• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENSE OF CONTROL DAN KECENDERUNGAN ADIKSI GAME ONLINE PADA MAHASISWA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SENSE OF CONTROL DAN KECENDERUNGAN ADIKSI GAME ONLINE PADA MAHASISWA"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

SENSE OF CONTROL DAN KECENDERUNGAN ADIKSI GAME ONLINE PADA MAHASISWA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Alvin Christ Hamonangan Manik 159114015

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2020

(2)

iv

HALAMAN MOTTO

Some do drugs, others go for a run. But at the end, we’re all searching for that tiny space that gives us shelter from the terrible reality of the world. So be kind, always.

(3)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

(4)

vii

SENSE OF CONTROL DAN KECENDERUNGAN ADIKSI GAME ONLINE PADA MAHASISWA

Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

Alvin Christ Hamonangan Manik ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan untuk melihat hubungan antara sense of control dan kecenderungan adiksi terhadap game online pada mahasiswa. Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan yang signifikan antara sense of control dan kecenderungan adiksi game online. Jumlah partisipan pada penelitian ini adalah 301 orang yang merupakan mahasiswa/i aktif dengan rentang usia 18-25 tahun. Skala yang digunakan sebagai alat pengumpulan data pada penelitian ini adalah sense of control scale (α = 0,75) dan internet gaming disorder scale (α = 0,75) yang diadaptasi. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik korelasi Spearman’s Rho Correlation. Hasil uji analisis dalam penelitian ini menunjukkan nilai r= -0,246 dan p= 0,000. Artinya, hipotesis pada penelitian ini diterima karena ditemukannya hubungan negatif yang signifikan antara sense of control dan kecenderungan adiksi game online pada mahasiswa.

(5)

viii

COLLEGE STUDENTS’ SENSE OF CONTROL AND PRONENESS TO ONLINE GAME ADDICTION

Faculty of Psychology Sanata Dharma University

Alvin Christ Hamonangan Manik ABSTRACT

This research was conducted to see the correlation between college student’s sense of control and their proneness to online game addiction. The hypothesis of this research is that there is a significant correlation between sense of control and proneness to online game addiction. This research assessed the data from 301 individuals which consists of college students aged 18 to 25 years old. This research also used the adapted sense of control scale (α = 0,75) and adapted internet gaming disorder scale (α = 0,75) as means of measurement. Spearman’s Rho Correlation technique was utilized as a way to analyze data. The result of this research’s data analysis shows that the r= 0-,246 and p= 0,000. It means that the hypothesis of this research is accepted due to the fact that there is a significant and negative correlation found between college student’s sense of control and proneness to online game addiction .

(6)

x

KATA PENGANTAR

Proses pengerjaan tulisan ini adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga bagi saya. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya terhadap segala pihak yang sudah mendukung dan membantu dalam keseluruhan proses ini, terlebih kepada:

1. Ibu Dr. Tjipto Susana, dosen pembimbing skripsi saya yang sangat sabar membimbing dan mengarahkan saya walaupun saya sering kali lambat dalam memahami konsep dan hal lainnya terkait proses ini. Terima kasih banyak bu.

2. Keluarga inti yang menjadi sumber dukungan utama saya.

3. Dosen serta staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala bantuan serta pelajaran yang telah diberikan.

4. Grasiella yang sudah sangat berjasa dalam hampir keseluruhan proses ini. Gue ampe bingung gimana cara makasihnya sama lo :’).

5. Antonia dan Ursula! Ga perlu dijelaskan lagi pokoknya terima kasih banyak dua orang teman seperjuanganku sedari awal.

6. Grup Koronaphobia yang terus jadi sumber interaksi sosial, ya walaupun sekarang sedang masa pandemi.. Terima kasih ya kalian bertiga :D

7. Divisi Organisasi dan Media tahun 2017/2018 yang sesekali jadi sumber energi dengan acara gibahannya yang selalu seru hahaha.

(7)

xi

8. Kelompok Understanding dan Compassion! Makasih ya udah jadi anak-anak yang supportif pada tutornya :’( Sudah berkali-kali diriku terharu karena kalian.

9. Semua teman, kakak-kakak, adik-adik yang membantu saya baik dalam proses diskusi, mengambil data, serta saran-saran yang telah diberikan.

(8)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... Error! Bookmark not defined. PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI ... Error! Bookmark not defined.

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I ... 1 PENDAHULUAN ... 1 A. Latar Belakang ... 1 B. Rumusan Masalah ... 10 C. Tujuan penelitian ... 11 D. Manfaat Penelitian ... 11 1. Manfaat Teoritis ... 11 2. Manfaat Praktis ... 11 BAB II ... 12 LANDASAN TEORI ... 12

A. Kecenderungan Adiksi Game Online ... 12

1. Definisi Kecenderungan Adiksi Game Online ... 12

2. Aspek dan Pengukuran Adiksi Game Online ... 14

3. Faktor yang mempengaruhi Adiksi Game Online ... 22

(9)

xiii

B. Sense of Control ... 26

1. Definisi Sense of Control ... 26

2. Aspek dan Pengukuran Sense of Control ... 27

3. Dampak dari Sense of Control ... 29

4. Perkembangan Konsep Sense of Control ... 31

C. Mahasiswa dan Adiksi Game Online ... 33

D. Sense of Control Mahasiswa dengan Adiksi Game Online ... 36

E. Hipotesis ... 38 BAB III ... 39 METODE PENELITIAN ... 39 A. Jenis Penelitian ... 39 B. Analisa Data ... 39 C. Identifikasi Variabel ... 40 D. Definisi Operasional ... 40 1. Sense of Control ... 40

2. Kecenderungan Adiksi Game Online ... 41

E. Partisipan Penelitian ... 41

F. Prosedur Penelitian ... 42

G. Metode dan Alat Pengumpulan Data ... 44

1. Sense of Control Scale ... 44

2. Internet Gaming Disorder Scale ... 45

H. Reliabilitas Alat Pengumpulan Data ... 47

I. Metode Analisis Data ... 47

1. Uji Asumsi ... 47

2. Uji Hipotesis ... 48

BAB IV ... 49

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

A. Pelaksanaan Penelitian ... 49

B. Proses Adaptasi dan Uji Coba Skala ... 50

1. Melakukan Penerjemahan Skala ... 50

2. Uji Pemahaman Kalimat ... 51

C. Seleksi Item ... 53

D. Reliabilitas Skala ... 53

E. Deskripsi Partisipan Penelitian ... 54

F. Analisis Data ... 57

1. Uji Asumsi ... 57

2. Uji Hipotesis ... 59

(10)

xiv

BAB V ... 64

KESIMPULAN DAN SARAN ... 64

A. Kesimpulan ... 64

B. Keterbatasan Penelitian ... 64

C. Saran ... 64

(11)

xv

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Blue Print Sense of Control Scale ... 45

Tabel 2. Blue Print Internet Gaming Disorder Scale ... 46

Tabel 3. Tabel Revisi Item ... 52

Tabel 4. Deskripsi Partisipan Berdasarkan Jenis Kelamin ... 54

Tabel 5. Deskripsi Partisipan Berdasarkan Usia ... 54

Tabel 6. Persentase Game yang Dimainkan Partisipan ... 55

Tabel 7. Deskripsi Statistik Partisipan Penelitian ... 55

Tabel 8. Kategori Skor Kecenderungan Adiksi Game Online & Sense of Control ... 56

Tabel 9. Persentase Partisipan Berdasarkan Kategori ... 57

Tabel 10. Uji Normalitas ... 57

Tabel 11. Uji Linearitas ... 59

(12)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Histogram Normalitas Kecenderungan Adiksi Game Online ... 58 Gambar 2. Histogram Normalitas Sense of Control ... 58

