• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR ANNYTHA INA ROHI DETHA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG NUSA TENGGARA TIMUR ANNYTHA INA ROHI DETHA"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

(2)

37

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di Perguruan Tinggi lain. Sumber informasi dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha NIM B251060031

(3)

38

ABSTRACT

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Study on Q Fever in Cattle in Kupang City, East Nusa Tenggara. Under direction of MIRNAWATI SUDARWANTO and

AGUS SETIYONO.

The study on Q fever in Kupang City, East Nusa Tenggara had been done. This study is aimed to observe the Q fever in cattle in Kupang City. Coxiella

burnetii is the causative agent of Q fever, which a zoonotic disease threatening

public health. Q fever is considered as an occupation hazard and can cause adverse effect on health of farm workers, slaughterhouse workers, and researcher. This study used the secondary data collected from the Provincial Livestock Service, East Nusa Tenggara and the laboratory data of Coxiella burnetii detected by nested PCR. The total of 169 samples of beef livers and hearts were collected from slaughterhouse in Kupang City. The result showed that no material genetics of Coxiella burnetii were detected in the samples. This negative results indicated that the cattle slaughtered is healthy.

Keywords: Q fever, polymerase chain reaction, Coxiella burnetii

(4)

39

RINGKASAN

ANNYTHA INA ROHI DETHA. Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh MIRNAWATI SUDARWANTO dan AGUS SETIYONO.

Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii sebagai agen, bersifat kontagius dan mempunyai daya tahan tinggi terhadap alam. Pada manusia penyakit ini menyebabkan pneumonia, hepatitis dan endokarditis. Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar. Penularan Q

fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan pangan asal

hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii.

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat di banyak negara. Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q

fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka perlu

dilakukan penelitian tentang infeksi C. burnetii pada ternak terutama pada daerah sumber produksi ternak salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang

Q fever di NTT.

Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii, dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi dan telah banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever. Tahapan proses awal PCR adalah ekstraksi DNA, dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit dengan sampel yang digunakan untuk ekstraksi adalah campuran organ hati dan jantung. Proses selanjutnya adalah first PCR, dilakukan memakai primer yang dirancang berdasarkan sekuen spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul 29 kDa. Tahap selanjutnya adalah nested PCR, hampir sama dengan first PCR namun bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first PCR dan membutuhkan waktu lebih lama. Proses selanjutnya adalah elektroforesis kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida, dilihat di bawah sinar ultra violet.

Dalam kajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT. Untuk mengkaji Q fever dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner diperlukan antara lain gambaran umum sistem peternakan, distribusi dan populasi ternak antar kota di propinsi NTT, model penyebaran ternak dan penyakit zoonosis yang ada di NTT. Sistem pemeliharaan ternak yang ada memungkinkan kontak langsung peternak dengan ternak sehingga perlu diwaspadai terhadap penularan penyakit. Jumlah populasi ternak terutama sapi potong di NTT dapat membuka peluang terhadap penyakit zoonosa yang dapat ditularkan dari ternak ke manusia. Banyaknya kasus

(5)

40 penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Melalui data penyakit ternak yang ada menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar, beresiko terinfeksi penyakit hewan menular, demikian halnya peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia.

Penelitian ini menggunakan 169 sampel hati dan jantung menunjukkan hasil negatif dengan menggunakan PCR. Ketidakhadiran pita spesifik C. burnetii berarti tidak adanya material genetik dari agen penyakit ini. Hal ini menunjukkan bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q fever. Sistem peternakan yang ada di NTT serta banyaknya jumlah ternak saat ini masih cukup aman terhadap infeksi Q fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan tersebut belum terkena penyakit atau menjadi carrier. Masalah kesehatan hewan yang dialami peternak di NTT sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi.

(6)

41

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(7)

42

KAJIAN Q FEVER PADA SAPI DI KOTA KUPANG

NUSA TENGGARA TIMUR

ANNYTHA INA ROHI DETHA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

43

BOGOR

2008

Judul Tesis : Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur

Nama : Annytha Ina Rohi Detha NIM : B251060031

Program Studi : Kesehatan Masyarakat Veteriner

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto Dr. drh. Agus Setiyono, MS Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Kesehatan Dekan Sekolah Pascasarjana Masyarakat Veteriner

(9)

44 Tanggal Lulus : Tanggal Ujian :

(10)

45

(11)

46

PRAKATA

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Bapa di Surga atas segala berkat dan AnugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Kajian Q Fever pada Sapi di Kota Kupang Nusa Tenggara Timur, yang dilaksanakan sejak agustus 2007 sampai Maret 2008.

Dalam menempuh studi S2, penulis mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bantuan, teladan, inspirasi, motivasi, semangat, doa dan kasih sayang. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan ucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. drh. Mirnawati Sudarwanto selaku ketua komisi pembimbing yang sangat sabar dan perhatian dalam membimbing serta banyak memberikan teladan yang baik kepada penulis. Ketelitian dan kesabaran beliau dalam pemeriksaan penulisan format yang benar memotivasi penulis menjadi seorang penulis yang baik.

2. Dr. drh. Agus Setiyono, MS selaku anggota komisi pembimbing yang dengan cerdas dan semangat menyumbangkan ide pikiran dan masukan selama penulisan tesis. Penulis juga menyampaikan terimakasih atas kesempatan yang diberikan beliau untuk ikut dalam penelitian lanjut Q

fever ini.

3. Dr. drh. A. Winny Sanjaya, MS selaku dosen penguji luar yang memberikan banyak masukan dalam penulisan tesis.

4. Dr. drh. Denny W. Lukman, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat Veteriner atas perhatian dan kesabaran beliau sehigga penulis dapat memperbaiki segala kekurangan yang ada dalam penulisan tesis dan dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

5. Keluarga tercinta: Papa, Mama, kak Umbu, kak Gere, kak Gibson, kak Lela, ka Deasy, Ade dan keluarga besar atas doa, kasih sayang dan dukungan spiritual dan materi selama masa studi.

6. Yayasan “Sabu Development Foundation”: Keluarga Bapak Hendrik Riwu Kore, SE. MM., dan semua masyarakat Sabu-NTT, yang sudah mendukung dan mempercayakan kesempatan studi S2 kepada penulis.

(12)

47 7. Dinas Peternakan Propinsi NTT, Dinas Peternakan Kota Kupang, Balai

Karantian Hewan Tenau-Kupang, atas bantuan data dan kesempatan pengambilan sampel di RPH Oeba Kota Kupang yang digunakan untuk penelitian.

8. Rektor Undana, dekan Fapet Undana dan pihak SPP Kupang, atas kesempatan yang diberikan penulis untuk menyelasaikan studi S2.

9. Dr. drh. Hapsari Mahatmi, MS., Keluarga Ir. Surya Sembiring, M.Si., atas perhatian, inspirasi, kebaikan, doa dan kasih sayang sehigga penulis dapat menyelesaikan studi tepat waktu.

10. Keluarga besar PERKANTAS Bogor atas dukungan doa, kasih sayang, perhatian dan kebersamaan sebagai keluarga selama penulis studi di Bogor. Sahabat-sahabat terkasih dan seperjuangan Tience, Nelly, kak Olly atas doa, kasih sayang, perhatian, nasehat, kebersamaan, suka duka yang dilalui bersama selama studi di Bogor. Kak Suryaty, mbak Wiwien, adik kelompok (Oving, Eka, Yessy, Kristina dan Sasti) atas doa, kasih sayang dan perhatiannya. Teman-teman seperjuangan dalam menimba ilmu di KMV IPB 2006 (Wiwin & mbak Fety) atas diskusi, semangat dan kebersamaan selama masa 2 tahun ini. Terkasih Aris atas kasih sayang, doa perhatian, motivasi yang diberikan pada penulis.

11. Semua pihak yang tidak dapat disebut satu persatu yang turut mendukung dalam penelitian dan penulisan tesis ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkannya.

Bogor, Agustus 2008

Annytha Ina Rohi Detha

(13)

48

(14)

49

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Maumere, Nusa Tenggara Timur pada tanggal 16 Agustus 1981, adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan Johannes Wohangara Detha dan Imirana Detha.

Penulis menamatkan Sekolah Dasar pada tahun 1994 di SD Katolik Waikabubak, Sumba Barat dan Sekolah Menengah Pertama tahun 1997 di SMP Negeri 2 Same Manufahi, Timor-Timur. Sekolah Menengah Umum pada tahun 2000 di SMU Negeri 2 Waingapu, Sumba Timur dan pada tahun yang sama penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana. Tahun 2004 penulis lulus sebagai Sarjana Kedokteran Hewan dan lulus sebagai Dokter Hewan pada akhir tahun 2005. Pada tahun 2007 penulis diterima bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Peternakan Universitas Nusa Cendana di Kupang.

