• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II SPIRITUALITAS PERSAUDARAAN SANTO FRANSISKUS

D. Semangat Persaudaraan Sebagai warisan Santo Fransiskus

Bagi Santo Fransiskus Asisi, istilah saudara mengandung makna yang sangat mendalam. Dalam tulisan-tulisannya, seperti Anggaran Dasar, Wasiat, Petuah, dan surat-surat, ia selalu menyapa para pengikutnya atau orang yang dialamatkannya dengan sapaan “Saudara.” Dalam mukadimah Anggaran Dasar yang disahkan dengan Bulla, Fransiskus dengan terang menulis bahwa cara hidup yang ia bangun ini ditujukan untuk orang-orang yang menamakan dirinya Saudara-saudara Dina: “Demi nama Tuhan! Mulailah cara hidup Saudara-saudara

Terhadap para pengikutnya, Fransiskus dengan jelas menasehatkan

bahwa: “Kamu semua adalah saudara” (Ang garan Dasar Tanpa Bulla XXII:

33). Sapaan tersebut bukan sekedar sebuah istilah formal melainkan ungkapan

keyakinannya bahwa para pengikutnya merupakan pribadi-pribadi yang dianugerahkan Tuhan sendiri. Dalam Wasiatnya ia menulis demikian: “Sesudah Tuhan memberi aku sejumlah saudara, tidak seorang pun menununjukkan kepadaku apa yang harus kuperbuat; tetapi Yang Mahatinggi sendiri

mewahyukan kepadaku, bahwa aku harus hidup menurut pola Injil Suci.” (Wasiat

14).

Fransiskus menasehatkan para pengikutnya agar saling melayani sebagai saudara dan saudari (sapaan untuk Santa Klara dan para pengikutnya), oleh karena kesamaan martabat mereka di hadapan Allah. Sebab bagi Fransiskus harkat manusia sesungguhnya terletak pada martabatnya sebagai citra Allah, dan bukan karena kedudukan, jabatan, kuasa, atau kelebihan manusiawi lainnya. Dengan menimbah Sabda Tuhan sendiri, Ia menghendaki agar para saudara agar tidak menyebut seseorangpun sebagai bapa di bumi ini, atau sebagai rabi. “Sebab

Bapamu hanya satu di Surga, dan Rabimu hanya satu di Surga” (Anggaran Dasar

Tanpa Bulla XXII: 34-35).

Demikian halnya para saudara yang diberi kepercayaan untuk memimpin saudara lain, hendaknya tidak menyebut diri sebagai pemimpin atau atasan melainkan pelayan (minister). Fransiskus bahkan lebih tegas menghendaki agar

para pemimpin disebut hamba persaudaraan: “Saudara sekalian wajib selalu

hamba seluruh persaudaraan, dan mereka diwajibkan dengan keras untuk taat

kepadanya” (Anggaran Dasar Dengan Bulla VIII: 1). Para minister itu

hendaknya melayani para saudara dengan model pelayanan Yesus sendiri. “Aku datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani”, firman Tuhan (Mat 20: 28). Bertolak dari nasehat Injil tersebut, Fransiskus, dalam Petuahnya, mewariskan nasehat ini kepada para saudaranya: “Mereka yang ditetapkan sebagai atasan bagi yang lain tidak boleh lebih berbangga atas tugas pimpinan itu

daripada kalau mereka diberi tugas membasuh kaki saudara-saudara” (Petuah IV:

2).

Dengan kata lain, persaudaraan merupakan warisan kunci kharisma Fransiskus dari Asisi, ungkapan semangat kedinaan dari kedalam hatinya. Persaudaraan merupakan spiritualitas Fransiskan. Fransiskus sendiri menasehatkan para saudaranya agar menghayati semangat persaudaraan dalam tugas pelayanan mereka, saling melayani lebih dari pelayanan seorang ibu kepada anaknya. Misalnya pelayanan kepada saudara yang sakit, yang tua, yang datang sebagai musafir dan perantau. Bahkan seluruh makhluk hidup, bagi Fransiskus adalah saudara. Hal ini terangkum dalam madah pujian kepada Tuhan yang digubahnya menjelang akhir hidupnya, yang dikenal dengan “Kidung saudara Matahari”. Semangat persaudaraan semesta inilah yang menjadi dasar spiritualitas yang coba dihayati olah para suster OSF sampai zaman ini.