(13)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skala Penelitian ... 78

Lampiran 2. Reliabilitas Skala Penelitian ... 86

Lampiran 3. Uji Asumsi ... 88

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Mahasiswa merupakan salah satu populasi yang banyak menggunakan game, dengan begitu juga rentan terkena adiksi terhadap game (Bahrainian, Alizadeh, Raeisoon, Gorji & Khazaee, 2016). Hal ini dapat terjadi karena mahasiswa, yang masih termasuk usia dewasa awal sedang berada pada tahap kehidupan yang baru saat mereka harus mencoba untuk hidup mandiri (Santrock, 2009). Mereka terkena jenis-jenis stresor yang baru pada kehidupan mereka, misalnya stresor akademik yang bisa berupa tugas serta materi yang lebih sulit dibandingkan masa sebelumnya, lalu mereka juga mulai dituntut untuk melakukan manajemen diri (uang, waktu, dll.) sendiri. Selain mereka mendapatkan bentuk stresor yang baru, pengawasan serta kontrol dari orang tua pada masa ini cenderung berkurang dan dorongan pada diri mahasiswa untuk melakukan apa yang ingin ia lakukan juga sedang meningkat (Santrock, 2009). Saat seorang mahasiswa sedang dalam keadaan tertekan lalu memilih untuk bermain game sebagai media melupakan masalahnya dan tidak ada pihak yang mengontrol, jika terus-menerus terjadi juga mungkin menyebabkan efek negatif bagi diri mereka.

Bermain video game adalah sebuah kegiatan menyenangkan yang dapat membuat manusia melakukan kegiatan di luar rutinitas mereka sebagai sebuah bentuk relaksasi. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menjalankan sebuah program

(15)

yang dapat dijalankan menggunakan perangkat elektronik seperti komputer, smartphone, maupun tv yang sudah disambungkan dengan konsol permainan. Huizinga (dalam Kuss & Griffiths, 2011) menjelaskan bahwa kegiatan bermain adalah sebuah aktivitas bebas di luar rutinitas, bersifat tidak serius, tapi di sisi lain juga mengambil atensi pemainnya secara penuh. Penggunaan game dalam kadar yang berlebihan juga dapat memberikan efek negatif pada manusia. Individu yang terlena dapat melupakan tanggung jawabnya pada dunia nyata dan lebih fokus dalam mengembangkan karakter dalam gamenya. Hal ini dapat membuat waktu individu yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah atau mengerjakan pekerjaannya menjadi habis. Akibatnya produktivitas individu akan menurun dan pada kasus yang ekstrim dapat menyebabkan adiksi terhadap dirinya (Griffiths, 2009). Kasus nyata tentang adiksi game adalah seperti kasus yang dipaparkan oleh artikel online okezone (2019). Pada artikel tersebut dijelaskan bahwa ada seorang mahasiswa yang tidak ingin meninggalkan perangkat bermainnya sampai-sampai ia membawa pispot ke tempatnya bermain agar dirinya tidak perlu pergi ke kamar mandi. Mahasiswa tersebut juga jarang melakukan aktivitas mandi karena hal tersebut dapat memisahkannya dari dunia virtualnya. Mahasiswa ini sudah mendapat surat peringatan dari universitas tempat ia belajar dan terancam drop out dikarenakan perilaku adiksi yang dialaminya.

Adiksi terhadap game adalah keadaan saat seseorang merasa tidak dapat menghentikan dirinya dalam melakukan kegiatan bermain game (Griffiths, 2009). Saat individu dengan adiksi game tidak mendapatkan jatah ntuk bermain, biasanya dia akan merasa cemas, memikirkan bagaimana caranya agar dapat bermain game

(16)

lagi secepatnya, atau melakukan kegiatan yang mungkin bersifat agresif agar dapat bersentuhan kembali ke dunia virtual game (Doan & Strickland, 2012). Mereka juga biasanya tidak memiliki kontrol terhadap jumlah waktu yang mereka dedikasikan untuk bermain game sehingga menyebabkan tugas serta tanggung jawab lain mereka sebagai seorang individu sangat mungkin untuk tidak dilaksanakan karena waktu mereka telah habis digunakan untuk bermain game (Doan & Strickland, 2012; Griffiths, 2009; Kuss & Grifiths, 2011).Menurut data dari beberapa artikel, jumlah pengguna game di Indonesia adalah 60 juta orang yang 27% -nya merupakan individu berumur 16-24 tahun (Lely, 2018) dan prevalensi adiksi game online di Indonesia adalah 6,1% dari total populasi (Jaya, 2018). Jumlah pengguna game diperkirakan akan melonjak ke angka 100 juta orang pada tahun 2020 (Lely, 2018). Bahkan saat ini, industri game merupakan industri terbesar di bidang hiburan internasional. Pendapatan industri permusikan dan perfilman, walau digabungkan sekalipun tidak lebih besar dari industri game (Samuel, 2019). Melihat kuatnya industri game saat ini dan konsumennya yang kian bertambah, adiksi terhadap game adalah sebuah permasalahan yang semakin hari semakin nyata.

Adiksi terhadap game dapat terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya adalah saat seseorang sedang berada dalam sebuah masalah hidup, mengalami stres, lalu memilih untuk melarikan diri dari permasalahannya dengan bermain game (Beranuy, Carbonell & Griffiths, 2012). Game memberikan efek euforia pada individu yang dapat membuat individu melupakan sejenak permasalahan-permasalahan yang sedang dialaminya di kehidupannya (Doan & Strickland, 2012).

(17)

Efek ini dapat diraih saat individu menyelesaikan berbagai tugas atau mencapai berbagai pencapaian yang disediakan dalam sistem game. Jika hal ini terus menerus terjadi, individu bisa lebih nyaman berada pada dunia virtualnya karena dia tidak harus merasa tertekan akibat masalah-masalah yang dialaminya, dan pada akhirnya kecanduan (Doan & Strickland, 2012; Griffiths, 2009).

Penelitian terdahulu menemukan bahwa tingkat self-esteem yang rendah berkorelasi negatif dengan adiksi terhadap game (Bahrainian et al, 2016; Lemens, Valkenburg & Gentile, 2015; Lemens, Valkenburg & Peter, 2011). Individu dengan tingkat self-seteem yang rendah cenderung menilai diri mereka secara rendah juga. Game online merupakan sebuah media yang dapat digunakan oleh individu untuk mengekspresikan kepribadian serta identitas sosial mereka dengan cara berbeda melalui karakter yang mereka gunakan. Menurut Sari dan Ayudin (2011), individu dengan penilaian diri yang rendah dapat menggunakan fasilitas ini untuk membuat diri mereka lebih baik dari yang sebenarnya. Hal ini diduga dapat terjadi karena individu mencoba untuk mencari kegiatan untuk dirinya dapat berekspresi dan merasa mereka baik dalam melakukan sesuatu. Individu yang dapat bermain dengan baik di dalam sebuah game juga dapat menerima pujian dari orang lain, sebuah peristiwa yang mungkin jarang mereka terima di kehidupan offline mereka,

Selanjutnya, juga ditemukan bahwa perasaan kesepian juga memiliki korelasi dengan terjadinya adiksi terhadap game online (Lemens et al., 2015; Lemens et al., 2011). Bukan hanya mempengaruhi terjadinya adiksi terhadap game online, tetapi perasaan kesepian juga menjadi efek dari adiksi game online. Dijelaskan bahwa hal ini terjadi karena individu merasa dirinya tidak memiliki

(18)

interaksi sosial yang cukup, menyebabkan dirinya mengalami emosi negatif dan menggunakan game sebagai media untuk melupakan emosi negatif tersebut. Walaupun seorang individu melakukan hal ini, dirinya tidak melakukan apa pun untuk memperbaiki keadaan yang menyebabkan emosi negatif tersebut. Hal ini menyebabkan kondisi yang sama, atau mungkin perasaan kesepian yang lebih parah (Kim, LaRose, Peng, 2009).

