• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Semi intensif

Sistem pemeliharaan ternak semi intensif yang dilakukan dengan menempatkan ternak dekat dengan peternak sehingga peluang kedekatan kontak langsung dengan ternak lebih banyak/sering, seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Sistem pemeliharan semi intensif

2 Ekstensif

Pada sistem pemeliharaan ini, ternak kebanyakan ditinggal merumput secara bebas dan sedikit melibatkan peternak seperti terlihat pada Gambar 7.

74 Penggemukan ternak sapi di NTT banyak menggunakan sistem kerjasama antara penduduk desa yang memiliki ladang pengembalaan dengan pemilik sapi (pemerintah atau pengusaha). Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada penduduk untuk dipelihara hingga mencapai bobot tertentu atau siap dipotong. Sistem ini juga memungkinkan peluang besar kontak individu (masyarakat desa) dengan ternak sehingga penting sekali mengontrol penyebaran penyakit dari ternak ke manusia khususnya penyakit Q fever.

Pemeliharaan ternak sapi di daerah NTT baru mulai dikenal pada awal abad ke-20, ternyata usaha peternakan ini mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Sampai tahun 1980-an populasi sapi berkembang dengan cepat, sehingga NTT telah menjadi pemasok sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia. Namun kenyataan yang ada saat ini terdapat banyak sapi betina produktif yang dipotong di rumah potong hewan di Kota Kupang, jika terus dibiarkan akan mengancam keberadaan jumlah populasi yang ada di NTT.

Dalam sensus ternak tahun 2000, populasi sapi bali di NTT hanya sekitar 500.000 ekor dan 50.000 ekor sapi Ongole di Pulau Sumba, 85% sapi bali tersebar di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Setiap tahun sebanyak 60.000-80.000 ekor sapi bali yang terjual ke luar NTT dan menyumbang bagi pendapatan daerah sekitar 12%.

Data ternak yang ada di NTT menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki peluang yang lebih besar beresiko terkena penyakit zoonosis, khususnya

Q fever. Kemungkinan tersebut didukung juga oleh kasus penyakit zoonosa yang

terjadi di NTT. Peningkatan jumlah ternak sapi potong di NTT merupakan komoditi andalan yang perlu mendapat perhatian lebih, baik dalam peningkatan produksi dan kesehatan ternak. Perkembangan populasi ternak di NTT ini dapat dilihat pada Tabel 2.

75 Tabel 2 Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1 2003 512.999 134.900 94.625 435.151 56.403 1.2254.040 10.451.988 2 2004 522.930 136.938 96.416 462.102 56.502 1.276.166 9.482.871 3 2005 533.710 139.592 97.952 479.883 57.150 1.319.237 10.710.506 4 2006 544.482 142.257 99.872 496.766 58.305 1.385.962 9.832.729 Sumber: DISNAK NTT (2006)

Berdasarkan data yang ada, terlihat jumlah pemotongan ternak sapi potong mengalami peningkatan tiap tahunnya (Tabel 3). Berdasarkan hasil observasi di lapangan ditemukan sekitar 80% pemotongan ternak sapi potong yang dilakukan setiap harinya di RPH Kota Kupang adalah sapi betina. Hal ini tidak sesuai dengan undang-undang veteriner yang berlaku sebab jika tidak ditindaklanjuti maka akan berpengaruh pada jumlah populasi ternak di waktu yang akan datang..

Tabel 3 Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur Tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1 2003 31.293 4.856 2.086 139.249 20.305 490.016 16.412.225

2 2004 40.111 5.807 2.510 142.328 15.664 556.834 14.210.337 3 2005 48.834 7.172 3.448 172.878 21.399 575.105 14.931.792 4 2006 48.187 7.629 4.223 174.489 21.379 597.695 15.116.605 Sumber: DISNAK NTT (2006)

Model Pemasaran dan Transportasi Ternak di NTT

Kebutuhan daging di Indonesia sebagian besar (65%) masih dipenuhi oleh produk dalam negeri dan sisanya diperoleh dari impor (Ilham dan Yusdja 2004). Pemenuhan kebutuhan dalam negeri berasal dari daerah kantung ternak dan Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah peternakan yang penting sebagai daerah

76 ekspor sapi ke pulau-pulau di Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Data Ditjen Bina Produksi Peternakan tahun 2002, menyebutkan dari total neraca perdagangan antar pulau sapi potong di Indonesia adalah 466.258, dan 56.085 ekor berasal dari NTT (Ilham dan Yusdja 2004).