Pada Bulan Agustus 2006 penulis mendapat kesempatan melanjutkan jenjang S2 melalui program beasiswa dari Yayasan “Sabu Development

Foundation”. Penulis mengambil program studi Kesehatan Masyarakat Veteriner

di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(15)

50

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………... xii

DAFTAR GAMBAR ………... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ………... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang …..………. 1 Tujuan Penelitian ...………... 3 Manfaat Penelitian ..……… 3 TINJAUAN PUSTAKA Sejarah Q Fever ..…....……… 4 Karakteristik C. burnetii ...……..……… 4 Epidemiologi Q Fever ..………....……….. 6

Metode Diagnosa Q Fever ………..….……….. 10

Pencegahan dan Pengobatan .……..………... 11

BAHAN DAN METODE Pengumpulan Data Sekunder ..………... 12

Pengambilan Sampel di Lapangan ...………... 12

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode PCR .………... 13

Ekstraksi DNA …………..………... 14

First PCR ...………..……….. 14

Deteksi HasilAmplifikasi ...……….. 15

Nested PCR ..………..……….. 16

Analisa Data ...…………..……… 17

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT ...………….. 18

Sistem Pemeliharaan dan Populasi Ternak di NTT ...………….. 19

Model Pemasaran dan Transportasi Ternak di NTT ..…………... 22

Jenis Ternak Budidaya dan Masalah Kesehatan Hewan ………... 25

Q Fever di Nusa Tenggara Timur ..….……….. 26

Pengujian First PCR ………..….……….. 27

Pengujian Nested PCR ....…..….……….. 28

KESIMPULAN DAN SARAN …..………. 32

DAFTAR PUSTAKA ...………... 33

LAMPIRAN ...………... 37

(16)

51

Halaman

1 Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur ………... 20 2 Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur ……… 22 3 Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006 ……….. 23 4 Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import

lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006 .………... 24 5 Pengeluaran ternak dari Nusa Tenggara Timur

Tahun 2003-2006 ..……….. 24 6 Kasus penyakit hewan menular di NTT tahun 2007 ……… 26

(17)

52

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan

menggunakan mikroskop elektron ..………. 5

2 Transmisi (wildlife) Q fever …..………..………. 8

3 Transmisi (domestic cycle) Q fever ...………..………. 8

4 Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian ...…..………… 17

5 Sistem pemeliharan semi intensif .………...………. 21

6 Sistem pemeliharan ekstensif .………..……… 21

7 Model pemasaran dan transportasi ternak sapi ...………..………. 25

8 Hasil first PCR (i) ...………..………..………. 28

9 Hasil first PCR (ii) ....…………..……….………. 28

10 Hasil nested PCR (i) ……….…… 29

11 Hasil nested PCR (ii) ...……….…… 30

(18)

53

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Keterangan sampel ...………...………..….……. 38 2 Vaksinasi anthrax, hog cholera, brucellosis, dan SE ...………..…...……. 40 3 Produksi karkas/daging sapi propinsi NTT tahun 2006 ....……..………. 41 4 Pemotongan tercatat dan tidak tercacat ternak besar dan kecil Propinsi

NTT tahun 2006 ...……….……. 41 5 Rumah pemotongan hewan (RPH) atau tempat pemotongan hewan

(TPH) di Propinsi NTT tahun 2006 ...…....……….…... 42 6 Gambar produk pangan asal ternak di NTT, kondisi kios penjualan

(19)

54

PENDAHULUAN

Latar belakang

Demam Query atau Q fever adalah salah satu penyakit zoonosa penting yang dapat ditularkan melalui pangan. Coxiella burnetii adalah agen penyebab Q

fever pada manusia dan coxiellosis pada hewan. C. burnetii bersifat sangat

kontagius, dalam jumlah sedikit sudah mampu menyebabkan sakit (Raoult 2002), mempunyai daya tahan yang tinggi terhadap alam dalam waktu lama, tahan terhadap pH rendah, serta tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan Raoult 1999).

Pada manusia Q fever menyebabkan gangguan pada tubuh seperti malaise, myalgia, sakit kepala, kedinginan, kelelahan, demam tinggi yang sering dihubungkan dengan penyakit pernafasan (Acha dan Szyfres 2003). Q fever dapat bersifat akut, sering muncul seperti pneumonia dan hepatitis (Fournier dan Raoult 2003) dan infeksi kronis seperti endokarditis dan osteomielitis (Raoult 2002). Penelitian terbaru menunjukkan gangguan pada aorta didiagnosa akibat agen C.

burnetii (Panau et al. 2007). Pada wanita hamil dapat menyebabkan keguguran,

kelahiran prematur, kelahiran dengan berat kurang dari normal, radang plasenta dan infeksi uterus kronis (Marrie 2003).

Hewan yang dapat terserang Q fever antara lain sapi, kambing, domba, ruminansia lain, unggas, hewan peliharaan seperti anjing dan kucing, serta hewan liar (Acha dan Szyfres 2003). Rodensia, caplak dan serangga bahkan ikan juga merupakan sumber penularan penting bagi penyakit Q fever (Marrie 2003).

Penularan Q fever terjadi secara langsung dan tidak langsung dari hewan yang terinfeksi (Raoult 2002). Penularan Q fever dapat terjadi melalui kontak langsung, partikel debu, bahan makanan asal hewan, luka yang terkontaminasi, cairan amnion, plasenta, selaput lendir, tinja dan urin dari hewan yang terinfeksi C. burnetii (Acha dan Szyfres 2003). Transmisi manusia ke manusia dapat terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang dan transmisi secara seksual (Davis 2004).

Pada manusia infeksi dapat terjadi melalui inhalasi secara aerosol dari cairan amnion, plesenta dan wool yang terkontaminasi. Penularan secara oral

(20)

55 terjadi akibat mengkonsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii (Gozalan et al. 2005). Laporan epidemiologi dari banyak negara menyebutkan individu yang berisiko paling tinggi terinfeksi penyakit ini adalah orang yang sering kontak langsung dengan ternak seperti pekerja di peternakan, rumah potong hewan (Hatchette et al. 2001).

Q fever tersebar luas di seluruh dunia bahkan telah menjadi masalah

kesehatan masyarakat di banyak negara seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, Jerman, Spanyol, Kanada, Jepang, Australia, Thailand, Taiwan, Malaysia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara (Fournier et al. 1998). Akibat distribusi geografis Q fever yang sangat luas dan letak geografis Indonesia yang berdekatan wilayah dengan negara-negara endemik Q fever terutama Australia, maka perlu diwaspadai penyebaran penyakit ini di Indonesia.

Sebagian besar penduduk Indonesia adalah petani yang tidak terlepas dari ternak sehingga rentan terhadap infeksi Q fever. Mengingat dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini baik pada manusia maupun hewan yang bisa tertular melalui produk hasil ternak seperti daging, susu dan telur, maka perlu dilakukan penelitian tentang C. burnetii pada ternak terutama pada daerah yang merupakan sumber produksi ternak di Indonesia yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Daerah NTT merupakan daerah yang secara geografis memiliki kondisi fisik yang sesuai untuk produksi ternak dan memiliki kontribusi yang sangat tinggi terhadap perdagangan sapi potong antar pulau. Bahkan usaha sapi potong dapat meningkatkan lapangan kerja, produksi daging nasional, pendapatan dan kesejahteraan petani peternak, serta meningkatkan pendapatan daerah (Anonim 2005).

Sapi bali banyak ditemukan pada peternakan di daerah NTT, walaupun bukan sapi bali murni. Hal ini membuktikan bahwa pernah terjadi distribusi sapi bali dari Bali ke daerah NTT pada waktu lampau. Penelitian yang dilaporkan oleh Mahatmi (2006), di Propinsi Bali ditemukan adanya C. burnetii yang menginfeksi sapi bali dan menyebar di daerah tersebut. Hasil penelitian terbaru dari Ohji et al. (2008) menyatakan seorang pria Jepang yang baru kembali dari Bali, Indonesia telah didiagnosa menderita Murine typhus, dan ini merupakan kasus kedua yang terjadi pada wisatawan yang pernah ke Indonesia. Data

(21)

56 penelitian tersebut menunjukkan prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia (Q

fever dan Murine typhus) di Indonesia.

Sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian yang mendalam tentang Q fever di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Hal lain yang penting adalah

Q fever dapat menjadi ancaman bagi kesehatan manusia dan hewan serta

mengingat dampak jangka panjangnya yang fatal. Penelitian Q fever pada sapi di Kota Kupang NTT diharapkan dapat memberikan manfaat berupa informasi dasar bagi pengembangan sistem pengawasan terhadap lalu lintas ternak untuk pencegahan dan pengendalian Q fever pada hewan dan manusia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk mengkaji penyakit Q fever pada sapi potong di Kota Kupang, NTT.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan diperoleh informasi yang dapat dipakai untuk tujuan diagnostik, pengembangan sistem pengawasan untuk pencegahan dan pengendalian Q fever.

(22)

57

TINJAUAN PUSTAKA

Sejarah Q fever

Penyakit Q fever pertama kali dilaporkan di Australia pada tahun 1935 kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia (sampai saat ini). Kejadian bermula pada pekerja rumah potong hewan di Brisbane Queensland, menderita demam yang tidak diketahui penyebabnya. Setelah kejadian di Australia, kejadian secara epidemik telah diteliti di Afrika, Eropa, Asia, dan Amerika Utara. Terdapat 51 negara dilaporkan adanya Q fever dan telah dibahas hampir di setiap negara kecuali New Zealand (Page 2004).

