• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seni Jalanan dan Komunitasnya

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 49-60)

BAB II SENI BERJALAN? DI YOGYAKARTA

C. Seni Jalanan dan Komunitasnya

Di Yogyakarta, membuat grafiti dengan nama sekolah tidak sebegitu populer di Jakarta. Grafiti nama sekolah di Jakarta sangat berkaitan erat dengan maraknya perkelahian pelajar antar sekolah. Coretan berbentuk tulisan seperti Boedoet (STM 1, Jl. Boedi Utomo, Lapangan Banteng-Jakarta Pusat), Basecamp 24 (SMA 24, Jl. Lapangan Tembak, Senayan Jakarta Pusat), 7GBR (SMA 7 Gambir) dan banyak lagi lainnya adalah ragam grafiti yang marak dan mudah ditemukan di hampir setiap tembok jalanan Jakarta, di akhir tahun 1980-an. Mencoret atau menumpuk grafiti sekolah lain dengan grafiti sekolah sendiri biasanya langsung ditanggapi dengan penyerbuan atau pencegatan terhadap murid sekolah yang bersangkutan di jalanan21. Adapun di Yogyakarta, perkelahian pelajar antar sekolah jarang terjadi. Corat-coret menggunakan teknik cat semprot (aerosol) dilakukan oleh siswa

20

sekolah di Yogyakarta, khususnya siswa sekolah menengah atas, saat merayakan kelulusan di setiap akhir tahun ajaran.

Kegiatan ini seolah menjadi “keharusan” bagi para siswa sekolah. Dengan penuh gembira, mereka membuat corat-coret pada baju seragam sekolah, yang biasanya diikuti dengan mencorat-coret tembok atau dinding di sepanjang jalan yang mereka lewati saat melakukan arak-arakan keliling kota.

Gambar 10.

Spanduk larangan mencorat-coret untuk pelajar. Oleh Angkatan Muda Muhammadiyah. (Foto: dokumentasi penulis, Juni 2007)

Meski pihak sekolah telah melakukan berbagai macam cara untuk mengantisipasinya, namun kegiatan corat-coret itu masih terus berlangsung hingga sekarang. Beberapa organisasi masyarakat juga memberi arahan untuk dapat menekan kegiatan yang dianggap memboroskan serta membuat kotor kota.

21

Pengalaman penulis lahir dan bersekolah hingga lulus SMA di Jakarta. Selama SMA, perkelahian antar sekolah serupa kegiatan ekstra kurikuler, yang terjadi minimal seminggu sekali. Sedangkan grafiti nama sekolah terkadang juga dibuat hingga ke kota lain (biasanya saat liburan).

Memasuki tahun 2000, grafiti di Yogyakarta berkembang ke arah yang lebih beragam, baik dalam hal variasi kata, bentuk, dan permainan warna. Jika sebelumnya hanya berupa singkatan nama kelompok atau inisial, kini grafiti lebih bernuansa individu. Organisasi, kelompok atau klub grafiti pun mulai banyak bermunculan di Yogyakarta. Misalnya, Jogja Hip-hop Foundation (Yayasan Bernyanyi Cepat Jogja) yang terbentuk

pada tahun 2001.

Gambar 11.

The Kid, Yogyakarta. Teknis perwujudannya cukup rumit dilihat dari shadow dan pencampuran warnanya.

(Foto: dokumentasi penulis, 2006)

Dari keterangan salah satu anggota Jogja Hip-hop Foundation, terdapat 25 grup dalam kelompok ini. Namun begitu, Jogja Hip-hop Foundation bukanlah sebuah organisasi formal yang memiliki aturan atau ketentuan yang mengikat. Mereka bahkan sama sekali tidak memiliki susunan organisasi. Jogja Hip-hop Foundation hanyalah sekedar nama perkumpulan informal yang dibentuk untuk mewakili kegiatan para

anggotanya dalam berbagai bidang seperti breakdance, Disc Jockey (DJ), Master of Ceremony (MC), dan grafiti. 22

Grafiti masa kini sangat berbeda perwujudannya dengan grafiti dimasa lalu. Jika diperhatikan dari bentuk dan corak pencampuran warnanya, terkesan para pembuatnya selain menginginkan teksnya terbaca juga ingin menunjukkan kecanggihan teknis yang dikuasai. Hal ini terlihat dari penggunaan teknis shadow (bayangan) dan duotone yang memberi kesan volume atau kedalaman pada warna latar belakangnya. Grafiti yang semula berupa tulisan lambat-laun berubah menjadi gambar atau penggabungan gambar dan tulisan. Karya yang dihasilkan menjadi rapih dan bersih karena perencanaan yang matang.