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2006 terdapat 62.621 ekor sapi potong yang dikeluarkan Balai Karantina Hewan Kupang dan populasi sapi bali meliputi sekitar 85% dari seluruh populasi sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) (DISNAK NTT 2007). Hal ini menunjukkan kondisi ternak NTT cukup mempengaruhi populasi ternak yang ada di Indonesia. Data yang ada pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan jumlah ternak sapi yang masuk dan keluar dari NTT.

Tabel 4 Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006

Bulan No Komoditi

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah 1 Sapi (Import) - - 80 419 - - 184 200 352 220 432 252 2135 2 Sapi (Eksport) - - 1 - - - - 1 3 Sapi potong (Domestik masuk) 1933 2430 3231 4886 6291 4926 7236 7005 6295 6205 8229 4654 92691 4 Sapi potong (Domestik Keluar) - 2 8 11 105 273 104 171 72 61 18 1 620 Sumber: BKH NTT (2006)

77 Tabel 5 Pengeluaran ternak dari Nusa Tenggara Timur

tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda

1 2003 35.061 3.566 2.868 2 2004 61.211 7.501 2.844 3 2005 48.519 7.951 5.105 4 2006 61.279 7.298 6.707 Sumber: BKH NTT (2006) Peternak Makasar Jawa Barat Industri rumahan produk pangan asal hewan Pengumpul Karantina hewan Ternak sapi NTT Surabaya Rumah Potong Hewan Masyarakat lokal Jakarta (Jabodetabek) Sumatra

78

Jenis Ternak Budidaya dan Masalah Kesehatan Hewan

Data pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006, menunjukan ternak sapi masih menjadi komoditi utama bagi pengembangan peternakan di daerah NTT. Komoditi ternak lain yang sedang dikembangkan di NTT adalah kuda, kerbau, babi dan ayam. Komoditi yang berasal dari produk pangan asal hewan adalah daging se’i (daging asap), abon dan produk pangan dari bagian oval ternak. Produk produk ini tidak saja dikonsumsi oleh masyarakat di NTT namun juga di jual ke daerah lain di Indonesia. Diketahui Q fever dapat tertular melalui produk pangan asal hewan. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih terhadap cara penanganan pangan asal hewan untuk menghindari penularan Q

fever.

Tabel 6 Kasus penyakit hewan menular di NTT tahun 2007 No. Penyakit Jumlah

Kasus 1 Antraks 131 2 Brucellosis 41 3 Coccidiosis 30 4 CRD 100 5 Distemper 106 6 Fascioliasis 743 7 Hog Cholera 313 8 Helminthiasis 1.068 9 ND 16.935 10 Surra 95 11 Septicaemia epizootica 2.001 12 Streptococcosis 226 13 Thelaziasis 574 14 Coryza 230 15 Bovine Ephemeral Fever 376

Sumber: DISNAK NTT (2008)

Jumlah kasus penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Menurut data DISNAK NTT (2008), disebutkan bahwa terdapat 15 jenis penyakit yang menyerang ternak besar maupun kecil pada tahun 2007 (Tabel 6). Dengan data penyakit ternak yang ada di NTT menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar beresiko terinfeksi penyakit hewan menular. Demikian halnya

79 peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia, hal ini didukung sistem pemeliharaan ternak yang memungkinkan individu sering berkontak langsung dengan ternak.

Q fever di Nusa Tenggara Timur

Dalam mengkaji penyakit Q fever di NTT dilakukan pengujian laboratorium dengan metode PCR dari sampel asal sapi potong. Dalam fase akut,

C. burnetii bisa ditemukan dalam darah (Maurin dan Raoult 1999) sedangkan

pada fase kronis agen C. burnetii banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat pada organ-organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Marrie 2003). Penelitian ini menggunakan organ hati dan jantung sebagai sampel, hal yang sama pernah dilakukan oleh Mahatmi (2006). Dalam penelitian ini ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan bahan dan standar seperti yang telah dilakukan NIID, Jepang (Setiyono et al. 2005).

