• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PERKEMBANGAN MODEL PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III PERKEMBANGAN MODEL PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

-38-

BAB III

PERKEMBANGAN MODEL

PERTANGGUNGJAWABAN KEPALA DESA

Deskripsi Singkat Topik :

Pokok Bahasan : Perkembangan Model Pertanggungjawaban Kepala Desa Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 32 Tahun 2004

Sub Pokok Bahasan : 1. Pendahuluan

2. Model Pertanggungjawaban Kepala Desa Menurut UU 5 Tahun 1974

3. UU Nomor 22 Tahun 1999 4. UU Nomor 32 Tahun 2004 5. BPD

Waktu : 1 (satu) kali tatap muka pelatihan (selama 100 menit) Tujuan : Praja dapat memahami perkembangan model

pertanggungjawaban Kepala Desa dari Masa ke Masa Metode : Ceramah

Dalam negara yang menggunakan sistem politik demokrasi berkedaulatan rakyat, maka setiap pejabat publik yang menjalankan amanah dari rakyat untuk menjalankan tugas dan kewajiban serta menggunakan dana publik, wajib mempertanggungjawabkan dan mempertanggunggugatkannya kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Mekanisme pertanggungjawaban pejabat publik akan mengikuti mekanisme pengisiannya. Maksudnya, apabila jabatan publik diisi oleh pejabatnya melalui pengangkatan oleh pejabat yang berwenang, maka tanggungjawabnya bersifat hirarkhi ke atas yakni kepada pejabat yang berwenang mengangkatnya. Sebaliknya, apabila pejabat publik dipilih, maka yang bersangkutan bertanggungjawab kepada yang memilihnya. Sebagai contoh, pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, Kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka yang

(2)

-39- bersangkutan juga mempertanggungjawabkan tugas dan wewenangnya kepada DPRD. Pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004, kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat, sehingga yang bersangkutan secara prinsip bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pola pengisian jabatan kepala desa pada masa lalu ada yang dilakukan melalui pemilihan, adapula yang diangkat berdasarkan garis keturunan. Secara umum berdasarkan peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, kepala desa dipilih oleh rakyat desa yang memiliki hak pilih. Konkordan dengan penjelasan sebelumnya, maka pada prinsipnya kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat yang memilihnya.

Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974 juncto UU Nomor 5 Tahun 1979, kepala desa dipilih secara langsung oleh masyarakat yang mempunyai hak pilih, tetapi dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, kepala desa bertanggung jawab kepada bupati/walikotamadya melalui camat. Model ini menunjukkan ketidakkonsistenan sistem, karena masyarakat yang memilih kepala desa, tetapi yang berhak mengangkat dan memberhentikan adalah bupati/walikotamadya.

A. Pertanggungjawaban Kepala Desa Pada Masa UU Nomor 5 Tahun 1974

juncto UU Nomor 5 Tahun 1979

Pada masa UU ini, sistem pemerintahannya bersifat sentralistik sehingga mekanisme pertanggungjawaban unit-unit pemerintahannya arahnya vertikal ke atas. Meskipun sebagai organisasi pemerintahan semu, pemerintah desa juga menganut sistem pertanggungjawaban vertikal ke atas. Pada Pasal 10 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1979 disebutkan bahwa dalam menjalankan hak, wewenang dan kewajiban pimpinan pemerintahan desa, kepala desa : a) bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkat melalui camat; b) memberikan keterangan pertanggungjawaban kepada Lembaga Musyawarah Desa.

Model pertanggungjawaban semacam itu menjadi tidak konsisten dengan sistem pengisian jabatan kepala desanya. Kepala desa dipilih oleh warga desa yang memiliki hak pilih, seharusnya kepala desa bertanggungjawab kepada yang

(3)

-40- memilih, bukan kepada pejabat birokrasi di atasnya, sebab secara prinsipnya kepala desa bukanlah bawahan dari camat. Tetapi karena hukum positif yang berlaku menempatkan kepala desa sebagai subordinasi camat, makanya yang bersangkutan bertanggungjawab kepada pejabat yang berwenang mengangkatnya melalui camat.