E. Pentingnya Spiritualitas Persaudaraan Santo Fransiskus Asisi dalam Semangat Pelayanan Para Suster OSF Sibolga

Spiritualitas persaudaraan Santo Fransiskus Asisi sangat penting dalam semangat pelayanan para suster OSF Sibolga. Hal ini disebabkan karena spiritualitas persaudaraan Santo Fransiskus Asisi merupakan jiwa setiap karya pelayanan para suster OSF Sibolga. Spiritualitas persaudaraan Santo Fransiskus Asisi merupakan sikap dasar yang mampu menyemangati dan menggerakkan setiap suster dalam melaksanakan karya pelayanan. Setiap suster dipanggil untuk membagikan anugerah yang diberikan Allah kepadanya dan untuk menjadikan persekutuan kita tempat belas kasih, sukacita dan damai bagi setiap orang (Konstitusi OSF Sibolga1992: 3).

Saudara-saudari hendaknya mengasihi dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi dan dengan segenap kekuatan, serta mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri. Hendaknya mereka meluhurkan Tuhan dalam pekerjaan mereka, sebab untuk itulah mereka ke seluruh dunia, yakni untuk menjadi saksi suara-Nya dengan perkataan dan perbuatan dan untuk memberitahukan kepada semua orang,

bahwa tak ada yang mahakuasa selain Dia (Anggaran Dasar Hidup Rasuli

9: 29)

Para suster OSF Sibolga diharapkan dapat bertumbuh dan menjadi lebih baik apabila saling mengasihi dan dikasihi. Kasih itu disempurnakan dalam penyerahan diri kepada orang-orang lain. Kasih yang sempurna seperti inilah

yang dimohon oleh Fransiskus.Santo Fransiskus telah melakukan kasih yang

diharapkan itu, dalam perjumpaannnya dengan orang-orang kusta membawa perubahan yang radikal dalam hidupnya. Dedikasi Fransiskus untuk menolong orang-orang kusta membuat caranya memandang dan merasakan menjadi berbeda total dengan apa yang telah dialaminya sebelum itu. Santo Fransiskus heran

terhadap dirinya sendiri dari mana dia menemukan kekuatan untuk mengatasi rasa benci dan jijiknya terhadap orang kusta yang buruk-rupa di pinggir jalan, menciumnya dan membersihkan luka-luka pada tubuh orang kusta. Bagi Fransiskus, jawabnya terletak pada salib, penyerahan diri Kristus yang penuh pengorbanan. Maka dia mohon kekuatan untuk memampukan dirinya dalam melanjutkan apa yang telah dimulainya, yakni menolong orang-orang kusta.

Fransiskus meluaskan kasihnya pertama-tama kepada para penderita kusta, kemudian meluaskannya kepada siapa saja, dengan hidup di tengah orang-orang jelata dan yang dipandang hina, orang-orang miskin dan lemah, orang-orang sakit dan

orang kusta serta pengemis di pinggir jalan (Anggaran Dasar Tanpa Bulla IX:2).

Fransiskus menyadari bahwa dia tidak akan pernah dapat melakukan semua itu sendiri: dia tahu dirinya memerlukan kasih, yang akan membuatnya mampu untuk melihat sesama dalam terang yang baru dan memberikan dirinya kepada mereka. Untuk itu dia membutuhkan suatu kasih yang akan menolongnya untuk dilahirkan kembali dan mulai hidup baru. Itulah sebabnya mengapa dia mohon diberikan suatu kasih yang sempurna melalui Roh Allah yang senantiasa hadir mendampingi dan berkarya malalui umat-Nya.

Tanpa spiritualitas, karya dan pelayanan seseorang hanya menjadi suatu rutinitas, pelayanan yang berjalan tanpa memiliki jiwa. Pelayanan yang dilakukan tanpa jiwa tentu juga membawa dampak yang kurang baik bagi orang yang dilayani. Spiritualitas yang dikatakan sebagai daya kekuatan atau Roh yang mampu menggerakkan, maka dapat dikatakan bahwa setiap suster OSF Sibolga

dalam melakukan karya pelayanan diharapkan berkarya atas dorongan Roh yang mampu memberikan kekuatan yaitu Roh Allah sendiri seperti halnya Santo Fransiskus yang mengandalkan Allah dalam setiap karya pelayanan yang dilakukakannya. Santo Fransiskus mampu merawat orang kusta yang pada awalnya menjijikkan dan memuakkan, namun karena kekuatan kasih Allah yang hadir dalan dirinya, maka Santo Fransiskus pun mampu melaksanakannya.

F. Kerangka pikir dan hipotesis

Dokumen terkait