Trait individu juga ditemukan berhubungan dengan terjadinya adiksi game online. Hal ini terjadi pada individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi (Mehroof & Griffiths, 2010) serta tingkat conscientiousness dan openness to experience yang rendah (Wang, Ho, Chan & Tse, 2015). Individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi cenderung mencari stimulus yang membuat dirinya merasa baik, seperti perasaan euforia. Dalam konteks ini, dengan melakukan aktivitas bermain game. Intensitas bermain game individu tersebut akan meningkat pada setiap sesi bermainnya. Hal ini terjadi karena toleransi individu terhadap efek game yang meningkat sehingga dibutuhkan lebih banyak waktu bermain untuk mencapai tingkat euphoria yang sama (Mehroof & Griffiths, 2010). Sedangkan pada trait conscientiousness, individu yang memiliki tingkat conscientiousness yang rendah cenderung kurang termotivasi untuk menggapai tujuan mereka, menyebabkan dirinya lebih suka melakukan hal-hal yang menyenangkan. Selanjutnya pada trait openness to experience, individu yang mendapatkan skor rendah pada trait ini cenderung kurang terbuka pada pengalaman baru. Jika saja mereka sudah nyaman dalam bermain game sebagai media untuk melepaskan stres atau untuk melarikan

(19)

diri sejenak, mereka akan tetap berada pada kebiasaan mereka dan tidak mencoba hal baru lagi (Wang et al., 2015).

Kegiatan bermain game, dari beberapa penelitian di atas merupakan sebuah usaha yang dilakukan individu untuk kabur dari dunia offline yang dirasa kurang menyenangkan agar dapat merasakan perasaan yang lebih baik. Mungkin hal ini juga menunjukkan bahwa adiksi terhadap game memiliki hubungan dengan perasaan tidak dapat mengontrol keadaan yang ada di sekitar mereka (sense of control yang rendah). Adalah penting untuk mengenali hal apa saja yang bisa menyebabkan individu mengalami adiksi game mengingat produktivitas serta hubungan individu dengan individu lainnya yang bisa saja menjadi taruhannya.

Sense of control adalah sebuah perasaan bahwa individu memegang kendali dan mampu membentuk sendiri kehidupan serta lingkungannya (Ross & Sastry, 1999). Jika seseorang memiliki sense of control yang tinggi, ia akan merasa bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat ini adalah konsekuensi dari perilakunya sendiri, menyebabkan individu percaya bahwa apa yang dilakukan oleh dirinya dapat membawa perubahan bagi keadaan yang terjadi pada dirinya. Sedangkan individu dengan sense of control yang rendah akan percaya bahwa apa yang terjadi pada dirinya merupakan hasil dari apa yang lingkungannya lakukan dan mereka tidak memiliki kuasa untuk mengubah hal tersebut (Haidt & Rodin, 1999). Individu seperti ini biasanya lebih menggantungkan nasib mereka pada keberuntungan dan memilih menunggu orang lain melakukan sesuatu untuk mereka. Jika saja mereka dihadapkan dengan sebuah masalah dan mereka merasa tidak mampu menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menyerah, mereka akan masuk

(20)

ke dalam kondisi helpless. Orang-orang yang merasa helpless cenderung tidak akan melakukan apa pun untuk mengubah keadaan yang sedang mereka alami saat ini. Mereka percaya bahwa setiap kegiatan yang sudah dan hendak mereka lakukan adalah sia-sia, sehingga mereka memilih untuk tidak melakukan apa pun dan membiarkan diri mereka terlarut dalam keadaan yang tidak menyenangkan tersebut walaupun kontrol sebenarnya masih mereka lakukan (Haidt & Rodin, 1999).

Manusia sendiri memang memlikiki kebutuhan untuk merasa memegang kontrol atas kehidupannya (Leotti, Iyengar, & Ochsner, 2010)). Pada kehidupannya, manusia dapat mengalami stres karena beragam hal. Jika individu sedang berada dalam kondisi stres dan merasa bahwa mereka tidak memiliki kontrol atau sama dengan merasa tidak memiliki pilihan, stres yang dirasakannya bisa menjadi semakin berat karena mereka merasa tidak mampu untuk menyelesaikan permasalahan yang dialaminya. Saphiro (dalam Leotti, Iyenggar & Ochsner, 2010) mengatakan bahwa individu yang merasa dirinya tidak memiliki kontrol atas lingkungannya akan mencari cara lain untuk merasakan kontrol yang tidak dia miliki. Hal ini juga memungkinkan individu untuk melakukan perilaku maladaptif.

Pada penelitian terdahulu mengenai sense of control, salah satu variabel yang sering dikaitkan dengannya adalah depresi (Keeton, Perry-Jenkins & Sayer, 2008, Mirowsky & Ross, 1990; Mystakidou, Tsilika, Parpa & Galanos, 2014). Hasil dari penelitian ini adalah individu yang merasa dirinya memegang kontrol atas kehidupannya, baik atas kejadian baik maupun kejadian buruk yang sedang terjadi pada hidupnya, menunjukkan tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan

(21)

dengan individu dengan tingkat kontrol yang lebih rendah. Kontrol yang tinggi juga berarti individu memiliki kemampuan yang baik untuk mengidentifikasi masalah yang terjadi pada dirinya dan secara aktif mencari penyelesaiannya.

Selanjutnya juga ditemukan beberapa jurnal yang membahas sense of control dan hubungannya dengan kesehatan fisik individu (Chipperfield, Newall, Perry, Stewart, Bailis & Ruthig, 2012; Oi & Alwin, 2017; Ward, 2013). Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa individu dengan tingkat sense of control yang tinggi memiliki kesehatan fisik yang lebih baik dibandingkan individu dengan tingkatan yang lebih rendah. Mereka juga memiliki umur yang lebih panjang.

Ada juga penelitian yang membahas mengenai hubungan antara sense of control dengan ekspektasi individu terhadap nilai akademisnya (Baron & Cobb-Clark, 2010). Hasil dari penelitian ini adalah individu yang memiliki kontrol internal memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan individu dengan kontrol eksternal. Mereka juga biasanya lebih besar kemungkinannya untuk menyelesaikan sekolah tingkat menengah dan masuk ke universitas yang diinginkan. Hal ini terjadi karena individu yang merasa memegang kontrol tahu bagaimana cara mencapai pencapaian yang mereka inginkan.

Menurut Doan dan Strickland (2012), saat individu bermain game, sangat mungkin dia merasa dirinya superior dan dapat mengontrol keadaan yang ada dalam dunia gamenya. Jika saja hal ini terjadi pada individu yang merasa helpless atas satu atau lebih aspek kehidupannya, dia memiliki satu alasan lagi untuk tetap berada di dalam dunia game. Keadaan helpless adalah keadaan saat individu menolak melakukan usaha untuk memperbaiki keadaan dirinya (Seligman, 1967).

(22)

Dalam dunia virtual tersebut, mungkin mereka adalah seorang yang sangat kuat dan dihormati oleh pemain lainnya. Mungkin mereka sering mendapat pujian dari pemain-pemain lainnya karena kemampuannya dalam bermain game. Kim, LaRose dan Peng (2009) juga menyebutkan bahwa manusia dapat mengalami kecanduan game karena ia memiliki kemampuan komunikasi yang buruk di dunia nyata. Pada game online, individu diberikan media untuk bertukar pesan dengan orang lain yang tujuan utamanya adalah agar pemain dapat melakukan koordinasi maupun melakukan penawaran. Namun, fitur bertukar pesan (baik teks maupun suara) ini juga dapat difungsikan untuk hal lainnya seperti mencari relasi dengan cara berkenalan dengan orang baru. Ditemukan kecenderungan pada individu yang mengalami kemampuan komunikasi yang kurang baik bahwa mereka lebih nyaman menggunakan komunikasi online untuk melakukan interaksi sosial (Kim et al, 2009).