Model pertanggungjawaban semacam itu semakin mempertegas garis pemerintah pusat melalui asas dekonsentrasi yang berujung pada tangan camat, kemudian berlanjut sampai ke tingkat desa. Model ini pula memiliki keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya yaitu mempermudah garis perintah yang datang dari pemerintah pusat, sehingga berbagai kebijakan dan program pembangunan yang dibuat oleh pemerintah pusat dapat mengalir secara lancar sampai ke tingkat desa. Misalnya program keluarga berencana, program penggunaan bibit padi unggul dan lain sebagainya.

Berdasarkan kajian Sadu Wasistiono (1996), pada masa UU ini peranan kepala desa lebih banyak sebagai struktur perantara dan agen pembaharuan yang datang dari pemerintah pusat, dibandingkan sebagai figur pemimpin yang melayani kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Tidak adanya akuntabilitas kepala desa kepada masyarakat pemilih seperti selama ini terjadi, menyebabkan kontrol sosial menjadi sangat lemah. Kepala Desa akan lebih berorientasi ke atas daripada kepada masyarakat pemilih. Keadaan tersebut akan memperlemah dukungan masyarakat desa, dan tanpa dukungan masyarakat, pemerintah desa tidak akan mampu menjalankan fungsinya dengan baik (Sadu Wasistiono, 1983:90).

Model pertangggungjawaban kepala desa menurut UU Nomor 5 Tahun 1979 dapat disederhanakan dalam bentuk gambar sebagai berikut :

(4)

-41- Gambar 4.1.

Model Pertanggungjawaban Kepala Desa Menurut UU Nomor 5 Tahun 1979

B. Pertanggungjawaban Kepala Desa Pada Masa UU Nomor 22 Tahun 1999

juncto PP Nomor 76 Tahun 2001

Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999, khususnya Pasal 102 huruf (a) disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya Kepala Desa bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa. Sedangkan pada huruf (b) UU Pasal tersebut dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Kepala Desa menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan efisien, kewenangan pembinaan pemerintah desa oleh Bupati dapat didelegasikan kepada camat, sehingga rentang kendali pembinaan tidak terlampau luas. Untuk kepentingan tersebut, Bupati secara eksplisit harus mendelegasikan kewenangan pembinaan pemerintah desa tersebut kepada camat. Sedangkan pertanggungjawaban kepala desa diberikan kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa.

Gambaran umum model pertanggungjawaban Kepala Desa menurut UU Nomor 22 Tahun 1999 dapat dilihat pada gambar berikut :

Keterangan Pertanggungjawaban Tanggung Jawab Pemerintah Supra Desa Kepala Desa Masyarakat Pemilih LMD

(5)

-42- Keterangan :

1. Kepala Desa mengajukan pertanggungjawaban tugasnya kepada BPD.

2. BPD membahas LPJ Kades dengan atau tidak menyertakan penduduk desa yang mempunyai hak pilih sebagai konstituen melalui Dusun atau Rapat Desa. Hasil Rapat dituangkan melalui Berita Acara (BA) Rapat.

3. Hasil pembahasan tersebut dibahas ke rapat lengkap BPD,

4. Berdasarkan hasil tersebut, kemudian BPD mengambil sikap terhadap LPJ Kades dengan tiga opsi : a) menerima; b) menerima dengan catatan; atau bahkan c) menolak.

5. Apabila mayoritas konstituen menerima atau menerima dengan catatan terhadap LPJ Kades maka tidak menjadi masalah. Namun apabila mayoritas menolak LPJ Kades, maka Kades diberi kesempatan untuk memperbaiki selama 30 hari. Apabila tidak memuaskan anggota BPD, maka BPD dapat mengajukan pemberhentian Kades kepada Bupati.

6. Selain menyampaikan LPJ kepada rakyat melalui BPD, Kades juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati. Laporan ini sifatnya administratif – informatif.

Selanjutnya, berdasarkan pengamatan di lapangan diperoleh gambaran bahwa mekanisme pertanggungjawaban Kepala Desa sebagaimana diatur di dalam Pasal 102 huruf (a) dapat ditafsirkan ke dalam 3 (tiga) model yakni :

1) Model pertanggungjawaban dengan kemungkinan adanya penerimaan atau penolakan LPJ Kepala Desa oleh BPD setelah berkonsultasi dengan rakyat, yang dapat membawa konsekuensi pemberhentian Kepala Desa sebelum masa jabatannya berakhir (Model I);

2) Model pertanggungjawaban Kepala Desa kepada BPD sebagai cara untuk mengawasi jalannya pemerintahan Desa melalui konsultasi dengan rakyat (Model II);

3) Model pertanggungjawaban Kepala Desa sebagai cara mengawasi jalannya pemerintahan Desa dengan diputuskan sendiri oleh BPD, tanpa konsultasi dengan rakyat (Model III).

