketatanegaraan di

dunia dalam hal perubahan konstitusi. Sistem yang pertama adalah bahwa apabila suatu

konstitusi diubah, maka yang akan berlaku adalah konstitusi yang berlaku secara keseluruhan

(penggantian konstitusi). Sistem ini dianut oleh hampir semua negara di dunia. Sistem yang

kedua ialah bahwa apabila suatu konstitusi diubah, maka konstitusi yang asli tetap berlaku.

Perubahan terhadap konstitusi tersebut merupakan amandemen dari konstitusi yang asli tadi.

Dengan perkataan lain, amandemen tersebut merupakan atau menjadi bagian dari konstitusinya.

Sistem ini dianut oleh Amerika Serikat.

PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA

Para pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia telah sepakat utntuk menyusun sebuah

Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis dengan segala arti dan fungsinya. Sehari

setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, konstitusi Indonesia

sebagai sesuatu ”revolusi grondwet” telah disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh panitia persiapan

kemerdekaan Indonesia dalam sebuah naskah yang dinamakan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia. Dengan demikian, sekalipun Undang-Undang Dasar 1945 itu merupakan

konstitusi yang sangat singkat dan hanya memuat 37 pasal namun ketiga materi muatan

konstitusi yang harus ada menurut ketentuan umum teori konstitusi telah terpenuhi dalam

Undang-Undang Dasar 1945 tersebut.

Pada dasarnya kemungkinan untuk mengadakan perubahan atau penyesuaian itu memang sudah

dilihat oleh para penyusun UUD 1945 itu sendiri, dengan merumuskan dan melalui pasal 37

UUD 1945 tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Dan apabila MPR bermaksud akan

mengubah UUD melalui pasal 37 UUD 1945 , sebelumnya hal itu harus ditanyakan lebih dahulu

kepada seluruh Rakyat Indonesia melalui suatu referendum.(Tap no.1/ MPR/1983 pasal 105-109

jo. Tap no.IV/MPR/1983 tentang referendum)

(6)

pengkajian secara komperhensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketetapan MPR No.

I/MPR/2002 tentang pembentukan komisi Konstitusi.

Dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang yang

pernah berlaku, yaitu :

1.

Periode 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949

(Penetapan Undang-Undang Dasar 1945)

Saat Republik Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Republik yang baru ini

belum mempunyai undang-undang dasar. Sehari kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945

Rancangan Undang-Undang disahkan oleh PPKI sebagai Undang-Undang Dasar Republik

Indonesia setelah mengalami beberapa proses.

1.

Periode 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950

(Penetapan konstitusi Republik Indonesia Serikat)

Perjalanan negara baru Republik Indonesia ternyata tidak luput dari rongrongan pihak Belanda

yang menginginkan untuk kembali berkuasa di Indonesia. Akibatnya Belanda mencoba untuk

mendirikan negara-negara seperti negara Sumatera Timur, negara Indonesia Timur, negara Jawa

Timur, dan sebagainya. Sejalan dengan usaha Belanda tersebut maka terjadilah agresi Belanda 1

pada tahun 1947 dan agresi 2 pada tahun 1948. Dan ini mengakibatkan diadakannya KMB yang

melahirkan negara Republik Indonesia Serikat. Sehingga UUD yang seharusnya berlaku untuk

seluruh negara Indonesia itu, hanya berlaku untuk negara Republik Indonesia Serikat saja.

1.

Periode 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959

(Penetapan Undang-Undang Dasar Sementara 1950)

Periode federal dari Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1949 merupakan

perubahan sementara, karena sesungguhnya bangsa Indonesia sejak 17 Agustus 1945

menghendaki sifat kesatuan, maka negara Republik Indonesia Serikat tidak bertahan lama karena

terjadinya penggabungan dengan Republik Indonesia. Hal ini mengakibatkan wibawa dari

pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi berkurang, akhirnya dicapailah kata sepakat

untuk mendirikan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bagi negara kesatuan yang

akan didirikan jelas perlu adanya suatu undang-undang dasar yang baru dan untuk itu

dibentuklah suatu panitia bersama yang menyusun suatu rancangan undang-undang dasar yang

kemudian disahkan pada tanggal 12 Agustus 1950 oleh badan pekerja komite nasional pusat dan

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus

1950 dan berlakulah undang-undang dasar baru itu pada tanggal 17 Agustus 1950.

1.

Periode 5 Juli 1959 – sekarang

(Penetapan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945)

(7)

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Orde Lama dianggap kurang mencerminkan

pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen.

PERUBAHAN UUD 1945

Salah satu keberhasilan yang dicapai oleh bangsa Indonesia pada masa reformasi adalah

reformasi konstitusional (constitutional reform). Reformasi konstitusi dipandang merupakan

kebutuhan dan agenda yang harus dilakukan karena UUD 1945 sebelum perubahan dinilai tidak

cukup untuk mengatur dan mengarahkan penyelenggaraan negara sesuai harapan rakyat,

terbentuknya good governance, serta mendukung penegakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Perubahan UUD 1945 dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang MPR

dari 1999 hingga 2002 . Perubahan pertama dilakukan dalam Sidang Umum MPR Tahun 1999.