Jika beberapa alasan yang sudah diuraikan sebelumnya terjadi, jelas dunia game bukan hanya sebatas aktivitas untuk mengisi waktu luang. Bermain game bisa jadi sebuah sumber rasa bahwa diri individu dapat melakukan sesuatu dengan sangat baik. Jika game tersebut bersifat online, game juga dapat menjadi sarana mendapatkan pengakuan dari orang lain serta menjadi tempat melakukan interaksi sosial. Hal tersebut mungkin terjadi tanpa disadari baik oleh individu maupun orang-orang yang berada di sekitar individu. Tanpa sadar pula, individu sudah terlalu sering dan terlalu menggantungkan rasa nyamannya pada dunia virtualnya dan akhirnya mengalami adiksi terhadap game. Dari hasil penelitian terdahulu, dapat dilihat bahwa masih sedikit penelitian yang membahas langsung antara adiksi

(23)

terhadap game online dengan sense of control individu. . Dalam literatur yang digunakan, ditemukan ada beberapa jurnal yang menduga bahwa orang yang mengalami adiksi terhadap game online juga biasanya memiliki persepsi bahwa kontrol yang dimiliki oleh dirinya adalah rendah (Doan & Strickland, 2012; Lloyd et al, 2019). Melihat hal ini, penulis ingin mengetahui lebih mengenai dinamika hubungan antara kecenderungan adiksi game online dengan sense of control individu.

B. Rumusan Masalah

Game merupakan sebuah media yang dapat digunakan oleh manusia untuk melepaskan kepenatan yang mereka terima setelah melaksanakan aktivitas juga rutinitas yang mungkin menyebabkan stres. Saat individu gagal dalam meregulasi dirinya dalam menggunakan fasilitas game ini, tentunya ia akan mendapatkan efek negatif, mungkin pada performansi pekerjaannya maupun pada prestasi akademiknya. Mahasiswa adalah salah satu kelompok masyarakat yang paling banyak terpapar penggunaan game. Hal ini dapat terjadi karena mereka sudah mendapatkan akses terhadap perangkat-perangkat yang dapat digunakan untuk bermain game. Selain itu, pengawasan yang diberikan orang tua terhadap anaknya pada usia ini juga cenderung berkurang mengingat mereka memasuki masa dewasa.

Saat individu yang merasa bahwa ia memiliki kontrol yang rendah terhadap lingkungannya, ia dapat merasa mendapatkan kontrol dengan cara menyelesaikan tugas atau memperoleh pencapaian dalam game. Fitur komunikasi dan ranking dalam game juga dapat menyediakan rekognisi bagi pemainnya jika saja individu tersebut bermain dengan baik. Perlu dijelaskan bahwa perasaan kontrol dalam game

(24)

dan kontrol pada dunia nyata adalah dua hal yang berbeda. Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan kompetensi yang dibutuhkan dalam menjalani kehidupan nyata dan dalam dunia game. Individu yang merasa memegang kontrol yang rendah pada dunia nyata, tetapi memiliki kemampuan bermain game yang baik mungkin cenderung lebih nyaman menjadi karakter dalam game. Hal ini dapat menyebabkan penggunaan game berlebihan yang mungkin menghasilkan kecenderungan atau adiksi terhadap game online tersebut. Karena belum ada penelitian yang spesifik membahas tentang topik ini penulis ingin mengetahui, bagaimana hubungan antara sense of control dan kecenderungan adiksi game online pada mahasiswa?

C. Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara sense of control dan kecenderungan adiksi game online pada mahasiswa.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah studi literatur terkait topik adiksi terhadap game online dan sense of control dengan memberikan gambaran yang lebih jelas tentang hubungan antara kedua variabel tersebut. 2. Manfaat Praktis

Peneliti berharap hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan renungan bagi para pembaca yang memilih bermain game sebagai kegiatan pelarian saat dirinya mengalami masalah dalam hidup.

(25)

12 BAB II

LANDASAN TEORI A. Kecenderungan Adiksi Game Online

1. Definisi Kecenderungan Adiksi Game Online

Bermain game adalah kegiatan berupa permainan yang dapat diakses menggunakan perangkat elektronik seperti handphone, komputer, tv, dan perangkat lainnya. Manusia sering kali menggunakan game sebagai media untuk relaksasi saat mengalami stres. Hal ini dapat terjadi karena game sendiri bersifat tidak serius, tetapi di sisi lain juga dapat mengambil hampir seluruh atensi penggunanya (Huizinga dalam Kuss & Griffiths, 2011). Game memang dirancang untuk bersifat ‘adiktif’ juga dibuat semenarik mungkin untuk tujuan ini (Doan & Strickland, 2012; Kuss & Griffiths, 2011).

Game dapat dimainkan secara online dan offline. Game online mengharuskan individu untuk terkoneksi pada jaringan internet karena permainan yang ditawarkan biasanya juga melibatkan orang lain, sehingga game tipe ini biasanya tidak dapat dimainkan secara sendirian (solo). Interaksi yang mungkin terjadi di antar pemain menyebabkan game tipe ini biasanya tidak memiliki akhir dan bisa berjalan terus. Sedangkan game offline adalah jenis game yang tidak membutuhkan koneksi internet untuk dimainkan. Permainan tipe ini biasanya menyediakan level-level pada pemainnya untuk diselesaikan, sehingga pemain dapat mencapai tingkatan tamat pada game offline. Perbedaan antara game online dan game offline yang menarik adalah pada bagian bermain bersama player lainnya (multiplayer) atau bermain sendiri (solo) (Doan & Strickland, 2012).

(26)

Adiksi adalah keadaan psikis, atau terkadang juga fisikal yang disebabkan oleh interaksi antara makhluk hidup dengan sebuah zat atau kegiatan tertentu yang ditandai dengan respons perilaku atau reaksi lainnya yang menyebabkan individu merasa kompulsif dalam mengonsumsi atau melakukan zat atau perilaku tersebut secara terus menerus untuk mendapatkan kembali efek psikologis yang disukai oleh individu. Individu juga akan mengalami stres saat tidak di bawah pengaruh zat atau tidak melakukan kegiatan tertentu (WHO dalam Adams, 2017).

Manusia juga memiliki proses neurobiologis yang menyebabkan adanya semacam ‘reward’ berupa perasaan bahagia setelah individu tersebut menerima penguatan atau dalam proses produksi memori menyenangkan (APA, 2013). Sistem reward ini ternyata juga dapat diaktifkan secara instan dengan cara mengongsumsi zat tertentu dalam jumlah besar atau dengan melakukan aktivitas tertentu. Aktivasi instan menggunakan cara cepat ini bahkan efeknya sangat kuat, sampai individu mungkin saja meninggalkan pekerjaan sehari-hari mereka demi mendapatkan kembali perasaan bahagia dari sistem reward tersebut. Adiksi terjadi saat individu lebih memilih menggunakan cara instan dengan menggunakan zat atau melakukan perilaku tertentu dari pada mengaktifkannya secara normal yaitu melalui perilaku adaptif. Hal ini menyebabkan terganggunya produktivitas individu karena mereka cenderung lebih fokus dalam mencari kesenangan dari pada melaksanakan tanggung jawab yang sebenarnya (APA, 2013).

