9 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komunikasi Massa
Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dikemukakan para ahli
komunikasi. Banyak ragam dan titik tekan yang dikemukakanya. Namun dari
sekian banyak definisi itu ada benang merah kesamaan definisi satu sama lain.
Pada dasarnya komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa. Media
massa yang dihasilkan dari teknologi modern dan menjadi saluran dari terjadinya
komunikasi massa itu sendiri (Nurudin 2007:04).
Massa dalam komunikasi massa merujuk pada penerima pesan yang berkaitan
dengan media massa. Dengan kata lain, massa dalam sikap dan perilakunya
berkaitan dengan peran media massa. Oleh karena itu massa dalam komikasi
massa dimaknai sebagai khalayak, audience, penonton atau pemirsa. Ciri dari
massa dalam komunikasi massa antara lain adalah susunan anggota yang
heterogen dan berasal dari berbagai kelompok lapisan masyarakat, individu yang
tidak saling mengenal dan terpisah satu sama lain (tidak berinteraksi satu sama
lain), tidak mempunyai pemimpin atau organisasi formal. Lalu apa arti media
massa dalam komunikasi massa? Media massa dalam komunikasi massa adalah
alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan kepada audience. Bentuk dari
media massa berbasis elektronik antara lain televisi, radio dan film.
Dalam komunikasi massa dibutuhkan seorang gatekeeper (penapis informasi
10
informasi ke individu-individu lain melalui media massa (televisi, radio, film
bioskop, dll). Gatekeeper merupakan unsur penting dalam proses komunikasi
massa. Dalam proses komunikasi massa disamping melibatkan unsur-unsur
komunikasi sebagaimana umumnya, ia membutuhkan peran media massa sebagai
alat untuk menyampaikan atau menyebarkan informasi.
Informasi yang disampaikan dalam proses komunikasi massa bisa dilakukan
melalui dua cara, yakni dengan cara tersirat atau tersurat. Contoh dari komunikasi
massa yang penyampaianya dilakukan dengan cara tersurat adalah berita dalam
televisi. Dalam acara tersebut penyampaian pesan kepada audience dilakukan
secara langsung tanpa menggunakan simbol-simbol penanda. Sedangkan
penyampaian pesan komunikasi massa secara tersirat bisa dilihat dalam bentuk
film. Pesan dalam film dikemas dengan simbol-simbol yang menyiratkan sebuah
makna bagi penontonya.
Menurut Jay Black dan Federick C. Whitney disebutkan “Mass
communication is a process whereby mass-produced message are transmitted to large, anonymous, and heterogeneous masses of receivers (Komunikasi massa adalah sebuah proses dimana pesan-pesan yang diproduksi secara massal atau
tidak sedikit itu disebarkan kepada massa penerima pesan yang luas, anonim, dan
heterogen)”. Large dalam kalimat tersebut berarti lebih luas dari sekedar
kumpulan orang yang berdekatan secara fisik, sedangkan anonymous berarti
bahwa individu yang menerima pesan cenderung menjadi asing satu sama lain
atau tidak saling mengenal, dan heterogeneous berarti bahwa pesan yang dikirim
11
Definisi komunikai massa menurut Michael W. Gamble dan Teri Kwal
Gamble akan semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka
sesuatu bisa didefinisikan sebagai Komunikasi Massa jika mencangkup hal-hal
berikut (Nurudin 2007:08):
1. Komunkator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern
untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat pada khalayak
yang luas dan tersebar. Pesan itu disebarkan melalui media modern pula
antara lain televisi, film atau gabungan diantara keduanya.
2. Komunikator komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya
bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak
saling kenalatau mengetahui satu sama lain.
3. Pesan adalah milik publik. Artinya bahwa pesan inibisa didapatkan dan
diterima oleh banyak orang.
4. Sebagai sumber, komunikator massa biasanya organisasi formal seperti
jaringan , ikatan, atau perkumpulan. Dengan kata lain, komunikator tidak
berasal dari seseorang tetapi lembaga. Lembaga ini pun biasanya
berorientasi pada keuntungan.
5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (penapis informasi). Artinya,
pesan-pesan yang disebarkan dikontrol oleh sejumlah individu dalam
lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa.
12
2.2. Pengertian Film
Film dalam pengertian sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar,
tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV
(Cangara, 2002:135). Gamble (1986:235) berpendapat, film adalah sebuah
rangkaian gambar statis yang direpresentasikan dihadapan mata secara
berturut-turut dalam kecepatan yang tinggi.
Sementara bila mengutip pernyataan sineas new wave asal Perancis, Jean
Luc Godard: “film adalah ibarat papan tulis, sebuah film revolusioner dapat
menunjukkan bagaimana perjuangan senjata dapat dilakukan.” Film sebagai salah
satu media komunikasi massa, memiliki pengertian yaitu merupakan bentuk
komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan
komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal
yang jauh (terpencar), sangat heterogen, dan menimbulkan efek tertentu (Tan dan
Wright, dalam Ardianto & Erdinaya, 2005:3).
Film, secara umum dapat dibagi atas dua unsur dikutip Himawan pratista
(2008:1) yaitu unsur naratif dan unsur sinematik. Dua unsur tersebut saling
berinteraksi dan berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk sebuah film.
Masing-masing unsur tersebut tidak akan dapat membentuk film jika hanya
berdiri sendiri. Bisa kita katakan bahwa unsur naratif adalah bahan (materi) yang
akan diolah, sementara unsur sinematik adalah cara (gaya) untuk mengolahnya.
Dalam film cerita, unsur naratif adalah perlakuan terhadap cerita filmnya.
Sementara unsur sinematik atau juga sering di istilahkan gaya sinematik
13
empat elemen pokok yakni, mise-en scene, sinematografi, editing dan suara.
Masing-masing elemen sinematik tersebut juga saling berinteraksi dan
berkesinambungan satu sama lain untuk membentuk gaya sinematik secara utuh.
Unsur naratif berhubungan dengan aspek cerita atau tema film. Setiap film
cerita tidak mungkin lepas dari unsur naratif. Setiap cerita pasti memiliki
unsur-unsur seperti tokoh, masalah, konflik, lokasi, waktu serta lainya. Seluruh elemen
tersebut membentuk unsur naratif secara keseluruan. Elemen-elemen tersebut
saling berinteraksi serta berkesinambugan satu sama lain untuk membentuk
sebuah jalinan peristiwa yang memiliki maksud dan tujuan. Seluruh jalinan
peristiwa tersebut terikat oleh sebuah aturan yakni hukum kausalitas, (logika
sebab-akibat). Aspek kausalitas bersama unsur-unsur dan waktu adalah
elemen-elemen pokok pembentuk naratif.