Arah perubahan pertama UUD 1945 adalah membatasi kekuasaan Presiden dan memperkuat

kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif.

Perubahan kedua dilakukan dalam sidang Tahunan MPR Tahun 2000. Perubahan kedua

menghasilkan rumusan perubahan pasal-pasal yang meliputi masalah wilayah negara dan

pembagian pemerintahan daerah, menyempumakan perubahan pertama dalam hal memperkuat

kedudukan DPR, dan ketentuan¬-ketentuan terperinci tentang HAM.

Perubahan ketiga ditetapkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Perubahan tahap ini mengubah

dan atau menambah ketentuan-ketentuan pasal tentang asas-asas landasan bemegara,

kelembagaan negara dan hubungan antarlembaga negara, serta ketentuan-ketentuan tentang

Pemilihan Umum. Sedangkan perubahan keempat dilakukan dalam Sidang Tahunan MPR Tahun

2002. Perubahan Keempat tersebut meliputi ketentuan tentang kelembagaan negara dan

hubungan antarlembaga negara, penghapusan Dewan Pertimbangan Agung (DPA), pendidikan

dan kebudayaan, perekonomian dan kesejahteraan sosial, dan aturan peralihan serta aturan

tambahan.

Empat tahap perubahan UUD 1945 tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945.

Naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, sedangkan perubahan yang dilakukan

menghasilkan 199 butir ketentuan. Saat ini, dari 199 butir ketentuan yang ada dalam UUD 1945,

hanya 25 (12%) butir ketentuan yang tidak mengalami perubahan. Selebihnya, sebanyak 174

(88%) butir ketentuan merupakan materi yang baru atau telah mengalami perubahan.

Dari sisi kualitatif, perubahan UUD 1945 bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip

kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945

berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya

masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration

of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan

mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang

hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis.

Setelah berhasil melakukan perubahan konstitusional, tahapan selanjutnya yang harus dilakukan

adalah pelaksanaan UUD 1945 yang telah diubah tersebut. Pelaksanaan UUD 1945 harus

dilakukan mulai dari konsolidasi norma hukum hingga dalam praktik kehidupan berbangsa dan

bernegara. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 harus menjadi acuan dasar sehingga benar-benar

hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living

constitution).

(8)

Sebagaimana dijelaskan diawal, bahwa konstitusi berpesan sebagai sebuah aturan dasar yang

mengatur kehidupan dalam bernegara dan berbangsa maka aepatutnya konstitusi dibuat atas

dasar kesepakatan bersama antara negra dan warga Negara . Kontitusi merupakan bagian dan

terciptanya kehidupan yang demokratis bagi seluruh warga Negara. Jika Negara yang memilih

demokrasi, maka konstitusi demokratis merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya

demokrasi dinegara tersebut. Setiap konstitusi yang digolongkan sebagai konstitusi demokratis

haruslah memiliki prinsip-prinsip dasar demokrasi itu sendiri.

LEMBAGA NEGARA PASCA AMANDEMEN

Sebagai kelembagaan Negara, MPR RI tidak lagi diberikan sebutan sebagai lembaga tertinggi

Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga, seperti juga DPR, Presiden, BPK dan

MA. Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan

bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar

sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana kedaulatan rakyat. Juga

susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan Dewan

Perakilan Daerah (DPD), yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.

Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara juga mengalami

perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga Negara yang dihapus

maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, Badan

Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman

yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi

Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan

Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya diatur tersendiri

diluar kesemuanya/dan sejajar.

Tugas dan kewenagan MPR RI sesudah perubahan, menurut pasal 3 UUD 1945 ( perubahan

Ketiga ).

a. Majelis Permusyawaran Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD

b. Majelis Permusyawaran Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

c. Majelis Permusyawaran Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil

Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar ( impeachment ).

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat

dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation

of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden,

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah

Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

* Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan

kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi

manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.

(9)

kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.

* Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.

* Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara

baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.

* Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara

disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

Tugas Lembaga Tinggi Negara sesudah amandemen ke – 4 :

A. MPR

· Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti

Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.

· Menghilangkan supremasi kewenangannya.

· Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.

· Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung

melalui pemilu).

· Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.

· Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.

B. DPR

· Posisi dan kewenangannya diperkuat.

· Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR

hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.

· Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.

· Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan

sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

C. DPD

· Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam

badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan

yang diangkat sebagai anggota MPR.

· Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.

· Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.

· Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi

daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

D. BPK

· Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.

· Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan daerah

(APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh

aparat penegak hukum.

· Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.

(10)

E. PRESIDEN

· Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan

pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan

presidensial.

· Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.

· Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.

· Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.

· Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.

· Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi

dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden

dalam masa jabatannya.

F. MAHKAMAH AGUNG

· Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang

menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].

· Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah

Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.

· Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan

Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara

(PTUN).

· Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam

Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

G. MAHKAMAH KONSTITUSI

· Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the

constitution).

· Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar

lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan

memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau

wakil presiden menurut UUD.

· Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung,

DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3

cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

H. KOMISI YUDISIAL

· Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan moralitas dan kode etik para

Hakim.

TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN

menurut Undang Undang No. 10 tahun 2004 jenis dan tata urutan/susunan (hirarki)

peraturan perundang-undangan sekarang adalah sebagai berikut :

1. UUD-RI tahun 1945

2. Undang-undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu);

(11)

4. Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan lembaga negara atau organ/badan negara yang

dianggap sederajat dengan Presiden antara lain : Peraturan Kepala BPK, Peraturan Bank

Indonesia, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Peraturan Mahkamah Agung,

Peraturan Mahkamah Konstitusi, Peraturan Komisi Yudisial,

5. Peraturan Daerah Propinsi;

6. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;

7. Peraturan Desa (Perdesa).

Sumber: http://topihukum.blogspot.com/2014/02/sejarah-dan-perkembangan-konstitusi-di.html

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php? page=web.Berita&id=11776#.WZZgHY69h3w

PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA

Filed under: Hukum — Tinggalkan komentar

Juni 24, 2011

PERKEMBANGAN KONSTITUSI

DI INDONESIA

A. PENDAHULUAN

Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita

sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan perkataan bahasa

Latin ‘constitutio’ yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’. Dalam kedua percatan ‘politeia’ dan

‘constitutio’ itulah awal mula gagasan konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia

beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut

dibandingkan, dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata ‘politeia’ yang berasal

dari kebudayaan Yunani

[1]

.

Pengertian konstitusi di zaman yunani kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk

seperti yang dimenegrti zaman modern sekarang ini. Namun perbedaan antara konstitusi dengan

hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan oleh aristoteles terhadap

pengertian politea dan nomoi. Politea dapat disepadankan dengan pengertian konstitusi,

(12)

Konstitusi berasal dari kata kerja “contituer” (Francis) yang berarti ‘membentuk’, yang dibentuk

adalah negara. Dengan demikian dapat dikatakan membentuk suatu negara, menyusun dan

menyatakan suatu Negara. Dalam bahasa latin kata konstitusi merupakan gabungan dua kata,

yaitu ‘cume’ dan ‘statuere’. Cume adalah sebuah preposisi yang berarti “bersama dengan”, dan

statuere berasal dari kata “sta” yang membentuk kata kerja ‘stare” yang berarti “berdiri”. Atas

dasar itu kata statuere mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau

mendirikan/menetapkan”. Dengan demikian constitutio (bentuk tunggal) berarti menetapkan

sesuatu secara bersama-sama, dan “constitutiones” (bentuk jamak) berarti segala sesuatu yang

telah ditetapkan.

Dalam kebudayaan Yunani istilah konstitusi berhubungan erat dengan sebutan ”respublica

constituere” yang melahirkan semboyan “prinsep legibus solutus est, salus publica suprema

lex”, (rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah satu-satunya

pembuat undang-undang). Konstitusi dalam kepustakaan belanda dipergunakan istilah

“grondwet” (wet= undang-undang, grond = dasar), yaitu berarti suatu undang-undang yang

menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi

Undang-Undang Dasar

[2]

.

Konstitusi sebagai hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara

dapat berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi terstulis, hampir

semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut undang-undang dasar (UUD) yang pada

umumnya mengatur mengenai pembentukan, pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai

lembaga kenegaraan serta perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai

negara yang tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara ini,

aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi manusia

terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen, baik dokumen yang relatif

baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna Charta yang berasal dari tahun 1215 yang

memuat jaminan hak-hak azasi manusia rakyat Inggris.Karena ketentuan mengenai kenegaraan

itu tersebar dalam berbagai dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah

maka Inggris masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.

Adanya negara yang dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi

tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga

diakui sebagai hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang luas.

Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta nilai-nilai dan norma

hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi ketatanegaraan dalam praktek

penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar

(droit constitusionnel) suatu Negara

[3]

.

(13)

bersama dan penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan

nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.

Suatu konstitusi tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945),

nilai-nilai dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan negara turut

mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang Dasar. Karena itu,

suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar belakang filosofis, sosiologis,

politis, dan historis perumusan juridis suatu ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami

dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam

pasal-pasal Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk

sungguh-sungguh mengerti, kita harus memahami konteks filosois, historis politis,

sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di samping itu, setiap

kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi kehidupan yang membentuk dan

mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of reference) dan medan pengalaman (ield of

experience) dengan muatan kepentingan yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap

suatu ketentuan Undang-Undang Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari.

Karena itu, penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada masa

yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat dipertanggungjawabkan dengan

sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak menjadi alat kekuasaan yang ditentukan

secara sepihak oleh pihak manapun juga. Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan

naskah Undang-Undang Dasar, diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang

mendasari setiap perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara

langsung atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan

Pembukaan Undang-Undang Dasar

[4]

.

B. UNDANG-UNDANG DASAR 1945

UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam sidang

Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari setelah

kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta

pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan

bentukan pemerintahbalatentara Jepang yang diberi nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang

dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara

Jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan

parlemen (Diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia

[5]

. Namun, setelah

pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai

dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar

sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia merdeka.