Bupati Rakyat Kepala Desa BPD 3 2 6 5 1 4

(6)

-43- Penjelasan tentang model pertanggungjawaban kepala desa kepada rakyat melalui BPD dapat digambarkan melalui bagan-bagan sebagai berikut :

1. Model I (Pertama)

Gambar 4.2.

Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Desa Dengan Konsekuensi Penerimaan atau Penolakan Keterangan :

1. Kepala Desa mengajukan bahan pertanggungjawaban tugasnya kepada BPD.

2. BPD membahas LPJ Kades dengan penduduk desa yang mempunyai hak pilih (konstituen) melalui Dusun atau Rapat Desa. Hasil Rapat dituangkan melalui Berita Acara (BA) Rapat. 3. Hasil pembahasan tersebut dibahas ke Rapat Paripurna BPD,

4. Berdasarkan hasil tersebut, kemudian BPD mengambil sikap terhadap LPJ Kades,

5. Apabila mayoritas konstituen menolak LPJ Kades, maka Kades diberi kesempatan untuk memperbaiki selama 30 hari. Apabila dianggap tidak memuaskan, maka BPD dapat mengajukan pemberhentian Kades kepada Bupati.

6. Selain menyampaikan LPJ kepada rakyat melalui BPD, Kades juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati. Laporan ini sifatnya administratif – informatif.

Model I seperti gambar di atas, dalam prakteknya dapat menimbulkan ketidakstabilan pemerintahan Desa, karena BPD dapat saja mencari berbagai alasan untuk menjatuhkan Kepala Desa. Selain itu, akan terjadi pertarungan mencari dukungan legitimasi dari masyarakat. Kepala Desa yang dipilih langsung oleh rakyat merasa memiliki legitimasi yang lebih kuat dibandingkan BPD yang diisi melalui pemilihan secara tidak langsung ataupun melalui penunjukkan tokoh-tokoh masyarakat. Konflik tersebut akan terjadi apabila rakyat yang dimintai pendapat mengenai LPJ Kepala Desa jumlahnya tidak cukup signifikan untuk

Bupati Rakyat Kepala Desa BPD 3 2 6 5 1 4

(7)

-44- menggambarkan kedaulatan rakyat, atau suaranya dimanipulasi oleh BPD yang mengatasnamakan rakyat.

Apabila diberi pendelegasian kewenangan oleh Bupati, Camat dapat melakukan pembinaan dan pengawasan jalannya pemerintahan desa dengan bersikap proaktif menghadapi kemungkinan konflik antara Kepala Desa dengan BPD. Karena konflik pada tingkat elit apabila tidak diantisipasi secara cepat dan tepat akan berkembang menjadi konflik antarpendukung yang bersifat horisontal dan frontal, sehingga lebih sulit untuk mengatasinya.

2. Model II (Kedua)

Gambar 4.3.

Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Desa Sebagai Media Pengawasan

Keterangan :

1. Kepala Desa mengajukan bahan pertanggungjawaban tugasnya kepada BPD.

2. BPD membahas LPJ Kades dengan penduduk desa yang mempunyai hak pilih (konstituen) melalui Dusun atau Rapat Desa. Hasil Rapat dituangkan melalui Berita Acara (BA) Rapat. 3. Hasil pembahasan tersebut dibahas ke Rapat Paripurna BPD,

4. BPD kemudian memberikan catatan mengenai kekurangan kinerja Kades pada tahun anggaran yang lalu untuk perbaikan tahun anggaran mendatang (menjadi sarana pengawasan),

5. Kades juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat.

Pada model II ini, LPJ Kepala Desa dijadikan media untuk mengawasi jalannya pemerintahan Desa. Hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPD disampaikan kepada rakyat melalui berbagai mekanisme yang biasa digunakan di

Bupati Rakyat Kepala Desa BPD 3 2 5 1 4

(8)

-45- Desa bersangkutan, baik melalui rapat desa ataupun rapat dusun. Dengan demikian, rakyat sebagai pemilik kedaulatan dilibatkan secara aktif di dalam proses pengambilan keputusan mengenai kinerja Kepala Desa pada tahun anggaran bersangkutan. Pada model ini, LPJ Kepala Desa tidak dijadikan ajang untuk menjatuhkan Kepala Desa.