Q fever pertama kali ditemukan oleh Edward H. Derrick pada tahun 1937,

kemudian pada tahun 1939 Macfarlane Burnett dan Freeman mengisolasi agen penyebab Q fever yaitu Rickettsia, dan kemudian disebut Rickettsia burnetii. Namun demikian ternyata masih mempunyai perbedaan juga dengan kelompok tersebut, maka akhirnya agen Q fever ini berdiri dengan nama Coxiella burnetii (Maurin dan Raoult 1999; Soejoedono 2004).

Di dunia perkembangan penelitian tentang Q fever sudah demikian maju bahkan sekuensing genom dari C. burnetii secara lengkap sudah dilakukan. Hal ini mengingat C. burnetii mempunyai potensi untuk dipakai sebagai senjata biologis (bioterrorism agent), sehingga penanganan yang benar dan cepat menjadi penting bila terjadi wabah (Fournier dan Raoult 2003).

Karakteristik C. burnetii

Penyakit Q fever disebabkan oleh Coxiella burnetii, bersifat obligat intraseluler, berbentuk batang (coccobacillus) dengan ukuran 0,3-1,0 µm (Gambar 1), pleomorfik dan gram negatif. C. burnetii sulit dilihat dengan teknik pewarnaan gram walaupun memiliki membran yang sama seperti bakteri gram negatif lainnya. Pewarnaan yang bisa dipakai adalah pewarnaan Gimenez dan pewarnaan Stamp’s (Maurin dan Raoult 1999).

(23)

58

Gambar 1 Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan mikroskop elektron (Davis 2004).

C. burnetii bersifat obligat intraseluler pada inangnya dan memiliki

karakter yang mirip dengan Rickettsia (Ogawa et al. 2004). Secara filogenetik C.

burnetii masuk dalam kingdom Pseubacterial, filum Proteobacteriae, ordo Gamma, genus Coxiella dan spesies C. burnetii (Marrie 2003).

C. burnetii hidup dan berproliferasi dalam sel inang. Sel target utama dari

agen ini hanya pada monosit atau sel-sel makrofag. Jika infeksi terjadi melalui saluran napas maka makrofag alveolar merupakan sel utama yang berperan aktif terhadap terjadinya infeksi akut. Dalam hati sel kupfer berperan aktif terhadap adanya infeksi C. burnetii melalui aliran darah (Fournier et al. 1998).

C. burnetii dapat bertahan dalam lingkungan dengan kurun waktu lama,

tahan pada pH rendah dan tahan terhadap beberapa bahan kimia pembasmi bakteri seperti lisol 0.5%, sodium hipoklorit dan radiasi sinar ultra violet (Maurin dan Raoult 1999). C. burnetii memiliki formasi spora yang menyebabkan bakteri ini bersifat patogen. Spora ini dapat bertahan 7-10 bulan di dinding rumah pada suhu 15–20 0C, lebih dari satu bulan dalam daging dalam penyimpanan dingin dan lebih dari 40 bulan dalam susu skim pada suhu ruangan (Marrie 2003).

(24)

59

Epidemiologi Q Fever

Sumber Penularan dan Transmisi Q Fever

Penyakit Q fever bersifat zoonosis dan penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan terinfeksi maupun oleh partikel debu yang terkontaminasi agen penyebab. Q fever dapat berpotensi besar sebagai senjata biologis karena sifatnya yang tahan terhadap lingkungan dan dapat ditransmisikan secara aerosol (Davis 2004).

Q fever dapat terjadi dalam rute transmisi yang bervariasi. Sapi, domba

dan kambing adalah ruminansia domestik dianggap sebagai reservoir utama dan sumber infeksi C. burnetii pada manusia. Pada manusia, rute penyebaran secara aerosol dianggap sebagai rute infeksi yang utama yaitu lewat inhalasi terhadap yang sudah terkontaminasi dengan C. burnetii. Materi yang terkontaminasi C.

burnetii seperti cairan amnion, plasenta, ekskret, wol, tanah dan debu dapat

menyebarkan agen ini melalui angin (windborne)(Page 2004).

Transmisi secara oral dapat juga terjadi melalui bahan pangan asal hewan yang terinfeksi seperti daging dan produknya (Page 2004). Transmisi lain dapat terjadi melalui transfusi darah, transplantasi tulang, inokulasi intradermal dan hubungan seksual (Davis 2004). Penelitian yang dilakukan Milazzo et al. (2001), melaporkan seorang pasien terdiagnosa orchitis setelah 29 hari sebelumnya melakukan hubungan seksual dengan penderita Q fever.

Hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan kelinci juga termasuk dalam sumber infeksi pada masyarakat perkotaan. Penelitian di Itali, menunjukkan bahwa anjing dapat mentransmisikan Q fever ke manusia melalui cairan ekskreta dan urine. Selain itu juga ditemukan bahwa C. burnetii tersebar luas di peternakan terutama selama masa partus. Hal ini disebabkan dalam masa partus, C. burnetii dilepaskan pada lingkungan lebih dari 109 bakteri pergram plasenta yang terinfeksi (Capuano et al. 2004).

C. burnetii dapat bertahan selama 32 bulan dalam susu dari sapi yang terinfeksi Q fever. Penelitian yang dilakukan di Switzerland, ditemukan adanya C.

burnetii pada 17 dari 359 sampel susu (sapi, kambing domba) dan telur (Fretz et al. 2007). Namun C. burnetii dalam susu dapat diinaktifkan melalui proses

(25)

60 pasteurisasi dengan suhu 63.8 0C (147 F) selama 30 menit atau 71.7 0C (161 F). Menurut Raoult (2002), konsumsi susu yang terkontaminasi C. burnetii dapat menyebabkan distribusi sistemik melalui saluran pencernaan. Hatchette et al. (2001), menemukan bahwa mengkonsumsi keju yang tidak dipasterurisasi merupakan faktor resiko bertambahnya kejadian Q fever di Inggris.

C. burnetii dalam urine dan feses dari hewan yang terinfeksi dapat juga

sebagai sumber kontaminasi untuk rute transmisi melalui air, debu, tanah, dan muntah. C. burnetii dapat bertahan selama 19 bulan dalam feses dari beberapa jenis arthropoda yang terinfeksi agen ini (Davis 2004). C. burnetii dapat diisolasikan dari berbagai jenis arthropoda seperti kecoa, kumbang, lalat, kutu, caplak dan tungau. Telah dilaporkan lebih dari 40 jenis arthropoda dapat terinfeksi

C. burnetii melalui transovarial dan transstadial (diantara siklus hidup) (Page

2004).

Penelitian Yanasa et al. (1998), menemukan adanya C. burnetii dari sampel debu yang dikoleksi dari peternakan sapi perah di Jepang Dua penelitian lain melaporkan bahwa penularan Q fever melalui angin dapat terjadi dengan jarak 18,3 km dari pusat infeksi (Tissot et al. 1999; Hawker et al. 1998). Penelitian yang dilakukan di Inggris, ditemukan adanya kontaminasi C. burnetii pada jerami, pupuk, dan debu dari kendaraan di peternakan. Di Swiss dilaporkan individu yang tinggal dekat jalan yang mengangkut domba beresiko tinggi terinfeksi Q fever (Page 2004)

Individu yang beresiko terinfeksi termasuk peternak, pekerja RPH, pekerja laboratorium, dan dokter hewan yang sering kontak dengan produk hewan (Davis 2004). Penelitian Psaroulaki et al. (2006) melaporkan bahwa individu yang tinggal dekat peternakan kambing atau domba beresiko besar terhadap penularan

Q fever dan serangga dianggap sebagai aspek epidemiologi yang paling berperan

pada penularan tersebut.

Transmisi Q fever dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu wildlife dan

domestic cycle. Transmisi wildlife terjadi melalui perantara caplak yang menggigit

hewan liar terinfeksi lalu menggigit hewan liar yang rentan. Transmisi domestic

(26)

61 hewan tertular. Susu segar dan daging dari sapi yang menderita Q fever merupakan sumber penularan penting pada manusia (Acha dan Szyfres 2003).

Manusia Ixodidae spp., Argasidae spp. Hewan liar yang rentan Hewan liar terinfeksi

Gambar 2 Transmisi (wildlife) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).

Cairan amnion, plasenta

Produk asal hewan

Hewan peliharaan yang terinfeksi Manusia Hewan peliharaan yang terinfeksi

Gambar 3 Transmisi (domestic cycle) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).

Kejadian pada Manusia

Penyakit Q fever pada manusia sering bersifat menahun dan menimbulkan kondisi yang fatal yaitu mengakibatkan kegagalan fungsi hati, radang tulang, radang otak, gangguan pada pembuluh darah dan yang kerap terjadi endokarditis yang berakhir dengan kematian (Stein dan Raoult 1992). Penelitian yang dilaporkan oleh Stein et al. (2005) menjelaskan bahwa penularan Q fever secara aerosol dapat menimbulkan lesi hebat pada paru-paru.