(14)

kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus

pembicaraan dalam sidang-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan

pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama,

pembicaraan tertuju pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan

dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk

negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari tanggal 10 Juli

sampai dengan 17 Agustus 1945

[7]

.

Dalam masa persidangan kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas

19 orang, diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai oleh

Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R. Soekardjo, A.A.

Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil

berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan

Undang-Undang Dasar pada tanggal 16 Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan

tugasnya, Pemerintah Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(PPKI) yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta,

masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.

Setelah mendengarkan laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan

Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota masih

ingin mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang telah dihasilkan,

tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan UUD itu secara resmi disahkan menjadi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun demikian, setelah resmi disahkan pada

tanggal 18 Agustus 1945.

UUD 1945 ini tidak langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan

kenegaraan dan pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk

sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD 1945

memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno sendiri

merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang memang harus diganti

dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan keadaan sudah memungkinkan. Hal

ini dicantumkan pula dengan tegas dalam ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945

yang berbunyi:

“Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang

untuk menetapkan Undang-Undang Dasar”.

Adanya ketentuan Pasal III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara

Republik Indonesia yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara

resmi. Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada

berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD Negara

Republik Indonesia.

(15)

Setelah Perang Dunia Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan

kekalahan di pihak Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air

Indonesia dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun,

usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah karena

mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia. Karena itu,

Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara mendirikan dan mensponsori

berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara, seperti Negara Sumatera,

Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan, Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan

kekuasaan negara-negara yang terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik

Indonesia di bawah kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh

Pemerintah Belanda.

Sejalan dengan hal itu, Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada

tahun1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas

pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan tanggal 2

November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table Conference) di Den Haag.

Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal

Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk

Indonesia.

Konperensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:

1. Mendirikan Negara Republik Indonesia Serikat.

2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan

dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c) persetujuan perpindahan.

3. Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda

Naskah konstitusi Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia

dan delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia yang

dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat dalam

mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu disepakati bersama

oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai Undang-Undang Dasar RIS. Naskah

Undang- Undang Dasar yang kemudian dikenal dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan

kepada Komite Nasional Pusat sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan

kemudian resma mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14

Desember 1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember

1949.

(16)

UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal ketatanegaraan

Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya Konstitusi RIS, yaitu

tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi diberlakukan.

Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun

1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari

bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif. Karena itu,

dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa Konstituante bersama-sama

dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari

ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den

Haag itu hanyalah bersifat sementara saja.

D. UNDANG-UNDANG DASAR SEMENTARA 1950

Bentuk negara federal nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan

dengan kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara federal

mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk diterapkan di Indonesia,

tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan Belanda itu maka ide feodalisme menjadi

tidak populer. Apalagi, sebagai negara yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang

membutuhkan tahap-tahap konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk

negara kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara federal.

Karena itu, bentuk negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi

kekuasaan itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia, Negara

Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi satu wilayah

Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia Serikat menjadi

berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara Pemerintah Republik Indonesia

Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk kembali bersatu mendirikan negara kesatuan

Republik Indonesia. Kesepakatan itu dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada

tanggal 19 Mei 1950, yang pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai

kelanjutan dari negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam rangka persiapan ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah

Undang-Undang Dasar, dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah

selesai, rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja

Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya, naskah UUD baru

ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus, 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU

No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanyamencerminkan

perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan

naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar

Sementara Tahun 1950.

(17)

Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi, berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak

sempat membentuk Konstituante sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950

telah dilaksanakan sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada

bulan Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan

berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal.

Pertama

berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950;

Kedua

berisi ketentuan

mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu

menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Atas dasar UU inilah diadakan

Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota

Bandung pada tanggal 10 November 1956.

Majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk

menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa

Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5 Juli 1959 yang

memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya.

Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang dipertahankannya di negeri Belanda,

Konstituante ketika itu sedang reses, dan karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga

dijadikan alasan oleh Presiden untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah

ketatanegaraan Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5

Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah memberlakukan kembali

UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan

sekarang.

Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya

Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum

yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko Soetono

memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden yang diberi baju

hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip ‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh.

Kusnardi dan Harmaily Ibrahim

[8]

, prinsip ‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan

pendapat yang dijadikan landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde

Baru untuk menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja

menggambarkan pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah

masa Orde Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan

konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut dengan

asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip yang sama, yaitu keadaan

darurat (staatsnoodrecht).

Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945

terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD

(18)

dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun. Itupun berakibat terjadinya stagnasi

atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan

terpenjara dalam kekuasaan yang dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak

rasional. Itulah akibat dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

E. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Perubahan UUD 1945 merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan

reformasi yang berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian Orde Baru hanya

pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem hukum dan ketatanegaraan.

Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai hasil karya manusia adalah suatu hal yang

pasti. Kelemahan dan ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno

pada rapat pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945

[9]

.

