• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika dalam Film

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 33-39)

2.7 Tinjauan Tentang Semiotika

2.7.3 Semiotika dalam Film

2.7.3 Semiotika dalam Film

Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda

dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata ‘semiotika” sendiri berasal

dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti

“penafsir tanda”. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang

tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta

proses tandaifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16).

Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda;

ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi

tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang

mengkomsumsi makna (Fiske, 2004:282).

Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media

dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat

tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah

membawa makna tunggal. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi

dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks

media membawa kepentingan-kepentingan tertentu juga kesalahan-kesalahan

tertentu yang lebih kompleks (Sobur, 2009:95).

Aliran semiotik dipelopori oleh dua tokoh, yaitu Ferdinand de Sausure dan

Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam

memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan

42

Eropa, dia memperkenalkann istilah ‘semiologi’ sedangkan Charles Sanders

Peirce (1839-1914) mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah

‘semiotika’.

Istilah semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang persis sama,

walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya

menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung dengan Pierce

menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka yang bergabung dengan

Saussure menggunakan istilah semiologi.

Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling

menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang

tanda. Namun, ada kecenderungan istilah semiotika lebih popular dibandingkan

istilah semiologi, sehingga para penganut Saussure juga sering menggunakannya.

Dari sebagian banyak literatur tentang semiotika mengungkapkan bahwa

semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de Saussure.

Tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik, ia juga dikenal sebagai tokoh

linguistik modern dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu

ada tokoh yang penting dalam semiotik Ferdinand de Saussure (1857-1913),

adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), dan Roland Barthes (1915-1980),

Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (tanda). Tanda

adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (tandaifier) dengan sebuah ide atau

petanda (tandaified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda

43

Dalam pandangan Saussure, semiotik dibagi menjadi dua bagian, yaitu

penanda (tandaifier) dan petanda (tandaified). Penanda dilihat sebagai bentuk

fisik dapat dikenal melalui wujud suatu karya, sedangkan petanda dilihat sebagai

makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan atau nilai -nilai yang

terkandung di dalam suatu karya. Hubungan antara penanda dan petanda

berdasarkan konversi disebut dengan tandaifikasi, yaitu sistem tanda yang

mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau

konvensi tertentu. Menurut Saussure, “Tandaifier dan tandaified merupakan

kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur,

2006:46)

Sedangkan Charles Sanders Pierce yang merupakan seorang filsuf Amerika

mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga

elemen utama, yakni tanda, objek, dan interpretasi. Tanda adalah sesuatu yang

berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan

sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda

menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon

(tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari

hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau

acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu

yang dirujuk tanda.

Interpretasi atau pengguna tanda adalah makna yang ada dalam benak

seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam

44

itu digunakan orang saat berkomunikasi. Interpretasi terbagi atas rheme, dicent

tanda, atau dicitanda, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan

orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent tanda atau dicitanda adalah tanda

sesuai kenyataan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan

tentang sesuatu.

Sedangkan menurut Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut

Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat

denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan

hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,

langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan

hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak

eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada

cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan

makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja

menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,

interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan

diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of

tandaification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di

45

sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap

mempergunakan istilah tandaifier-tandaified yang diusung Saussure.

Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang

menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua

penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-tandaifier-tandaified, tanda

tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan

membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna denotasi

kemudian berkembang menjadi makna konotasi, maka makna konotasi tersebut

akan menjadi mitos.

Kutipan Barthes dalam bukunya Mythologies (1957), mitos adalah bagian

penting dari ideologi. Mitos yang dimaksud Barthes bukan seperti mitologi

Yunani tentang dewa-dewa. Menurut Barthes, mitos masa kini bukan merupakan

konsep, mitos tidak berisi ide-ide atau menunjukkan objek, mitos mas kini

mengandung pesan-pesan. Dipandang dari segi struktur, mitos adalah bagian

dari parole, sama seperti teks, mitos harus dilihat secara menyeluruh.

Mitos adalah unsur penting yang dapat mengubah sesuatu yang kultural atau

historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi

yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos

tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat. Penjelasan Barthes

mengenai mitos tidak

lepas dari penjelasan Saussure mengenai signifiant dan signifié, bahwa ekspresi

46

Adanya E=ekspresi, R=relasi, dan C=isi yang bersifat arbitrer pada setiap individu

hingga dapat membentuk makna lapis kedua karena adanya pergeseran makna

dari denotasi ke konotasi 9E2(E1-R1-C1)-R2-C2). Mitos itu sendiri adalah

konotasi yang telah berbudaya. Sebagai contoh ketika kita mendengar pohon

beringin, denotasinya adalah pohon besar yang rindang, tetapi ketika sudah

menyentuh makna lapis kedua, pohon beringin dapat memiliki makna menakutkan

dan gelap. Pohon beringin juga dapat memiliki makna yang lebih dalam lagi

seperti lambang pada sila ketiga, persatuan Indonesia, makna ini sudah sampai

hingga ideologi karena menyentuh kehidupan sosial manusia sehari-hari.

Sebuah mitos dapat menjadi sebuah ideologi atau sebuah paradigma ketika

sudah berakar lama, digunakan sebagai acuan hidup dan menyentuh ranah norma

sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa ‘pemerkosaan

perempuan yang menggunakan rok mini di angkutan umum di malam hari’, dalam

kejadian ini terdapat mitos seperti: perempuan yang menggunakan rok mini

mengundang hasrat laki-laki, perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang

menutupi auratnya, atau perempuan tidak diperbolehkan pulang malam. Ideologi

yang terlihat dari mitos-mitos tesebut adalah gambaran budaya partiarkal dan

islamisme yang kental di Indonesia, reaksi dari gubernur Aceh “perempuan seperti

itu pantas diperkosa, seharusnya ia berpakaian lebih sopan.” Pernyataan tersebut

memperlihatkan superioritas laki-laki, misogini yang terjadi menempatkan

perempuan sebagai yang lain, dan posisi perempuan tidak terlepas dari fungsinya

dalam hidup laki-laki. Berdasarkan contoh diatas, kita dapat melihat bahwa

47

dalam suatu masyarakat,. Hal itulah yang menyebabkan mengapa mitos

merupakan bagian penting dari ideologi. (Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan

Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu) 2.8 Fokus Penelitian

Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana film “Lemantun”

merepresentasikan pesan budaya Jawa dalam lingkup negara Indonesia yang

mempunyai banyak keragaman budaya.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotika dari Roland

Barthes dimana setiap tanda dalam film yang menggambarkan adanya pesan

budaya Jawa akan dimaknai melalui dua tahap pemaknaan (two order of

signification) yaitu makna konotasi (makna berdasarkan mitos) dan makna denotasi (makna sebenarnya). Konotasi berperan sebagai pemaknaan subjektif dan

denotasi merupakan pemaknaan objektif.

Demi kelancaran penelitian yang akan dilakukan, peneliti juga telah menentukan

kriteria untuk pengumpulan data berupa indikasi scene yang masuk dalam kriteria

penelitian, diantaranya :

1. Menampilkan adegan pesan budaya Jawa.

2. Menampilkan perilaku budaya Jawa.

3. Benda- benda yang ada dalam film (properti) yang menandung pesan

budaya Jawa.

4. Dialog dalam film yang mengandung pesan budaya Jawa.

Dalam dokumen BAB II TINJAUAN PUSTAKA (Halaman 33-39)

Dokumen terkait