Masa inkubasi C. burnetii antara 2-3 minggu dengan gejala klinis yang bervariasi tergantung tingkat patogenitasnya, diikuti dengan demam tinggi (39–40

(27)

62 1999). Namun masa inkubasi dan tingkat patogenitas dapat tergantung dari kondisi kesehatan individu ketika terpapar agen C. burnetii dan rute transmisi penyakit ini (Page 2004).

Pada penelitian Panau et al. (2007), melaporkan adanya kasus Q fever dengan gejala klinis berupa gangguan jantung yang hebat diikuti infeksi pernapasan. Penelitian di Turki, melaporkan terdapat 46 kasus Q fever dalam kurun waktu 3 bulan dengan gejala klinis yang ditimbulkan berupa muntah (100.0%), nausea (85.7%), diare (57.1%), demam (42.9%), sakit pada perut (42.9%) dan sakit kepala (42.9%) (Gozalan et al. 2007).

Q fever pada wanita hamil dapat menimbulkan gangguan yang serius. Penelitian yang dilaporkan Raoult et al (2002), menyebutkan bahwa wanita hamil yang didiagnosa menderita Q fever, beresiko mengalami keguguran, kelahiran prematur dan lahir dengan berat badan tidak normal pada usia 3 bulan pertama masa kehamilan sedangkan untuk kehamilan tua, abortus jarang terjadi. Dari hasil penelitian lain terhadap 7 wanita dengan kasus Q fever pada umur kehamilan 3 bulan pertama semuanya mengalami abortus (Page 2004).

Kejadian pada hewan

Kejadian Q fever pada hewan tidak selalu menimbulkan gejala klinis bahkan lebih sering tidak ada gejala yang tampak. Studi seroprevalensi yang dilaporkan Masala et al (2004), menunjukkan penularan Q fever yang sangat tinggi terjadi pada peternakan kambing dan domba. Penelitian lain di Itali dengan kurun waktu 4 tahun, dilaporkan dari 514 kasus abortus, 138 diantaranya dari ternak sapi dan 376 lainnya adalah kambing dan domba (376). Data ini menunjukan bahwa hampir semua infeksi C. burnetii pada hewan sering berhubungan dengan kejadian abortus (Parisi et al. 2006).

Pada hewan C. burnetii berlokasi pada glandula mamae, uterus dan plasenta, diantara ketiganya konsentrasi C. burnetii paling banyak di plasenta. Menurut Tissot et al (1999), menjelaskan bahwa kejadian Q fever yang tiap tahun dilaporkan di sekitar daerah peternakan. Hewan peliharaan termasuk kucing, anjing, kelinci dan tikus liar adalah sumber yang baru bagi infeksi C. burnetii (Hawker et al. 1998; Marrie 2003). Bahkan di Perancis dilaporkan adanya

(28)

63 kejadian Q fever melalui feses merpati yang terkontaminasi C. burnetii (Marrie 2003).

Q Fever Di Indonesia

Dalam laporan World Health Organization (WHO), berdasarkan pemeriksaan serologis dinyatakan bahwa penyakit Q fever pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1937 (Kaplan dan Bertagna 1955). Penelitian selanjutnya yang pernah dilaporkan adalah studi seroepidemiologi tentang Q fever di Indonesia pada tahun 1978 (Koesharjono 1978). Kasus pneumonia yang terbukti disebabkan oleh C. burnetii dari seorang penderita yang mempunyai riwayat pernah tinggal di Indonesia (Miyasita 2001).

Penelitian seroepidemiologi di Indonesia terhadap Spotted fever group

Rickettsia (SFGR), telah dilakukan di Kepulauan Gag, Irianjaya ternyata

persentasi sero prevalensi positif SFGR berkisar 21 % -20,4% (Richard et al. 2003). Prevalensi terhadap penyakit grup rickettsia, Murine typhus juga telah diinvestigasi pada tikus liar di Indonesia. Sampel yang diambil dari Jakarta dan Boyolali menunjukkan dari 327 tikus liar, sebanyak 128 (39,1%) diantaranya infeksi terdapat Murine typhus (Ibrahim et al. 2001).

Penelitian selanjutnya yang dilaporkan Mahatmi (2006), adanya infeksi Q

fever pada sapi bali dan domba di Bali dan dengan hasil positif 6,8% dari jumlah

sampel campuran hati dan jantung mengandung materi genetik C. burnetii. Penelitian terbaru seorang pria Jepang yang baru kembali dari Bali, Indonesia telah terdiagnosa Murine typhus, ini kasus kedua yang terjadi pada wisatawan yang pernah ke Indonesia (Ohji et al. 2008).

Metode Diagnosa Q fever

Diagnosa Q fever berdasarkan gejala klinis yang tampak hampir tidak memberikan ketepatan, mengingat gejala klinis yang bersifat subklinis dan sangat umum, sehingga hasil diagnosa secara laboratorium sangat diperlukan. Ketepatan diagnosa Q fever sangat diperlukan untuk melakukan pengobatan yang efektif sebab tidak semua antibiotika broadspektrum mampu membunuh bakteri C.

(29)

64 digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Ogawa 2004; Fournier dan Raoult 2003). Beberapa metode serodiagnosis yang diterapkan untuk pemeriksaan Q fever adalah enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA), capilary tube

mikroagglutination, complement fixation (CFT) dan micro indirect immunoflourescent antibody test, immunohistochemical staining dan immunoflourescent assay (IFA) (Slaba et al. 2005; Setiyono et al. 2005, Marrie

2003).

Pencegahan dan Pengobatan

Pengobatan Q fever akut yang direkomendasikan adalah doxycycline sedangkan macrolides direkomendasikan untuk wanita hamil. Fluoroquinolones dan macrolides baik untuk terapi alternatif bagi penderita Q fever. Pneumonia akibat Q fever dapat diobati dengan erythromycin (Page 2004), tetracycline juga efektif terhadap endokarditis akibat infeksi Q fever kronis. Terapi kombinasi

chloroquine dan doxycycline atau doxycycline dan ofloxacin dapat dianjurkan

karena telah berhasil menyembuhkan penderita Q fever (Calza et al. 2001).

Pencegahan Q fever dengan vaksinasi dianjurkan pada individu yang mempunyai resiko tinggi tertular Q fever seperti peternak, dokter hewan dan pekerja rumah potong. Berbagai jenis vaksin telah dicoba, di Rusia telah dikembangkan jenis vaksin dari C. burnetii yang dilemahkan. Selama periode 5 tahun di Australia telah dikembangkan vaksin formalin inaktif yang disebut Q-vak yang telah dibuktikan 100% efektif. Vaksin Q fever menimbulkan efek samping seperti hipersensitivitas yang ditandai dengan gejala mulai dari peradangan lokal berupa eritema pada lokasi penyuntikan vaksin sampai gejala sistemik. Agar penggunaan vaksin Q fever aman diperlukan terlebih dahulu pemeriksaan potensi vaksin dengan uji dermal atau uji serologis (Page 2004).

(30)

65

BAHAN DAN METODE

Pengumpulan Data Sekunder

Dalam pengkajian Q fever di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, dibutuhkan data tentang gambaran peternakan sapi yang ada di NTT secara menyeluruh baik dalam sistem manajemen peternakan sapi skala kecil, menengah dan besar termasuk usaha meningkatkan kesehatan ternak dan jenis ternak yang sedang dikembangkan. Hal lain yang penting untuk mengkaji Q fever dari sudut pandang kesehatan masyarakat veteriner antara lain distribusi atau pergerakan ternak antar kota di Propinsi NTT, model penyebaran ternak dari dan keluar NTT serta penyakit zoonosis yang ada di NTT. Data yang diperlukan diperoleh dari Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Timur dan Balai Karantina Hewan Kelas I Tenau, Kupang Nusa Tenggara Timur.

Pengambilan Sampel di Lapangan

Dalam pengambilan sampel difokuskan pada rumah potong hewan yang berada di Kota Kupang yaitu di rumah potong hewan (RPH) Oeba dengan waktu pengambilan sampel dilakukan pada bulan Agustus 2007. Kota Kupang diasumsikan sebagai pusat pemotongan hewan yang berasal dari kabupaten lain di Pulau Timor NTT. Rata-rata pemotongan sapi di rumah potong hewan Kota Kupang berkisar antara 30-40 ekor perhari. Pengambilan sampel dilakukan selama 2 minggu dengan interval 2 hari sekali, hal ini dikarenakan alasan keterbatasan waktu. Jumlah pengambilan sampel berkisar antara 75-80% dari jumlah pemotongan perhari.

Sampel yang diambil adalah organ hati dan jantung sapi potong, dengan berat ± 10 gram/sampel. Pengambilan sampel dilaksanakan pada malam hari, sampel kemudian ditempatkan pada coolbox (±5 0C) dan disimpan pada frezeer. Pada saat jumlah sampel yang ada sudah sesuai dengan jumlah yang diinginkan, sampel ditransportasikan ke tempat penelitian menggunakan coolbox untuk menghindari kerusakan. Selanjutnya sampel disimpan dalam freezer, dikeluarkan pada saat akan dilakukan pengujian.

