1. Definisi Sense of Control
Sense of control adalah tingkatan diri individu dalam mengarahkan dirinya sendiri untuk mengidentifikasi tujuan dirinya serta bagaimana caranya mencapai tujuan tersebut. (Oi & Alwin 2017). Contohnya: Orang dengan sense of control yang tinggi pada bidang kesehatan paham bahwa mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri sehingga mereka aktif dalam mencari informasi mengenai kesehatan serta mengaplikasikan pola hidup sehat. Mirowsky dan Ross (2001) mengatakan sense of control adalah kemampuan individu dalam mengambil tindakan preventif terhadap sebuah keadaan dan untuk merasa sehat. Ross dan Sastry (1999) menjelaskan bahwa sense of control adalah kepercayaan bahwa individu dapat dan memang berkuasa, memiliki kontrol, dan membentuk sendiri kehidupannya.
Melihat ketiga penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sense of control adalah kepercayaan individu bahwa dirinya mampu melakukan usaha untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan masalah yang sedang menimpa.
2. Aspek dan Pengukuran Sense of Control
Individu yang memiliki sense of control adalah individu yang merasa memegang kontrol dalam usahanya dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Individu tersebut juga percaya bahwa berhasil atau tidaknya dia mencapai tujuan tersebut tergantung dari apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri (Lachman & Weaver, 1998).
Menurut Lachman dan Weaver (1998), Sense of Control sendiri memiliki dua aspek, yaitu:
1. Personal Mastery
Kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan.
2. Perceived Constraints
Tingkatan kepercayaan individu tentang hal-hal yang tidak dapat dikontrol oleh dirinya dalam usahanya mencapai tujuan
Konsep ini sendiri dapat diukur menggunakan Sense of Control Scale (SOCS) yang juga dibuat oleh Lachman dan Weaver (1988). Skala tersebut terdiri dari 12 item, 4 diantaranya mewakilkan aspek personal mastery dan 8 sisanya mewakilkan perceived constraints. Skala ini merupakan skala likert yang memperbolehkan calon partisipan untuk memilih dari antara 7 poin, mulai dari sangat tidak setuju sampai pada sangat setuju. Semakin tinggi skor pada aspek personal mastery, berarti semakin tinggi juga tingkat sense of control individu. Sebaliknya, semakin tinggi skor pada aspek perceived constraints, maka semakin
rendah tingkat sense of control individu. Aspek perceived constraints dianggap sebagai item unfavorable yang berarti skoringnya berbanding terbalik (pilihan 7 berarti skornya 1, pilihan 6 skornya 2, dst.). Semakin tinggi total skor yang didapat oleh individu menunjukkan bahwa semakin tinggi juga tingkat sense of control dirinya.
Selain SOCS, ada juga alat lain yang digunakan untuk mengukur tingkat kontrol individu yang disesuaikan dengan konteks yang dialami individu tersebut. Salah satunya adalah skala yang bernama Cancer Locus of Control Scale (CLCS). Sesuai dengan namanya, skala ini digunakan untuk mengukur tingkatan kontrol dari individu yang mengalami kanker. Skala ini dikembangkan oleh Cousson-Gelie dan Bruchon-Schweitzer (2005) dan validasinya dilakukan terhadap pasien kanker di Yunani. Skala ini memiliki 3 aspek yang meliputi: control over course of cancer, control over the cause of cancer, dan religion’s control. Skala ini merupakan skala likert 4 poin dan setiap item memberikan skor antara 1-4, tergantung jawaban partisipan dan konteks pertanyaan. Semakin tinggi nilai yang didapatkan oleh partisipan menunjukkan bahwa semakin tinggi kontrol yang ia miliki terhadap penyakit yang sedang dideritanya.
Ada juga skala lainnya yang juga melihat tingkat kontrol individu, tetapi dibuat untuk anak-anak. Nama skala ini adalah Children’s Attribution of Responsibility and Locus of Control (CARALOC). Skala ini sebenarnya didesain oleh Oi dan Alwin (2017) untuk sebuah penelitian longitudinal yang mengukur sense of control partisipan penelitiannya pada saat mereka berumur 10 tahun, lalu akan diukur kembali saat partisipan sedang berada antara umur 16 sampai 26 tahun.
