• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Umberto Eco, secara epistimologi istilah berasal dari kata dalam bahasa yunani semion, yang berarti “tanda”. Sedangkan tanda itu sendiri didefininisikan sebagai suatu yang atas dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Tanda merepresentasikan suatu realitas

42

43 yang menjadi rujukan atas referensinya. Dari segi terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-obek, peristiwa serta seluruh kebudayaan sebagai tanda.43

Postmodernisme merupakan sebuah kecenderungan seni, sastra, arsitektur, media dan budaya pada umumnya, yang merupakan sebuah ruang tempat tumbuh subur serta berkembang baiknya dengan tanpa batas dan pembatas sebagai bentuk hyper-signs. Postmodernisme adalah sebuah ruang hidup kecenderungan hipersemiotika, yang didalamnya komoditi dan budaya konsumerisme kapitalisme.44

Sedangkan hipersemiotika adalah sebuah kecenderungan melampaui semiotika konvensional (khususnya semiotika struktural) yang beroperasi dalam kebudayaan yang di dalamnya dusta, kepalsuan, kesemuan, kedangkalan, permainan, artifilitas, superlatifitas dirayakan sebagai spirit utamanya.45 Dan sebaliknya kebenaran, otentitas, kedamaian, transedensi, metafisika, ditolak sebagai penghambat

kreativitas dan produktivitas budaya.

Perkembangan posmodernisme menuntut bahwa pengkajian tentang artikulasi makna dan ideology di dalam karya-karya seni harus di rumuskan kembali. Pendekatan konvensional dalam mengkaji bahasa-bahasa estetik harus dirumuskan kembali. Selain itu, kaum postmodernisme menganggap sistem untuk mengabsahkan mitos sebagai narasi. Sebuah narasi mempunyai kekuatan yang tidak berasal

43 Ibid. , hal 95 44 (umm.ac.id/files/disk1/173/jiptummpp-gdl-s1-2007-novelanich-8627-2.+ISI.PDF) 45

44 dari argumentasi atau pembuktian dan narasi merupakan sarana utama dimana setiap kelompok menemukan keabsahan dirinya.46

Dalam perkembangan aliran postmodernisme Ada beberapa tokoh paling berpengaruh dalam periode postmodernisme, diantaranya:

a. Jean Francois Lyotard

Postmodern di perkenalkan oleh Jean francois Lyotard dalam bukunya “The Postmodern Condition” yang terbit pada tahun 1984. Pemikiran Lyotard disitu berkisar tentang posisi pengetahuan di abad ilimah, khusunya tentang cara ilmu dilegetimasikan melalui yang disebutnay “narasi besar” seperti kebebasan, kemajuan, emansipasi, kaum proletar, dan sebagainya. Narasi besar itu, kini telah mengalami nasib yang sama dengan narasi –narasi sebelumunya, seperti religi, negara kebangsaan, kepercayaan dan lainnya. maka nihilism, anarkisme dan plurlisme “permainan bahasa” pun merajalela. Ini baginya tidak jadi soal,

sebab disisi lain ini menunjukkan kepekaan baru terhadap perbedaaan dan keberanian melawan segala bentuk totalitarisme, yang memang perlu. Maka post modernism di rumuskan sebagai suatu periode dimana segala sesuatu itu didelegetimasikan. 47

Maka akhirnya bagi Lyotard postmodernisme itu sepertinya adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-henti untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus menerus. Dari perspekstif ini “postmodernisme” diartikan sebagai

46

Sobur, Alex, Hal 225 47

45 “ketidakpercayaan terhadap segala bentuk pemikiran yang mentotalisasi-seperti Hegalisnisme, Liberalisme, marxisme dll. Dan postmodernisme ini, sambil menolak pemikiran yang totaliter juga mengaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadeap kenyataan yang tak terukur. 48

b. Jaques Derrida

Jacques Derrida (Aljazair, 15 Juli 1930–Paris, 9 Oktober 2004) Seorang filsuf Prancis keturunan Yahudi dan dianggap sebagai pendiri ilmu dekonstruktivisme, sebuah ajaran yang menyatakan bahwa semuanya di-konstruksi oleh manusia, juga bahasa. Semua kata-kata dalam sebuah bahasa merujuk kepada kata-kata lain dalam bahasa yang sama dan bukan di dunia di luar bahasa. 49

Derrida dianggap salah satu filsuf terpenting abad ke 20

dan ke 21. Istilah-ilstilah filsafatnya yang terpenting adalah dekonstruksi, dan difference. Istilah dekontruksi untuk pertama kalinya muncul dalam tulisan-tulisan Derrrida pada saat ia mengadakan pembacaan atas narasi-narasi metafisika Barat. 50

Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan teks dari konteksnya. Satu term tertentu kita lepaskan dari konteks (dari jejaknya) dan hadir sebagai makna final. Inilah yang Derrida sebut sebagai logosentrisme. Metode

48

, Op.cit, Hal 26 49

Santoso, Listiyono. Epistimologi Kiri. 2007: Yogyakarta, Hal 248 50

46 dekonstruksi merupakan proyek filsafat yang berskala raksasa karena Derrida sendiri menunjukkan bahwa filsafat barat seluruhnya bersifat logosentris.