Gagasan perubahan UUD 1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa

reformasi, Presiden membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang

didalamnya terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok

tersebut menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan

mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan UUD

1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis

Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di MPR

membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:

[10]

1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945;

2. sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. sepakat untuk mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus

menyempurnakan agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);

4. sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke

dalam pasal-pasal UUD 1945; dan

5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD

1945.

Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda

Sidang Tahunan MPR

[11]

dari tahun 1999 hingga perubahan keempat pada Sidang Tahunan

MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas

melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan

Ketetapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.

(19)

yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang telah terjadi atas UUD

1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi konstitusi yang baru sama sekali,

meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang Dasar 1945.

Perubahan Pertama UUD 1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan

antara tanggal 12 sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan

Pertama itu tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai

tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme di sebagian

kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD 1945 bagaikan

sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan sama sekali. Perubahan Pertama

ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945, yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17

ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21. Kesembilan pasal

yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya berisi 16 ayat atau dapat

disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.

Gelombang perubahan atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan

pada tahun 2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18

Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih luas dan

lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab, yaitu Bab VI tentang

Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah

Negara, Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab

XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan

Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir

ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang mengalami perubahan

atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.

Setelah itu, agenda perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang

berhasil menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.

Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini adalah Bab I

tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Bab III

tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang

Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan

Pemeriksa Keuangan. Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat.

Dari segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas cakupan

materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian besar sangat mendasar.

Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan cenderung ditunda pembahasannya dalam

sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih

banyak muatannya, juga dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat

dikatakan Sangay mendasar pula.

(20)

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh

Dewan Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat “Perubahan tersebut

diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9

tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat

(4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi

Pasal 3 ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan

Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III

tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1);

Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24

ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1)

dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan

ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II,

dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Secara keseluruhan naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu

pasal yang dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang

mengalami perubahan, ditambah 1 butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma

pemikiran atau pokok-pokok pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945

setelah mengalami empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang

terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus

1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945 ditegaskan,

“Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan dan pasal-pasal”. Dengan demikian,

jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus 2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini

dijadikan lampiran tak terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari

naskah UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat kali

berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok pikiran yang terkandung

di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali berbeda dari apa yang tercantum dalam

Penjelasan UUD 1945 tersebut.

E. PENUTUP

(21)

Pada tahun 1949, ketika bentuk Negara Republik Indonesia diubah menjadi Negara Serikat

(Federasi), diadakan penggantian konstitusi dari Undang-Undang Dasar 1945 ke Konstitusi

Republik Indonesia Serikat Tahun 1949. Demikian pula pada tahun 1950, ketika bentuk Negara

Indonesia diubah lagi dari bentuk Negara Serikat menjadi Negara Kesatuan, Konstitusi RIS 1949

diganti dengan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950. Setelah itu, mulailah diadakan

usaha untuk menyusun Undang- Undang Dasar baru sama sekali dengan dibentuknya lembaga

Konstituante yang secara khusus ditugaskan untuk menyusun konstitusi baru. Setelah

Konstituante terbentuk, diadakanlah persidangan-persidangan yang sangat melelahkan mulai

tahun 1956 sampai tahun 1959, dengan maksud menyusun Undang-Undang Dasar yang bersifat

tetap. Akan tetapi, sejarah mencatat bahwa usaha ini gagal diselesaikan, sehingga pada tanggal 5

Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan keputusannya yang dikenal dengan sebutan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain membubarkan Konstituante dan menetapkan

berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 menjadi hukum dasar dalam Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Perubahan dari Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 ke Undang-Undang Dasar 1945

ini tidak ubahnya bagaikan tindakan penggantian Undang-Undang Dasar juga. Karena itu,

sampai dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 itu, dalam sejarah

ketatanegaraan Indonesia modern belum pernah terjadi perubahan dalam arti pembaruan

Undang-Undang Dasar, melainkan baru perubahan dalam arti pembentukan, penyusunan, dan

penggantian Undang-Undang Dasar. Sementara perubahan UUD 1945 dalam arti pembaharuan

Undang-Undang Dasar, baru terjadi pada era reformasi pada tahun 1998, yaitu setelah Presiden

Soeharto berhenti dan digantikan oleh Presiden Prof. Dr. Ir. Bacharuddin Jusuf Habibie.

UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana terakhir diubah pada tahun 1999, 2000, 2001

sampai tahun 2002 merupakan satu kesatuan rangkaian perumusan hukum dasar Indonesia di

masa depan dalam satu naskah Undang-Undang Dasar yang mencakupi keseluruhan Hukum

Dasar yang sistematis dan terpadu secara lebih utuh. Semula materi muatan naskah asli UUD

1945 berisi 71 butir ketentuan, setelah perubahan menjadi 199 butir ketentuan yang isinya

mencakup dasar-dasar normative yang berfungsi sebagai sarana pengendali (tool of social and

political control) terhadap penyimpangan dan penyelewengan dalam dinamika perkembangan

zaman dan sekaligus sarana pembaruan masyarakat (tool of social and political reform) serta

sarana perekayasaan (tool of social and political engineering) ke arah cita-cita kolektif bangsa.