Sedangkan unsur sinematik lebih ke aspek-aspek teknis dalam produksi
sebuah film. Mise-en-scene adalah segala hal yang berada di depan kamera. Film
memiliki banyak jenis termasuk film cerita pendek yang berdurasi di bawah 60
menit, film cerita pendek banyak dijadikan batu loncatan untuk kemudian
memproduksi cerita panjang. Sedangkan film cerita panjang memiliki durasi 60
menit lazimnya berdurasi 90-100 menit (Effendy, 2002:13).
2.2.1 Klasifikasi dalam film
Genre berasal dari bahasa perancis yang bermakna “bentuk” atau “tipe”,
kata genre sendiri megacu pada istilah biologi yakni. Genus, sebuah klasifikasi
flora dan fauna yang tingkatanya berada di atas spesies dan di bawah family. Genus mengelompokan beberapa spesies yang memiliki kesamaan ciri-ciri fisik
14
tertentu. Dalam film, genre dapat di definisikan sebagai jenis atau klasifikasi dari
sekelompok film yang memiliki karakter atau pola sama (khas) seperti setting, isi
dan subjek cerita, tema, struktur cerita, aksi atau peristiwa, periode, gaya, situasi,
ikon, mood, serta karakter. Klasifikasi tersebut menghasilkan genre-genre populer
seperti aksi, petualagan, drama, komedi, horor, western, thriller, film noir dan
sebagainya. Fungsi genre adalah untuk memudahkan klasifikasi sebuah film
sesuai dengan spesifikasinya (Himawan Pratista, 2008:10).
Kebanyakan film merupakan kombinasi dari beberapa genre sekaligus.
Kombinasi genre dalam sebuah film sering di istilahkan genre hibrida (campuran)
walapun begitu film tetap memiliki genre yang dominan. Genre juga dapat dibagi
menjadi beberapa bagian khusus. Seperti genre induk primer, genre induk
sekunder, serta genre khusus (Himawan Pratista, 2008:11-12).
1. Genre Induk Primer
Genre induk primer merupakan genre-genre pokok yang telah ada dan
populer sejak awal perkembagan sinema era 1900-an hingga 1930-an. Bisa kita
katakan bahwa setiap film pasti mengandung setidaknya satu genre induk primer
namun lazimnya sebuah film adalah kombinasi dari beberapa genre induk
sekaligus. Tidak semua genre induk primer populer dan sukses dari masa ke
massa. (Himawan Pratista 2008:13).
a. Aksi, Film aksi berhubugan dengan adegan-adegan aksi fisik seru,
menegangkan, berbahaya, nonstop dengan tempo yang cepat. Genre aksi
15
b. Drama, Film drama umumnya berhubugan dengan tema cinta, cerita
setting, karakter serta suasana yang memotret kehidupan nyata. Dan genre
yang paling banyak di produksi karena jangkauan ceritanya yang sagat
luas.
c. Epik Sejarah, Genre ini umumnya mengambil tema periode masa silam
(sejarah) dengan latar sebuah kerajaan, peristiwa atau tokoh besar yang
menjadi mitos, legenda atau bibilkal.
d. Fantasi, Film fantasi berhubugan dengan tempat, peristiwa, serta karakter
yang tidak nyata. Film fantasi berhubungan dengan unsur magis, mitos,
negri dongeng, imajinasi, halusinasi, serta alam mimpi.
e. Fiksi Ilmiah, Film fiksi ilmiah berhubugan dengan masa depan, perjalanan
angkasa luar, percobaan ilmiah, penjelajahan waktu, investasi, atau
kehancuran bumi. Fiksi ilmiah juga sering berhubungan dengan teknologi
serta kekuatan yang berada di luar jangkauan teknologi masa kini.
f. Horor, Film horor memiliki tujuan utama memberikan efek rasa takut,
kejutan serta teror yang mendalam bagi penontonya. Film horor umumnya
mengunakan karakter-karakter antagonis non manusia yang berwujud fisik
yang menyeramkan.
e. Komedi, komedi adalah jenis film yang mengundang tawa bagi
penontonya. Film komedi biasanya berupa drama ringan yang
melebih-lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya.
f. Kriminal dan gangste, Film-film kriminal dan gangster berhubungan
16
pemerasan, perjudian, pembunuhan, persaingan antar kelompok, serta aksi
kelompok bawah tanah yang bekerja di luar sistem hukum.
g. Musikal, Genre musikal adalah film yang mengkombinasi unsur musik,
lagu, tari (dansa), serta gerak (koreografi). Lagu-lagu dan tarian biasanya
mendominasi sepanjang film dan biasanya menyatu dengan cerita.
Pengunaan musik dan lagu bersama liriknya biasanya mendukung jalanya
alur cerita.
h. Petualangan , Film petualangan berkisah tentang perjalanan, eksplorasi,
atau ekspedisi ke suatu wilayah asing yang belum pernah tersentuh.
Film-film petualangan selalu meyajikan panorama alam eksotis seperti hutan
rimba, pegunungan, savana, serta pulau terpencil.
i. Perang, Genre perang mengagkat tentang tema kengerian serta teror yang
ditimbulkan oleh aksi perang. Film-film perang umumnya menampilkan
adegan pertempuran seru baik di darat, laut, atau pun udara. Film-film
perang biasanya memperlihatkan kegigihan, pegorbanan para tentara
dalam melawan musuh-musuh mereka.
j. Western, Western adalah genre orisinil milik amerika. Tema film western
umumnya seputar konflik antara pihak baik dan jahat. Karakter dalam
genre ini adalah koboi, indian kavaleri, sheriff.
2. Genre induk sekunder
Genre induk sekunder adalah genre-genre besar dan populer yang
17
sekunder memiliki ciri-ciri karakter yang lebih kusus dibandingkan dengan genre
induk primer (Himawan Pratista, 2008:21).
a. Bencana
Film-film bencana (disaster) berhubungan dengan tragedi atau
musibah baik sekala besar maupun kecil yang mengancam jiwa banyak
manusia. Secara umum film bencana di bagi ke dalam dua jenis , bencana
alam dan bencana buatan manusia. Bencana alam adalah aksi bencana
yang melibatkan kekuatan alam yang merusak dalam sekala besar seperti
angin topan, tornado dan sebagainya. Sedangkan bencana buatan manusia
umumnya berhubugan dengan tindak kriminal atau faktor ketidak segajaan
manusia seperti aksi terorisme, kebakaran gedung dan sebagainya.
