1.5. TINJAUAN PUSTAKA
1.5.1. Kode Etik Jurnalis dan Etika Profesi
1.5.3.2. Sembilan Elemen Jurnalisme
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menjabarkan tentang sembilan elemen jurnalisme tersebut dalam bukunya The Elements of Journalism. Di Indonesia, penjelasan sembilan elemen jurnalis tersebut dijelaskan kembali oleh Andreas Harsono (2010:15-31) yang mengemasnya dalam buku yang berjudul Agama Saya Adalah Jurnalisme. Sembilan elemen jurnalis tersebut diantaranya:7
1. Elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran
Sejatinya, elemen kebenaran ini adalah hal yang paling membingungkan. Hal tersebut karena banyaknya perbedaan sudut pandang tentang kebenaran bagi berbagai pihak. Persepsi tentang kebenaran dapat berbeda jika dilihat dari berbedanya latarbelakang seseorang seperti tingkat pendidikan, strata
31
sosial, pekerjaan, kelompok etnik, agama dan lain-lain. Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional.
2. Loyalitas
Dalam hal ini, loyalitas seorang jurnalis juga masih dipertanyakan, kepada siapakah mereka memiliki rasa loyalitas? Apakah kepada pemilik media, perusahaan, pembaca, atau masyarakat? Pertanyaan itu penting karena sejak tahun 1980-an banyak jurnalis Amerika yang berubah menjadi pebisnis. Ini memprihatinkan karena jurnalis memiliki tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan dimana mereka bekerja. 3. Disiplin dalam melakukan verifikasi
Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.
Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi: a. Jangan menambah atau mengarang apa pun
b. Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar c. Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan
motivasi dalam melakukan reportase
d. Bersandarlah terutama pada reportase anda sendiri dan bersikaplah rendah hati.
Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu.
32
Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan. Kedua, memeriksa akurasi.
Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Jurnalis harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata. Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat
4. Independensi
Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, jurnalis harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput. Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun jurnalis yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang jurnalis.
33
5. Memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting, sebuah jenis reportase dimana jurnalis berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan. Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi.
6. Jurnalisme sebagai forum publik
Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik dimana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Namun, kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan.
Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi. Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai.
7. Jurnalisme harus memikat sekaligus relevan
Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa
34
masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu. Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.
8. Kewajiban jurnalis menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara jurnalis dan pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel menyebutkan, justru karena subjektif inilah jurnalis harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.
9. Etika dan tanggung jawab sosial
Setiap jurnalis harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua jurnalis seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya.
Membolehkan tiap individu jurnalis menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Namun, tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan akhir, tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang
35
yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.