Dengan demikian, dekonstruksi mengkritik seluruh proyek filsafat barat. Dalam karyanya, Of Grammatology, Derrida berusaha menunjukkan bahwa struktur penulisan dan gramatologi lebih penting dan bahkan “lebih tua” ketimbang yang dianggap sebagai struktur murni kehadiran diri (presence-to- self), yang dicirikan sebagai kekhasan atau keunggulan lisan atau ujaran.

c. Jean Baudrillard

Jean Baudrillard merupakan seorang filosofis postmodernisme asal perancis. Bagi Jean Baudrillard, jika modernitas ditandai oleh eksplosi komodifikasi, mekanisasai, teknologi dan pasa, maka masyarakat postmodernisme ditandai oleh implosi (ledakan kedalam) alias peleburan segala batas,

wilayah dan pembedaan antara budaya tingg dan budaya rendah, penampilan dan kenyataan, dan segala oposisi biner lainnya yang selama ini dipeliharaterus oleh teori sosial maupun filsafat tradisional. Bagi Baudrillard ini menunjukkan berakhirnya segala bentuk kepositivan, referensi-referensi besar dan makna, sejarah, kekuasaan, revolusi dsb. Demikianlah mana kala modernitas bisa disebut sebagai proses meningkatnya difernsiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan aliensinya,

47 postmodernitas dapat ditafsirkan sebagai proses de-diferensiasi dan implosi peleburan sebagal bidang. 51

Baudrillard juga mengemukkan sebuah teori simulasi

(simulacra simuation), yang mana suatu peristiwa tampil tanpa

asal-usul yang jelas dan tidak sesuai dengan realitas yang ada. Sehingga menurut Baudrillard, manusia hidup dalam hiperrealitas

(hyper-reality), semuanya merupakan tiruan, yang palsu terlihat

lebih asli dari sesuatu yang nyata.

Sebuah teks posmodernisme bukanlah ekspresi tunggal dan individual sang seniman, kegelisahannya, ketakutannya, ketertekanannya, keterasingannya, kegairahannya atau kegembiraanya, melainkan sebuah permainan dengan kutipan-kutipan bahasa. Kecenderungan potmodernisme adalah menerima segala pertentangan dan kontadisi di dalam karyanya, disebabkan bercampur aduknya berbagai bahasa. Teks postmodernisme, tidak

bermakna tunggal, akan tetap adalah aneka ragam bahasa masa lalui dan sudah ada,dengan asal muasal yang tidak pasti, yang di dalamnya aneka tulisan, tak satupun diantarnay yang orisisnil, bercampur dan berinteraksi. Teks adalah sebuah jaringan kutpan-kutipan yang diambil dari berbagai pusat kebudayaan yang tak terhitung umlahnya.52

51

Ibid. , Hal 26 52

Piliang, Amir. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.2003: Yogyakarta, Hal 110-113

48 E.9. Esensi Bahasa dan Realitas Jaques Derrida

Derrida tergugah untuk bisa melakukan suatu dekonstruksi oposisi terhadap filsafat Barat. Dekonstruksi bisa diartikan sebagai pembongkaran, namun bukanlah pembongkaran atau penghancuran yang berakhir dengan pandangan monisme atau bahkan kekosongan. Dekonstruksi juga bukan metode tafsir yang dilengkapi dengan perangkat-perangkat konseptual yang serba argumentatif, dan koheren. Bahkan dekonstruksi justru anti metode, anti argumentasi dan anti koherensi, karena pandangan ini berbau ilmiah dan positivistik.53

Program Derrida ditujukan kepada sejarah asal-usul yang begitu yakin akan pengenalan langsung terhadap realitas, kita tidak mengenali bekas sebagai sesuatu yang kemudian, malainkan akan menjadi yang awal. Derrida memulai dekonstruksinya pertama kali dengan perahtian pada bahasa. Sikap ini diambil mengingat ide,

gagasan dan konsep diungkapkan melalui bahasa. Bahasa dianggap telah mewakili realitas.

Derrida memperkenalkan model semiotika dekonstruksi, dekonstruksi ini merupakan sebuah alternatif untuk menghilangkan segala keterbatasan penafsiran atau penyimpulan yang baku. Konsep ini membongkar produk pemikiran rasional yang mempercayai kemurnian realitas. Dekonstruksi memungkinkan sebuah tanda untuk ditafsirkan seperti apa saja, tidak ada batasan pemaknaan. Luasnya

53

49 pemaknaan sebuah tanda membuka peluang lahirnya makna-makna atau ideologi-ideologi baru yang tidak terbatas dari sebuah tanda. 54 Implikasi dahsyat dekonstrukstif filsafat adalah pudarnya batas-batas antara konsep dengan metaphor, antara kebenaran dengan fiksi, antara filsafat dengan puisi dan antara keseriusan dengan permainan. Dengan membaca secara dekonstrukstif, teks bisa dikatakan selama ini menjadi pusat yang dipinggirkan, dikeluarkan, dan dianggap sebagai ‘yang lain’. Namun menurut Derrida , “ tidak ada sesuatu yang ada di luar teks”, sehingga pusat juga tidak bisa dikalim sebagai lebih dominan, karena ia hanyalah salah satu diantara jaringan teks. “Yang pusat” akan menyadari isi dalam konteks keberadaan “ Yang bukan pusat”. Dalam aplikasinya, konsep esensi tidak harus mereduksi eksistensi, dan kebenaran umum tidak harus menghapuskan kebenaran partikular.55

Dokumen terkait