• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semangat kerja adalah gairah, keinginan dan hasrat yang kuat dalam bekerja. Dalam penelitian ini yang dimaksudkan sebagai semangat kerja adalah usaha kerja keras yang dilakukan petani dengan penuh perhatian untuk berhasil. Berdasarkan data pada Tabel 25 (Hal. 121), sebanyak 62,5 persen responden di Kabupaten Enrekang memiliki semangat kerja dengan kategori tinggi. Petani sayuran di Kabupaten Enrekang memiliki kondisi pertanaman yang lebih baik dan kelancaran pendistribusian hasil produksi sayuran di pasaran, serta perolehan pendapatan yang menguntungkan. Hal tersebut menjadi salah satu perangsang bagi petani dalam memelihara semangat kerja, percaya diri, keuletan dan kreatifitas. Di Kabupaten Enrekang akses pemasaran lebih lancar dan produksi usaha lebih besar membuat petani lebih bersemangat bekerja keras.

Hoselitz (Sajogyo,2002), bahwa untuk membangun suatu masyarakat yang ekonominya terbelakang harus bisa menyediakan suatu sistem perangsang yang dapat menarik aktivitas warga masyarakat. Sistem perangsang itu harus sedemikian rupa sehingga dapat memperbesar kegiatan untuk bekerja, memperbesar keinginan orang untuk menghemat dan menabung, dan memperbesar keinginan orang untuk mengambil resiko dalam hal mengubah secara revolusioner cara-cara yang lama. Hoselitz berpandangan, orang desa tidak usah ditarik atau didorong untuk bekerja keras, cara-cara dan irama bekerja itu harus diubah dan disesuaikan dengan cara-cara dan irama yang harus dipelihara dengan disiplin yang tegang, agar tenaga yang dikeluarkan dapat seirama dengan berjalannya mesin dan memberi hasil seefektif-efektifnya.

Di Kabupaten Gowa petani khususnya petani sayuran di Kecamatan Barombong dihadapkan dengan permasalahan penguasaan lahan sempit, kesulitan pengadaan perlengkapan pembenihan, harga produk usaha yang kurang stabil, permodalan, pemasaran hasil produksi dalam jumlah kecil (KecamatanTinggi Moncong) dan biaya produksi yang kurang terjangkau. Faktor-faktor eksternal tersebut merupakan rangkaian penyebab yang mendorong petani mencari kegiatan usaha tambahan untuk menambah pendapatan sebagai buruh harian dan sektor informal lainnya dalam Kota Makassar.

Berdasarkan data pada Tabel 25, sebanyak 70,9 persen responden di Kabupaten Gowa memiliki semangat kerja dengan kategori rendah. Petani mengeluhkan biaya produksi yang tinggi dan kekurang mampuan meningkatkan pendapatan yang diperoleh setiap panen. Petani merasa kurang berdaya menghadapi kondisi eksternal tersebut di mana secara psikologis akan membuat mereka merasa kecewa dengan usaha yang dimiliki.

Sehubungan dengan kondisi tersebut, Mubyarto (1995) menyatakan bahwa bila petani telah terangsang untuk membangun dan menaikkan produksi maka ia tidak boleh dikecewakan, dan jika pada suatu daerah petani telah diyakinkan akan kebaikan mutu suatu jenis bibit unggul atau oleh efektifitas penggunaan pupuk tertentu atau oleh mujarabnya obat pemberantas hama dan penyakit, maka sarana produksi yang telah didemonstrasikan itu harus benar-benar tersedia secara lokal di dekat petani di mana petani dapat membelinya. Diungkapkan, permasalahan yang sangat sederhana tersebut kadang-kadang merupakan sebab-sebab kegagalan. Petani tidak jarang menjadi jera dan serta menolak program-program pemerintah kalau berkali-kali merasa kecewa. Petani yang sudah kecewa sukar melupakan hal-hal yang seperti itu dan diperlukan beberapa tahun untuk dapat membujuk petani mendengarkan kembali petugas-petugas penyuluhan yang datang ke desa-desa. Dalam menghadapi dan memecahkan permasalahan usaha, para petani menyatakan berkeinginan keras untuk mencoba varietas baru dan saprodi yang bagus yang akan mendatangkan keuntungan, tetapi kurang mempunyai kemampuan biaya (uang tunai) untuk membelinya. Dengan kenyataan tersebut tentu akan mempengaruhi semangat kerja petani untuk berhasil.