Skala yang ditujukan untuk anak 10 tahun memiliki 20 pertanyaan yang bisa dijawab dengan jawaban ya, tidak, dan tidak tahu. Setiap jawaban ya diberikan skor 0 dan setiap jawaban tidak diberikan skor 1, sedangkan jawaban tidak tahu dinilai 0. Hal ini terjadi karena hampir seluruh item merupakan pertanyaan negatif. 5 dari 20 pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan distraksi dan tidak diberikan skor, membuat raw score dari skala ini berkisar antara 0-15. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh individu menandakan semakin tinggi juga sense of control yang dirasakannya.
3. Dampak dari Sense of Control
Tingkat sense of control yang tinggi dapat menyebabkan tingkat kepercayaan diri individu serta kepercayaan individu terhadap kemampuannya yang meningkat. Saat individu juga menganggap konsekuensi dari sebuah kejadian merupakan akibat dari perilakunya, baik itu menyenangkan maupun tidak, hal ini dapat menurunkan derajat distres pada individu (Haidt & Rodin, 1999, Perlmuter & Monty, 1977 dan Ross & Sastry, 1999). Orang-orang yang merasa memegang kontrol juga mengalami tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak (Ross & Sastry, 1999). Individu dengan kontrol yang baik juga dapat menghadapi keadaan stressful dengan lebih baik karena mereka cenderung proaktif dalam menyelesaikan masalahnya (Keeton & Sayer, 2008). Haidt dan Rodin (1999) juga menjelaskan bahwa individu yang memegang kontrol dan memiliki ekspektasi positif atas hal yang dilakukannya akan merasa menikmati interaksi yang
dilakukannya pada bidang tersebut, memiliki persistensi yang meningkat, serta tingkat engagement dengan lingkungan yang meningkat.
Kontrol juga dalam beberapa penelitian digunakan sebagai prediktor terjadinya perilaku adiktif. Kontrol yang rendah terbukti menjadi faktor terjadinya penggunaan alkohol bermasalah (Nagoshi, 1999), perilaku merokok (Wills; 1994), penggunaan game bermasalah (Ko, 2009), adiksi internet (Akin & Iskender, 2011), ketergantungan terhadap telepon genggam (Li, Lepp & Barkley, 2015; Park, Kim, Shon & Shim, 2013), dan perilaku bermain judi (Browne & Brown, 1994).
Kontrol yang dirasakan oleh individu dalam dunia sehari-hari dan dunia game dapat menjadi dua hal yang berbeda (Lloyd,Frost, Kuliesius & Jones, 2019). Konsep ini mungkin yang membedakan adiksi terhadap game dengan adiksi terhadap zat atau perilaku lainnya. Dijelaskan bahwa reward yang didapatkan dari bermain game terjadi saat individu menyelesaikan tugas atau mendapatkan barang yang membutuhkan usaha dari para pemainnya (Lloyd et al, 2019). Hal ini yang mungkin menyebabkan individu yang merasa tidak mendapatkan kontrol pada kehidupan sehari-harinya ingin segera kembali ke dunia game, tempat dirinya dapat merasa memegang kendali dan mencapai sesuatu. Hal-hal yang menyebabkan individu merasakan kontrol dalam game adalah karena fitur yang memperbolehkan pemain untuk memilih serta memodifikasi karakter yang hendak digunakan (Carpentier, Roger & Barnard, 2015), adanya fitur yang melakukan monitor terhadap persenan proses penyelesaian tugas, fitur mengulangi kembali permainan jika pemain melakukan kesalahan atau ingin mencapai hasil yang lebih baik, hadiah dari menyelesaikan tugas yang pasti akan di dapatkan oleh pemain (King,
Delfabbro & Griffiths, 2010), game yang memberikan tujuan pemain yang jelas, hasil yang jelas mengenai apakah individu berhasil atau gagal, menang atau kalah dalam sebuah permainan, dan fitur yang memperlihatkan tingkatan penguasaan pemain terhadap game tersebut yang biasanya ada dalam bentuk peringkat (Castronova dalam Lloyd et al, 2019).