(31)

66

Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Penyakit Hewan, Departemen Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat Penelitian

Sampel penelitian terdiri dari hati dan jantung sapi potong yang diperoleh dari rumah potong hewan kota Kupang (sesuai dengan tata cara pengambilan sampel pada penelitian Mahatmi, 2006).

Bahan yang digunakan untuk ekstraksi DNA: cell lysis solution,

proteinase K solution, RNase A solution, protein precipitation solution, 100%

isopropanol (2- propanol), 70% etanol, DNA hydration solution. Bahan primer yang digunakan pada first PCR adalah OMP 1(5’-AGT AGA AGC ATC CCA AGC ATT-G), OMP2 (TGC CTG CTA GCT GTA ACG ATT-G), 10 x taq buffer, dNTP, akuabidestilata bebas DNA, taq polymerase, DNA sampel, kontrol positif

C. burnetii strain Nine Mile II (ATCC) sedangkan bahan primer pada Nested PCR

adalah OMP3 (5’-GAA GCG CAA GAA GAA CAC-3’), OMP4 (5-TTG GAA GTT ATC ACG CAG TTG-3’). Primer nested PCR dirancang dari susunan membran luar C. burnetii dengan berat 29 kDa yang merupakan bagian converse

region C. burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp seperti yang dilakukan oleh

Zhang et al. (1998) dan Ogawa et al. (2004), selebihnya menggunakan bahan yang sama seperti first PCR.

Bahan untuk mendeteksi hasil amplifikasi menggunakan agar agarose (sigma), Larutan 1 x tris acetate EDTA dan bromo phenol blue. Alat yang digunakan antara lain cleanbench, timbangan mikro, mikropipet, ependorf steril,

microtube PCR, PCR (Perkin Elmer Gene Amp PCR System 9600), elektroforesis,

vortex, sentrifus, microwave, ultra violet iluminator, erlenmeyer, kamera.

Identifikasi DNA C. burnetii dengan Metode PCR

Penggunaan metode polymerase chain reaction (PCR) untuk mendeteksi keberadaan C. burnetii pada serum dan sel leukosit manusia merupakan metode

(32)

67 yang dipercaya memiliki nilai akurasi yang tinggi telah banyak digunakan untuk mendiagnosa Q fever (Zhang et al. 1998; Ogawa et al. 2004). Dari penelitian Ogawa et al. (2004), telah dievaluasi bahwa untuk mendeteksi C. burnetii dengan menggunakan metode nested PCR memiliki tingkat sensitivitas 10 kali lebih baik dibanding metode PCR assay. Metode PCR yang diterapkan pada penelitian ini berdasarkan standar yang dipakai di National Institut of Infectious Disease (NIID) Jepang (Setiyono et al. 2005).

Ekstraksi DNA

Ekstraksi DNA dilakukan dengan memakai standar DNA purification kit. Setiap sampel (campuran hati dan jantung) diambil kira-kira 50 mg dihaluskan dan dimasukkan ke dalam tabung mikro. Tambahkan cell lysis solution (puregene), dihomogenisasi sampai terbentuk suspensi. Proses selanjutnya penambahan 1,5 μl proteinase K solution dan diinkubasikan pada suhu 65 0C selama 1 jam, tambahkan precipitation solution (puregene) 100 μl, dan di-vortex. Sentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C. Supernatan hasil sentrifus diambil dan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru dan ditambahkan 300 μl isopropanol, di-vortex 20 kali. Setelah itu sampel lalu disentrifus dengan kecepatan 15.000 x g selama 5 menit pada suhu 4 0C. Supernatan dibuang, filtrat yang tersisa di dasar tabung merupakan pelet DNA, tambahkan etanol 70% sebanyak 500 μl, untuk proses pencucian. Disentrifus 15.000 x G selama 5 menit pada suhu 5 0C. Supernatan dibuang secara hati-hati, penguapan alkohol yang tersisa dilakukan dalam cleanbench selama 1 jam. Tambahkan DNA dehydration solution, diinkubasi selama 1 jam pada suhu 65 0C. DNA yang diperoleh disimpan pada suhu 4 0C dan siap untuk preparasi PCR.

First PCR

First PCR dilakukan memakai primer yang dirancang berdasarkan sekuen spesifik dari membran luar C. burnetii dengan berat molekul 29 kDa. Pekerjaan dilakukan di dalam cleanbench yang sebelumnya sudah disterilisasi (dengan alkohol 70% dan ultra violet selama 15 menit). Pada saat cleanbench akan digunakan disterilisasi lagi dengan DNA away untuk merusak DNA kontaminasi

(33)

68 yang mungkin ada. PCR mixture diawali dengan menyiapkan tabung mikro volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari primer, dNTP, taq buffer, akuabidestilata dan terakhir adalah taq polymerase sebanyak volume diatas dikalikan jumlah sampel yang diperiksa, dicampur menggunakan pipet mikro dan dipindahkan ke dalam tabung PCR yang telah diberi nomor sampel, masing-masing sebanyak 27 µl. Untuk menghindari kontaminasi dan terlalu lama pada suhu ruang, maka bahan-bahan seperti primer, taq polymerase, dNTP segera disimpan kembali ke dalam freezer -84 0C.

Ekstraksi DNA sampel disiapkan. Setiap tabung PCR yang telah ditandai dan berisi PCR mixture masing-masing ditambahkan 3 µl ekstraksi DNA sampel. Setiap penambahan DNA sampel diusahakan mencampur dengan sempurna dengan menggunakan pipet mikro. Setelah semua sampel DNA dimasukan dalam setiap tabung PCR, sisa sampel DNA disimpan kembali ke dalam medicool. Selanjutnya kontrol positif C. burnetii NM-2 pada 437 bp ditambahkan ke dalam tabung PCR yang telah berisi 27 µl mixture PCR sebanyak 3 µl, sehingga semua tabung PCR masing-masing berisi 30 µl. Kemudian diatur dalam mesin thermal

cycler (Perkin-Elmer Gene Amp PCR system 9600).

Amplifikasi diatur dengan program 35 cycles, yang terdiri dari proses denaturasi pada suhu 94 0C selama 1 menit, anneling pada suhu 54 0C selama 1 menit dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 2 menit dan diakhiri dengan proses pendinginan 4 0C. Produk amplifikasi berjalan kira-kira 3 jam. Setelah proses amplifikasi selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk dilakukan elektroforesis dan nested PCR.

Deteksi Hasil Amplifikasi

Setelah proses amplifikasi pada mesin PCR selesai, dilakukan elektroforesis. Persiapan sebelum elektroforesis adalah pembuatan gel agarose dengan cetakan 25 sumuran menggunakan bahan agar dari agar agarose (sigma) 1.5% dalam larutan 1 X tris acetat EDTA. Selanjutnya larutan 1 x tris acetat EDTA sebanyak 350 ml dimasukkan ke dalam mesin elektroforesis yang telah diisi atau sampai batas yang tertera pada alat dengan tegangan 100 volt dan frekuensi 50 Hz selama 30 menit. Proses selanjutnya adalah mencampurkan setiap

(34)

69 sampel hasil first PCR dengan bromo phenol blue sebanyak 5 µl diatas plastik steril.

Kotak pertama yang berisi bromo phenol blue 5 µl ditambahkan 2 µl penanda DNA (100-1200 bp) disuspensikan dengan sempurna menggunakan mikro pipet dan diambil 7 µl dengan hati-hati dimasukan ke dalam sumuran pada gel yang sudah dimasukan dalam tangki mesin elektroforesis. Kotak kedua dan seterusnya yang berisi bromo phenol blue ditambahkan 2 µl masing-masing sampel hasil amplifikasi first PCR. Kemudian dicampur dengan mikropipet dan dimasukan secara hati-hati ke dalam sumuran pada gel yang ada di dalam tangki mesin elekroforesis, hal yang sama dilakukan terhadap penanda DNA, kontrol positif dan beberapa sumuran untuk sampel hasil amplifikasi first PCR.

Molekul DNA akan bergerak dari kutub negatif ke positif, molekul DNA dibiarkan berjalan sampai batas 3 garis dari bawah, kemudian mesin dimatikan. Proses elektroforesis berlangsung ±30 menit. Gel hasil elektroforesis diangkat dari dalam tangki mesin elektroforesis dan dibilas dengan akuades serta kemudian dimasukan dalam larutan pewarna ethydium bromida (60 µg/ml) selama 20 menit kemudian dilihat dibawah sinar ultra violet dan difoto.

Nested PCR

Primer yang dipakai untuk nested PCR dirancang dari susunan membran luar C. burnetii dengan berat 29 kDa, yang merupakan bagian conserve region C.

burnetii dengan produk amplifikasi 437 bp. PCR mixture diawali dengan

menyiapkan tabung mikro volume 1,5 ml untuk PCR mixture yang terdiri dari primer, dNTP, taq buffer, akuabidestilata dan taq polymerase sebanyak volume diatas dikalikan jumlah sampel yang diperiksa.