3. Model III (Ketiga)

Gambar 4.4.

Mekanisme Pertanggungjawaban Kepala Desa Tanpa Konsultasi Dengan Rakyat Keterangan :

1. Kepala Desa mengajukan bahan pertanggungjawaban tugasnya kepada BPD. BPD membahas LPJ Kades tanpa konsultasi dengan penduduk desa yang mempunyai hak pilih (konstituen). Hasil Rapat dituangkan melalui Berita Acara (BA) Rapat.

2. Hasil pembahasan tersebut diinformasikan kepada rakyat,

3. BPD kemudian memberikan catatan mengenai kekurangan kinerja Kades pada tahun anggaran yang lalu untuk perbaikan tahun anggaran mendatang (menjadi sarana pengawasan),

4. Kades juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Bupati dengan tembusan kepada Camat. Bupati Rakyat Kepala Desa BPD 2 4 1 3

(9)

-46- Pada model III, LPJ Kepala Desa hanya dibahas oleh BPD tanpa melibatkan rakyat. BPD merasa bahwa mereka mewakili kepentingan rakyat sehingga yang mereka putuskan adalah yang terbaik untuk masyarakat. Hal ini dalam prakteknya akan dapat menimbulkan konflik apabila kritik tajam dari BPD terhadap kinerja pemerintahan Desa pada tahun anggaran bersangkutan tidak dapat diterima oleh Kepala Desa.

Pilihan model yang akan digunakan di suatu Kabupaten/Kota akan sangat tergantung pada keputusan politik yang tertuang di dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan. Agar Peraturan Daerah tersebut dapat diterima oleh semua pihak, akan lebih baik apabila dalam menyusun Perda tersebut melibatkan secara aktif para Kepala Desa dan perwakilan BPD untuk sama-sama merumuskannya. Dengan demikian, sejak dari awal sudah diperoleh titik temu antara kedua pihak sehingga potensi konflik karena perbedaan penafsiran mengenai LPJ Kepala desa dapat dihindari.

C. Pertanggungjawaban Kepala Desa Pada Masa UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 72 Tahun 2005

Pada Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 72 Tahun 2005 dikemukakan kewajiban kepala desa yaitu :

a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD Tahun 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan NKRI; b. meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; d. melaksanakan kehidupan demokrasi;

e. melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas kolusi, korupsi, dan nepotisme;

f. menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa;

g. menaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan; h. menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik;

i. melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa;

j. melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa; k. mendamaikan perselisihan masyarakat di desa;

(10)

-47- m. membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai social budaya dan

adat istiadat;

n. memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa, dan

o. mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup.

Selain kewajiban sebagaimana dikemukakan di atas, menurut Pasal 15 ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5) PP tersebut dikemukakan bahwa Kepala Desa juga mempunyai kewajiban untuk :

1) memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa (LPPDes) kepada bupati/walikota; yang disampaikan kepada bupati/walikota melalui camat satu kali dalam satu tahun;

2) memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada BPD (LKPJ); satu kali dalam satu tahun, dan disampaikan dalam musyawarah BPD;

3) menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa (IPPDes) kepada masyarakat melalui selebaran yang ditempelkan pada papan pengumuman atau diinformasikan secara lisan dalam berbagai pertemuan masyarakat desa, radio komunikasi atau media lainnya.

Bentuk ini konkordan dengan model pertanggungjawaban Bupati/Walikota. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa Kepala Desa tidak bertanggungjawab kepada Bupati/walikota. Dengan demikian, apabila ada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota yang menyebutkan bahwa Kepala Desa bertanggungjawab kepada Bupati/Walikota, maka perda tersebut bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya, sehingga harus dibatalkan.

Penjelasan di atas dapat disederhanakan dalam bentuk bagan sebagai berikut:

(11)

-48- Gambar 4.4.