Pengembangan Rasa Percaya Diri

Percaya diri adalah keyakinan diri untuk mampu mengembangkan, memutuskan dan memecahkan masalah usahatani sendiri. Berdasarkan data pada Tabel 25 menunjukkan bahwa dalam hal pengembangan rasa percaya diri, para petani di dua lokasi berada dalam kategori rendah yakni sebanyak 53,3 persen responden. Fenomena ini merupakan indikasi bahwa petani masih merasa kurang mampu merencanakan, mengerjakan, memutuskan serta memecahkan masalah usahatani sendiri terutama dengan penerapan inovasi teknologi.

Pengaruh keluarga dan kerabat sebagai suatu komunitas masih dominan dalam menetapkan keputusan-keputusan usahatani yang diambil. Hal ini sejalan dengan penelitian Munadah (2005) bahwa pengaruh tradisi kekeluargaan dalam masyarakat bugis makassar masih lebih dominan Sedangkan bantuan dan nasehat dari orang lain dapat diterima sepanjang mereka bisa pahami, menguntungkan dan tidak mengabaikan integritas mereka sebagai individu. Meskipun demikian, peran penyuluh pertanian di Kabupaten Enrekang yang rutin bertemu tiga kali seminggu dengan petani, secara kontinyu berupaya membimbing dan menyampaikan metoda-metoda dan pengetahuan tambahan kepada petani. Di kabupaten Gowa peran penyuluh ditunjukkan dengan kurangnya frekuensi pertemuan dengan petani dimana rata-rata hanya berlansung sebulan sekali. Peran ketua-ketua kelompok tani menyampaikan informasi usaha lebih membantu petani sekaligus membantu peran penyuluh.

Peningkatan rasa percaya diri petani tidak terlepas dari peran penyuluh sebagai dinamisator, komunikator dan sebagai guru atau pendidik petani. Namun peran penyuluh masih perlu dioptimalkan di dua lokasi. Sebanyak 155 orang penyuluh di Kabupaten Gowa dan 110 orang penyuluh di Kabupaten Enrekang jika mengoptimalkan tugas fungsionalnya, akan mampu membantu memberdayakan kemampuan petani baik pengetahuan, keterampilan maupun peningkatan rasa percaya diri petani. Keberadaan penyuluh membawa pengaruh dan perubahan perilaku jika petani merasa bahwa apa yang disampaikan penyuluh dapat dipercaya sesuai kenyataan dan apa yang dirasakan (felt need and real need) dapat mendatangkan keuntungan bagi diri dan keluarganya. Sebaliknya rasa

kepercayaan akan berkurang jika petani merasa lebih tahu apa yang semestinya dikerjakan sesuai kemampuan dan pengalaman yang dirasakan.

Peran penyuluh dan pengantar pembaruan lainnya dalam perspektif peningkatan kognitif, afektif dan psikomotorik petani merupakan hal yang positif, namun jika peran orang-orang di luar diri petani bersifat memelihara ketergantungan petani dan berlangsung lama terutama dalam pengambilan keputusan maka hal tersebut merupakan pendidikan yang kurang baik. Dalam falsafah penyuluhan yang terbaik adalah memperlakukan manusia sebagai orang yang cerdas dan bertanggung jawab sehingga lebih percaya pada pertimbangan sendiri dan bermanfaat bagi diri, bagi keluarga dan orang lain. Oleh sebab itu pendekatan dalam peningkatan rasa percaya diri petani adalah penyuluhan sebagai upaya pendidikan non formal.

