• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self-efficacy merupakan sebuah ekspektasi dalam diri manusia yang menentukan seberapa banyak usaha dan seberapa lama seseorang akan berusaha bertahan dalam menghadapi permasalahan dan pengalaman yang tidak menyenangkan (Bandura, 1997) dalam Pudjiastuti (2012) . Menurut Ghufron dan Risnawita (2011 : 73) efikasi diri adalah:

“ Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau self-knowledge yang paling berpengaruh pada kehidupan manusia sehari-hari.Hal ini disebabkan efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk didalamnya perkiraan berbagai kejadian yang akan dihadapi.”

Efikasi diri secara umum memiliki hubungan dengan harga diri (self-esteem) karena keduanya merupakan aspek dari penilaian diri yang berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan seseorang. Menurut Bandura (1997) dalam Ghufron dan Risnawita (2011 : 75) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan hasil dari

suatu proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau pengharapan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas, atau sebuah tindakan tertentu yang dibutuhkan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri memimpin kita untuk menentukan cita-cita yang menantang dan tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan.

Menurut definisi tersebut, efikasi diri dalam kaitannya dengan bidang akademik dapat dipahami sebagai keyakinan seseorang terhadap keamampuan dirinya untuk mengerjakan sesuatu. Orang yang memiliki efikasi diri tinggi, berarti ia memiliki keyakinan diri yang tinggi bahwa ia dapat meyelesaikan tugasnya dengan baik. Sebaliknya, seseorang yang memiliki self-efficacy rendah akan cenderung merasa kurang percaya diri dan mempresepsikan bahwa kemampuan yang dimiliki belum tentu dapat membuat mereka lulus atau berhasil dalam ujian.

Bandura (1997) dalam Ghufron dan Risnawita (2011 : 78) menjelaskan bahwa efikasi diri seseorang bersumber dari empat hal, diantaranya:

a. Pengalaman Keberhasilan (Mastery Experiences)

Pada tahap ini pengalaman yang secara langsung dialami oleh individu tersebut, baik berupa suatu keberhasilan maupun kegagalan, merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap efikasi diri seseorang. Sebagai contoh mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang kuat, ia akan cenderung untuk memotivasi dirinya dari setiap kegagalan yang pernah ia alami sebelumnya.

b. Pengalaman Orang Lain (Vicarious Experience)

Tahap kedua menjelaskan bahwa pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan tugas akan meningkatkan efikasi diri individu tersebut dalam mengerjakan tugas yang sama. Sebaliknya, jika pengamatan dilakukan kepada kegagalan orang lain, maka akan menurunkan penilaian pengamat tersebut terhadap penilaian kemampuannya dan dapat mengurangi usaha yang dilakukan.

c. Persuasi Verbal (Verbal Persuasion)

Dengan persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasihat, dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinan tentang kemampuan yang dimilikinya dalam mencapai tujuan dan keinginannya. Menurut Bandura (1997) dalam Ghufron dan Risnawita (2011) persuasi verbal tidak memberikan dampak terlalu besar dalam peningkatan efikasi diri dikarenakan ketika seseorang berada dalam kondisi menekan dan gagal terus menerus, pengaruh sugesti akan cepat lenyap jika mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan.

d. Kondisi Fisiologis (Physiological State)

Individu akan mendasarkan informasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Apabila seseorang berada pada suatu kondisi fisik yang dirasa kurang mendukung, maka hal tersebut akan menjadi suatu hambatan yang berujung akan melemahkan kinerja individu tersebut.

Selain empat sumber pembentuk efikasi diri di atas, terdapat tiga dimensi pengukuran (indikator) yang dikemukakan oleh Albert Bandura (dalam Ghufron dan Risnawita, 2011 : 78) terkait dengan self-efficacy pada diri mahasiswa, yakni:

a. Dimensi level

Pada dimensi ini menjelaskan tentang tingkat kesulitan yang nantinya akan dihadapi oleh mahasiswa. Sebagai contoh, jika mahasiswa dihadapkan pada tugas yang telah disusun menurut tingkat kesulitannya seperti mudah, sedang, dan sulit, maka efikasi diri mahasiswa tersebut akan sebatas pada tugas yang diberikan dan sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan tugas tersebut. b. Dimensi kekuatan

Dimensi kekuatan menjelaskan seberapa besar keyakinan mahasiswa untuk mampu meyelesaikan sebuah masalah. Dimensi in imemiliki keterkaitan dengan dimensi level, dimana makin tinggi level kesulitan tugas yang diberikan, maka makin lemah keyakinan mahasiswa untuk dapat menyelesaikannya.

c. Dimensi generalisasi.