Gambar 12. Dream

Lokasi:Pertigaan Krapyak-Jl.Bantul, Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Komunitas grafiti lainnya adalah Yogya Art Crime (YORC). YORC terbentuk setelah beberapa perkumpulan kecil para pembuat grafiti, yang ternyata memiliki hubungan

22

pertemanan atau sering mengerjakan grafiti bersama, memutuskan untuk membuat satu komunitas yang lebih besar untuk mewadahi sejumlah perkumpulan kecil antara lain: AKA, ARTZ, ANS, BLANK, BURN, BAD, CHALK, DEKA, FUCK, HELTZ, HK, DIST, IENT, LUPS, HEAT, MAPS, NASTI, PAWS, ROT, REST, OAK, BEST, SIC, LOVEHATELOVE, OCS, REIDS, STALL, RUNE, NEST, ENPI, AGE, TAT, Sewon Bomber, School Terror, Gelagat Buruk, Psycho, MYAC, Hallo, YSAC, Devil Crew, Horny dan YKILC.

Kebanyakan dari mereka adalah alumni atau pernah mengenyam pendidikan seni rupa di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta, Sekolah Menengah Industri Kerajinan Yogyakarta (SMIK), atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) 5 Yogyakarta. Ada pula yang masih terdaftar sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Serupa dengan Jogja Hip-hop Foundation, komunitas YORC tidak memiliki struktur organisasi yang baku atau sejenis garis koordinasi, melainkan hanya sekedar sebuah komunitas yang terbentuk karena para anggotanya memiliki kesamaan minat pada aktivitas tertentu.

YORC memiliki jadwal temu bersama setiap hari Jumat dan Minggu. Pertemuan ini dilakukan untuk merencanakan proyek grafiti baru bersama. Biasanya, sketsa dibuat pada pertemuan hari Jumat, adapun hari Minggu adalah waktunya menggarap sketsa. Namun tidak jarang sketsa yang dibuat bersama pada hari Jumat langsung digarap hari itu juga. Menyangkut pemilihan tempat, YORC memilihnya berdasarkan referensi personal yang dimiliki masing-masing anggota. Referensi tempat sering juga disebut simpanan tempat.

Dalam komunitas YORC, ada yang dinamakan black book, yaitu buku seukuran folio yang berisi kumpulan sketsa grafiti. Umumnya, setiap pembuat grafiti mempunyai dua

buku; satu berisi sketsa sendiri yang disimpan secara personal, satunya lagi adalah milik bersama yang disimpan secara bergilir antar anggota. Setiap kali black book milik bersama digilir, maka isinya akan bertambah satu sketsa grafiti yang dibuat oleh anggota yang menyimpan black book itu.

Gambar 13.

Grafiti kolaborasi Lovehatelove dan Plus. Lokasi: Utara perempatan Tugu, Yogyakarta

(Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Dalam pengerjaannya tidak selalu dikerjakan sendiri, tetapi biasanya dibantu oleh beberapa orang yang biasa disebut crew, selain itu tidak jarang terjadi kolaborasi (berkarya bersama) dengan kelompok atau pelaku (individu) lain. Pada karya kolaborasi sering terlihat mereka saling menonjolkan kemampuan dan kreativitas yang dimiliki, bahkan terkesan seakan saling berlawanan/ bersaing. Secara teknis, cara yang digunakan dalam komunitas ini untuk membuat grafiti sama dengan yang digunakan pendahulunya, yaitu blocking dan spray. Adapun bahan persediaan yang digunakan untuk membuat grafiti yang

disebut logistik (misalnya, cat), disediakan bersama-sama secara patungan tanpa ada

paksaan atau ketentuan.

Membuat grafiti di ruang publik ternyata mampu memberi kebanggaan tersendiri dan menciptakan kesan tertentu pada kelompok atau individu yang melakukannya, terutama di lokasi tertentu yang dianggap strategis. Namun hal itu dapat berubah menjadi kecewa ketika mendapati karya mereka ditutupi karya kelompok atau individu lain. Di sinilah persaingan kembali terjadi antara para pelaku seni jalanan dalam memperebutkan ruang publik, yang biasanya akan berakhir atau diselesaikan dengan menggunakan cara mereka sendiri.

Ada ritus menarik dalam komunitas YORC, yaitu tableg dan battle. Tableg adalah

sebutan untuk grafiti yang menindih grafiti lain yang lebih dulu dibuat. Biasanya, hal ini terjadi karena si pembuat grafiti yang belakangan merasa tidak suka pada pemilik grafiti sebelumnya. Sebagai akibat dari tindakan itu, pemilik grafiti yang karyanya di-tableg (ditutup) meminta pertanggungjawaban dari si penableg. Ritus yang menyusul dari tindakan tableg, sebagai bentuk pertanggungjawaban, disebut battle.