Keuletan

Keuletan adalah kekuatan jiwa, sikap dan pikiran seseorang mempertahankan dan melanjutkan pekerjaan yang diyakininya sesuai dengan harapan dan keinginan yang akan dicapai. Seseorang dapat dikategorikan memiliki keuletan jika yang dikerjakan dari waktu kewaktu mampu dipertahankan dan merasa kuat merubah dan meningkatkan apa yang dikerjakan. Sebagian manusia mempunyai kekuatan untuk meningkatkan usahanya dengan berbagai tantangan, dan terdapat pula sebagian manusia merasa kuat atau memiliki keuletan mempertahankan apa yang dimiliki sekarang tanpa berpikir maju meningkatkan usahanya. Keuletan petani dalam penelitian ini diartikan sebagai kesungguhan dan ketekunan dalam berusaha tanpa merasa puas dengan keberhasilan yang dicapai serta merasa kuat menghadapi resiko dalam berusaha.

Sebanyak 54,2 persen responden di dua lokasi berada pada kategori rendah dalam mengembangkan keuletan dalam berusaha tani (Tabel 25). Artinya ketekunan dan kesungguhan petani mencapai keberhasilan masih relatif kurang digiatkan. Secara umum keuletan petani berkorelasi positif dan nyata dengan faktor usia petani ( r = 0,160, α = 0.05) dan faktor pengalaman usahatani (r = 0,104 ). Hal ini berarti bahwa faktor internal perlu diperhatikan dalam melihat kesungguhan dan ketekunan petani dalam berusaha. Dengan rata-rata usia petani

40,6 tahun dan pengalaman usaha 8,5 tahun menjadi indikator untuk mengetahui kualitas pribadi petani dalam meningkatkan kualitas usaha. Keuletan petani berhubungan positif dan nyata dengan semangat kerja petani (r = 0,481 α = 0,01). Artinya keuletan dan semangat kerja mempunyai hubungan yang searah (linear) dan sama-sama menjadi faktor keberhasilan petani dalam menjalankan usaha. Hal ini ditunjukkan dengan kesungguhan dan kesabaran petani menghadapi fenomena alam yang kadang menguntungkan dan kadang merugikan usaha. Serangan penyakit dan hama tanaman serta gejolak harga yang berfluktuasi adalah fenomena yang sering dikeluhkan petani, namun dengan sikap optimisme petani tetap merasa kuat menghadapi tantangan tersebut.

Selain faktor internal diri petani (umur, pengalaman usaha tani dan semangat kerja) maka faktor lainnya diluar peubah penelitian ini seperti lama kerja petani memungkinkan pula berpengaruh dalam pengembangkan keuletan petani. Menurut Tohir (1991), rata-rata lama kerja petani untuk usahatani di tegalan selama 59 hari dengan kemampuan tenaga keluarga sendiri. Jika menggunakan tenaga bayaran rata-rata hingga 39 hari. Petani di Kabupaten Enrekang khususnya di Kecamatan Anggeraja, sebagian besar menggunakan tenaga kerja bayaran. Di Kabupaten Gowa sebagian besar petani menggunakan tenaga sendiri kecuali bagi petani yang menguasai lahan lebih dari 5 ha menggunakan tenaga kerja bayaran. Dari gambaran tersebut disimpulkan bahwa jika dengan tenaga keluarga sendiri, berarti petani lebih lama bekerja tapi lebih banyak pengalaman dan menunjukkan adanya sifat keuletan berupa kesungguhan dan ketekunan dalam berusaha. Namun jika menggunakan tenaga bayaran berarti sebagian waktu petani bisa digunakan untuk kegiatan lain tapi kurang menunjukkan adanya ketekunan dalam berusaha. Oleh sebab itu, faktor lama bekerja tergantung kemampuan petani menggunakan tenaga kerja. Menurut Tohir (1991) lama bekerja ditentukan pula oleh kecil besarnya usaha tani yang dimiliki, keadaan alam seperti iklim, tanah dan topogrofi tanah serta faktor-faktor sosial ekonomis lainnya.