4. Perkembangan Konsep Sense of Control
Seligman (1967) dalam teori perilaku mengatakan bahwa sebelum manusia melakukan sebuah kegiatan atau memulai sebuah aktivitas, dirinya sudah memiliki atribusi tentang apakah dia sanggup atau tidak melakukan hal tersebut. Jika individu merasa bahwa dia tidak akan mampu dalam mengeksekusi sebuah kegiatan, dirinya akan berada pada situasi ‘helpless’ yang berarti dia tidak akan melakukan usaha apa pun untuk mencapai tujuan atau melaksanakan kegiatan tersebut walaupun sebenarnya kontrol masih memungkinkan. Keadaan helplessness ini dipengaruhi 3 hal, yaitu: locus of control individu (internal atau eksternal), stabilitas penyebab situasi helplessness (konstan, atau bisa berubah tergantung keadaan), dan konteks penyebab situasi helplessness (global atau spesifik). Hasil eksperimen Seligman juga menyimpulkan bahwa partisipan yang sudah direkayasa agar dirinya merasa tidak memiliki kontrol apa pun atas eksperimen tersebut juga mengaplikasikan keadaan helpless-nya pada situasi lainnya juga.
Salah satu penelitian yang membahas mengenai sense of control sendiri dilakukan oleh Ross dan Sastry (1999). Konsep ini dalam psikologi kognitif dikenal sebagai locus of control. Saat individu belajar bahwa apa yang terjadi pada dirinya
merupakan akibat dari kuasa eksternal seperti individu lain yang memegang kuasa, keberuntungan, atau takdir, akan merasa bahwa hal yang dilakukan oleh dirinya tidak akan berdampak apa pun dan akan memiliki locus of control external atau tidak memiliki sense of control. Sedangkan individu yang belajar bahwa apa yang terjadi pada kehidupannya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri percaya bahwa dirinya mampu membawa perubahan. Individu seperti ini memiliki locus of control internal atau memiliki sense of control yang tinggi.
Konsep locus of control dan learned helplessness ini kemungkinan besar terbentuk saat individu tumbuh sampai dengan masa anak-anak saat mereka masih belum memiliki otonomi sepenuhnya dan pengaruh lingkungan masih sangat krusial. Individu yang berhasil mempelajari bahwa dirinya memegang kendali atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri memiliki rasa kontrol yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang belajar bahwa apa yang terjadi pada hidupnya cenderung merupakan hasil dari apa yang lingkungannya lakukan kepadanya dan dirinya hanya memiliki sedikit sampai tidak ada pengaruh terhadap lingkungannya akan memiliki rasa kontrol yang rendah. Individu yang merasa memiliki sangat sedikit sampai tidak ada kontrol terhadap hidup maupun lingkungannya, pada keadaan tertentu akan masuk ke dalam keadaan helpless (Haidt & Rodin, 1999).
Faktor lain yang mungkin juga mempengaruhi terbentuknya kontrol pada individu adalah status dan kelas sosial. Kelompok yang kelas sosial ekonominya lebih tinggi menunjukkan tingkatan powerlessness yang lebih rendah dari kelompok dengan status sosioekonomi yang lebih rendah. Bidang sosioekonomi mencakup pendapatan keluarga, pendapatan pribadi, tingkat pendidikan dan status
pekerjaan (Haidt & Rodin, 1999; Keeton & Sayer, 2008). Kekuatan objektif juga menunjang tingkatan kontrol. Individu yang diberikan otonomi untuk memilih apa dan bagaimana dia harus bekerja atau melakukan pekerjaan, dan saat dia merasa mampu melakukan hal tersebut akan merasa tingkatan kontrolnya lebih tinggi (Keeton & Sayer, 2008).
Sense of control memang mirip dengan self-efficacy yang mana kedua konsep ini merupakan persepsi individu terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan maupun tantangan. Perbedaan dari kedua konsep ini terletak pada konteksnya, yang mana cakupan konsep kontrol bersifat lebih umum sedangkan self-efficacy terfokus pada kegiatan-kegiatan spesifik. Individu yang merasa memegang kontrol yang tinggi cenderung percaya diri dalam menyelesaikan masalah serta tantangan yang datang ke arahnya. Sedangkan individu dengan self-efficacy tinggi percaya pada kemampuannya dalam menyelesaikan tugas spesifik misalnya dalam bermain alat musik. Penulis lebih tertarik dalam melihat dari sudut pandang kontrol karena dirasa lebih baik dalam mendeskripsikan penggunaan internet bermasalah yang mungkin terjadi karena berbagai sebab.