b. Biografi
Biografi (sering diistilahkan biopic:biografy picture) secara umum
merupakan pengembagan dari genre drama dan epik sejarah. Film biografi
menceritakan pengalan kisah nyata atau kisah hidup seorang tokoh
berpegaruh dimasa lalu maupun kini. Film biografi umumnya mengambil
kisah berupa suka dan duka perjalanan hidup sang tokoh sebelum ia
menjadi orang besar atau keterlibatan sang tokoh dalam sebuah peristiwa
besar.
c. Detektif
Genre detektif merupakan pegembangan dari genre kriminal dan
18
umumnya berpusat pada sebuah kasus kriminal pelik yang belum
terselesaikan. Alur ceritanya sulit diduga serta penuh dengan misteri.
d. Film Noir
Film noir yang bermakna “gelap” atau “suram” merupakan turunan
dari genre kriminal dan gangster yang mulai populer pada awal dekade
1940-an hingga ahir 1950-an. Tema pada film noir selalu berhubugan
dengan tindak kriminal seperti pembunuhan, pencurian serta pemerasan.
e. Melodrama
Melodrama merupakan pengembagan dari genre drama yang juga sering diistilahkan opera sabun atau film “ cengeng” (meguras air mata). Melo drama menggunakan cerita yang mampu menggugah emosi penontonya secara mendalam dengan dukungan unsur “melodi” (ilustrasi musik).
f. Olahraga
Film olahraga mengambil kisah seputar aktifitas olahraga, baik
atlet, pelatih, agen maupun kompetisinya sendiri. Film olahraga biasanya
diadaptasi dari kisah nyata baik biografi maupun sebuah peristiwa
olahraga besar
g. Perjalanan
Seperti halnya western genre perjalanan atau sering diistilahkan
road film merupakan genre khas milik amerika yang sangat populer diera klasik. Film perjalanan sering bersinggungan dengan genre aksi, drama
19
h. Roman
Roman seperti halnya melodrama merupakan pengembagan dari
genre drama. Film roman lebih memusatkan cerita pada masalah cinta,
baik kisah percintaanya sendiri maupun pencarian cinta sebagai tujuan
utamanya. Tema roman pada umumnya adalah pasangan satu sama lain
yang saling mencintai namun banyak ujian yang dihadapi.
i. Superhero
Superhero adalah sebuah genre fenomenal yang merupakan
perpaduan antara genre fiksi-ilmiah, aksi, serta fantasi. Film superhero
adalah kisah klasik perseteruan antara sisi baik dan sisi jahat, yakni kisah
kepahlawanan sang tokoh super dalam membasmi kekuatan jahat.
j. Supernatural
Film supernatural berhubugan dengan makluk-makluk gaib seperti
hantu, roh halus, keajaiban, serta kekuatan mental seperti membaca
pikiran, masa depan, masa lalu, telekinesis, dan lainya. Film-film
supernatural sangat mudah bersingungan dengan genre horor, fantasi
drama dan fiksi ilmiah.
k. Spionase
Spionase atau agen rahasia adalah genre populer kombinasi antara
genre aksi, petualagan, thriller, serta politik dengan karakter utama seorang
mata-mata atau agen rahasia. Film spionase sering kali berlatar cerita
20
biasanya berurusan dengan senjata pemusnah masal yang dapat
mengancam keamanan nasional.
l. Thriller
Film thriller memiliki tujuan utama memberi rasa ketegangan,
penasaran, ketidakpastian serta kertakutan pada penontonya. Alur cerita
film thriller sering kali bernbentuk aksi non stop, penuh misteri, kejutan,
serta mampu mempertahankan intensitas ketegangan hingga klimaks
filmnya.
3. Genre Khusus
Genre kusus jumplahnya bisa mencapai ratusan dan dapat berkombinasi
dengan genre induk manapun sesuai dengan konteks cerita filmnya. Film drama
misalnya dapat dipecah menjadi genre kusus berdasarkan tema cerita, seperti
keluarga, anak-anak, remaja, cinta, pegadilan, politik, prostitusi, jurnalis, realigi,
tragedi, hari natal, ganguan kejiwaan dan sebagainya, berdasarkan sumber cerita,
genre drama bisa di pecah lagi menjadi beberapa genre kusus, seperti adaptasi
literatur, kisah nyata, otobiografi, buku harian dan sebagainya.
Dari contoh tersebut tampak jelas jika satu genre dapat berisi puluhan
(bahkan ratusan) judul film. Genre sampai kapan pun akan terus berkembang
secara dinamis dan tidak pernah akan berhenti sejalan dengan berkembangnya
21
2.3 Film Sebagai Media Komunikasi Massa
Perkembangan film berawal dari pemikiran Thomas Alva Edison
(1847-1931) ilmuwan Amerika Serikat yang terkenal dengan penemuan lampu listrik
dan fonograf atau piringan hitam. Dia merancang sebuah perangkat yang disebut
Kinetoscope. Kinetoscope adalah sebuah mesin berbentuk kotak kayu. Penonton
bisa mengintip ke dalam kotak dan menonton film pendek yang lucu setelah
memasukkan koin ke dalam kotak tersebut.
Tepat setelah penemuannya, Edison memberikan kesempatan pada khalayak
umum untuk menyaksikan gambar bergerak pertama di dunia dengan membuka
Kinetoscope Parlor pada tanggal 14 April 1894 di 1155 Broadway, New York.
Yang dipertontonkan berupa fragmen-fragmen pertandingan tinju dan
sketsa-sketsa hiburan. Film pertama Edison ini bejudul Kinetoscpe Record of a Sneeze.
Banyak orang yang terkagum-kagum melihat aksi Edison dalam film tersebut.
Diantara mereka yang mengagumi yakni kakak-beradik Auguste dan Louis
Lumiere dari Prancis yang dikenal dengan nama Lumiere Bersaudara.
Pada tanggal 13 Februari 1895, Lumiere Bersaudara mempatenkan sebuah
alat yang dapat merekam dan memproyeksikan film. Mereka memberi nama
“Lumiere Cinematograph”. Alat itu sendiri dibuat oleh Jules Carpentier, seorang
insinyur yang dikontrak oleh Lumiere bersaudara untuk membuat 25 Lumiere
22
Dalam perkembangannya film di bagi menjadi 3 jenis
1. Film Dokumenter
Dokumenter adalah sebutan yang diberikan untuk film pertama karya
Lumiere bersaudara yang berkisah tentang perjalanan (travelogues) yang
dibuat sekitar tahun 1890-an. Tigapuluh enam tahun kemudian, kata
‘dokumenter’ kembali digunakan oleh pembuat film dan kritikus film asal
Inggris John Grierson untuk film Moana (1926) karya Robert Flaherty.
Grierson berpendapat dokumenter merupakan cara kreatif mempresentasikan
realitas (Susan Hayward, Key Concept in Cinema Studies, 1997, hal 72).