“Kalau antar geng grafiti biasanya bukan persaingan namanya. Persaingan eksistensi pasti, karena prinsip yang sebenarnya adalah mereka battle. Namun battle bukan untuk berantem, tapi cara perang mereka memang seperti itu. Grafiti ditutup dengan grafiti. Breakdance dibalas breakdance. Atau perang kata-kata untuk battle net atau battle MC. Memang begitulah prinsipnya. Maksudnya, gaya battle mereka memang seperti itu dan di situlah letak persaingannya. Spirit-nya memang seperti itu. Membesarkan kelompok mereka dengan cara begitu”.23

Battle adalah istilah yang disepakati sehubungan dengan cara menyelesaikan konflik

yang muncul saat tableg terjadi. Battle biasanya diadakan melalui sebuah kompetisi. Dua pembuat grafiti yang terlibat konflik saling bersaing untuk menciptakan grafiti yang dapat

menarik perhatian audiens, yaitu orang-orang yang diundang oleh masing-masing pihak untuk memberi dukungan. Pemenangnya adalah siapa yang lebih disukai dan mendapat sambutan meriah dari audiens. Namun biasanya sebelum battle diadakan, dua orang yang berkonflik itu akan menunjuk seorang penengah; sebab tak jarang keberadaan audiens tidak bisa menyelesaikan konflik. Sebagai hadiah bagi sang pemenang, pihak yang kalah akan memberikan sesuatu yang sebelumnya telah disepakati bersama sebelum battle berlangsung. Sesuatu itu bisa berupa logistik atau uang.

Meski battle jelas merugikan pihak yang kalah, namun pada kenyataannya hal

tersebut seringkali terjadi. Dengan begitu, muncul dugaan bahwa tableg dilakukan dengan sengaja; terlepas dari perasaan suka atau tak suka si penableg terhadap pemilik grafiti yang di-tableg. Boleh jadi, kesengajaan itu didorong rasa ingin bersaing, baik dalam hal kekhasan atau daya tarik desain, pemilihan lokasi, atau persaingan artistik yang timbul karena penguasaan teknik pembuatan.

Gambar 14.

Battle, karya yang sudah ada ditumpuk dengan karya baru namun dipertanggungjawabkan.

Lokasi: perempatan Taman Sari,Yogyakarta (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

23

Ada sejenis pengakuan “hebat” yang ditujukan pada si pembuat grafiti yang berhasil memenuhi beberapa syarat tertentu saat membuat karya, yaitu tingkat kesulitan dari sebuah tempat yang dipilih sebagai tempat berkarya, karakter serta ukuran grafiti. Di Yogyakarta, ada beberapa tempat yang sering menjadi rebutan para pembuat grafiti karena dianggap favorit. Di tempat itulah tableg sering terjadi. Misalnya, daerah di sebelah utara makam pahlawan Semaki.24

Gambar 15.

Pengerjaan grafiti LHL di kolong jembatan Janti, malam hari (Foto: dokumentasi penulis, 2007)

Persaingan menyebabkan kelompok-kelompok anak muda itu terpicu untuk berkarya semakin banyak, termasuk pula semakin giat mencari lokasi baru. Persaingan diartikan sebagai hal yang positif karena mereka sadar dan paham bahwa mereka berada di jalanan yang merupakan milik umum, dan bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang

24

Wawancara Nano Warsono (32 tahun) oleh Dwi Rahmanto (YSC). Wawancara dilakukan tanggal 14 Juni 2006, di Yogyakarta. Nano Warsono adalah seniman seni jalanan yang bermula dari kesenangannya membuat mural. Sekarang ia bekerja sebagai tenaga pengajar di FSR ISI Yogyakarta. Hal senada juga dikatakan oleh Tatang (30 tahun) pada wawancara dengan pertanyaan yang sama.

ilegal. Hal itu menyebabkan perkelahian antar geng atau kelompok, seperti yang dulu terjadi hanya gara-gara masalah grafiti yang ditumpuk dengan grafiti lain, tidak lagi terjadi.

Jika grafiti biasanya dibuat pada malam hari, maka yang terjadi belakangan ini adalah sebaliknya; grafiti dibuat sebelum hari menjelang gelap. Hal tersebut terjadi karena sikap publik yang semakin terbuka dan permisif terhadap grafiti. Pendek kata, ilegalitas yang melekat pada grafiti mulai berubah. Situasi ini, menurut beberapa pembuat grafiti, diibaratkan sebagai keuntungan bagi mereka, karena membuat grafiti di saat hari masih terang jauh lebih mudah disebabkan mereka tidak kesulitan mengenali warna.