Model Pertanggungjawaban Kepala Desa

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 jo PP Nomor 72 Tahun 2005

D. Hubungan Kerja Kepala Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Sebagai Mitra… buku pak sadu LKMD

Bicara mengenai Laporan berarti mitra… konsep mitra…

Terdapat bermacam-macam hubungan kerja, hubungan yang bersifat horizontal dan heterarkhis disebut pula sebagai hubungan kemitraan (partnership). Hubungan ini didasarkan pada filosofi (Sadu Wasistiono, 2001 : 52) :

1. Adanya kedudukan yang sejajar diantara yang bermitra, 2. Adanya kepentingan bersama yang ingin dicapai, 3. Adanya saling menghormati,

4. Adanya niat untuk saling membantu dan saling mengingatkan.

Keberadaan lembaga perwakilan di desa mengalami beberapa kali metamorfosa, dulu UU 5/1974…. Dikenal dengan Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Kepala Desa Bupati/Walikota BPD LPPDes Masyarakat IPPDes LKPJ Pengawasan

(12)

-49- UU No. 22/1999 menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD), dimana dalam Pasal 94 UU No. 22/1999 menegaskan: “Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa, yang merupakan Pemerintahan Desa”. Sedangkan Pasal 104 menegaskan: Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa.

BPD menjadi arena baru bagi kekuasaan, representasi dan demokrasi Desa. BPD dilahirkan sebagai bentuk kritik terhadap LMD. Pembentukan BPD melibatkan secara terbatas partisipasi masyarakat. Ia menjadi sebuah arena demokrasi perwakilan yang lebih baik ketimbang LMD. Berbeda dengan LMD masa lalu yang ditunjuk oleh lurah, BPD dipilih dengan melibatkan masyarakat. Jika dulu LMD merupakan lembaga korporatis yang diketuai secara ex officio dan didominasi oleh kepala Desa, sekarang kepala Desa ditempatkan sebagai eksekutif, sedangkan BPD sebagai badan legislatif yang terpisah dari kepala Desa. Dengan kalimat lain, lahirnya BPD telah membawa pergeseran kekuasaan yang lebih jelas antara kepala Desa sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan BPD sebagai pemangku lembaga legislatif.

Paling tidak ada tiga domain kekuasaan kepala Desa yang telah dibagi ke BPD: (1) pembuatan keputusan dalam bentuk Peraturan Desa (Perdes) yang dikerjakan bersama-sama antara lurah dan BPD; (2) pengelolaan keuangan yang melibatkan BPD seperti penyusunan APBDes dan pelelangan tanah kas Desa; (3)

(13)

-50- rekrutmen perangkat Desa yang dulu dikendalikan oleh lurah dan orang-orang kecamatan maupun kabupaten sekarang dikendalikan oleh BPD. Bahkan kontrol BPD terhadap kepala Desa sudah dijalankan meski kontrol itu masih terbatas pada LPJ lurah dan ia belum terinstitusionalisasi kepada masyarakat.

Meski menciptakan lompatan yang luar bisa, tetapi UU No. 22/1999 tetap memiliki sejumlah keterbatasan, terutama kalau dilihat dari sisi Desain desentralisasi. UU ini menyerahkan sepenuhnya persoalan Desa kepada kabupaten/kota, sehingga membuat rumusan UU No. 22/1999 memberikan “cek kosong” pengaturan Desa kepada kabupaten/kota. UU No. 22/199 hanya memberikan diktum yang sifatnya makro dan abstrak dalam hal desentralisasi kewenangan kepada Desa.

UU No. 32/2004 mengganti sistem perwakilan (representasi) dalam bentuk BPD dengan sistem permusyawaratan dalam bentuk Badan Permusyawatan Desa (disingkat Bamusdes). Pasal 210 menegaskan: “Anggota badan permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk Desa bersangkutan yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat”. “Yang dimaksud dengan “ wakil ” dalam ketentuan ini adalah penduduk Desa yang memangku jabatan seperti ketua rukun warga, pemangku adat, dan tokoh masyarakat

lainnya”. Klausul “wakil” dan “musyawarah” itu harus dicermati secara kritis. Keduanya menegaskan bahwa Bamusdes mewadahi para pemuka masyarakat Desa tanpa harus dipilih melalui sistem keterwakilan, seperti keberadaan LMD yang lalu.

(14)

-51- Di Desa sering muncul distorsi dalam musyawarah untuk menentukan siapa pemuka masyarakat yang dilibatkan dalam Bamusdes. Distorisnya adalah “penunjukan” secara elitis terhadap pemuka masyarakat yang dianggap “dekat”kepala Desa. Akibatnya adalah ketiadaan akses rakyat biasa (ordinary

people) untuk berpartisipasi sebagai anggota Bamusdes. Fungsi Bamusdes juga

dikebiri, yaitu hanya menetapkan perdes bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Fungsi kontrol dihilangkan, sehingga memperlemah check and balances dalam pemerintahan Desa.