(22)

Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 yang merupakan

kesepakatan pertama penyangga konstitusionalisme. Dengan tidak diubahnya Pembukaan UUD

1945, maka tidak berubah pula kedudukan Pancasila sebagai dasar-dasar filosofis bangunan

Negara Republik Indonesia. Yang berubah adalah sistem dan institusi untuk mewujudkan

cita-cita berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini sesuai dengan makna Pancasila sebagai ideologi

terbuka yang hanya dapat dijalankan dalam sistem yang demokratis dan bersentuhan dengan

nilai-nilai dan perkembangan masyarakat.

[1]

Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005,

hal.1

[2]

Mirza Nasution, Negara dan Kostitusi, Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara : USU

Digital Library, Medan, 2004, hal. 2.

[3]

Jimly Asshidiqie, op.cit., hal.29

[4]

Jimly Asshidiqie, op. cit., Hal 29-30

[5]

A.G. Pringgodigdo, “Sejarah Pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”,

majalah Hukum dan Masyarakat, Tahun III No.2, Mei 1958, hal. 3-26.

[6]

Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan

Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22

Agustus 1945, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hal. xxv.

[7]

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi

Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1983, hal. 88.

[8]

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op. cit., hal. 96-97.

[9]

Jimly Asshidiqie, Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum

Masional, Kontsitusi Pres, Jakarta, 2005, hal. 5

[10]

Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR No. IX/MPR/1999 tentang

Penugasan Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk

Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

[11]

Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa reformasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50

Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan

Rakyat Republik Indonesia.

(23)

KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

KONSTITUSI YANG PERNAH BERLAKU DI INDONESIA

1. UUD 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)

1. Menurut bentuknya Konstitusi pertama Indonesia (UUD 1945) adalah

konstitusi tertulis, karena UUD 1945 merupakan hukum dasar Negara

Indonesia pada waktu itu yang dituangkan dalam suatu dokumen yang formal. Di pertegas dalam Risalah Sidang Tahunan MPR Tahun 2002,

diterbitkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Dalam Satu Naskah, Sebagai Naskah Perbantuan dan Kompilasi Tanpa Ada Opini. Bukti bahwa UUD 1945 adalah konstitusi tertulis yaitu bahwa pada naskah Piagam Jakarta menjadi naskah Pembukaan UUD 1945 yang disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pengesahan UUD 1945 dikukuhkan oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bersidang pada tanggal 29 Agustus 1945. Naskah

rancangan UUD 1945 Indonesia disusun pada masa Sidang Kedua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Konstusi ini di tuangkan dalam satu dokumen saja tanpa ada dokumen lainnya yang juga merupakan konstitusi seperti yang ada di Negara Denmark( 2 dokumen) dan Swedia (4 dokumen).

2. Menurut sifatnya UUD 1945 termasuk konstitusi yang Rigid (kaku) karena

UUD 1945 hanya dapat diubah dengan cara tertentu secara khusus dan istimewa tidak seperti mengubah peraturan perundangan biasa. Hal ini

dijelaskan dalam BAB XVI PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR pasal 37 ayat 1” Untuk mengubah UUD sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota MPR harus hadir” dan pasal 2 “Putusan Diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah anggota yang hadir”.

(24)

1. Menurut bentuk Negara, konstitusi (UUD 1945) mejelaskan bahwa bentuk Negara Indonesia adalan Negara kesatuan. Buktinya terdapat pada BAB I BENTUK DAN KEDAULATAN pasal 1 ayat 1 “ Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan, yang berbentuk Republik”.

2. Menurut system pemerintahan yang dianut, Indonesia menganut sistem

pemerintahan Presidensial. Salah satu ciri sistem pemerintahan Presidensial adalah”Dalam melakukan kewajibannya Presiden di bantu oleh satu orang wakil presiden” (Pasal 4 Ayat 2 UUD’45).

1. 2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat.(27 Desember 1949-17

Agustus 1950)

1. a. Menurut bentuknya Kosntitusi RIS merupakan kostitusi tertulis karena

dituangkan dalam suatu dokumen. Konstitusi RIS ini terbentuk atas usulan dari PBB, dengan mempertemukan wakil-wakil dari Indonesia dengan Belanda , maka terbentuklah suatu persetujuan dan persetujuan tersebut dituangkan dalam sebuah dokumen pada tanggal 27 Desember 1949, maka terbentuklah konstitusi RIS.

2. Menurut sifatnya Konstitusi RIS merupakan konstitusi rigid karena

mempersyaratkan prosedur khusus untuk perubahan atau amandemennya. Tertuang dalam BAB VI Perubahan, ketentuan-ketentuan peralihan dan

ketentuan-ketentuan penutup bagian satu perubahan, pasal 190 ayat (1), (2), pasal 191 Ayat (1), (2), (3), bagian dua ketentuan-ketentuan peralihan pasal 192 Ayat (1), (2), pasal 193 Ayat (1),(2).

3. Menurut kedudukannya konstitusi RIS merupakan konstitusi derajat tinggi

karena persyaratan untuk mengubah lebih berat jika dibandingkan merubah peraturan perundangan yang lain.