Pengerjaan tahap nested PCR hampir sama dengan first PCR namun bedanya pada nested PCR menggunakan sampel hasil running dari first PCR dan membutuhkan waktu lebih lama. Amplifikasi diatur dengan program 35 cycles, yang diawali dengan pemanasan suhu 94 0C selama 3 menit, denaturasi pada suhu

94 0C selama 1 menit, anneling pada suhu 56 0C selama 1 menit dan ekstensi pada suhu 72 0C selama 1 menit 30 detik, ekstensi akhir pada suhu 72 0C selama 4 menit dan diakhiri dengan proses pendinginan 4 0C. Produk amplifikasi berjalan

(35)

70 kira-kira selama 3 jam 30 menit. Setelah proses amplifikasi selesai, tabung PCR dikeluarkan dari mesin PCR dan siap untuk dilakukan elektroforesis.

Analisa Data

Data yang digunakan untuk kajian Q fever adalah hasil identifikasi C.

burnetii dengan menggunakan metode polymerase chain reaction dan data

pendukung lainnya. Data dianalisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar. Sampel disimpan dalam freezer Sampel diletakan dalam coolbox Sampel organ hati dan jantung

Tempat pengambilan sampel (RPH Oeba Kupang)

Sampel ditransportasikan ke tempat penelitian. Sampel

disimpan dalam coolbox

Nested PCR Deteksi hasil pada uv Elektroforesis Deteksi hasil pada uv Elektroforesis First PCR Ekstraksi DNA

Sampel disimpan dalam freezer dan diambil saat akan dilakukan penelitian

Tempat penelitian

(36)

71

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Kondisi Peternakan di Propinsi NTT

Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur meliputi 566 pulau besar dan kecil dengan luas daratan sekitar 47,3 ribu km2. Kondisi alam NTT berbukit dan bergunung dengan dataran rendah yang tersebar luas. Keadaan iklim daerah ini umumnya kering, dengan musim kemarau panjang antara 8 hingga 9 bulan per tahun, sedangkan musim penghujan hanya 3-4 bulan (Sunaryo et al. 2007). Sebagian besar penduduk NTT berdomisili di Pulau Flores, Pulau Sumba, Pulau Timor, serta gugusan Kepulauan Lembata dan Alor.

Daerah Nusa Tenggara Timur memiliki 3 pulau besar, Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Flores. Adapun pemasok sapi potong terbesar berasal dari Pulau Timor. Kota Kupang merupakan salah satu kabupaten di Pulau Timor dan merupakan ibu kota propinsi sehingga banyak sapi yang didatangkan ke Kota Kupang dari kabupaten lain yang ada di Pulau Timor (DISNAK NTT 2006).

Ladang penggembalaan yang luas di NTT memungkinkan sektor peternakan berkembang dengan baik, selain itu didukung oleh padang penggembalaan savana yang cocok bagi pemeliharaan ternak. Data DISNAK NTT (2007), menyebutkan hampir 25% dari luas wilayah NTT adalah padang pengembalaan. Tabel 1 menunjukkan luas padang penggembalaan di setiap wilayah NTT.

(37)

72 Tabel 1 Luas padang pengembalaan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006

No Kabupaten Luas Padang Pengembalaan (Ha) 1 Kupang 227.400 2 Timor Tengah Selatan 58.243 3 Timor Tengah Utara 86.399

4 Belu 24.010 5 Alor 7.149 6 Lembata 23.255 7 Flores Timur 33.291 8 Sikka 19.389 9 Ende 910 10 Ngada 15.193 11 Manggarai 68.871 12 Manggarai Barat 8.218 13 Sumba Timur 215.797 14 Sumba Barat 83.635 15 Rote Ndao 16.513 Jumlah 888.273 Sumber: DISNAK NTT (2006)

Sistem pemeliharaan dan populasi ternak di NTT

Nusa Tenggara Timur daerah yang memiliki musim kering dan penghujan yang mempengaruhi ketersediaan pakan ternak. Pada umumnya, sistem pemeliharaan ternak sapi mengandalkan sumber pakan ternak dari rumput alam di lahan penggembalaan dengan biaya produksi yang relatif murah dan penggunaan tenaga yang minim.

Produktivitas ternak sapi dengan sistem ini, berfluktuasi mengikuti musim. Pada musim hujan produksi hijauan berlimpah, ternak mengalami peningkatan bobot badan. Sebaliknya di musim kemarau, produksi dan kualitas hijauan

(38)

73 menurun dengan tajam, sehingga terjadi kehilangan bobot badan dimana penurunannya dapat mencapai 20-25 % dari berat badannya pada musim hujan. Oleh karena itu pertumbuhan ternak di lahan NTT mengikuti pola seperti mata gergaji (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Sistem pemeliharaan ternak di NTT dibagi menjadi dua kategori yaitu :

1 Semi intensif

Sistem pemeliharaan ternak semi intensif yang dilakukan dengan menempatkan ternak dekat dengan peternak sehingga peluang kedekatan kontak langsung dengan ternak lebih banyak/sering, seperti terlihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Sistem pemeliharan semi intensif

2 Ekstensif

Pada sistem pemeliharaan ini, ternak kebanyakan ditinggal merumput secara bebas dan sedikit melibatkan peternak seperti terlihat pada Gambar 7.

(39)

74 Penggemukan ternak sapi di NTT banyak menggunakan sistem kerjasama antara penduduk desa yang memiliki ladang pengembalaan dengan pemilik sapi (pemerintah atau pengusaha). Pemilik ternak menyerahkan ternaknya kepada penduduk untuk dipelihara hingga mencapai bobot tertentu atau siap dipotong. Sistem ini juga memungkinkan peluang besar kontak individu (masyarakat desa) dengan ternak sehingga penting sekali mengontrol penyebaran penyakit dari ternak ke manusia khususnya penyakit Q fever.

Pemeliharaan ternak sapi di daerah NTT baru mulai dikenal pada awal abad ke-20, ternyata usaha peternakan ini mempunyai prospek yang cukup menggembirakan. Sampai tahun 1980-an populasi sapi berkembang dengan cepat, sehingga NTT telah menjadi pemasok sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia. Namun kenyataan yang ada saat ini terdapat banyak sapi betina produktif yang dipotong di rumah potong hewan di Kota Kupang, jika terus dibiarkan akan mengancam keberadaan jumlah populasi yang ada di NTT.

Dalam sensus ternak tahun 2000, populasi sapi bali di NTT hanya sekitar 500.000 ekor dan 50.000 ekor sapi Ongole di Pulau Sumba, 85% sapi bali tersebar di Pulau Timor dan Pulau Sumba. Setiap tahun sebanyak 60.000-80.000 ekor sapi bali yang terjual ke luar NTT dan menyumbang bagi pendapatan daerah sekitar 12%.

Data ternak yang ada di NTT menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki peluang yang lebih besar beresiko terkena penyakit zoonosis, khususnya

Q fever. Kemungkinan tersebut didukung juga oleh kasus penyakit zoonosa yang

terjadi di NTT. Peningkatan jumlah ternak sapi potong di NTT merupakan komoditi andalan yang perlu mendapat perhatian lebih, baik dalam peningkatan produksi dan kesehatan ternak. Perkembangan populasi ternak di NTT ini dapat dilihat pada Tabel 2.

(40)

75 Tabel 2 Populasi ternak di Nusa Tenggara Timur tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1 2003 512.999 134.900 94.625 435.151 56.403 1.2254.040 10.451.988 2 2004 522.930 136.938 96.416 462.102 56.502 1.276.166 9.482.871 3 2005 533.710 139.592 97.952 479.883 57.150 1.319.237 10.710.506 4 2006 544.482 142.257 99.872 496.766 58.305 1.385.962 9.832.729 Sumber: DISNAK NTT (2006)

Berdasarkan data yang ada, terlihat jumlah pemotongan ternak sapi potong mengalami peningkatan tiap tahunnya (Tabel 3). Berdasarkan hasil observasi di lapangan ditemukan sekitar 80% pemotongan ternak sapi potong yang dilakukan setiap harinya di RPH Kota Kupang adalah sapi betina. Hal ini tidak sesuai dengan undang-undang veteriner yang berlaku sebab jika tidak ditindaklanjuti maka akan berpengaruh pada jumlah populasi ternak di waktu yang akan datang..

Tabel 3 Pemotongan ternak di Nusa Tenggara Timur Tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda Kambing Domba Babi Unggas

1 2003 31.293 4.856 2.086 139.249 20.305 490.016 16.412.225

2 2004 40.111 5.807 2.510 142.328 15.664 556.834 14.210.337 3 2005 48.834 7.172 3.448 172.878 21.399 575.105 14.931.792 4 2006 48.187 7.629 4.223 174.489 21.379 597.695 15.116.605 Sumber: DISNAK NTT (2006)

Model Pemasaran dan Transportasi Ternak di NTT

Kebutuhan daging di Indonesia sebagian besar (65%) masih dipenuhi oleh produk dalam negeri dan sisanya diperoleh dari impor (Ilham dan Yusdja 2004). Pemenuhan kebutuhan dalam negeri berasal dari daerah kantung ternak dan Nusa Tenggara Timur adalah salah satu daerah peternakan yang penting sebagai daerah

(41)

76 ekspor sapi ke pulau-pulau di Indonesia, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 (Bamualim dan Wirdahayati 2003). Data Ditjen Bina Produksi Peternakan tahun 2002, menyebutkan dari total neraca perdagangan antar pulau sapi potong di Indonesia adalah 466.258, dan 56.085 ekor berasal dari NTT (Ilham dan Yusdja 2004).

