• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

2.3 DIABETES MELITUS

2.4.2 Sel Beta Pankreas

Berdasarkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan Belfast Diabetes Study, pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan fungsi sel beta pankreas telah menurun sekitar 50 – 60% dan penurunan ini diperkirakan telah terjadi 10 – 12 tahun sebelum muncul kondisi hiperglikemia. Dari kedua penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada hiperglikemia yang tidak disertai dengan disfungsi sel beta pankreas (Popa dan Mota, 2013)

34

Kerusakan sel beta akibat keadaan hiperglikemia terjadi secara bertahap di mana awalnya sel beta mengalami desensitisasi akibat hiperglikemia berulang, lalu terjadi penurunan fungsi apabila keadaaan tersebut berlanjut akibat beta cell exhaustion. Keadaan ini akan terus berlanjut menjadi kerusakan dan apoptosis sel beta yang tidak reversibel (Shoelson dkk., 2006)

Perubahan histopatologis pulau Langerhans pada keadaan diabetes dapat terjadi secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif yang dapat diamati adalah pengurangan jumlah dan ukuran pada pulau Langerhans, sementara perubahan kualitatif dapat berupa terjadinya nekrosis, degenerasi, ataupun amyloidosis (Suarsana dkk., 2010).

Gambaran histopatologis pankreas yang mungkin didapati pada keadaan diabetes adalah struktur pulau Langerhans yang ireguler akibat adanya hiperplasia atau hipertrofi yang mendahului disertai infiltrasi oleh sel inflamasi. Pada keadaan diabetes yang semakin lanjut didapatkan replikasi sel beta yang menurun dan apoptosis sel beta yang meningkat (Finegood dkk., 2001).

Pemeriksaan histopatologi sel beta pankreas memberikan gambaran mengenai kelainan yang terjadi akibat kondisi hiperglikemia, bahkan sebelum diagnosis diabetes melitus ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi dapat memberikan gambaran kelainan yang terjadi pada tingkat mikroskopik. Pemeriksaan histopatologi pada sel beta dapat menggunakan metode kuantitatif ataupun semi-kuantitatif (Paulsen dkk., 2010).

Metode pemeriksaan kuantitatif mendasarkan pemeriksaan pada jumlah sel beta serta ukuran sel beta yang dapat dinilai dari masa sel beta pankreas.

35

Sementara metode pemeriksaan semi-kuantitatif menggabungkan pemeriksaan jumlah sel beta dengan intensitas kekuatan dari sel yang dinilai berdasarkan hasil pewarnaan yang dilakukan. Terdapat beberapa cara perhitungan semi-kuantitatif, salah satunya adalah HSCORE dan Allred Score.

Pada HSCORE, intensitas sel beta pankreas dinilai dengan intensity score (IS) yang merupakan sistem skoring dengan empat poin yaitu (0) untuk tidak ada, (1) untuk intensitas lemah, (2) untuk intensitas sedang , dan (3) untuk intensitas kuat. Perhitungan sel beta dilakukan dengan menjumlahkan sel beta sesuai dengan nilai skornya. Jumlah sel beta untuk masing-masing kelompok intensitasnya dikalikan dengan skornya kemudian dijumlahkan sehingga didapatkan nilai HSCORE (Choudhury dkk., 2009).

Pada Allred Score, digunakan dua penilaian yaitu proportion score (PS) dan intensity score (IS). Proportion score (PS) menggunakan sistem skoring dengan enam poin, mulai dari (0) sampai dengan (5) di mana (0) tidak ada sel yang terwarnai, (1) adalah sebanyak 1% sel terwarnai, (2) adalah sebanyak 10% sel terwarnai, (3) adalah sebanyak 30% sel terwarnai, (4) adalah sebanyak 60% sel terwarnai, dan (5) adalah sebanyak 100% sel terwarnai. Intensity score (IS) pada Allred Score menggunakan sistem skoring yang sama dengan HSCORE di mana dinilai kekuatan pewarnaan pada lapangan pandang yang dinilai, dengan nilai skor berkisar dari (0) sampai dengan (3). Nilai Allred Score didapatkan dari kombinasi PS dan IS, dengan skor maksimal sebesar 8 (Allred dkk., 1998)

36

Gambar 2.5

Allred Scoring Guidelines

Seperti yang disimpulkan dalam penelitian Belfast Diabetes Study, kerusakan sel beta pankreas sudah terjadi sebelum ada gejala klinis seperti hiperglikemia. Kerusakan sel beta pankreas ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme utama yaitu :

1. Glukotoksisitas

Keadaan hiperglikemia dapat menginduksi gen TRIB3 yang terlibat dalam jalur sinyal apoptosis sel beta pankreas (Qian dkk., 2008). Hiperglikemia dapat menghambat proses transkripsi mRNA insulin dan menurunkan laju translasi protein proinsulin (Zhang dkk., 2009). Metabolisme dari glukosa akan menyebabkan pembentukan ROS, sementara enzim katalase dan superoksida dismutase yang terdapat dalam sel beta hanya sedikit. ROS yang tidak diubah kemudian

37

mengaktifkan NF-xB, yaitu suatu jalur proapoptotik (Stumvold dkk., 2008).