Adapun pihak berwenang, seperti polisi atau satpam, tidak sepermisif masyarakat dalam menangani kelompok ini. Menyadari hal tersebut, beberapa kelompok grafiti malah menganggapnya sebagai suatu tantangan yang memacu semangat mereka. Meski begitu, untuk membuat grafiti pada lokasi-lokasi tertentu yang mendapat penjagaan khusus, misalnya pertokoan atau perkantoran, tetap dibutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi, mulai dari melakukan survei lokasi, mengamati dan mempelajari kebiasaan petugas keamanan, hingga menentukan waktu pengerjaan. Jika langkah-langkah tersebut diabaikan, kemungkinan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tertangkap, menjadi semakin besar.

Main Corat-coret Gerbong Kereta Api: Lima ‘Pelukis’ Ditangkap Polisi adalah judul

headline berita yang dimuat harian Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu, 31 Agustus 2005.

Peristiwa penangkapan itu, seperti yang dituturkan oleh salah satu saksi mata, sebenarnya terjadi tiga hari sebelumnya (27 Agustus 2005) sekitar jam 5 pagi. Aksi kelompok grafiti ini sebenarnya bukan pertama kali, tetapi sudah yang kelima.

“Dengan tidak menentukan tema, kita langsung membuat nickname sendiri-sendiri. Setelah itu ngebom nickname, bikin sket dulu. Sekitar jam 2-an selesai 90% dan tinggal nge-line. Akhirnya ketahuan satpam, tapi kita bisa lolos

semua. Tapi karena merasa tanggung kerjaan belum selesai, kita coba untuk ke sana lagi lewat pintu Barat. Ternyata, satpam sudah menunggu. Waktu subuh akhirnya kita tertangkap, setelah dua kali tembakan peringatan. Kita semua takut. Sebelum polisi datang, kepala Stasiun Lempuyangan dan seseorang yang mengaku pemilik gerbong datang dan terus meneror biaya pengecatan itu; habis dua ratus lima puluh juta satu gerbong. Akhirnya ya, diselesaikan dengan kekeluargaan”25

Dijelaskan pula oleh salah seorang pelaku bernama Tatang, yang juga anggota kelompok tersebut, bahwa sebenarnya rencana membuat grafiti itu sudah mereka persiapkan beberapa bulan sebelumnya. Persiapan tersebut antara lain mengumpulkan dana untuk membeli logistik hingga melakukan survei lokasi dua kali sehari: siang dan sore.

Peristiwa penangkapan yang dialami Tatang dan kelompoknya ternyata tidak membuat mereka kapok atau takut membuat grafiti lagi, malah sebaliknya semakin bersemangat dan berhati-hati. Menyadari kegiatan mereka tergolong ilegal, proses pembuatan grafiti pun hanya dilakukan pada waktu-waktu tertentu yang dianggap aman. Misalnya, antara pukul 22.00-24.00 malam.

Pengalaman yang sama juga dialami pembuat grafiti LoveHateLove. Tidak hanya sering berurusan dengan petugas keamanan, terkadang ia juga terpaksa berurusan dengan preman setempat.

“Resiko dari perbuatan ilegal memang tidak menyenangkan. Terkadang saat bikin grafiti, kami dikompasi preman yang nongkrong dekat tempat yang dipilih. Bekerja malam juga tepat dengan saat preman-preman itu mulai mabuk minuman. Persamaan waktu ini mirip botol ketemu tutup. Saat yang mirip tepat. Selain preman, kami pernah juga dimintai uang oleh polisi. Tapi bukan polisi berseragam, melainkan yang berpakaian preman. Polisi yang berseragam malah seperti membiarkan”26.

25

Wawancara Tatang (28 tahun), mahasiswa Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, oleh Dwi Rahmanto (YSC). Tatang menyukai dan membuat grafiti sejak masih bersekolah di SMA. Wawancara dilakukan tanggal 14 Juni 2006.

Tidak jarang beberapa kelompok grafiti membuat kesepakatan kerja sama dengan kelompok grafiti dari kota lain untuk berkarya bersama. Adapun untuk meningkatkan kemampuan mendesain atau sekedar mencari referensi desain, mereka selalu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Lewat internet pula mereka saling berinteraksi, bertukar informasi, berbagi ide dan pendapat, dengan menggunakan forum khusus yang sudah tersedia di beberapa situs komunitas seni grafiti.

Dalam dokumen Seni jalanan Yogyakarta. (Halaman 49-60)

Dokumen terkait