Sekalipun Grierson mendapat tantangan dari berbagai pihak, pendapatnya tetap
relevan sampai saat ini. Film dokumenter menyajikan realita melalui berbagai
cara dan dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun, harus diakui film
dokumenter tidak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan
dan propaganda bagi orang atau kelompok tertentu.
Kunci utama dari film dokumenter adalah penyajian fakta. Film
dokumenter berhubungan dengan orang-orang, tokoh, peristiwa dan lokasi
yang nyata. Film dokumenter tidak menciptakan suatu peristiwa yang
sungguh-sungguh terjadi atau otentik. Struktur bertutur film dokumenter umumnya
sederhana dengan tujuan agar memudahkan penonton untuk memahami dan
mempercayai fakta-fakta yang disajikan. Contohnya adalah film Nanook of he
North (1919) yang dianggap sebagai salah satu film dokumenter tertua. Film ini dengan sederhana menggambarkan keseharian warga suku Eskimo di Kutub
23
Seiring dengan perjalanan waktu, muncul berbagai aliran dalam film
dokumenter misalnya dokudrama (docudrama). Dalam dorudrama, terjadi
reduksi realita demi tujuan-tujuan estetis, agar gambar dan cerita menjadi lebih
menarik.
Kini film dokumenter menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman
dunia. Para pembuat film bisa bereksperimen dan belajar tentang banyak hal
ketika terlibat dalam produksi film dokumenter. Tak hanya itu, fim dokumenter
juga dapat membawa keuntungan yang sangat besar. Ini bisa dilihat dengan
banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi
seperti program National Geographic dan Animal Planet.
Di Indonesia, produksi film dokumenter untuk televisi dipelopori oleh
televisi pertama kita Televisi Republik Indonesia (TVRI). Beragam film
dokumenter tentang kebudayaan flora dan fauna telah banyak dihasilkan TVRI.
Memasuki era televisi swasta, tahun 1990, pembuatan film dokumenter tidak
lagi dimonopoli TVRI. Semua televisi swasta menayangkan program film
dokumenter baik itu diproduksi sendiri, maupun yang dibeli dari sejumlah
rumah produksi.
2. Film Fiksi
Berbeda dengan jenis film dokumenter, film fiksi terikat oleh plot. Dari
sisi cerita, film fiksi sering menggunakan cerita rekaan diluar kejadian nyata
24
Ceritanya biasa menggunakan karakter protagonis dan antagonis, masalah dan
konflik, penutupan serta pola pengembangan cerita yang lebih jelas.
Dari sisi produksi, film fiksi relatif lebih kompleks ketimbang dua
jenis film lainnya, baik masa pra-produksi, produksi, maupun pasca-produksi.
Manajemen produksinya juga lebih kompleks karena biasanya menggunakan
pemain serta jumlah kru dalam jumlah yang besar. Produksi film fiksi juga
memakan waktu yang relative lebih lama. Film fiksi biasanya menggunakan
perlengkapan serta peralatan yang jumlahnya lebih banyak, bervariasi serta
mahal.
3. Film Eksperimental
Film eksperimental merupakan jenis film yang sangat berbeda dengan
dua jenis film lainnya. Para sineas eksperimental umumnya bekerja diluar
industri film utama (mainstream) dan bekerja pada studio independen atau
perorangan. Mereka umumnya terlibat penuh dalam seluruh produksi filmnya
sejak awal hingga akhir. Film eksperimental tidak memiliki plot namun tetap
memilki struktur. Struktur sangat dipengaruhi oleh insting subyektif sineas
seperti gagasan, ide, emosi, serta pengalaman batin mereka.
Film adalah salah satu bentuk dari komuikasi massa. Dalam media
massa, film digunakan tidak hanya sebagai media yang merefleksikan realitas
namun juga bahkan membentuk realitas. Adapun salah satu pengertian film
adalah film sebagai karya seni budaya. Secara estetika film termasuk benda
25
medium tertentu, baik suara (audio) ataupun gambar (visual) dan gabungan
keduanya yang akan melahirkan bidang seni tetentu yaitu seni audio-visual.
Konsep tentang seni atau estetik senantiasa berkaitan dengan
pengetahuan dan kebaikan (kebajikan) dan merupakan seni yang paling
menarik. Karena keindahan tertarik pada satu karya sehingga keindahan
adalah kaya seni ‘berada’ danbukan menjadi tujuan seni. Sebab tujuan seni
selalu komunikasi yang efektif (Peransi, 1997 :36). Film merupakan seni yang
sangat kuat pengaruhnya, dapat memperkaya pengalaman hidup seseorang dan
bisa menutupi segi-segi kehidupan lebih dalam. Film bisa dianggap sebagai
pendidik yang baik. Selain itu, film selalu diwaspadai karena kemungkinan
juga membawa dampak buruk (Marselli Sumarno, 1996 :83).
Disisi lain Severin dan Tankard (2007) berpendapat, bahwa
komunikasi bisa dilihat dari berbagai macam keterampilan, sebagian seni dan
ilmu. Lebih kompleksnya, film sebagai media massa memiliki penerangan,
pendidikan, pengembangan budaya bangsa, hiburan, dan ekonomi. Film
sebagai media massa dilihat dari keempat elemen tersebut dapat dijelaskan
bahwa sebagai penerangan, film merupakan media yang bisa mempromosikan
nilai-nilai keragaman budaya dan kepribadian suatu bangsakepada masyarakat
internasional. Dalam fungsi pendidikan , film merupakan media yang mampu
menjadi sarana pembelajaran atau pendidik bagi khalayak melalui pesan-pesan
didalamnya. Film juga mampu memantapkan dan mengembangkan nilai-nilai
budaya melalui simbol-simbol yang menyiratkan sebuah pesan. Serta sarana
26
dijadikan sebuah indutri yang berdampak pada strata ekonomi dan sosial
masyarakat.
2.4 Fungsi Komunikasi Massa Berbasis Perfilman
Film sebagai media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara usaha
penyampaian pesan malalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi
kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang
mengandung suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sutradara kepada khalayak
film.
Film merupakan media komunikasi massa memiliki beberapa fungsi
komunikasi (Effendy,212:1981) sebagai berikut :
1. Hiburan
Fungsi film sebagai hiburan bermaksud menghibur sasaran utamanya
dengan isi cerita film, geraknya, keindahannya, suara, dan sebagainya agar
penonton mendapat kepuasan psikologis. Film-film seperti inilah yang
banyak dihadirkan di bioskop-bioskop, maupun dalam format video compact
disc (VCD) dan digital versatile disc (DVD). Film jenis inilah yang menjadi objek dagang para produser dan dunia industry film.