Berdasarkan data yang ada pada tahun 2006 terdapat 62.621 ekor sapi potong yang dikeluarkan Balai Karantina Hewan Kupang dan populasi sapi bali meliputi sekitar 85% dari seluruh populasi sapi yang ada di Nusa Tenggara Timur (NTT) (DISNAK NTT 2007). Hal ini menunjukkan kondisi ternak NTT cukup mempengaruhi populasi ternak yang ada di Indonesia. Data yang ada pada Tabel 4 dan 5 menunjukkan jumlah ternak sapi yang masuk dan keluar dari NTT.

Tabel 4 Rekapitulasi pengeluaran pemasukan eksport import lingkup Balai Karantina Hewan Kelas I tahun 2006

Bulan No Komoditi

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep Okt Nov Des Jumlah 1 Sapi (Import) - - 80 419 - - 184 200 352 220 432 252 2135 2 Sapi (Eksport) - - 1 - - - - 1 3 Sapi potong (Domestik masuk) 1933 2430 3231 4886 6291 4926 7236 7005 6295 6205 8229 4654 92691 4 Sapi potong (Domestik Keluar) - 2 8 11 105 273 104 171 72 61 18 1 620 Sumber: BKH NTT (2006)

(42)

77 Tabel 5 Pengeluaran ternak dari Nusa Tenggara Timur

tahun 2003-2006

Jumlah Ternak (ekor) No Tahun

Sapi Kerbau Kuda

1 2003 35.061 3.566 2.868 2 2004 61.211 7.501 2.844 3 2005 48.519 7.951 5.105 4 2006 61.279 7.298 6.707 Sumber: BKH NTT (2006) Peternak Makasar Jawa Barat Industri rumahan produk pangan asal hewan Pengumpul Karantina hewan Ternak sapi NTT Surabaya Rumah Potong Hewan Masyarakat lokal Jakarta (Jabodetabek) Sumatra

(43)

78

Jenis Ternak Budidaya dan Masalah Kesehatan Hewan

Data pembangunan peternakan di Nusa Tenggara Timur tahun 2006, menunjukan ternak sapi masih menjadi komoditi utama bagi pengembangan peternakan di daerah NTT. Komoditi ternak lain yang sedang dikembangkan di NTT adalah kuda, kerbau, babi dan ayam. Komoditi yang berasal dari produk pangan asal hewan adalah daging se’i (daging asap), abon dan produk pangan dari bagian oval ternak. Produk produk ini tidak saja dikonsumsi oleh masyarakat di NTT namun juga di jual ke daerah lain di Indonesia. Diketahui Q fever dapat tertular melalui produk pangan asal hewan. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih terhadap cara penanganan pangan asal hewan untuk menghindari penularan Q

fever.

Tabel 6 Kasus penyakit hewan menular di NTT tahun 2007 No. Penyakit Jumlah

Kasus 1 Antraks 131 2 Brucellosis 41 3 Coccidiosis 30 4 CRD 100 5 Distemper 106 6 Fascioliasis 743 7 Hog Cholera 313 8 Helminthiasis 1.068 9 ND 16.935 10 Surra 95 11 Septicaemia epizootica 2.001 12 Streptococcosis 226 13 Thelaziasis 574 14 Coryza 230 15 Bovine Ephemeral Fever 376

Sumber: DISNAK NTT (2008)

Jumlah kasus penyakit yang terjadi di NTT menunjukkan bahwa kondisi peternakan di NTT tidak terlepas dengan masalah kesehatan hewan. Menurut data DISNAK NTT (2008), disebutkan bahwa terdapat 15 jenis penyakit yang menyerang ternak besar maupun kecil pada tahun 2007 (Tabel 6). Dengan data penyakit ternak yang ada di NTT menunjukkan bahwa ternak di NTT memiliki peluang besar beresiko terinfeksi penyakit hewan menular. Demikian halnya

(44)

79 peluang terjadinya kasus zoonosis pada manusia, hal ini didukung sistem pemeliharaan ternak yang memungkinkan individu sering berkontak langsung dengan ternak.

Q fever di Nusa Tenggara Timur

Dalam mengkaji penyakit Q fever di NTT dilakukan pengujian laboratorium dengan metode PCR dari sampel asal sapi potong. Dalam fase akut,

C. burnetii bisa ditemukan dalam darah (Maurin dan Raoult 1999) sedangkan

pada fase kronis agen C. burnetii banyak terakumulasi dalam sel fagosit yang terdapat pada organ-organ seperti jantung, hati, limpa dan plasenta (Marrie 2003). Penelitian ini menggunakan organ hati dan jantung sebagai sampel, hal yang sama pernah dilakukan oleh Mahatmi (2006). Dalam penelitian ini ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan bahan dan standar seperti yang telah dilakukan NIID, Jepang (Setiyono et al. 2005).

Tahap awal pengujian menggunakan deteksi PCR dengan melakukan ekstraksi DNA dari 169 sampel asal jantung dan hati sapi yang telah diambil. Dari 169 sampel yang ada dilakukan polling, sehingga diperoleh 34 sampel dari 169 sampel, hal ini dilakukan untuk alasan efesiensi bahan. Dari hasil ekstraksi DNA diperoleh cairan seperti awan putih pada dasar tabung dan terlarut setelah ditambahkan DNA dehydration sol. Ekstraksi DNA ini dapat disimpan dalam beberapa hari pada suhu 4 0C atau pada -84 0C bila dipakai untuk jangka waktu yang lama.

Masalah yang sering dihadapi pada pemeriksaan PCR dari DNA yang diekstrak dari organ atau jaringan padat lainnya adalah banyaknya protein dan lemak yang terkandung pada jaringan tersebut sehingga sel sulit dipecahkan. Hal ini disiasati dengan proses penghancuran organ hati dan jantung yang lebih lama. Untuk mendapatkan sekuen DNA C. burnetii harus melalui dua tahap yaitu pemecahan sel inang dan pemecahan sel bakteri.

(45)

80

Pengujian First PCR

Tahap selanjutnya setelah ekstraksi DNA adalah pengujian dengan first PCR menggunakan OMP 1 dan OMP 2. Pada first PCR yang dielektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Dalam first PCR terdapat terdapat empat tahap suhu sebagai prinsip kerja yaitu komplementasi antar DNA. Reaksi komplementasi tersebut adalah denaturasi, penempelan primer (annealing), perpanjangan rantai oleh DNA polimerase (extension) dan pendinginan.

Hasil first PCR (yang telah dilakukan kemudian) dielektroforesis dan diamati pada uv iluminator, menunjukkan hasil negatif. Hal ini diindikasikan dengan ketidakhadiran pita yang menunjukkan pita spesifik C. burnetii strain Nine Mile II yang digunakan sebagai referensi dengan pita kontrol positif yang terlihat pada Gambar 8 dan 9.

600 bp

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 8 Hasil first PCR (sampel 1-15).

Keterangan : Pada Gambar 8 terlihat gambaran dari elektroforesis dan pewarnaan dari ethydium bromida. Lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii, lajur 2 sampai 16 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 1 sampai 15).

(46)

81

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

600 bp

Gambar 9 Hasil First PCR (sampel 16-34)

Keterangan : Pada Gambar 9 terlihat gambaran dari elektroforesis dan pewarnaan dari ethydium bromida. Pada lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii, lajur 2 sampai 20 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 16 sampai 34)

Pengujian Nested PCR

Pengujian selanjutnya adalah nested PCR yamg menggunakan OMP 3 dan OMP 4 kemudian dilanjutkan proses elektroforesis dan diwarnai dengan ethydium bromida serta diamati dengan uv iluminator. Nested PCR dilakukan sesuai dengan penelitian Ogawa (2004), menunjukkan bahwa Nested PCR memiliki tingkat sensitifitas 10 kali lebih tinggi dibanding first PCR. Pada Gambar terlihat pita kontrol C. burnetii memberikan Gambaran pita yang lebih spesifik dibanding pada First PCR, hal ini menunjukan bahwa nested PCR lebih sensitif dibanding First PCR.

Dalam nested PCR terdapat empat tahap suhu sebagai prinsip kerja seperti pada first PCR yaitu komplementasi antar DNA namun yang membedakan adalah waktu yang diperlukan untuk nested PCR adalah lebih lama. Reaksi komplementasi tersebut adalah denaturasi, penempelan primer (annealing), perpanjangan rantai oleh DNA polimerase (extension) dan pendinginan.

(47)

82 Contoh organ sapi yang diuji memperlihatkan tidak ada pita spesifik sesuai dengan kontrol positif dari C. burnetii strain Nine Mile II. Hasil uji nested PCR dari 34 sampel campuran hati dan dan jantung sapi menunjukkan hasil negatif seperti terlihat pada Gambar 10, 11 dan 12.