Salah satu bentuk adiksi adalah adiksi terhadap game. Keadaan ini terjadi saat individu tidak dapat menghentikan dirinya dalam kegiatan bermain game

(27)

(Griffiths, 2009). Individu merasa bahwa aktivitas bermain game adalah aktivitas utama yang harus dilakukannya di hampir setiap waktu untuk membuat dirinya berada dalam kondisi atau mood yang baik. Individu yang sudah mengalami adiksi tidak dapat mengontrol intensitas dirinya dalam bermain game dikarenakan aktivitas itu adalah satu-satunya aktivitas yang ingin dilakukan (Griffiths, 2009). Kesimpulan yang dapat diambil dari beberapa pengertian di atas adalah adiksi game online merupakan keadaan saat individu tidak dapat menghentikan dirinya dalam melakukan kegiatan bermain game yang bersifat online. Kecenderungan adiksi game online sendiri memiliki arti bahwa semakin tinggi tingkat kecenderungan individu, semakin mungkin individu tersebut melakukan perilaku yang merupakan simptom dari adiksi terhadap game online (Lemens et al, 2009).

2. Aspek dan Pengukuran Adiksi Game Online

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders-V (APA, 2013), aspek adiksi game meliputi:

a. Preoccupation

Individu yang mengalami adiksi game terus memikirkan tentang game saat sedang tidak melakukan kegiatan bermain game. Mereka juga memakan waktu yang cukup substansial untuk memikirkan tentang hal tersebut. b. Tolerance

Individu yang mengalami adiksi game mengalami peningkatan waktu dalam tiap sesi bermainnya.

(28)

Individu mengalami simptom tertentu saat tidak melakukan kegiatan bermain game setelah beberapa waktu. Simptomnya dapat berupa mudah merasa terganggu, cemas, atau sedih. Menurut Gamers Anonymous Website (dalam Doan & Strickland, 2012) simptom tersebut juga dapat berupa: emosi marah, adanya kata-kata kasar, perasaan kekosongan atau depresi, gangguan tidur, fantasi dan mimpi mengenai game, dorongan untuk kembali bermain game (dengan intensi dalam hati untuk kali ini mengurangi waktu bermain), mengalami obsesi mengenai game untuk waktu yang lama, moodswing, perasaan kesedihan, kesepian atau kebosanan, perilaku menangis yang berlebihan, dan beberapa simptom lainnya.

d. Persistence

Individu memiliki keinginan dalam diri untuk terus menerus bermain game. Individu juga sudah melakukan usaha untuk mengurangi penggunaan game tetapi gagal.

e. Escape

Bermain game merupakan sebuah aktivitas untuk lari dari perasaan negatif seperti perasaan tidak berdaya, perasaan bersalah, atau kecemasan.

f. Problems

Individu tetap melakukan kegiatan bermain game walaupun dirinya sudah mengerti efek negatif dari bermain game dan kemungkinan bahwa kegiatan tersebut dapat mengganggu hal-hal penting yang ada dalam kehidupan individu.

(29)

Individu berbohong pada orang lain mengenai jumlah waktu melakukan kegiatan bermain game.

h. Displacement

Individu meninggalkan kegiatan lain untuk bermain game. Kegiatan yang ditinggalkan individu bisa berupa kegiatan sosial, rekreasional, atau hobi lain.

i. Conflict

Kegiatan bermain game hampir atau sudah merusak hubungan individu dengan orang lain. Hubungan tersebut bisa terjadi dalam hubungan romantis, atau dengan keluarga. Individu juga melewatkan kesempatan yang sebenarnya dapat diambilnya dalam kegiatan akademik atau pekerjaan karena bermain game.

Seseorang baru dapat didiagnosa terkena adiksi game online jika individu tersebut setidaknya mengalami 5 kriteria yang dijelaskan di atas dalam kurun waktu 1 tahun ke belakang. Skala yang digunakan adalah Internet Gaming Disorder Scale dengan 27 item yang disusun oleh Lemens, Valkenburg, and Gentile pada tahun 2015 menggunakan ke 9 aspek ini. Peneliti yang sama juga membuat versi pendek dari skala tersebut berisi 9 item yang merepresentasikan masing-masing aspek.

Pengukuran yang dilakukan terhadap adiksi game biasanya dilakukan dengan cara menanyakan terhadap individu apakah mereka pernah melakukan sebuah perilaku yang berhubungan dengan adiksi terhadap game. Salah satu alat yang digunakan untuk melakukan diagnosis terhadap game addiction adalah

(30)

serangkaian pertanyaan yang diciptakan oleh Griffiths (1991) yang merupakan adaptasi dari kriteria pathological gambling yang tertera dalam DSM III. Alat ini memiliki 9 pertanyaan yang ke-9 nya merupakan kriteria diagnosis terhadap pathological gambling, tetapi diubah konteksnya menjadi perilaku bermain game. Contoh pertanyaan yang ada di dalam list adalah “Have you ever done any of the following: Frequently play with larger amount of money?”. Alat ini pada saat itu digunakan untuk membantu melakukan diagnosis terhadap individu yang diduga terkena adiksi terhadap game, karena pada masa itu game adalah sesuatu yang baru dan perdebatan antara apakah kegiatan tersebut berbahaya bagi manusia sedang terjadi. Alasan pertanyaan untuk mendiagnosa gaming addiction diambil dari kriteria pathological gambling adalah karena gaming dan gambling dianggap sama-sama dapat memberikan efek adiksi terhadap individu dan keduanya sama-sama-sama-sama sebuah perilaku, berbeda dengan adiksi pada umumnya yang terjadi terhadap zat.

Seiring berjalannya waktu, semakin banyak orang yang merasa bahwa perilaku bermain game yang berlebihan dapat memberikan efek negatif terhadap manusia. Penelitian terhadap adiksi terhadap game pun berkembang. Tahun 2002, Salguero dan Moran membuat sebuah skala yang memiliki validitas statistik untuk melakukan diagnosis terhadap gaming addiction karena pada masa itu tidak ada skala terstandar yang dapat digunakan untuk melakukan diagnosis. Ditemukanlah sebuah skala bernama Problem Video Gaming Scale (PVP Scale) yang merupakan skala dikotomi dengan 9 item pertanyaan. Skala ini memiliki 8 aspek yang merupakan adaptasi dari kriteria diagnosis substance abuse dan pathological gambling yang ada dalam panduan diagnostik DSM-IV. Contoh salah satu item

(31)

pada skala ini adalah “I spend an increasing amount of time playing video games”. Alat ini pun setelah melewati serangkaian uji coba dan validasi statistik, terbukti dapat digunakan sebagai alat diagnosis terhadap gaming addiction. Setiap jawaban ya pada masing-masing item akan diberikan skor 1. Jika individu mendapatkan skor 5 atau lebih dalam mengisi skala ini, individu tersebut dianggap mengalami problematic video game playing.

Selanjutnya, pada tahun 2009, Lemens, Valkenburg dan Peter (2009), peneliti dari Belanda membuat sebuah skala berisi 21 item sebagai alat ukut gaming addiction pada remaja di Belanda. Skala ini disusun menggunakan 7 aspek yang juga diadaptasi dari kriteria diagnosis pathological gambling pada DSM-IV. Berbeda dari skala sebelumnya, skala ini merupakan skala likert dengan 5 poin jawaban, dimulai dari tidak pernah sampai sangat sering dan contoh salah satu item pada skala ini adalah “Did you play longer than intended?”. Ada 2 bentuk diagnosis menggunakan skala ini karena untuk dilakukan diagnosis, individu harus memenuhi minimal 4 kriteria. Skoring menggunakan alat ini bukan dengan penjumlahan total skor, tetapi dengan menggunakan jawaban di poin 3 yaitu kadang, atau pada poin 4 yaitu sering sebagai pembuktian bahwa individu memenuhi kriteria diagnostik pada item tertentu. Skala ini bernama Gaming Addiction Scale (GAS).