Tahap awal pengujian menggunakan deteksi PCR dengan melakukan ekstraksi DNA dari 169 sampel asal jantung dan hati sapi yang telah diambil. Dari 169 sampel yang ada dilakukan polling, sehingga diperoleh 34 sampel dari 169 sampel, hal ini dilakukan untuk alasan efesiensi bahan. Dari hasil ekstraksi DNA diperoleh cairan seperti awan putih pada dasar tabung dan terlarut setelah ditambahkan DNA dehydration sol. Ekstraksi DNA ini dapat disimpan dalam beberapa hari pada suhu 4 0C atau pada -84 0C bila dipakai untuk jangka waktu yang lama.

Masalah yang sering dihadapi pada pemeriksaan PCR dari DNA yang diekstrak dari organ atau jaringan padat lainnya adalah banyaknya protein dan lemak yang terkandung pada jaringan tersebut sehingga sel sulit dipecahkan. Hal ini disiasati dengan proses penghancuran organ hati dan jantung yang lebih lama. Untuk mendapatkan sekuen DNA C. burnetii harus melalui dua tahap yaitu pemecahan sel inang dan pemecahan sel bakteri.

80

Pengujian First PCR

Tahap selanjutnya setelah ekstraksi DNA adalah pengujian dengan first PCR menggunakan OMP 1 dan OMP 2. Pada first PCR yang dielektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Dalam first PCR terdapat terdapat empat tahap suhu sebagai prinsip kerja yaitu komplementasi antar DNA. Reaksi komplementasi tersebut adalah denaturasi, penempelan primer (annealing), perpanjangan rantai oleh DNA polimerase (extension) dan pendinginan.

Hasil first PCR (yang telah dilakukan kemudian) dielektroforesis dan diamati pada uv iluminator, menunjukkan hasil negatif. Hal ini diindikasikan dengan ketidakhadiran pita yang menunjukkan pita spesifik C. burnetii strain Nine Mile II yang digunakan sebagai referensi dengan pita kontrol positif yang terlihat pada Gambar 8 dan 9.

600 bp

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 8 Hasil first PCR (sampel 1-15).

Keterangan : Pada Gambar 8 terlihat gambaran dari elektroforesis dan pewarnaan dari ethydium bromida. Lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii, lajur 2 sampai 16 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 1 sampai 15).

81

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

600 bp

Gambar 9 Hasil First PCR (sampel 16-34)

Keterangan : Pada Gambar 9 terlihat gambaran dari elektroforesis dan pewarnaan dari ethydium bromida. Pada lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii, lajur 2 sampai 20 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 16 sampai 34)

Pengujian Nested PCR

Pengujian selanjutnya adalah nested PCR yamg menggunakan OMP 3 dan OMP 4 kemudian dilanjutkan proses elektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Nested PCR dilakukan sesuai dengan penelitian Ogawa (2004), menunjukkan bahwa Nested PCR memiliki tingkat sensitifitas 10 kali lebih tinggi dibanding first PCR. Pada Gambar terlihat pita kontrol C. burnetii memberikan Gambaran pita yang lebih spesifik dibanding pada First PCR, hal ini menunjukan bahwa nested PCR lebih sensitif dibanding First PCR.

Dalam nested PCR terdapat empat tahap suhu sebagai prinsip kerja seperti pada first PCR yaitu komplementasi antar DNA namun yang membedakan adalah waktu yang diperlukan untuk nested PCR adalah lebih lama. Reaksi komplementasi tersebut adalah denaturasi, penempelan primer (annealing), perpanjangan rantai oleh DNA polimerase (extension) dan pendinginan.