2. Lipotoksisitas

Keadaan hiperglikemia menghambat oksidasi beta asam lemak sehingga terjadi penumpukan kompleks asam lemak rantai panjang (LC-KoA) yang akan mengganggu aktivitas pompa K+. Gangguan ini pada akhirnya akan menghambat pembentukan ATP (Stumvold dkk., 2008). Penumpukan asam lemak bebas juga merangsang sintesis seramida dan pembentukan oksida nitrit (NO). Seramida menghambat ekspresi gen insulin dan akan mengakibatkan terjadinya apoptosis. 3. Penumpukan amiloid

Amiloid polipeptida atau amilin merupakan senyawa yang normalnya terdapat di dalam granul insulin dan ikut disekresikan bersama insulin. Amilin bersifat sitotoksik dengan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel beta dan membentuk agregasi intrasel.

Gambar 2.6

38

2.4.3 Insulin

Insulin merupakan hormon polipeptida yang mengatur metabolisme karbohidrat. Struktur molekul insulin berupa dua rantai polipeptida yaitu rantai A (acidic) yang mengandung 21 asam amino dengan glysine sebagai N-terminal dan rantai B (basic) yang mengandung 30 asam amino dengan phenylalanine sebagai N-terminal (Turner dkk., 1969).

Pembentukan insulin dimulai saat adanya rangsangan glukosa pada ribosom retikulum endoplasmik sehingga terjadi translasi dan transkripsi mRNA menjadi proinsulin. Bentuk ini kemudian akan ditransfer ke dalam badan Golgi dan mengambil bentuk granul yang pucat, disebut sebagai beta granul yang belum matang. Beta granul ini akan dilepaskan ke sitoplasma dan insulin di dalam beta granul akan ditranspor dalam bentuk kristal apabila dibutuhkan.

Insulin merupakan hormon anabolik yang bekerja pada metabolisme glukosa, lemak, dan protein serta bertujuan untuk menjaga kestabilan kadar gula darah dalam tubuh. Target sel dari insulin meliputi hampir sebagian besar jaringan, namun yang utama adalah hati, sel lemak, dan otot (Sherwood, 2001).

Insulin berperan dalam transpor glukosa ke dalam sel dengan bekerja secara langsung, berikatan dengan reseptor yang ada di membran sel tersebut. Ikatan insulin dengan reseptornya akan mengakibatkan dapat terjadi pengambilan glukosa oleh sel. Insulin juga bekerja dengan merangsang glikogenesis, yaitu pembentukan glikogen dari glukosa dan menghambat glikogenolisis, yaitu pemecahan glikogen menjadi glukosa. Melalui kedua mekanisme tersebut, insulin meningkatkan penyimpanan cadangan karbohidrat. Selain itu, insulin juga

39

menghambat glukoneogenesis di hati, yaitu pembentukan glukosa dari asam-asam amino dan menghambat lipolisis di jaringan lemak.

Gambar 2.7

Mekanisme kerja Insulin (Powers, 2008)

2.5TESTOSTERON

Testosteron merupakan hormon steroid yang termasuk dalam kelompok hormon androgen. Pada mamalia, hormon testosteron disekresikan secara utama oleh testis pada hewan jantan dan ovarium pada hewan betina, serta sebagian kecil disekresikan oleh kelenjar adrenal. Hormon testosteron merupakan hormon seks utama pada hewan jantan dan merupakan steroid anabolik. Pada umumnya tubuh pria akan memproduksi hormon testosteron 40-60 kali lebih banyak daripada wanita.

40

Hormon testosteron dalam tubuh juga memiliki bentuk lain yaitu sebagai dehidrotestosteron dan androstenedion, yang merupakan bentuk androgen lemah. Baik dalam testis maupun kelenjar adrenal, hormon androgen dapat dibentuk dari kolesterol ataupun langsung dari asetil koenzim A (Guyton dan Hall, 2001).

Dokumen terkait