• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 60-64)

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA

D. Seni jalanan dan (Unjuk rasa) Komunitas Aktivis

Penggunaan karya seni pada unjuk rasa di jalanan, khususnya di Yogyakarta mulai marak dilakukan sejak tahun 1989. Karya seni tersebut biasanya berupa happening art, poster, seni instalasi, baliho (gambar besar), patung boneka, dan boneka wayang. Karya seni tersebut biasanya dibawa dalam arak-arakan, sebelum kemudian dipajang atau dibakar di lokasi aksi.

Memasuki tahun 1996 hingga 2000, penggunaan grafiti sebagai pelengkap aksi semakin sering dilakukan. Hampir di setiap aksi, para aktivis membuat coretan di atas aspal jalan yang berisi pesan daftar tuntutan. Perubahan yang paling menyolok adalah penggunaan strategi baru, yaitu karya seni yang difungsikan sebagai alat propaganda dengan menggunakan berbagai macam ekspresi seni.

Aksi unjuk rasa pun berubah serupa karnaval seni yang mampu menarik perhatian publik. Tentu saja, hal itulah yang diinginkan dan menjadi tujuan utama dari penggunaan strategi tersebut, yaitu merebut simpati masyarakat dan menanamkan kesadaran di hati mereka terhadap masalah dan kondisi sosial tertentu.

26

XX, seorang mahasiswa Seni Rupa Universitas Sarjanawiyata Yogyakarta berusia 20 tahun (atas permintaannya tidak dapat disebut nama aslinya). Wawancara dilakukan oleh Vembrianto, tanggal 3 Juli 2007, Yogyakarta.

Gambar 16.

Karya seni pada Aksi Menolak Kekerasan 1989. Lokasi: Bundaran UGM, Yogyakarta

(Foto: Dokumentasi SMID PRD)

Beragam bentuk karya rupa yang dibawa pada unjuk rasa pun semakin variatif, bahkan tak jarang malah dijadikan sebagai senjata saat terjadi bentrok dengan polisi atau militer. Kini, unjuk rasa tidak lagi hanya monopoli para aktivis, tapi seniman dan mahasiswa seni progresif ikut pula bergabung dan bersatu merapatkan barisan demi meraih perubahan ke arah yang lebih baik.

Pada bulan Desember 1999, puluhan seniman progresif Yogyakarta, yang dipimpin Yustoni Vollunterro, mendeklarasikan pendirian Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi (LBK TP). Yaitu, suatu lembaga yang sebagian besar agendanya adalah memberi pendidikan politik kepada seluruh lapisan masyarakat lewat media seni. Deklarasi pendirian LBK TP dilakukan di halaman kantor LBH Yogyakarta. Setelah memasang baliho besar yang berisi gambar tuntutan masyarakat, mereka lalu membacakan pidato pernyataan sikap serta pernyataan Lima Iblis Budaya27 yang harus dimusuhi.

27

T a r i n g P a d i me n y a t a k a n statuta dan dengan tegas menyatakan perang terhadap "Lima Iblis Kebudayaan" yaitu: 1) L e m b a g a s e n i d a n b u d a y a y a n g menitikberatkan pada seni untuk seni; 2) Penguasa dengan lembaganya yang menjual eksotisme kebudayaan Indonesia demi kepentingan ekonomi

Lima Iblis Budaya melingkupi dua pokok persoalan, yaitu menyikapi keadaan dunia

seni Indonesia dan perlunya perubahan dalam sistem berpolitik di Indonesia. Lembaga ini, di sepanjang tahun 1999-2004, terkenal banyak menyelenggarakan pelatihan propaganda politik lewat media seni, juga membuat ribuan poster woodcut serta stiker propaganda politik yang ditempelkan di jalan-jalan Yogyakarta, Bandung, Solo dan Jakarta.

Gambar 17.