Kreativitas

Kreativitas adalah kemampuan yang dimiliki untuk menciptakan dan mengerjakan sesuatu yang lebih baik. Dalam penelitian ini kreativitas dimaksudkan sebagai usaha petani menemukan tehnik bercocok tanam yang lebih baik, menemukan informasi dan ide-ide baru serta peluang-peluang baru dalam berusaha terutama dalam memasarkan hasil produksi, dengan kata lain kreativitas petani berorientasi pada aspek perbaikan produksi, pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Secara umum petani memiliki keinginan yang kuat untuk selalu maju bahkan selalu berpikir untuk berusaha lebih baik menerapkan pengetahuan yang dimiliki, baik yang diperoleh dari pelatihan, anjuran penyuluh dan rekomendasi dinas pertanian untuk menggunakan cara-cara baru, pengetahuan baru dan teknologi produksi yang lebih baik. Namun kemampuan petani dalam penerapan hal-hal baru tersebut berbeda satu sama lain.

Berdasarkan data pada Tabel 25, pengembangan kreativitas dalam berusahatani menunjukkan adanya keseimbangan antara kategori tinggi dan kategori rendah. Sebanyak 50 persen responden dengan kategori tinggi berusaha mendapatkan informasi baru dan ide-ide baru baik dari penyuluh maupun dari kelompok tani lainnya. Kegiatan mereka seperti usaha memperoleh bibit/varietas unggul, pengolahan pupuk kandang dari usaha ternak yang dimiliki serta pengolahan sumber-sumber pembuatan kompos dan cara-cara pengemasan baru dalam pemasaran hasil produksi merupakan indikator berkembangnya kreativitas berusaha yang dimiliki.. Kemudian 50 persen responden lainnya mengembangkan kreativitas dalam kategori rendah adalah mereka yang kurang kreatif, dan jarang menerapkan tehnik jarak tanam yang baik, teknik pembuatan bedengan yang baik, penggunaan varietas yang unggul dan dapat memberikan dampak terhadap peningkatan mutu produksi dan pendapatan.

Sebagian di antara mereka mengikuti cara bercocok tanam secara tradisionil yang berasal dari orang tua dan keluarga mereka, dan bahkan meniru dari kebiasaan lama dari petani lainnya. Petani menyadari bahwa untuk mengembangkan kreativitas diperlukan pengetahuan yang memadai. Dalam penelitian ini peubah kreativitas tidak berhubungan dengan peubah pendidikan (r=0,085 α=0,05). Hal ini berarti bahwa kreatifitas petani tidak ditentukan oleh

tingkat pendidikan melainkan berhubungan dengan pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman berusahatani. Semakin berkualitas pengalaman berusahatani maka kreatifitas akan mengalami perkembangan yang baik pula.

Rendahnya tingkat pendidikan formal petani yang rata-rata setingkat kelas satu SMP (7,17 tahun) menjadikan kelompok tani sebagai salah satu alternatif sarana pembelajaran yang dapat mengarahkan dan menggerakkan kreatifitas petani dalam mengembangkan usaha. Selain kelompok tani, keberadaan koperasi tani ikut memacu motivasi petani melakukan transaksi usaha. Di Kabupaten Enrekang peran koperasi tani dirasakan sangat bermanfaat bagi petani, selain bekerjasama dalam penyediaan sarana produksi, juga menyediakan modal usaha dalam bentuk simpan pinjam. Adapun petani di Kabupaten Gowa dengan kelompoknya lebih sering mencari peluang kerjasama dengan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Oleh sebab itu, kelompok tani sebagai wadah pembelajaran petani berperan sebagai tempat untuk saling belajar dan konsultasi untuk mengembangkan kreatifitas, baik dalam kegiatan produksi, kegiatan pengolahan maupun dalam pemasaran hasil produksi. Kelompok tani berperan pula sebagai wadah pembelajaran petani dalam penerapan managemen usahatani yang berorientasi pada nilai tambah yang maksimal baik secara individu maupun berkelompok.