Seorang peneliti bernama Gentile pada tahun yang sama mencoba menciptakan skala untuk melakukan diagnosis terhadap individu yang mengalami adiksi game, tetapi khusus bagi individu yang bermain game dan menggunakan akses internet. Skala yang diciptakan bernama Pathological Gaming Scale. Skala ini berisi 11 item dan aspeknya juga diadaptasi dari kriteria diagnosis gambling

(32)

disoder pada DSM-IV, tetapi juga ditambah dengan ciri-ciri adiksi menurut Brown (1991). Skala ini merupakan skala likert dengan 3 poin jawaban yang terdiri dari ya, tidak, dan kadang. Diagnosis dapat dilakukan pada orang yang mendapatkan skor 6 atau lebih. Ada 3 cara yang dilakukan oleh Gentile dalam melakukan skoring, yang pertama jawaban ya diberi skor 1, jawaban tidak dan kadang diberikan skor 0. Cara kedua jawaban ya dan kadang diberikan skor 1, sedangkan tidak diberikan skor 0. Terakhir, pada cara ke-3, jawaban ya akan diberikan skor 1, jawaban tidak diberikan skor 0, tetapi jawaban kadang diberikan skor 0,5. Menurut Gentile sendiri, cara ke-3 merupakan cara paling baik dalam melakukan skoring karena cara tersebut sama dengan cara konvensional dalam melakukan diagnosis terhadap adiksi, tetapi juga mempertimbangkan jawaban ‘kadang’ yang mungkin dialami oleh partisipan. Contoh dari item pada skala ini adalah “Do you need to spend more and more time and/or money on video games in order to feel the same amount of excitement?”.

Peneliti dari Indonesia pada tahun 2013 mencoba untuk membuat skala untuk melihat tingkat adiksi terhadap game pada anak sekolah tingkat SMP dan SMA di Indonesia (Jap, Tiatri, Jaya, & Suteja, 2013). Mereka membuat sebuah skala bernama Indonesian Online Game Addiction Questionnaire yang memiliki 7 item dan terdiri dari 7 aspek. Aspek dari skala ini juga diadaptasi dari pathological gambling diagnosis criteria dalam DSM-IV serta kriteria adiksi yang dibuat oleh Griffiths (1996). Skala ini merupakan skala likert 5 poin dengan jawaban mulai dari tidak pernah sampai sangat sering. Contoh item dalam skala ini adalah “Waktu bermain game online saya bertambah (misalnya satu jam menjadi dua jam setiap

(33)

kali main).” Sebelum menyusun item, Jap et al. (2013) juga melakukan wawancara terhadap individu target untuk memastikan bahwa pertanyaan yang nantinya ada dapat dimengerti dan diterima oleh remaja di Indonesia. Skoring dari skala ini berbeda dari skala-skala sebelumnya. Skala ini melakukan penjumlahan dari skor yang diperoleh oleh individu. Partisipan yang memilih poin 1 akan mendapatkan skor 1 pada item tersebut, poin 2 memperoleh skor 2, dan seterusnya. Alat ini terbukti valid, tetapi Jap et al. hanya mampu memberikan estimasi cutoff point karena alasan peneliti tidak membandingkan hasil tersebut dengan pasien yang terbukti secara klinis mengalami adiksi. Estimasi cutoff point-nya adalah 22 point, yang berarti individu yang memperoleh skor 22 atau lebih dianggap mengalami adiksi terhadap game online. Individu yang mendapatkan skor 14-21 masuk dalam kelompok ‘mild addiction’ atau adiksi ringan. Skala ini menurut penciptanya baiknya digunakan untuk kepentingan penelitian.

Melihat banyaknya bentuk dan jenis skala untuk melakukan diagnosis terhadap gaming addiction, Lemmens, Valkenburg dan Gentile (2015) melakukan uji validitas terhadap 4 skala sekaligus. Internet Gaming Addiction pada masa ini sudah masuk dalam DSM-V sebagai salah satu psikopatologi dengan 9 kriteria diagnostik yang dijelaskan di atas. Keempat skala ini menggunakan 9 aspek yang sama. Skala tersebut terdiri dari skala likert 27 item, skala dikotomi 27 item, skala likert 9 item, dan skala dikotomi 9 item. Skala yang digunakan untuk melakukan diagnosis adalah skala dikotomi yang memiliki 9 item. Salah satu contoh item dari skala ini adalah “During the last year, have you felt unsatisfied because you wanted to play more?”. Setiap jawaban ya pada masing-masing item akan diberikan skor 1

(34)

dan jawaban tidak diberika skor 0. Cutoff point pada skala ini adalah pada skor 6, yang berarti individu yang memperoleh skor 6 atau lebih dianggap termasuk kelompok disordered gamers. Ada dua lagi kelompok yang ditentukan dalam penelitian ini, yaitu normal gamers (skor 0-2), dan risky gamers (skor 1-6). Walaupun alat ini memasukkan individu tertentu ke dalam kelompok disordered gamers, pembuatnya juga memberikan pesan bahwa individu yang termasuk ke dalam kelompok tersebut agar kembali di cek oleh klinisi karena alat ini tidak diberikan kepada clinical population dan hanya melihat kecenderungan terhadap adiksi terhadap game online. Bentuk lain dari skala ini adalah skala likert yang memiliki 6 pilihan jawaban. Pertanyaan yang diberikan persis sama, hanya cara menjawabnya saja yang berbeda. Pilihan jawabannya adalah: tidak pernah (skor 0), satu sampai empat kali dalam setahun (skor 1), lima sampai sebelas kali dalam setahun (skor 2), sekali sampai tiga kali dalam sebulan (skor 3), sekali atau lebih dalam seminggu (skor 4), dan setiap hari atau hampir setiap hari (skor 5). Semakin tinggi skor yang didapatkan oleh individu maka semakin tinggi tingkat kecenderungan individu tersebut terhadap adiksi game online.

Dalam penelitian ini akan digunakan Internet Gaming Disorder dengan beberapa pertimbangan berikut:

1. Skala ini diadaptasi dari kriteria diagnostik yang tertera pada DSM-V sehingga dapat dikatakan bahwa skala ini cenderung memiliki dasar yang lebih kuat dari skala gaming addiction lainnya.

2. Skala ini juga digunakan untuk mengukur kecenderungan adiksi terhadap game online bagi individu.

(35)

3. Faktor yang mempengaruhi Adiksi Game Online

Penelitian-penelitian sebelumnya yang mencari penyebab dari adiksi game mengatakan bahwa perasaan kesepian (Kim, LaRose & Peng, 2009; Lemens, Valkenburg & Peter, 2011; Lemens, Valkenburg & Gentile, 2015), depresi (Bahrainian et al., 2016), dan kemampuan komunikasi yang kurang baik (Kim et al., 2009) mungkin menjadi faktor yang paling sering menyebabkan terjadinya adiksi game. Hal ini dapat terjadi karena individu berusaha untuk mengkompensasi komunikasi offline-nya yang kurang baik dengan cara melakukan komunikasi secara online (Kim et al., 2009). Setiap kali individu mendapatkan penguatan saat menggunakan media online, individu semakin cenderung menggunakan media online juga. Hal ini sebenarnya berbahaya karena individu memilih untuk melupakan akar masalahnya, yaitu komunikasi offline yang kurang baik. Bukannya memperbaiki cara komunikasinya, individu malah mencari alternatif baru dalam mendapatkan interaksi dan mungkin menyebabkan individu merasa semakin terisolasi dan semakin kesepian pada akhirnya karena interaksi sosial menggunakan internet bukanlah sumber interaksi sosial yang stabil (Kim et al., 2009).