2. Pendidikan
Fungsi film pendidikan atau sering disebut film ilmiah adalah film
yang berisi uraian atau penjelasan ilmiah tentang suatu objek untuk
27
3. Penerangan
Fungsi film penerangan yaitu memberikan penjelasan kepada
penonton tentang suatu hal atau masalah, agar penonton menjadi mengerti
atau paham tentang hal tersebut dan dapat melaksanakannya.
4. Propoganda
Fungsi film propaganda adalah untuk mempengaruhi penonton, agar
penonton merima atau menolak sesuatu idea tau barang, membuat senang
atau tidak senang kepada sesuatu , sesuai dengan keinginan si propogandis.
Film propaganda biasanya digunakan untuk kampanye politik atau promosi
barang dagangan.
Di dalam sebuah film terkandung pesan-pesan yang ingin
disampaikan oleh sutradara. Penonton harus bisa menyaring pesan dan
informasi yang terkandung dalam film tersebut. Ini menyadarkan kita bahwa
apa yang disajikan film tidak semuanya memiliki muatan positif. Merupakan
tantangan tersendiri bagi masyarakat untuk lebih cerdas memilih tontonan
yang berkualitas agar tidak terjebak dalam realitas dan lingkungan tiruan dari
media yang kompleks. Tjasmadi (2008 : 44) mengemukakan mengenai tiga
fungsi film, yaitu :
1. Film sebagai medium ekspresi seni peran berkaitan erat dengan
seni.
2. Film sebagai tontonan yang bersifat dengar pandang (audio-visual)
28
3. Film sebagai piranti penyampai pesan yang bersifat dengar
pandang, oleh karenanya film berkaitan dengan informasi.
Selain itu McQuail (2010: 35) juga mengemukakan opininya mengenai
karakteristik film sebagai media komunikasi massa yang menguntungkan.
Komunikasi massa melalui film memiliki dampak yang unik, diantaranya:
1. Film untuk propaganda dengan jangkauan yang luas jika diterapkan
untuk tujuan nasional atau kebangsaan.
2. Bermunculan sekolah seni film yang mncerminkan film sebagai bisnis
pertunjukan yang menjanjikan.
3. Bermunculan film-film documenter yang mengekspose cerita riil dari
suatu peristiwa.
2.5 Model Komunikasi Massa Film
Jay Black dan Federick C. Whitney dalam bukunya Introducing to Mass
Communication membagi proses komuniksi menjadi empat wilayah, yakni sumber, pesan, umpan balik (feedback), dan audience. Masing-masing
mempunyai ciri yang berbeda. Ciri ini umumnya melekat pada komunikasi massa.
29
2.5.1 Efek Komunikasi Massa Berbasis Film
Film sebagai salah satu media komunikasi massa yang memiliki kapasitas
untuk memuat pesan yang sama secara serempak dan mempunyai sasaran yang
beragam dari agama, etnis, umur, dan domisili dapat memainkan peranan sebagai
saluran penarik untuk pesan-pesan tertentu dari dan untuk khalayak. Dari sebuah
film audience dapat memperoleh informasi dan gambar tentang realitas tertentu
(Asep S. Muhtadi dan Sri Handayani, 2000 :95).
Film dapat memberikan pengaruh yang sangat besar pada kondisi
kejiwaan penontonya. Dalam suatu poses menonton film, terjadi suatu gejala yang
disebut oleh ilmu jiwa sosial sebagai identifikasi psikologi (Effendi, 1981 : 192).
Pengaruh ini tidak hanya terjadi selama masa menonton namun bisa sampai waktu
yang cukup lama. Maka dari itu, disadari atau tidak film dapat mengubah pola
kehidupan seseorang. Sebagai contoh ketika seseorang menonton film dengan
30
membawa dampak buruk berupa kecemasan bagi jiwa seseorang. Kecemasan
tersebut berasal dari pengaruh efek moral, psikologi, dan sosial yang dibawa film.
Dalam teori film psikoanalisis dikatakan, baik keadaan menonton (viewing
states) maupun ‘teks’ film itu sendiri dianggap dapat menggerakan fantasi alam bawah sadar penonton (unconscious fantasy) (Jowett dan Linton, 1980 :100).
Dengan menonton film, penonton diajak untuk memproyeksi hasrat bawah
sadarnya ke dalam fim. Akibatnya, film pun seolah-olah menjadi arena bagi
pementasan fantasi yang berasal dari hasrat alam bawah sadar penontonya Bertaut
dengan gejala ini Kuhn (1995: 430) menyebut film sebagai mesin pembuat
kesenangan (pleasure machine). Oleh karena sedemikian besar pengaruh atau efek
film kepada khalayak (penonton) maka seharusnya setiap penonton yang
menonton film harus pandai dalam memilih dan memilah informasi yang
terkandung pada konten sebuah film.
Menurut O’Shaugnessy dalam bukunya Media and Society: an
introduction (1951) mengatakan :
To make full sense of text (to give it meaning) in isolation. Text produce meanings by referring to the world outside thelselve and by using preexisting codes of representation. We, as audience members, have to have: (1) Knowledge of the rel world to which text refes dan (2) Knowledge of the conversations of the text mediums (it’s photographic, cinematic, or televisual codes of representation).
Istilah ‘Text’ disini mengacu pada jenis media massa itu sendiri, yang
31
memiliki kapabilitas menafsirkan atau memaknai film apabila mereka memiliki:
(1) Pengetahuan akan realitas nyata untuk menjadi pembanding pada konten
sebuah film dan (2) Pengetahuan mengenai teks pesan film
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa efek komunikasi massa
melalui film adalah Individual Differences Perspective. Dengan menggunakan
Individual Differences Perspective pada gambar dibawah inimasing-masing individu anggota audience (A1, A2, A3) bertindak menanggapi pesan yang
disiarkan media secara berbeda. Hal itu pula mengapa mereka menggunakan atau
merespon pesan secara berbeda (R1, R2, R3).
Sumber : Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, 2007, hlm. 107
2.6 Pesan Budaya Dalam Film
Budaya berkenaan dengan cara manusia hidup. Manusia belajar, berfikir,
merasa, mempercayai, dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya.
Budaya pada dasarnya merupakan nilai – nilai yang muncul dari proses interaksi
antarindividu. Nilai – nilai ini diakui baik secara langsung maupun tidak, seiring R1 R2 selective attention and perception A2 A1 media stimulus or message A3 R3
32
dengan waktu yang dilalui dalam interaksi tersebut. Bahkan terkadang sebuah niai
tersebut di alam bawah sadar individu dan diwariskan secara turun menurun pada
generasi berikutnya.
Budaya berkesinambungan dan hadir dimana-mana, budaya juga berkenaan
dengan bentuk fisik serta lingkungan sosial yang mempengaruhi hidup kita.