Kreativitas petani akan berimplikasi terhadap kinerja dan status kelas kelompoknya. Jika anggota kelompok mampu meningkatkan kinerja usahanya, maka kelas kelompoknya akan naik peringkat. Berdasarkan ukuran kinerja untuk kelompok tani versi Departemen Pertanian, jumlah kelompok tani kelas pemula dan lanjut di dua lokasi merupakan yang terbanyak. Di Kabupaten Gowa sekitar 60 persen kelompok tani kelas pemula dan lanjut, dan di Kabupaten Enrekang dengan kelas yang sama sebanyak 88,4 persen. Nampaknya ukuran kinerja kelompok tani tersebut masih perlu lebih dikonkritkan, karena dengan banyaknya kelas pemula dan lanjut di Kabupaten Enrekang justru dinamika kelompoknya lebih maju dan lebih produktif dalam berusaha tani.

Lingkungan Sosial

Lingkungan sosial adalah lingkungan sekitar kehidupan responden yang meliputi norma dan nilai budaya lokal serta peran tokoh informal terhadap pembentukan kinerja kelompok. Provinsi Sulawesi Selatan seperti halnya dengan daerah lain mempunyai kekayaan adat dan budaya yang khas. Pengelolaan usahatani pada hakekatnya dipengaruhi oleh norma dan nilai budaya yang khas tersebut. Norma dan nilai budaya tersebut terwujud dalam perilaku petani dalam kelompok maupun dalam kehidupan masyarakat secara luas.

Hasil uji Rank Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang positif dan nyata antara lingkungan sosial dengan dinamika kelompok (r=0,645 α=0,01). Hal ini berarti bahwa aktivitas dan perilaku petani dalam kelompok berhubungan nyata dengan keadaan linkungan sosial masyarakatnya. Hasil data deskriptif kedinamisan lingkungan sosial masyarakat dilihat dalam konteks dinamika kelompok terlihat dalam Tabel 26.

Tabel 26. Sebaran Responden menurut Kedinamisan Lingkungan Sosial

Kabupaten Gowa Enrekang Total Unsur Lingkungan Sosial Rataan Skor Kriteria n % n % n % Rendah Tinggi 95 25 79,2 20,8 35 85 29,2 70,8 130 110 54,2 45,8 Norma dan Nilai Budaya 34 Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0 Rendah Tinggi 59 61 49,2 50,8 63 57 52,5 47,5 122 118 50,8 49,2 Peran Pemimpin Informal 29 Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0 Rendah Tinggi 64 56 53,3 46,7 56 64 46,7 53,3 120 120 50,0 50,0 Lingkungan Sosial 32 Jumlah 120 100,0 120 100,0 240 100,0 Sumber : Data Primer diolah, 2007

Rendah (Rataan 1 - 36) = Kurang Termanfaatkan Tinggi (> 36 ) = Termanfaatkan

Uji Mann-Whitney, berbeda nyata di dua lokasi, α= 0,05

Secara umum kedinamisan lingkungan sosial di dua lokasi penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 26 menunjukkan pada persentase kategori

tinggi yakni 50 persen dan kategori rendah 50 persen. Artinya setengah responden menilai lingkungan sosial berjalan dengan intensitas yang tinggi dan setengah lagi menilai berjalan dalam intensitas yang rendah.

Berdasarkan sebaran perlokasi, unsur lingkungan sosial di Kabupaten Enrekang tekanannya lebih tinggi dari Kabupaten Gowa. Unsur yang menonjol di Kabupaten Enrekang adalah intensitas norma dan nilai budaya sebesar 70,8 persen responden dengan kategori tinggi. Sedangkan di Kabupaten Gowa unsur yang menonjol adalah peran tokoh informal sebesar 50,8 persen responden dengan kategori tinggi.