Sisi yang lain adalah akuntabilitas kepala Desa. Pertanggungjawaban kepala Desa ditemukan di dalam penjelasan umum: "Kepala Desa pada dasarnya

bertanggung jawab kepada rakyat Desa yang dalam tata cara dan prosedur pertanggung jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa, Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawabannya dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggung jawabannya..-..."

Klausul itu menegaskan bahwa akuntabilitas kepala Desa bukan kepada rakyat (sebagai konstituen), tetapi kepada bupati/walikota melalui camat sebagai pemerintah “atasan”. Pemindahan akuntabilitas ke bawah menjadi ke atas itulah yang kami sebut sebagai resentralisasi, serta mereduksi prinsip subsidiatity dan proses demokrasi lokal. Subsidiarity mengajarkan bahwa pengambilan keputusan, penggunaan kewenangan, akuntabilitas, maupun penyelesaian masalah sebaiknya dilakukan di level lokal. Sedangkan demokrasi lokal mengajarkan bahwa

(15)

-52- akuntabilitas pejabat politik seharusnya disampaikan kepada konstituen pemilihnya, bukan ditarik ke atas.

Dalam konteks struktur-kultur politik yang masih birokratis dan klientelistik, akuntabilitas vertikal ke atas justru akan membuat kepala Desa kurang akuntabel dan responsif kepada masyarakat, melainkan akan lebih loyal

(tunduk) pada kekuasaan di atasnya. Dalam praktik bisa jadi kepala daerah akan menghindar dari Desakan rakyat dan akuntabilitas publik, sebab dia sudah merasa cukup menyampaikan pertanggungjawaban ke atas. Akuntabilitas ke atas jelas mengurangi makna desentralisasi, otonomi dan eksistensi Desa, dan mereduksi proses pembelajaran demokrasi di level Desa.

Di sisi lain lembaga-lembaga kemasyarakatan juga menjadi bagian penting dari demokrasi Desa. Di atas kertas, UU dan PP memberikan kekuasaan yang besar terhadap apa yang disebut sebagai lumbaga kemasyarakatan, dan ini sepertinya akan memberikan ruang bagi masyarakat sipil di Desa untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Namun demikian, ada beberapa resiko yang mungkin muncul dengan keluarnya PP dan perda yang menindaklanjuti. Pertama, lumbaga ini bisa diartikan sebagai lembaga baru dan satu-satunya lumbaga yang menjadi mitra pemerintah Desa di dalam merumuskan, melaksanakan dan mengevaluasi pembangunan. Jika penafsiran seperti itu, maka akan muncul lumbaga korporatis yang dibentuk oleh pemerintahan Desa dan menjadi kepanjangan tangan Desa. Di peDesaan lembaga semacam ini pernah ada yang disebut dengan LKMD dan menjadi satu-satunya lumbaga yang melibatkan unsur tokoh masyarakat Desa. Namun demikian dengan

(16)

-53- adanya LKMD ini, kelompok-kelompok masyarakat tidak dilibatkan secara formal dalam proses pengelolaan pembangunan Desa.

UU dan PP dengan baik menegaskan bahwa lembaga kemasyarakatan menjalankan agenda pemberdayaan masyarakat. Hendaknya PP menegaskan secara spesifik tentang penegertian pemberdayaan masyarakat. Hal ini karena selama ini pengertian pemberdayaan masyarakat telah diartikan secara sempit sebagai pemberian bantuan dan pembinaan kepada masyarakat oleh pemerintah. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses pembalajaran oleh dan untuk maysarakat untuk mencapai kemandirian dalam mengelola urusan mereka di komunitas baik urusan ekonomi, sosial dan budaya. Oleh karena itu PP menegaskan dalam penjelasan tentang konsep pemberdayaan masyarakat seperti itu. Selain itu agenda pemberdayaan masyarakat sebagai tugas pemeintahan Desa lebih banyak menfasilitasi kelempok-kelompok masyarakat dalam membangun kemandiriannya. Lewat forum lumbaga kemasyaraktan itu, maka pemerintah Desa bisa memberikan mandat untuk menjalankan kegiatan yang langusung ditangai oleh pokja-pokja yang merepresentasikan kelompokkelompok dalam masyarakat. Tidak ketiggalan pengertian pemberdayaan harus berdimensi keperpihakan kepada kelompok yang lemah, sehingga agenda pemberdayaan dan alokasi anggaran lebih dialamatkan kepada mereka daripada secara merata kepadasetiap kelompok dalam masyarakat.