Budaya kita secara pasti mempengaruhi kita sejak dalam kandungan hingga mati
dan bahkan setelah mati pun kita dikuburkan dengan cara yang sesuai dengan
budaya kita.
Merujuk arti budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:169),
budaya bisa diartikan sebagai 1.) pikiran, 2.) akal budi, 3.) sesuatu mengenai
kebudayaan yang sudah berkembang (beradab dan maju) dan 4.) sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan dan sukar diubah.
Koenjaraningrat (1989:186) mengemukakan konsep kebudayaan dalam arti
yang sangat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia
yang tidak berakar dari nalurinya, namun diperoleh dari proses belajar manusia.
Selanjutnya, menurut Taylor (1985:332), kebudayaan adalah kompleks
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,
kebiasaan, serta kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Kebudayaan dipelihara oleh anggota masyarakat untuk menangani berbagai
masalah – masalah yang timbul dan berbagai persoalan yang timbul.
Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J.
Herskovits dan Bronislow Malinowski berpendapat bahwa segala sesuatu yang
33
masyarakat itu sendiri. Istilah untuk pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu
generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius,
dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat. Sedangkan menurut Selo Soemardjan dan
Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya, rasa, dan cipta
masyarakat.
Berdasarkan definisi-definisi dari para ahli diatas maka, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kebudayaan adalah suatu keseluruhan yang meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, kebiasaan, serta kecakapan
yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.
Film sebagai sebuah media komunikasi merupakan sebuah kombinasi antara
usaha penyampaian pesan melalui gambar yang bergerak, pemanfaatan teknologi
kamera, warna dan suara. Unsur-unsur tersebut didukung oleh suatu cerita yang
mengandung sutu pesan yang ingin disampaikan sutradara kepada khalayak film.
Film dapat dikatakan sebagai salah satu media hiburan yang paling populer,
selain televisi. Film mulanya hanya bisa disaksikan dalam sebuah gedung yang
disebut bioskop dan hanya kalangan tertentu saja yang mampu menonton film di
tempat macam ini. Film menjadi berbeda dengan bentuk media audio-visual yang
34
Film memiliki pengaruh yang kuat dalam mempengaruhi pola pikir dan
budaya masyarakat. Di dalam sebuah film terkandung pesan–pesan yang ingin
disampaikan oleh sutradara seperti pesan moral, pesan sosial, maupun pesan
budaya. Dengan menonton sebuah film kita bisa mengetahui suatu budaya yang
ditampilkan dalam film tersebut, selain itu kita juga bisa mengetahui budaya
tertentu meskipun kita belum berkunjung ke tempat tersebut.
2.6.1 Fungsi Film dalam Merepresentasikan Budaya
Budaya dapat diciptakan dan dipelihara melalui komunikasi, termasuk
komunikasi massa. Salah satu media massa yang berperan dalam pembelajaran
budaya yaitu film. Film dapat merepresentasikan suatu budaya tertentu. Film juga
digunakan sebagai cerminan untuk mengaca atau untuk melihat bagaimana
budaya bekerja atau hidup di dalam suatu masyarakat. Melalui film sebenarnya
kita juga bisa banyak belajar tentang budaya. Baik itu budaya masyarakat di mana
kita hidup di dalamnya, atau bahkan budaya yang sama sekali asing buat kita. Dan
kita menjadi paham perbedaan dalam budaya masyarakat terutama melalui film.
Representasi budaya merujuk kepada konstuksi segala bentuk media
(terutama media massa) terhadap segala aspek realitas atau kenyataan, seperti
masyarakat, objek, peristiwa, hingga identitas budaya. Representasi ini bisa
berbentuk kata-kata atau tulisan bahkan juga dapat dilihat dalam bentuk gambar
bergerak atau film. Representasi tidak hanya melibatkan bagaimana identitas
budaya disajikan (atau lebih tepatnya dikonstruksikan) di dalam sebuah film, tapi
juga dikonstruksikan di dalam proses produksi oleh masyakarat yang
35
Dalam film sebagai representasi budaya, film tidak hanya
mengkonstruksikan nilai-nilai budaya tertentu di dalam dirinya sendiri, tapi juga
tentang bagaimana nilai-nilai tadi diproduksi dan bagaimana nilai itu dikonsumsi
oleh masyarakat yang menyaksikan film tersebut. Jadi ada semacam proses
pertukaran kode-kode kebudayaan dalam tindakan menonton film sebagai
representasi budaya.
2.7 Tinjauan Tentang Semiotika
Semiotika adalah suatu ilmu atau suatu metode yang mengkaji tentang
tanda-tanda. Semiotika berarti mempelajari bagaimana kemanusiaan memaknai
hal-hal. Dalam semiologi, kita berusaha memaknai sebuah tanda yang dirasa ada
kejanggalan ataupun tidak kita mengerti. Kita berusaha meretas, menemukan apa
maksud tanda yang benar dalam setiap pengaplikasian semiotik.
Semiotika dibagi menjadi dua jenis kajian, yaitu semiotika komunikasi dan
semiotika signifikasi. Menurut Jakobson dalam (Sobur, 2009:59), semiotika
komunikasi menekankan pada teori produksi tanda yang salah satunya
mengansumsikan pada enam faktor dalam komunikasi, meliputi pengirim,
penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran, komunikasi, dan acuan (hal yang
dibicarakan). Sedangkan semiotika signifikasi, lebih menekankan pada teori tanda
dan pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Dalam semiotika signifikasi,
memang sekilas sama dengan semiotika komunikasi. Namun tidak
mempersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Dan yang diutamakan adalah segi
pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada penerima tanda lebih
36
Seperti kata Lechte (2001:191), semiotika adalah teori tentang tanda dan
penandaan. Semiotika menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan
sarana signs (tanda-tanda) dan berdasarkan pada sign system (code) ‘sistem
tanda’.
2.7.1. Konsep Semiotika oleh Roland Barthes
Roland Barthes lahir pada tahun 1915 di Cherbourg, Perancis. Dalam
(Sobur, 2009:63), Barthes tidak hanya berbatas pada semiotika saja, tetapi juga
menerapkan berbagai macam pendekatan untuk mengkaji beragam fenomena.
Dijelaskan ST Sunardi dengan mengutip ucapan Barthes:
Semiotika tidak akan menggantikan penelitian apapun disini, tetapi sebaliknya, semiotika akan menhadi semacam kursi roda, kartu As, dalam pengetahuan kontemporer sebagaimana tanda merupakan kartu As dalam wacana (Barthes dalam Sunardi, 2005:34)
Barthes sendiri dikenal sebagai salah seorang pemikir strukturalis yang
getol mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussurean. Pemikirannya
merupakan serpihan gagasan yang begitu multidimensi dan mengundang berbagai
interpretasi (Sobur, 2009:69).