82 Contoh organ sapi yang diuji memperlihatkan tidak ada pita spesifik sesuai dengan kontrol positif dari C. burnetii strain Nine Mile II. Hasil uji nested PCR dari 34 sampel campuran hati dan dan jantung sapi menunjukkan hasil negatif seperti terlihat pada Gambar 10, 11 dan 12.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 10 Hasil nested PCR (sampel 1-15)

Keterangan: Deteksi C. burnetii menggunakan nested PCR dengan primer OMP3 dan OMP4 terlihat lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 16 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 1 sampai 15).

437 bp 600 bp 600 bp 437 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 11 Hasil nested PCR (sampel 16-30)

Keterangan: Pada lajur 1 adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 14 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 16 sampai 30).

83 600 bp 437 bp M 1 2 3 4 5 Gambar 12 Hasil nested PCR (sampel 31-34)

Keterangan: Pada lajur M adalah penanda DNA(100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 5 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 31 sampai 34).

Telah diketahui bahwa asal sampel dari rumah potong hewan Oeba yang berada di Kota Kupang. Jumlah hewan yang dipotong setiap hari 40-50 ekor. Ternak yang dipotong dipasok dari beberapa tempat yang ada di Kabupaten Kupang seperti kecamatan Amfu’ang, Sulamu, Camplong, Takari, Baun, Tablolong dan Semau. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat penghasil ternak yang ada di kota Kupang. Semua ternak sapi yang akan dipotong sebelumnya dikarantina di sekitar RPH tersebut.

Secara keseluruhan daerah NTT memiliki sumber peternakan yang sangat menjanjikan karena hampir seluruh wilayah pertanian adalah disektor peternakan. Hal ini dimungkinkan 80% tanah pertanian adalah untuk usaha peternakan. Wilayah peternakan ini tersebar di tiap-tiap kabupaten di NTT terutama di Timor dan Sumba Timur. Data terakhir menyatakan populasi ternak sapi di NTT berjumlah lebih dari 540.000 ekor (DISNAK NTT 2007) sehingga NTT telah menjadi pemasok penting sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia.

Pada tahun 2006 lebih dari 62.000 ekor sapi potong yang terjual ke luar NTT. Kota tujuan penjualan ternak paling banyak ke DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2006 sekitar lebih dari 2000 ekor ongole diimpor dari luar negeri. Untuk mencegah masuknya penyakit dari daerah asal sapi maka Balai Karantina Hewan Kupang melakukan tindakan karantina terhadap ternak sapi yang diimpor tersebut (BKH NTT 2006).

84 Waktu yang diperlukan bagi tindakan karantina tergantung dari jenis pemasaran ternak. Ternak yang didatangkan dari luar negeri harus mengalami proses karantina selama 16 hari sedangkan untuk ternak yang berasal dari luar daerah NTT menjalani proses karantina 7 hari. Selama proses karantina dilakukan perlakuan monitoring dan pencegahan. Hewan yang sakit diasingkan, kemudian dilakukan tindakan pengobatan. Tindakan pemusnahan dilakukan apabila ternak didiagnosa terkena penyakit yang belum pernah terjadi di NTT (BKH NTT 2006).

Menurut data DISNAK NTT (2008), menyebutkan bahwa terdapat 10 jenis penyakit yang menyerang ternak besar maupun kecil pada tahun 2007. Penyakit pada ternak yang paling sering dihadapi di NTT adalah brucellosis, fascioliasis dan septicaemia epizootica. Ketiga penyakit ini yang sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi. Menyikapi banyaknya kasus penyakit pada sapi, Dinas Peternakan di NTT melaksanakan kegiatan vaksinasi dan pengobatan antibiotik. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesehatan ternak yang ada di NTT.

Dari penelitian ini diperoleh hasil negatif menggunakan nested PCR, hal ini menunjukkan bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q

fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan tersebut belum terkena

penyakit atau menjadi carrier (Acha dan Szyfres 2003). Faktor lain juga disebabkan penggunaan antibiotik pada sapi saat penggemukan atau pengobatan bila terdapat penyakit bakterial lainnya juga dapat berperan dalam menekan resiko hewan terpapar penyakit ini. Kemungkinan lain adalah sapi yang tiba di rumah potong hewan bukan sapi yang terpapar oleh penyakit tersebut bahkan tidak terpapar sama sekali oleh C. burnetii.

85

Dokumen terkait