Badan Permusyaratan Desa atau disingkat BPD ataupun nama lain misalnya Bamusdes (pada Kabupaten Purwakarta) merupakan unsur

(17)

-54- penyelenggara pemerintahan desa sebagai representasi lembaga perwakilan rakyat Desa yang menjalankan fungsi artikulasi dan agresi kepentingan warga Desa.

Pengaturan mengenai BPD diatur dalam Pasal 209 dan Pasal 210 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 sampai dengan Pasal 42 PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, dan pengaturan lebih lanjut mengenai BPD diatur dengan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota dengan muatan antara lain :

a. Persyaratan untuk menjadi anggota sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat;

b. Mekanisme musyawarah dan mufakat penetapan anggota; c. Pengesahan penetapan anggota;

d. Fungsi, dan wewenang; e. Hak, kewajiban, dan larangan;

f. Pemberhentian dan masa keanggotaan; g. Penggantian anggota dan pimpinan; h. Tata cara pengucapan sumpah/janji;

i. Pengaturan tata tertib dan mekanisme kerja;

j. Tata cara menggali, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat; k. Hubungan kerja dengan kepala desa dan lembaga kemasyarakatan; l. Keuangan dan administratif.

Tabel 3.1

Tiga wadah demokrasi Desa

NO SUBSTANSI REMBUG DESA LMD BPD 1. Penentuan pemimpin dan anggota Musyawarah Tanpa musyawarah dan pemilihan, tetapi penunjukkan oleh kades (lurah) Pemilihan yang melibatkan masyarakat 2. Pembuatan keputusan Partisipatif dengan musyawarah Musyawarah oleh “wali” masyarakat Perwakilan 3. Kedudukan dan fungsi Pemegang kedaulatan tertinggi, membuat keputusan yang mengikat rakyat Subordinat kades Sebagai lembaga konsultatif yang dikendalikan kades Otonom dari kades. Legislasi dan kontrol terhadap kades.

(18)

-55- 4. Kedudukan kades Sebagai ketua rembug Desa Sebagai ketua umum dan mendominasi LMD Lepas dari organisasi BPD 5. Keterlibatan masyarakat Seluruh kepala

keluarga terlibat, kecuali anak-anak muda dan perempuan Masyarakat tidak terlibat. Hanya elite Desa yang terlibat Masyarakat terlibat memilih, tetapi kurang terlibat dalam proses pembuatan keputusan 6. Tipe demokrasi Permusyawaratan (deliberative) Perwalian (delegatif) yang tidak sempurna Perwakilan

Referensi

Dokumen terkait

Walaupun kajian terhadap penggunaan strategi pembelajaran tatabahasa telah dijalankan, namun kajian ini tidak menganalisis secara terperinci penggunaan strategi pembelajaran

Aktif dalam hal rmenjaga rutinitas operasional siaran, menggali potensi dan masalah yang dihadapi warga komu- nitas dan mencari solusi permasalahan yang diha- dapi warga komunitas;

Hasil pengamatan semai gaharu (A. malaccensis) pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Tabel 2.. Menunjukan bahwa rata-rata persentase hidup semai gaharu dari 5

Dari data energi bebas, senyawa yang memiliki kestabilan ikatan (afinitas) terbesar pada ERα atau yang paling berpotensi sebagai SERMs adalah HGV-1 pada kondisi tanpa

Hasil dari penelitian tersebut adalah citra yang terbentuk melalui konstruksi media dalam pemberitaan di surat kabar selama periode Januari – Desember 2013 adalah netral,

Tujuan penulis melakukan penelitian ini, untuk memahami penggunaan dari koso sebagai salah satu partikel yang termasuk dalam jenis toritatejoshi yang sering muncul

Adanya kemungkinan berinteraksinya vitamin E dengan obat-obatan lain seperti simvastatin, yang digunakan pada subyek penelitian yang memiliki faktor resiko DM, yang

Proses pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan menentukan informan kunci (key informan) yang adalah para pendeta yang bekerja di kantor Sinode GMIT, Klasis