4. Menurut bentuk negara konstitusi RIS serikat/federal karena negara didalamnya terdiri dari negara-negara bagian yang masing masing negara bagian memiliki kedaulatan sendiri untuk mengurus urusan dalam

negerinya.Terdapat BAB I negara Republik Indonesia Serikat bagian I bentuk negara dan kedaulatan pasal 1, Ayat (1).

5. Menurut bentuk pemerintahannya konstitusi RIS, berbentuk parlementer

karena kepala negara dan kepala pemerintahan,di jabat oleh orang yang berbeda. Kepala negaranya adalah presiden, dan kepala pemerintahannya perdana menteri. Terdapat pada pasal 69 ayat 1, pasal 72 ayat 1.

1. 3. UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959).

1. Menurut bentuknya UUDS’50 merupakan konstitusi tertulis karena

dituangkan dalam suatu dokumen yang formal. Dimana dengan berlakunya UUDS 1950 maka konstitusi RIS tidak berlaku.

2. Menurut sifatnya UUDS’50 merupakan konstitusi rigid karena dalam

(25)

seperti merubah peraturan perundang-undangan biasa. Diatur dalam pasal 140 UUDS 1950 ayat 1-4.

3. Menurut kedudukannya UUDS’50 merupakan konstitusi derajat tinggi karena

persyaratan merubahnya tidak semudah peraturan perundangan biasa. Dan kedudukan UUDS ’50 merupakan peraturan tertinggi dalam perundang-undangan diatas UU dan UU Darurat.

4. Menurut bentuk negara UUDS’50, Indonesia berbentuk kesatuan karena pada

asasnya seluruh kekuasaan dalam negara berada ditangan pemerintah pusat.

5. Menurut sistem pemerintahannya UUDS’50, Indonesia menganut sistem

pemerintahan parlementer dimana kepala negara dijabat oleh seorang presiden dan kepala pemerintah di jabat oleh perdana mentri.

1. 4. UUD’45 setelah amandemen I-IV

1. Menurut bentuknya UUD ’45 amandemen termasuk konstitusi tertulis karena

dituangkan dalam satu bentuk dokumen formal.

2. Menurut sifatnya UUD ’45 merupakan konstitusi rigid karena dalam

perbahannya memperhatikan syarat-syarat tertentu seperti tertera dalam pasal 37 ayat 1-5 UUD ’45, bahwa pengajuan perubahan minimal dilakuakan oleh 1/3 dari anggota MPR, dan dalam sidangnya dihadiri oleh 2/3 dari anggota MPR, dan putusan disetujui oleh lima puluh persen ditambah satu dari seluruh jumlah anggota MPR, dan syarat lain adalah dalam ayat 5 bahwa “Khusus mengenai bentuk negara kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan”.

3. Menurut kedudukannya UUD ’45 termasuk konstitusi derajat tinggi karena

UUD ’45 berkedudukan sebagai hukum dasar dan pedoman pembentukan peraturan perundangan yang lain. Sehingga terdapat hierarki perundangan sebagai konsekuensinya, di atur dalam UU No 10 tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundangan.

4. Menurut bentuk negara UUD ’45, Indonesia menganut konstitusi dalam

negara kesatuan. Merujuk pada pasal 1 ayat 1 yang berbunyi “ Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”.

5. Menurut sistem pemerintahannya, konstitusi yang dianut adalah konstitusi

(26)

Sifatnya Rigid Rigid Rigid Rigid Kedudukan Derajat Tinggi DerajatTinggi Derajat

Tinggi

Derajat Tinggi

Bentuk pemerintaha n

Kesatuan Serikat/Federal Kesatuan Kesatuan

Sistem pemerintaha n

Presidensial Parlementer Parlementer Presidensial

PROSES PENYUSUNAN KONSTITUSI DI INDONESIA

A. Pengetian dan Hakekat Kontitusi

Konstitusi dapat diartikan dalam 2 pengertian

Dalam arti luas

Konstutusi diartikan sebagai keseluruhan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana suatu

pemerintahan diselenggarakan dalam suatu negara atau masyrakat. (Sunarso,dkk.2008:128)

Dalam arti sempit

Konstitusi hanya diartikan sebagai hukum atau peraturan -peraturan yang tertulis saja. Di indonesia lazimnya hanya disebut sebagai UUD saja. Dalam penjelasan UUD 1945 disebutkan bahwa : “undang-undang suatau negara ialah hanya sebagian dari hukum dasar negara itu. Unda-undang adalh hak yang tertulis sedang disampingnya UUD hanya berlaku jika hanya dasar yang tidak tertulis yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tudak tertulis”. (Sunarso,dkk.2008:129).

Menurt AA.H Stryckendalam Soetanto Soepiadhy (2004): ia menyebutkan bahwa UUD sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:

(27)

2. Tingkat-tingakat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.

3. Pandangan tokoh-tokoh yang diwujudkan baik untuk tahun sekarang untuk masa yang akan datang.

4. Suatu keinginan dimana pelembagaan kehidupan ketatanegaran bangsa

hendak dipimpin. (Soetanto Soepiadhy.2004:90.91).