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studi tentang tanda
adalah peran pembaca (the reader). Konotasi, awalupun merupakan sifat asli
tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara
panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran
dua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya. Sistem
37
secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama.
Berikut peta Barthes tentang bagaimana tanda bekerja.
Gambar 1.1
Peta Tanda Roland Barthes
1. Signifier
(penanda)
2. Signified (petanda)
3. Denotative sign (tanda denotatif)
4. Connotative Signifier (Penanda
Konotatif) 5. Connotative Signified (Petanda
Konotatif)
6. Connotative Sign (Tanda Konotatif)
Sumber: Sobur, 2009:69
Dapat dilihat berdasarkan peta diatas, bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi, disaat bersamaan, tanda denotatif juga
sebagai penanda konotatif (4). Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak
hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda
denotatif yang melandasi keberadaannya.
Denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara
konotasi merupakan sistem signifikasi tingkat kedua. Dalam hal ini, denotasi
justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna. Konotasi, bagi Barthes,
38
untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan
yang berlaku dalam suatu periode tertentu
2.7.2. Television Codes
Television codes adalah teori yang dikemukakan oleh John Fiske atau yang biasa disebut kode-kode yang digunakan dalam dunia pertelevisian. Menurut
Fiske, kode-kode yang muncul atau yang digunakan dalam acara televisi tersebut
saling berhubungan sehingga terbentuk sebuah makna. Menurut teori ini pula,
sebuah realitas tidak muncul begitu saja melalui kode-kode yang timbul, namun
juga diolah melalui penginderaan serat referensi yang telah dimiliki oleh pemirsa
televisi, sehingga sebuah kode akan dipersepsi secara berbeda oleh orang yang
berbeda juga.
Dalam kode-kode televisi yang diungkapkan dalam teori John Fiske,
bahwa peristiwa yang ditayangkan dalam dunia televisi telah dienkode oleh
kode-kode sosial yang terbagi dalam tiga level sebagai berikut:
1. Level pertama adalah realitas (Reality) Kode sosial yang termasuk di
dalamnya adalah penampilan (appearance), kostum (dress), riasan
(make-up), lingkungan (environment), kelakuan (behavior), dialog
(speech), gerakan (gesture), ekspresi (expression), suara (sound).
2. Level kedua adalah Representasi (Representation). Kode sosial yang
termasuk di dalamnya adalah kamera (camera), pencahayaan (lighting),
perevisian (editing), musik (music), dan suara (sound). Representasi
39
3. Level ketiga adalah Ideologi (Ideology). Kode sosial yang termasuk di
dalamnya adalah individualisme (individualism), patriarki (patriarchy),
ras (race), kelas (class), materialisme (materialism), kapitalisme
(capitalism).
Menurut John Fiske, ada tiga bidang studi utama dalam semiotika (Fiske,
2004:60) yaitu:
1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang
berbeda, cara-cara tanda yang berbeda itu dalam menyampaikan makna,
dan cara-cara tanda itu terkait dengan manusia yang menggunakannya.
Tanda adalah kontruksi manusia dan hanya bias dipahami dalam artian
manusia yang menggunakannya.
2. Sistem atau kode yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup
cara berbagai kode yang dikembangkan guna memenuhi kebutuhan
suatu masyarakat atau budaya atau mengeksploitasi saluran komunikasi
yang tersedia untuk mentrasmisikannya.
3. Kebudayaan dan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya
bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk
keberadaan dan bentuknya sendiri.
Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi pesan.
Sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
40
menggunakan perspektif yang kedua, yaitu dari sisi produksi dan pertukaran
makna.
Perspektif produksi dan pertukaran makna memfokuskan bahasanya pada
bagaimana sebuah pesan ataupun teks berinteraksi dengan orang-orang di
sekitarnya untuk dapat menghasilkan sebuah makna. Hal ini berhubungan dengan
peranan teks tersebut dalam budaya. Perspektif ini seringkali menimbulkan
kegagalan dalam berkomunikasi karena pemahaman yang berbeda antara
pengirim pesan dan penerima pesan. Meskipun demikian, yang ingin dicapai
adalah signifikasinya dan bukan kejelasan sebuah pesan disampaikan. Untuk
itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks dan budaya ini
dinamakan pendekatan semiotik (Fiske, 2006 :9).
Gambar 1.2.
Gambaran Umum Skema John Fiske
Sumber: John Fiske, 2015 Representasi Film/Video Klip
John Fiske’s Television Codes
41
2.7.3 Semiotika dalam Film
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda
dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata ‘semiotika” sendiri berasal
dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti
“penafsir tanda”. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang
tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta
proses tandaifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16).
Semiotika adalah studi mengenai pertandaan dan makna dari sistem tanda;
ilmu tentang tanda, bagaimana makna dibangun dalam “teks” media; atau studi
tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang
mengkomsumsi makna (Fiske, 2004:282).
Semiotika digunakan sebagai pendekatan untuk menganalisis teks media
dengan asumsi bahwa media itu sendiri dikomunikasikan melalui seperangkat
tanda. Teks media yang tersusun atas seperangkat tanda tersebut tidak pernah
membawa makna tunggal. Kenyataannya, teks media selalu memiliki ideologi
dominan yang terbentuk melalui tanda tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa teks
media membawa kepentingan-kepentingan tertentu juga kesalahan-kesalahan
tertentu yang lebih kompleks (Sobur, 2009:95).
Aliran semiotik dipelopori oleh dua tokoh, yaitu Ferdinand de Sausure dan
Charles Sanders Pierce. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam
memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan
42
Eropa, dia memperkenalkann istilah ‘semiologi’ sedangkan Charles Sanders
Peirce (1839-1914) mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah
‘semiotika’.
Istilah semiotika dan semiologi mengandung pengertian yang persis sama,
walaupun penggunaan salah satu dari kedua istilah tersebut biasanya
menunjukkan pemikiran pemakainya. Mereka yang bergabung dengan Pierce
menggunakan kata semiotika, sedangkan mereka yang bergabung dengan
Saussure menggunakan istilah semiologi.
Baik semiotika maupun semiologi, keduanya kurang lebih dapat saling
menggantikan karena sama-sama digunakan untuk mengacu kepada ilmu tentang
tanda. Namun, ada kecenderungan istilah semiotika lebih popular dibandingkan
istilah semiologi, sehingga para penganut Saussure juga sering menggunakannya.
Dari sebagian banyak literatur tentang semiotika mengungkapkan bahwa
semiotika bermula dari ilmu linguistik dengan tokohnya Ferdinand de Saussure.