Aktifitas individu petani dalam wujud perilaku kelompok tercermin dari watak, suku dan perpaduan kebangsaan dari petani itu sendiri (Tohir,1991). Responden petani di Kabupaten Enrekang yang berasal dari perpaduan suku bugis dan toraja, pada dasarnya memiliki pertemalian watak kepribadian bertani dengan petani di Kabupaten Gowa yang suku Makassar. Adapun beberapa hal yang berbeda terletak dari cara dan gaya berusaha, serta status sosial yang dimiliki. Misalnya semangat kerja keras dan keuletan berusahatani sambil berdagang, lebih menonjol dalam watak petani Kabupaten Enrekang yang memiliki mental berbisnis lebih maju dari petani Kabupaten Gowa.

Pola tingkah laku serta budaya petani suku Bugis Makassar bisa dipahami

dengan baik dengan konsep pangngaderreng (Bugis) atau pangngadakkang

(Makassar) dan siri’. Pangngaderreng sebagai suatu ikatan untuk sistem nilai yang memberikan acuan bagi hidup bermasyarakat orang Bugis Makassar serta siri’ sebagai sikap hidup yang sangat mementingkan harga diri. Konsep

pangngaderreng telah menjadi landasan kebudayaan yang mengikat dari dua suku bangsa tersebut. Pangngaderreng sebagai suatu sistem nilai bertujuan menjaga martabat manusia baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat. Akan tetapi pangngaderreng yang utuh dan lengkap itu bila tidak di dukung oleh suatu sikap hidup yang mensakralkannya akan merupakan suatu sistem nilai yang rapuh kedudukannya (Sajogyo, 2002). Apa yang terjadi ialah terbentuknya suatu pandangan yang menganggap pangngaderreng itu begitu penting, begitu suci, hingga bila tidak ada pangngaderreng, hidup ini tidak cukup berharga untuk dijalani.

Etika pergaulan yang dilandasi norma dan nilai budaya masyarakat

berdasarkan konsep pangngaderreng diharapkan tercermin dalam pergaulan

kehidupan sosial, seperti antara lain; (a) menumbuhkan sikap saling membantu dalam memajukan usaha, baik usaha pribadi, keluarga maupun kelompok (b) sikap kebersamaan dalam melaksanakan kegiatan, (c) memelihara kejujuran dalam berkomunikasi maupun dalam bertindak, (d) saling menghargai perbedaan pendapat, saling mematuhi keputusan bersama, (e) menumbuhkan kekerabatan dan solidaritas dan saling menasehati jika terjadi pelanggaran etika budaya, (f) saling menjaga harga diri dan kualitas pribadi, dan (g) saling mengendalikan diri dalam mengatasi masalah. Semua rambu-rambu pergaulan hidup tersebut merupakan suatu norma dan nilai yang diwajibkan dan dibenarkan melekat dalam kehidupan budaya bugis makassar. Bagi orang yang menjunjung tinggi norma dan nilai kehidupan tersebut dihormati dan dijunjung tinggi, dan bagi orang desa/kota atau tani yang berani melanggar norma tersebut akan memperoleh ejekan dan sesalan dari kerabat dan teman-teman lainnya.

Norma dan Nilai Budaya

Secara umum kecenderungan unsur norma dan nilai budaya di dua lokasi penyebarannya berada pada kategori rendah yakni 54,2 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa patokan tingkah laku yang ditekankan dalam pergaulan hidup masyarakat petani seperti ciri kekerabatan, kekeluargaan, kejujuran, kompromi dalam perbedaan pendapat, pengendalian diri dalam penyelesaian masalah serta nilai-nilai kebersamaan, mengindikasikan adanya pergeseran sistem