Faktor lain yang juga mungkin menyebabkan adiksi game adalah trait individu dengan tingkat neuroticism yang tinggi, saat individu merasakan efek euforia yang lebih besar dari pada orang dengan tingkat neuroticism yang tidak tinggi (Mehroof & Griffiths, 2010). Orang tipe ini sangat mungkin untuk kembali kepada sumber mereka mendapatkan perasaan bahagia tersebut berulang-ulang dan biasanya semakin individu menjadikan sebuah sumber sebagai rasa kesenangannya, semakin besar intensitas dirinya untuk melakukan hal tersebut di masa depan untuk

(36)

mendapatkan kesenangan dengan tingkat yang sama. Lingkungan juga memainkan peran dalam mendukung terjadinya adiksi game. Individu yang berasal dari keluarga yang memberikan dukungan yang rendah lebih rentan menjadi orang dengan adiksi game (Yan et al., 2013). Laki-laki juga lebih banyak terkena adiksi game karena pada pelaksanaannya, laki-laki biasanya lebih mahir dalam menggunakan perangkat elektronik (Yan et al., 2013).

Rendahnya tingkat self-esteem pada individu mungkin menyebabkan terjadinya adiksi game. Pasalnya individu mencoba untuk mengkompensasi kekurangan yang dimiliki oleh dirinya dengan cara menggunakan fitur yang ada di internet (Kim & Davis, 2008). Memungkinkan bagi orang untuk mencari penguatan dalam bentuk pujian maupun rasa penerimaan dari kegiatan yang terjadi di dunia maya tersebut. Mungkin di dunia nyata individu kurang diterima di lingkungannya karena dia tidak memiliki kesamaan maupun tidak melakukan apa yang lingkungannya lakukan, tetapi di dunia maya dia adalah seorang pemain game yang memiliki kemampuan hebat dan sering mendapat pujian dari pemain lainnya (Kim & Davis, 2008).

Doan & Strickland (2012) menyebutkan bahwa masalah kehidupan juga dapat menyebabkan individu menggunakan game sebagai bentuk pelarian. Saat individu merupakan seseorang dengan keadaan ekonomi yang sedang tidak baik, memiliki orang tua yang suka menuntut dirinya untuk melakukan berbagai hal, atau individu juga merupakan korban bullying, atau masalah lainnya dapat menyebabkan individu merasa tidak memiliki atau hanya memiliki sedikit kontrol atas apa yang terjadi pada dirinya. Saat individu berada dalam dunia game, dirinya

(37)

cenderung memiliki pilihan untuk memilih menjadi karakter apa dan akan berbuat apa. Hal ini berarti individu memegang kontrol atas dirinya yang diproyeksikan menjadi karakter dalam game. Kenyamanan individu untuk menjadi dirinya yang memegang kontrol dalam bentuk karakter di dalam game bisa menjadi alasan mengapa individu lebih memilih menghabiskan waktu bermain game daripada melakukan pekerjaan lainnya. Adiksi terhadap game dapat terjadi pada intensitas yang ekstrim.

4. Dampak dari kegiatan bermain game bagi individu

Game yang dimainkan dalam porsi yang secukupnya dapat menjadi salah satu kegiatan yang membantu individu melewati hari tanpa merasa bosan dan dapat menghasilkan perasaan euforia (Doan & Strickland, 2012; Griffiths, 2009). Hal ini dapat terjadi karena dalam game, ada sebuah sistem hadiah yang diberikan pada pemain yang berhasil menyelesaikan tugas yang telah ditentukan. Hadiah yang diberikan dapat berupa level baru yang diakses, karakter atau fitur baru yang terbuka, barang-barang yang bisa digunakan di dalam game, video yang berisi lanjutan dari cerita yang ada di dalam game, sampai uang yang bisa digunakan di dalam game (Doan dan Strickland, 2012). Ada juga game yang memiliki sistem berdagang antar pemainnya, sehingga nilai tukar yang ada dalam game dapat dibeli menggunakan uang sungguhan. Saat individu memainkan game online, dia juga berkemungkinan untuk membuat teman baru dari interaksi-interaksi yang terjadi di dalam game tersebut. Selain itu, ada juga sistem memberikan pujian pada beberapa

(38)

game yang memungkinkan pemain untuk menunjukkan rasa respeknya kepada pemain lain, baik dalam bentuk likes, atau dalam bentuk barang.

Menurut Doan (2012), alasan individu bermain game adalah sebagai berikut:

1. Game dapat menjadi sarana untuk kabur dari realita

2. Game menyebabkan rasa penasaran yang membuat individu ingin segera memuaskan rasa penasaran itu sendiri

3. Game dapat menyebabkan individu memiliki sebuah tujuan

4. Game mampu membuat individu merasa bahwa dirinya tak terkalahkan 5. Game dapat menjadi sarana untuk memberi makan ego diri sendiri

6. Orang lain yang ada di dalam game dapat memberikan rasa pertemanan (companionship)

7. Game dapat membuat individu merasa tertantang dan ingin membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya.

Individu dapat mengalami efek yang kurang baik jika terlalu banyak menggunakan game. Efek negatif dari terjadinya adiksi game pada individu, selain mengganggu produktivitas, dapat menyebabkan individu kurang mengurus dirinya sendiri karena terlalu sibuk bermain game (Flisher, 2010). Bentuknya adalah pola makan yang buruk, jadwal membersihkan diri yang tidak tetap, deprivasi tidur, dll. Adiksi game juga dapat menyebabkan individu melakukan penarikan diri dari lingkungan sosialnya. Individu juga bisa terpancing amarahnya dengan mudah saat

(39)

ada orang yang melarang atau menghalanginya untuk bermain game, bahkan bisa sampai taraf melakukan agresi fisik pada orang lain. Kasus yang ekstrim, jika hal seperti ini jika terus berlanjut, individu dapat kehilangan pekerjaan, dicabut beasiswanya, atau dikeluarkan dari sekolahnya (Doan & Strickland, 2012; Flisher 2010).

B. Sense of Control

1. Definisi Sense of Control

Sense of control adalah tingkatan diri individu dalam mengarahkan dirinya sendiri untuk mengidentifikasi tujuan dirinya serta bagaimana caranya mencapai tujuan tersebut. (Oi & Alwin 2017). Contohnya: Orang dengan sense of control yang tinggi pada bidang kesehatan paham bahwa mereka adalah orang yang bertanggung jawab atas kesehatan mereka sendiri sehingga mereka aktif dalam mencari informasi mengenai kesehatan serta mengaplikasikan pola hidup sehat. Mirowsky dan Ross (2001) mengatakan sense of control adalah kemampuan individu dalam mengambil tindakan preventif terhadap sebuah keadaan dan untuk merasa sehat. Ross dan Sastry (1999) menjelaskan bahwa sense of control adalah kepercayaan bahwa individu dapat dan memang berkuasa, memiliki kontrol, dan membentuk sendiri kehidupannya.

Melihat ketiga penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sense of control adalah kepercayaan individu bahwa dirinya mampu melakukan usaha untuk mengerjakan tugas atau menyelesaikan masalah yang sedang menimpa.

(40)

2. Aspek dan Pengukuran Sense of Control

Individu yang memiliki sense of control adalah individu yang merasa memegang kontrol dalam usahanya dalam mencapai tujuan yang ditentukan. Individu tersebut juga percaya bahwa berhasil atau tidaknya dia mencapai tujuan tersebut tergantung dari apa yang dilakukan oleh dirinya sendiri (Lachman & Weaver, 1998).