Tolak RUU PKB/KKN. Unjuk rasa tahun 2000. Lokasi: Jln Malioboro, Yogyakarta

(Foto: dokumentasi penulis)

Pada bulan Juni 2001, LBK TP memfasilitasi pertemuan Punk se-Jawa. Acara ini dihadiri oleh ratusan punker (sebutan untuk seseorang yang mengklaim diri sebagai penganut aliran punk) yang berasal dari berbagai kota, antara lain Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Cilacap, Surabaya, bahkan beberapa peserta datang dari Thailand,

dan kekuasaan; 3) L e m b a g a s e n i s e b a g a i l e g i t i m a t o r a t a s p e k e r j a s e n i d a n p e n e n t u a r a h perkembangan seni; 4) Sistem yang merusak moral pekerja seni, tanpa memikirkan kepentingan rakyat, bahkan mengeksploitasi penderitaan rakyat demi kepentingan i n d i v i d u a l ; 5 ) K u r a n g n y a p e m a h a m a n terhadap seni dalam masyarakat sebagai akibat politik Orde Baru yang menempatkan ekonomi sebagai panglima dan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) sebagai taktiknya. Lima Iblis Budaya ini disusun oleh Syamsul Barry berdasarkan hasil sejumlah rapat pra pembentukan LBK TP. Dokumen tulisan tangan ada pada penulis yang waktu itu bekerja sebagai ketua Dewan Anggota LBK TP bersama WY

Singapura dan Australia. Di bawah koordinator Heri Kangkung,28 acara ini diisi dengan berbagai kegiatan menarik seperti pentas musik, parade tato, dan pembuatan grafiti. Di sela-sela jadwal yang padat, pihak panitia tidak lupa menyisipkan acara diskusi tentang kondisi sosial masyarakat Indonesia, ideologi anarkis, serta pembuatan jaringan kerja.

Selepas acara, jaringan kerja yang sudah terbentuk langsung difungsikan dengan tujuan untuk memberikan kemudahan memperoleh informasi perkembangan dunia underground disetiap kota. Jaringan kerja ini juga menerbitkan news letter bulanan (Ajaib,

Jafnus), yang dijual dengan harga Rp. 1.500, sebagai ongkos ganti cetak. Untuk pendistribusiannya, news letter tersebut dititipkan di sejumlah distro (toko atribut

underground) yang ada di beberapa kota.

Gambar 18.

Grafiti, poster dan baliho pada aksi yang dilakukan LBK TP dan AFRA tahun 2000.

Lokasi: depan kantor Kejagung Jakarta (Foto: dokumentasi penulis)

Salah satu kegiatan yang sering dilakukan para punker adalah membuat grafiti yang berisi slogan kesejahteraan sosial, lingkungan hidup, propaganda anarkis, atau tuntutan pada pemerintah. Seperti yang dilakukan oleh salah satu kelompok punk, AFRA, misalnya, di sepanjang tahun 2000-2003 mereka telah membuat banyak kegiatan aksi sebagai bentuk dukungan terhadap buruh dan mahasiswa. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok yang anti kompromi, dan dalam berkegiatan biasanya sering terlibat bentrok dengan pihak keamanan. Lewat grafiti, mereka mengungkapkan berbagai hal yang menyangkut ketidakadilan dengan lugas dan tegas.29

Terlibatnya seni dalam kegiatan unjuk rasa semakin jelas terlihat begitu memasuki masa krisis ekonomi. Krisis tersebut menyebabkan kegiatan pameran seni di galeri atau museum menjadi terhambat, bahkan berkurang intensitasnya. Sementara itu, seni semakin merasuk dan menjadi bagian dari sejumlah kegiatan unjuk rasa yang dipelopori LBK TP. Adapun seni dalam bentuk gerakan mural semakin gencar pula dilakukan oleh Apotik Komik. Kemudian pada suatu waktu, dua jenis kegiatan organisasi besar itu saling bergesekan, yang akhirnya memunculkan wacana seni publik dalam dunia seni rupa kontemporer Indonesia pada tahun 2000.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 60-64)

Dokumen terkait