nilai ke sistem nilai formalistik tanpa hubungan pribadi (formalistic

impersonality), artinya sikap dalam berusaha, berkelompok maupun dalam bermasyarakat telah diwarnai oleh fenomena sosial yang dilandasi oleh sikap individualistik, sikap persaingan, dan sikap rasionilitas antara individu, dan keluarga petani. Hal ini sejalan dengan pendapat Tohir (1991), menyebut fenomena ini sebagai kesulitan-kesulitan yang nyata-nyata dialami oleh petani- petani kita dalam masa transisi khususnya dalam bidang pengelolaan usaha tani. Diungkapkan, perasaan dan ikatan kekeluargaan makin menipis, karena makin berkembangnya sifat individualisme. Lembaga-lembaga sosial budaya seperti

gotong royong mulai berubah bentuk di ssmana segala sesuatunya sudah dihitung dalam kesatuan uang/barang. Jiwa kebendaan atau material mulai menggantikan jiwa sosial budaya dan perubahan dalam penguasaan usahatani. Dengan masuknya faktor-faktor ekonomis maka kecenderungan kehidupan petani di pedesaan sudah lebih banyak menghitung jerih payah dan hasil usahanya secara ekonomis.

Fenomena persaingan individu dan antar keluarga, kerabat maupun sesama anggota kelompok di lokasi penelitian terutama di Kabupaten Gowa terekam dalam penelitian ini. Persaingan tersebut dipicu oleh masalah penguasaan tanah, masalah kedudukan antara yang muda dan yang tua, masalah keluarga, masalah perkawinan dan lain sebagainya. Fenomena sosial yang mulai nampak ini secara langsung dapat mewarnai aktifitas kelompok maupun aktifitas bermasyarakat, dan memungkinkan melahirkan kerenggangan sosial yang tidak diharapkan dimasa datang. Meskipun demikian fenomena pergeseran norma dan nilai budaya secara umum akan berdampak pada dua sisi yakni dapat menjadi hambatan jika sikap- sikap positif individu dalam kelompok berubah menjadi sikap yang individualistik, kurang toleran, senang dengan pendapat sendiri, namun disisi lain dampak dari pergeseran norma tersebut dapat menumbuhkan sikap efisiensi, dan sikap rasional untung rugi dalam berusaha.

Unsur norma dan nilai budaya mencapai persentase tertinggi di Kabupaten Enrekang lebih disebabkan oleh masih kuatnya kekerabatan dan solidaritas dalam kelompok yang dimotivasi oleh kemajuan usaha dengan tingginya produktivitas usahatani sayuran yang diperoleh. Fenomena ini kemungkinan disebabkan karena keterjauhan jarak wilayah dari keragaman budaya kota, kondisi lingkungan alam, pandangan hidup, adat istiadat, pandangan mengenai ekonomi serta sifat dan akhlak jiwa dari masyarakatnya. Fenomena ini tercermin dalam kehidupan petani di Kabupaten Enrekang tersebut.

Petani di Kabupaten Gowa khususnya yang bermukim di Kecamatan Barombong lebih dekat dengan pergaulan masyarakat perkotaan. Dengan jarak sekitar 30 km dari Kota Makassar memungkinkan terjadinya interaksi sosial yang lebih mengarah kebudaya kehidupan perkotaan. Implikasi terhadap kelompok terlihat dari sikap pengurus kelompok yang kurang merealisasi program kegiatan kelompok yang telah disepakati dalam pertemuan bulanan. Di samping itu faktor

produktivitas, kondisi alam, pandangan hidup, adat istiadat dan kelembagaan adat yang telah lama ada sebagai warisan masa lampau merupakan fenomena sosial di lokasi ini. Sebagai wilayah pemerintahan yang pernah dikuasai oleh pemerintahan raja-raja dahulu seperti kerajaan Sultan Hasanuddin Mallombassang Daeng Mattawang, maka masyarakat petani di daerah ini cenderung lebih memiliki kedekatan dengan tokoh informal dalam pengambilan keputusan dari pada pemimpin atau pengurus kelompok. Hal ini memerlukan kajian tersendiri dalam

Dokumen terkait