M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16

Gambar 10 Hasil nested PCR (sampel 1-15)

Keterangan: Deteksi C. burnetii menggunakan nested PCR dengan primer OMP3 dan OMP4 terlihat lajur M adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 16 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 1 sampai 15).

437 bp 600 bp 600 bp 437 bp M 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Gambar 11 Hasil nested PCR (sampel 16-30)

Keterangan: Pada lajur 1 adalah penanda DNA (100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 14 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 16 sampai 30).

(48)

83 600 bp 437 bp M 1 2 3 4 5 Gambar 12 Hasil nested PCR (sampel 31-34)

Keterangan: Pada lajur M adalah penanda DNA(100-1200 bp), lajur 1 adalah kontrol positif C. burnetii (437 bp), lajur 2 sampai 5 adalah polling sampel yang diperiksa (sampel 31 sampai 34).

Telah diketahui bahwa asal sampel dari rumah potong hewan Oeba yang berada di Kota Kupang. Jumlah hewan yang dipotong setiap hari 40-50 ekor. Ternak yang dipotong dipasok dari beberapa tempat yang ada di Kabupaten Kupang seperti kecamatan Amfu’ang, Sulamu, Camplong, Takari, Baun, Tablolong dan Semau. Daerah-daerah tersebut merupakan tempat penghasil ternak yang ada di kota Kupang. Semua ternak sapi yang akan dipotong sebelumnya dikarantina di sekitar RPH tersebut.

Secara keseluruhan daerah NTT memiliki sumber peternakan yang sangat menjanjikan karena hampir seluruh wilayah pertanian adalah disektor peternakan. Hal ini dimungkinkan 80% tanah pertanian adalah untuk usaha peternakan. Wilayah peternakan ini tersebar di tiap-tiap kabupaten di NTT terutama di Timor dan Sumba Timur. Data terakhir menyatakan populasi ternak sapi di NTT berjumlah lebih dari 540.000 ekor (DISNAK NTT 2007) sehingga NTT telah menjadi pemasok penting sapi potong dan bibit bagi daerah lainnya di Indonesia.

Pada tahun 2006 lebih dari 62.000 ekor sapi potong yang terjual ke luar NTT. Kota tujuan penjualan ternak paling banyak ke DKI Jakarta, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2006 sekitar lebih dari 2000 ekor ongole diimpor dari luar negeri. Untuk mencegah masuknya penyakit dari daerah asal sapi maka Balai Karantina Hewan Kupang melakukan tindakan karantina terhadap ternak sapi yang diimpor tersebut (BKH NTT 2006).

(49)

84 Waktu yang diperlukan bagi tindakan karantina tergantung dari jenis pemasaran ternak. Ternak yang didatangkan dari luar negeri harus mengalami proses karantina selama 16 hari sedangkan untuk ternak yang berasal dari luar daerah NTT menjalani proses karantina 7 hari. Selama proses karantina dilakukan perlakuan monitoring dan pencegahan. Hewan yang sakit diasingkan, kemudian dilakukan tindakan pengobatan. Tindakan pemusnahan dilakukan apabila ternak didiagnosa terkena penyakit yang belum pernah terjadi di NTT (BKH NTT 2006).

Menurut data DISNAK NTT (2008), menyebutkan bahwa terdapat 10 jenis penyakit yang menyerang ternak besar maupun kecil pada tahun 2007. Penyakit pada ternak yang paling sering dihadapi di NTT adalah brucellosis, fascioliasis dan septicaemia epizootica. Ketiga penyakit ini yang sering menjadi kendala dalam meningkatkan produktivitas produksi peternakan sapi. Menyikapi banyaknya kasus penyakit pada sapi, Dinas Peternakan di NTT melaksanakan kegiatan vaksinasi dan pengobatan antibiotik. Kegiatan ini untuk meningkatkan kesehatan ternak yang ada di NTT.

Dari penelitian ini diperoleh hasil negatif menggunakan nested PCR, hal ini menunjukkan bahwa sapi di Kota Kupang NTT tidak terinfeksi penyakit Q

fever. Hasil negatif ini mungkin disebabkan hewan tersebut belum terkena

penyakit atau menjadi carrier (Acha dan Szyfres 2003). Faktor lain juga disebabkan penggunaan antibiotik pada sapi saat penggemukan atau pengobatan bila terdapat penyakit bakterial lainnya juga dapat berperan dalam menekan resiko hewan terpapar penyakit ini. Kemungkinan lain adalah sapi yang tiba di rumah potong hewan bukan sapi yang terpapar oleh penyakit tersebut bahkan tidak terpapar sama sekali oleh C. burnetii.

(50)

85

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian Q fever dengan menggunakan metode PCR dan data kondisi peternakan di NTT maka tidak ditemukan keberadaan material genetik C. burnetii pada 169 sampel organ sapi di Kota Kupang NTT

Saran

Perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam tentang keberadaan Q

fever di NTT melalui pengambilan sampel yang lebih merata di seluruh daerah

peternakan yang ada di NTT, hal ini perlu untuk mendiagnosa keberadaan Q fever sedini mungkin.

(51)

86

DAFTAR PUSTAKA

Acha PN, Szyfres B. 2003. Zoonosis and Communicable Disease Common to

Man and Animals. Ed ke-3. Washington: World Health Organization.

[Anonim]. 2005. Penampilan produksi dan struktur populasi ternak sapi Bali di pulau Timor, Nusa Tenggara Timur. http://www.litbang.deptan.go.id/. html [11 Apr 2007].

Bamualim A, Wirdahayati RB. 2003. Nutrition and management strategies to improve Bali cattle productivity in Nusa Tenggara. Entwistle K dan Linsay DR, editor. Proceedings of a Workshop Strategies to Improve

Bali Cattle in Eastern Indonesia; Denpasar, 4–7 Feb 2002. Canberra:

The Australian Centre for International Agricultural Research. hlm 17-22.

[BKH NTT] Balai Karantina Hewan Kelas I Nusa Tenggara Timur. 2006.

Rekapitulasi Frekuensi Pengeluaran dan Pemasukan Ternak. BKH

NTT.

Bergallo et al. 2008. Variants of Parvovirus B19: bioinformatical evaluation of nested PCR assays. Intervirology 22:75-80

Calza et al. 2001. Doxycycline and chloroquine as treatment for chronic Q fever endocarditis. J Infect 45:127-129.

Capuano F, Parisi A, Cafiero MA, Pitaro L, Fenizia D. 2004. Coxiella burnetii: what is the reality?. Parasitologia 46:131-4.

Davis R. 2004. Query Fever (Coxiellosis). Iowa: Iowa State University.

[DISNAK NTT] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2008. Situasi Penyakit

Hewan Menular Propinsi NTT tahun 2007. DISNAK NTT.

[DISNAK NTT] Dinas Peternakan Nusa Tenggara Timur. 2007. Statistik

Peternakan NTT 2006. DISNAK NTT.

Fournier PE, Raoult D. 2003. Comparison of PCR and serology assays for early diagnosis of acute Q fever. J Clin Microbiol 41:5094-5098.

Fournier PE, Thomas JM, Raoult D. 1998. Diagnosis of Q fever. J Clin Microbiol 36:1823-1834.

Fretz R, Schaeren W, Tanner M, Baumgartner A. 2007. Screening of various

foodstuffs for occurrence of Coxiella burnetii in Switzerland. J Food

Gambar

Gambar 1   Morfologi C. burnetii dengan pengamatan menggunakan  mikroskop   elektron (Davis 2004)
Gambar 3    Transmisi (domestic cycle) Q fever (Acha dan Szyfres 2003).
Gambar 4      Skema pengambilan dan pengerjaan sampel penelitian
Gambar 6     Sistem pemeliharan semi intensif   2  Ekstensif
+6

Referensi

Dokumen terkait

Tabel menunjukan hasil koefisien jalur pengaruh pengaruh kepuasan kerja dan disiplin Kerja dan komitmen terhadap kinerja karyawan pada Dinas Pemberdayaan Masyarakat

PPK masing-masing satker melakukan pengisian capaian output dalam aplikasi SAS dengan berpedoman kepada Manual Modul Capaian Output yang disertakan satu paket dengan

diagram pareto pada proses mesin giling I dapat terlihat bahwa faktor yang memberikan kontribusi terbesar penyebab rendahnya efektivitas mesin giling I adalah

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Kewenangan Diskresi Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Menentukan Rehabilitasi Pengguna Narkotika”

Hasil uji lanjut DMRT menunjukkan bahwa perbedaan nyata terdapat pada kelompok perlakuan yang diberikan tiga jenis ramuan obat pahit terhadap kelompok kontrol

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh sosialisasi dan konseling tentang Infeksi Menular Seksual (IMS) HIV/AIDS terhadap pengetahuan dan sikap waria di

Sebagai tambahan dari jasa akuntansi, Deloitte adalah satu dari kantor penasehat bisnis yang terbesar di dunia yang menawarkan jasa manajemen strategik dan operasional

Tesis Penataan PKL : Antara Kondisi sosial .... Diah Puji