Dimensi ini menjelaskan luas bidang keyakinan mahasiswa terhadap sesuatu yang dihadapi.

2.2.8 Religiusitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, religi merupakan sebuah kepercayaan kepada Tuhan, kepercyaan kepada pencipta alam semesta. Sedangkan religiusitas diartikan sebagai tingkat religi yang dimiliki manusia atau secara sederhana adalah tingkat kepercayaan manusia terhadap Tuhannya. Menurut Ghufron dan Risnawita (2011 : 167) religiusitas adalah:

“Religiusitas menunjuk pada tingkat keterikatan individu terhadap agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa individu telah menghayati dan menginternalisasikan ajaran agamanya sehingga berpengaruh dalam segala tindakan dan pandangan dalam hidupnya”.

Religiusitas diwujudkan dengan tidak hanya saat seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah saja), tetapi juga saat melakukan perbuatan baik yang didorong oleh kekuatan lahir maupun batin. Religiusitas menuntun sesesorang untuk dapat terhindar dari perbuatan yang tidak benar. Hampir semua agama mengajarkan kebaikan dalam kaitannya berperilaku. Religiusitas berpengaruh negatif terhadap kecurangan akademik (Purnamasari, 2013), hal tersbut memiliki makna bahwa seseorang yang memiliki religiusitas tinggi akan merasa takut akan Tuhannya dimana ia akan percaya adanya Karma atau balasan atas setiap perbuatan di dunia ini. Indikator pengukuran religiusitas seseorang menurut Glock dan Stark dalam Ghufron dan Risnawita (2011 : 170) dapat dilihat dari dimensi berikut:

a. Dimensi Iman (the ideological dimension). Iman diartikan sebagai suatu kepercayaan, keyakinan, dan keteguhan batin kepada terutamanya adalah Tuhan. Dimensi iman berisi tentang pengaharapan-pengharapan dimana orang religius berpegang teguh pada panangan teologis tertentu dan mengakui

kebenaran suatu doktrin. Dimensi ini mencakup keyakinan terhadap Tuhan, para nabi, kitab suci, hari akhir, dan ketetapan Tuhan.

b. Dimensi Ibadah (The ritualistic dimension) mengukur sejauh mana seseorang melakukan kewajiban ritualnya dalam agama yang dianut dan tingkat intensitas pelaksanaan ibadah misalnya shalat, pergi ke tempat ibadah, berdoa, berpuasa, dan sebagainya.

c. Dimensi Ihsan dan penghayatan (the experential dimenssion) menjelaskan mengenai pengalaman seseorang terkait tentang kehadiran Tuhan dalam kehidupan, merasa takut saat hendak melanggar laranganNya, tersentuh saat mendengar alunan kitab suci, dan sebagainya.

d. Dimensi pengetahuan agama (the intellectual dimension)

Dimensi ini berkaitan degan pengetahuan dan pemahaman seseorang terhadap ajaran agamanya. Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang beragama minimal memiliki sejumlah pengetahuan mengenai dasar keyakinannya semisal seperti yang tertuang dalam hadist, fiqih, dan kitab suci.

e. Dimensi pengamalan dan konsekuensi (the consequential dimension)

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Dimensi ini berkaitan dengan kegiatan pemeluk agama untuk merealisasikan ajaran-ajaran dan lebih mengerah ke hubungan manusiawi seperti menjalin silaturahmi, menjenguk orang sakit, dan sebagainya.

2.2.9 Pengaruh Tekanan (Pressure) Terhadap Terjadinya Kecurangan

Dokumen terkait