Hakekat duatu konstitusi adalah mengatur pembatasan kekuasaan dalam negara. Pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi itu pada umumnya menyangkut 2 hal, yaitu pembatasan :

1. Yang berkaitan dengan isinya. Masudnya pembatasan yang bekenaan dengan

tugas,wewenang serta bebagai macam hak yang diberikan pada masing-masing lembaga.

2. Yang berkaitan dengan waktu. Maksudnya pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan masa jabatan pemangku jabatan tertinggi sertan barapa kali seorang pejabat dapat dipilih kembali dalam jabatan itu. (Soetanto

Soepiadhy,2004:69-70. ).

B. Pengertian Amandemen dan perubahan konstitusi

Dalam bahasa inggris. To amend yang berarti mengubah. Dari kata to amend ini timbul istilah amandemen. Dalam kaitannya dengan “mengubah konstitusi atau UUD” dikemukakan kalimat yang berbunyi “to amend constitution”. Sedangkan perubahan UUD adalah “constitutional amandement”. Dengan demikian yang dimaksud amandemen ialah:

1. Menjadikan lain bunyi atau rumusan yang terdapat konstitusi atau UUD

2. Mebnambahkan sesuatu yang tidak atau belum terdapat dalam konstitusi atau

UUD

3. Yang tercantum dalam konstitusi karena faktor-faktor tertinggidilaksanakan

berbeda.

Jadi, mengamandemen UUD adalah mengubah UUD (Soetanto Soepiadhy. 2004:74-75)

Setidaknya dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi ada 4 hal yang berkenaan dengan perubahan konstitusi pada umumnya dan UUD 1945 khususnya keempat hal tersebut ialah:

1. Proses atau prosedur mekanisme

2. Sistem perubahannya

(28)

4. Matri muatan atau subtansi yang akan diubah. (Soetanto Soepiadhy. 2004:84-85).

C. Sifat Undang-Undang dasar negara republik indonesia 1945 yang berlaku pada kurun waktu pertama

Undang-undang dasar negara republik indonesia 1945 yang disyahkan serta ditetapkan oleh panitia persiapan kemerdekaan indonesia pada tanggal 18 agustus 1945, yang naskah rancangannya dipersiapakan oleh badan penyelidak usaha-usaha persiapan kemerdekaan indonesia, masih besifat sementara. Sifat kesementaraan ini ternyata dari ketentuan pasal 3 kalimat pertama undang-undang dasar 1945 itu sendiri yang menentukan: majelis permusyawaratan rakyat menetapkan undang-undang dasar.

Kecuali itu sifat kesementaraan undang-undang dasar 1945 tersebut juga dapat diketahui dari ketenmtuan aturan tambahan ayat kedua undang-undang 1945 yang menentukan dalam enam bulan sesudah majelis permusyawaratan rakyat dibentuk, majelis itu bersidang untuk menetpkan undang-undang dasar.

Tetapi selama berlakunya undang-undang dasar 1945 dalam kurun waktu yang pertama yaitu dari tanggal 18 agustus 1945 sampai tanggal 27 desember1949 majelis permusyawartan tersebut belum pernah dibentuk.

Menurut ketentuan pasal 2 ayat 1 undang-undang dasar 1945 majelis permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota-anggota dewan perwakilan rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan – golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Jadi untuk terbentuknya majelis permusyawaratan rakyat harus diselenggarakan terlebih dahulu pemilihan umum untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat. Sedangkan untuk dapat melaksanakan pemilihan umum harus ada undang-undang tentang pemilihan terlebih dahulu. Undang-undang-undang belum ada karena badan pembentuknya, yaitu presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat,dewan [erwakilan rakyat belum terbentuk.

Bahwa majerlis permusyawaratan rakyat anggota-anggotanya terdiri atas dewan perwakilan rakyat ditambah utusan dari daerahdan golongan

maksudnya ialah supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah akan mempunyai wakil dalam majelis permusyawaratan rakyat, sehingga majelis itu akan betul-betul dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat

Gambar

TABEL KESIMPULAN

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu motif batik yang menarik untuk di sorot adalah batik pekalongan karena memiliki ciri khas tersendiri dari segi motif dan warna.Serta kurangnya pengetahuan remaja

Peserta adalah siswa/i SMP/MTs/sederajat dan SMA/MA/sederajat dengan status pelajar pada sekolah yang sama.. Peserta lomba

Keterbatasann yang dimiliki oleh internet banking tersebut membuat pihak penyedia jasa layanan harus mempu untuk terus mengevaluasi kualitas layanan yang

The objectives of the research were: 1) This research was conducted in order to find how effective was the improvement of students‟ reading comprehansion when using SQ3R

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan kemudahan dalam penerapan metoda down-tilting antenna karena dilakukan secara jarak jauh, mengurangi kebutuhan banyak

Konsep keterjangkauan (aksesibilitas) Konsep keterjangkauan berkaitan dengan keadaan/kondisi permukaan bumi dan ketersediaan sarana serta prasarana angkutan atau komunikasi

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan antara Bioavailabilitas intake Zat Besi dengan Status Anemia Remaja di Yogyakarta dan Padang adalah benar karya

NO PROGRAM AKUN URAIAN PAGU