Tidak hanya dikenal sebagai bapak linguistik, ia juga dikenal sebagai tokoh
linguistik modern dalam bukunya Course in General Linguistics (1916). Selain itu
ada tokoh yang penting dalam semiotik Ferdinand de Saussure (1857-1913),
adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914), dan Roland Barthes (1915-1980),
Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda (tanda). Tanda
adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda (tandaifier) dengan sebuah ide atau
petanda (tandaified). Penanda adalah aspek material dari bahasa dan petanda
43
Dalam pandangan Saussure, semiotik dibagi menjadi dua bagian, yaitu
penanda (tandaifier) dan petanda (tandaified). Penanda dilihat sebagai bentuk
fisik dapat dikenal melalui wujud suatu karya, sedangkan petanda dilihat sebagai
makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan atau nilai -nilai yang
terkandung di dalam suatu karya. Hubungan antara penanda dan petanda
berdasarkan konversi disebut dengan tandaifikasi, yaitu sistem tanda yang
mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau
konvensi tertentu. Menurut Saussure, “Tandaifier dan tandaified merupakan
kesatuan, tak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.” (Sobur,
2006:46)
Sedangkan Charles Sanders Pierce yang merupakan seorang filsuf Amerika
mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga
elemen utama, yakni tanda, objek, dan interpretasi. Tanda adalah sesuatu yang
berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan
sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda
menurut Peirce terdiri dari Simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), Ikon
(tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan Indeks (tanda yang muncul dari
hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau
acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu
yang dirujuk tanda.
Interpretasi atau pengguna tanda adalah makna yang ada dalam benak
seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam
44
itu digunakan orang saat berkomunikasi. Interpretasi terbagi atas rheme, dicent
tanda, atau dicitanda, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan
orang menafsirkan berdasarkan pilihan. Dicent tanda atau dicitanda adalah tanda
sesuai kenyataan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan
tentang sesuatu.
Sedangkan menurut Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut
Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat
denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit,
langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan
hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak
eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada
cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan
makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja
menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan
interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,
interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan
diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of
tandaification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di
45
sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap
mempergunakan istilah tandaifier-tandaified yang diusung Saussure.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang
menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua
penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-tandaifier-tandaified, tanda
tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan
membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna denotasi
kemudian berkembang menjadi makna konotasi, maka makna konotasi tersebut
akan menjadi mitos.
Kutipan Barthes dalam bukunya Mythologies (1957), mitos adalah bagian
penting dari ideologi. Mitos yang dimaksud Barthes bukan seperti mitologi
Yunani tentang dewa-dewa. Menurut Barthes, mitos masa kini bukan merupakan
konsep, mitos tidak berisi ide-ide atau menunjukkan objek, mitos mas kini
mengandung pesan-pesan. Dipandang dari segi struktur, mitos adalah bagian
dari parole, sama seperti teks, mitos harus dilihat secara menyeluruh.
Mitos adalah unsur penting yang dapat mengubah sesuatu yang kultural atau
historis menjadi alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi
yang telah menetap di masyarakat, sehingga pesan yang didapat dari mitos
tersebut sudah tidak lagi dipertanyakan oleh masyarakat. Penjelasan Barthes
mengenai mitos tidak
lepas dari penjelasan Saussure mengenai signifiant dan signifié, bahwa ekspresi
46
Adanya E=ekspresi, R=relasi, dan C=isi yang bersifat arbitrer pada setiap individu
hingga dapat membentuk makna lapis kedua karena adanya pergeseran makna
dari denotasi ke konotasi 9E2(E1-R1-C1)-R2-C2). Mitos itu sendiri adalah
konotasi yang telah berbudaya. Sebagai contoh ketika kita mendengar pohon
beringin, denotasinya adalah pohon besar yang rindang, tetapi ketika sudah
menyentuh makna lapis kedua, pohon beringin dapat memiliki makna menakutkan
dan gelap. Pohon beringin juga dapat memiliki makna yang lebih dalam lagi
seperti lambang pada sila ketiga, persatuan Indonesia, makna ini sudah sampai
hingga ideologi karena menyentuh kehidupan sosial manusia sehari-hari.
Sebuah mitos dapat menjadi sebuah ideologi atau sebuah paradigma ketika
sudah berakar lama, digunakan sebagai acuan hidup dan menyentuh ranah norma
sosial yang berlaku di masyarakat. Sebagai contoh, peristiwa ‘pemerkosaan
perempuan yang menggunakan rok mini di angkutan umum di malam hari’, dalam
kejadian ini terdapat mitos seperti: perempuan yang menggunakan rok mini
mengundang hasrat laki-laki, perempuan seharusnya menggunakan pakaian yang
menutupi auratnya, atau perempuan tidak diperbolehkan pulang malam. Ideologi
yang terlihat dari mitos-mitos tesebut adalah gambaran budaya partiarkal dan
islamisme yang kental di Indonesia, reaksi dari gubernur Aceh “perempuan seperti
itu pantas diperkosa, seharusnya ia berpakaian lebih sopan.” Pernyataan tersebut
memperlihatkan superioritas laki-laki, misogini yang terjadi menempatkan
perempuan sebagai yang lain, dan posisi perempuan tidak terlepas dari fungsinya
dalam hidup laki-laki. Berdasarkan contoh diatas, kita dapat melihat bahwa
47
dalam suatu masyarakat,. Hal itulah yang menyebabkan mengapa mitos
merupakan bagian penting dari ideologi. (Hoed, Benny. 2011. Semiotik dan
Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu) 2.8 Fokus Penelitian
Fokus pada penelitian ini adalah bagaimana film “Lemantun”
merepresentasikan pesan budaya Jawa dalam lingkup negara Indonesia yang
mempunyai banyak keragaman budaya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori semiotika dari Roland
Barthes dimana setiap tanda dalam film yang menggambarkan adanya pesan
budaya Jawa akan dimaknai melalui dua tahap pemaknaan (two order of
signification) yaitu makna konotasi (makna berdasarkan mitos) dan makna denotasi (makna sebenarnya). Konotasi berperan sebagai pemaknaan subjektif dan
denotasi merupakan pemaknaan objektif.
Demi kelancaran penelitian yang akan dilakukan, peneliti juga telah menentukan
kriteria untuk pengumpulan data berupa indikasi scene yang masuk dalam kriteria
penelitian, diantaranya :
1. Menampilkan adegan pesan budaya Jawa.
2. Menampilkan perilaku budaya Jawa.
3. Benda- benda yang ada dalam film (properti) yang menandung pesan
budaya Jawa.
4. Dialog dalam film yang mengandung pesan budaya Jawa.