Menurut Lachman dan Weaver (1998), Sense of Control sendiri memiliki dua aspek, yaitu:

1. Personal Mastery

Kepercayaan individu terhadap kemampuannya dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan.

2. Perceived Constraints

Tingkatan kepercayaan individu tentang hal-hal yang tidak dapat dikontrol oleh dirinya dalam usahanya mencapai tujuan

Konsep ini sendiri dapat diukur menggunakan Sense of Control Scale (SOCS) yang juga dibuat oleh Lachman dan Weaver (1988). Skala tersebut terdiri dari 12 item, 4 diantaranya mewakilkan aspek personal mastery dan 8 sisanya mewakilkan perceived constraints. Skala ini merupakan skala likert yang memperbolehkan calon partisipan untuk memilih dari antara 7 poin, mulai dari sangat tidak setuju sampai pada sangat setuju. Semakin tinggi skor pada aspek personal mastery, berarti semakin tinggi juga tingkat sense of control individu. Sebaliknya, semakin tinggi skor pada aspek perceived constraints, maka semakin

(41)

rendah tingkat sense of control individu. Aspek perceived constraints dianggap sebagai item unfavorable yang berarti skoringnya berbanding terbalik (pilihan 7 berarti skornya 1, pilihan 6 skornya 2, dst.). Semakin tinggi total skor yang didapat oleh individu menunjukkan bahwa semakin tinggi juga tingkat sense of control dirinya.

Selain SOCS, ada juga alat lain yang digunakan untuk mengukur tingkat kontrol individu yang disesuaikan dengan konteks yang dialami individu tersebut. Salah satunya adalah skala yang bernama Cancer Locus of Control Scale (CLCS). Sesuai dengan namanya, skala ini digunakan untuk mengukur tingkatan kontrol dari individu yang mengalami kanker. Skala ini dikembangkan oleh Cousson-Gelie dan Bruchon-Schweitzer (2005) dan validasinya dilakukan terhadap pasien kanker di Yunani. Skala ini memiliki 3 aspek yang meliputi: control over course of cancer, control over the cause of cancer, dan religion’s control. Skala ini merupakan skala likert 4 poin dan setiap item memberikan skor antara 1-4, tergantung jawaban partisipan dan konteks pertanyaan. Semakin tinggi nilai yang didapatkan oleh partisipan menunjukkan bahwa semakin tinggi kontrol yang ia miliki terhadap penyakit yang sedang dideritanya.

Ada juga skala lainnya yang juga melihat tingkat kontrol individu, tetapi dibuat untuk anak-anak. Nama skala ini adalah Children’s Attribution of Responsibility and Locus of Control (CARALOC). Skala ini sebenarnya didesain oleh Oi dan Alwin (2017) untuk sebuah penelitian longitudinal yang mengukur sense of control partisipan penelitiannya pada saat mereka berumur 10 tahun, lalu akan diukur kembali saat partisipan sedang berada antara umur 16 sampai 26 tahun.

(42)

Skala yang ditujukan untuk anak 10 tahun memiliki 20 pertanyaan yang bisa dijawab dengan jawaban ya, tidak, dan tidak tahu. Setiap jawaban ya diberikan skor 0 dan setiap jawaban tidak diberikan skor 1, sedangkan jawaban tidak tahu dinilai 0. Hal ini terjadi karena hampir seluruh item merupakan pertanyaan negatif. 5 dari 20 pertanyaan tersebut merupakan pertanyaan distraksi dan tidak diberikan skor, membuat raw score dari skala ini berkisar antara 0-15. Semakin tinggi skor yang diperoleh oleh individu menandakan semakin tinggi juga sense of control yang dirasakannya.

3. Dampak dari Sense of Control

Tingkat sense of control yang tinggi dapat menyebabkan tingkat kepercayaan diri individu serta kepercayaan individu terhadap kemampuannya yang meningkat. Saat individu juga menganggap konsekuensi dari sebuah kejadian merupakan akibat dari perilakunya, baik itu menyenangkan maupun tidak, hal ini dapat menurunkan derajat distres pada individu (Haidt & Rodin, 1999, Perlmuter & Monty, 1977 dan Ross & Sastry, 1999). Orang-orang yang merasa memegang kontrol juga mengalami tingkat depresi yang lebih rendah dibandingkan orang yang tidak (Ross & Sastry, 1999). Individu dengan kontrol yang baik juga dapat menghadapi keadaan stressful dengan lebih baik karena mereka cenderung proaktif dalam menyelesaikan masalahnya (Keeton & Sayer, 2008). Haidt dan Rodin (1999) juga menjelaskan bahwa individu yang memegang kontrol dan memiliki ekspektasi positif atas hal yang dilakukannya akan merasa menikmati interaksi yang

(43)

dilakukannya pada bidang tersebut, memiliki persistensi yang meningkat, serta tingkat engagement dengan lingkungan yang meningkat.

Kontrol juga dalam beberapa penelitian digunakan sebagai prediktor terjadinya perilaku adiktif. Kontrol yang rendah terbukti menjadi faktor terjadinya penggunaan alkohol bermasalah (Nagoshi, 1999), perilaku merokok (Wills; 1994), penggunaan game bermasalah (Ko, 2009), adiksi internet (Akin & Iskender, 2011), ketergantungan terhadap telepon genggam (Li, Lepp & Barkley, 2015; Park, Kim, Shon & Shim, 2013), dan perilaku bermain judi (Browne & Brown, 1994).

Kontrol yang dirasakan oleh individu dalam dunia sehari-hari dan dunia game dapat menjadi dua hal yang berbeda (Lloyd,Frost, Kuliesius & Jones, 2019). Konsep ini mungkin yang membedakan adiksi terhadap game dengan adiksi terhadap zat atau perilaku lainnya. Dijelaskan bahwa reward yang didapatkan dari bermain game terjadi saat individu menyelesaikan tugas atau mendapatkan barang yang membutuhkan usaha dari para pemainnya (Lloyd et al, 2019). Hal ini yang mungkin menyebabkan individu yang merasa tidak mendapatkan kontrol pada kehidupan sehari-harinya ingin segera kembali ke dunia game, tempat dirinya dapat merasa memegang kendali dan mencapai sesuatu. Hal-hal yang menyebabkan individu merasakan kontrol dalam game adalah karena fitur yang memperbolehkan pemain untuk memilih serta memodifikasi karakter yang hendak digunakan (Carpentier, Roger & Barnard, 2015), adanya fitur yang melakukan monitor terhadap persenan proses penyelesaian tugas, fitur mengulangi kembali permainan jika pemain melakukan kesalahan atau ingin mencapai hasil yang lebih baik, hadiah dari menyelesaikan tugas yang pasti akan di dapatkan oleh pemain (King,

(44)

Delfabbro & Griffiths, 2010), game yang memberikan tujuan pemain yang jelas, hasil yang jelas mengenai apakah individu berhasil atau gagal, menang atau kalah dalam sebuah permainan, dan fitur yang memperlihatkan tingkatan penguasaan pemain terhadap game tersebut yang biasanya ada dalam bentuk peringkat (Castronova dalam Lloyd et al, 2019).

4. Perkembangan Konsep Sense of Control

Seligman (1967) dalam teori perilaku mengatakan bahwa sebelum manusia melakukan sebuah kegiatan atau memulai sebuah aktivitas, dirinya sudah memiliki atribusi tentang apakah dia sanggup atau tidak melakukan hal tersebut. Jika individu merasa bahwa dia tidak akan mampu dalam mengeksekusi sebuah kegiatan, dirinya akan berada pada situasi ‘helpless’ yang berarti dia tidak akan melakukan usaha apa pun untuk mencapai tujuan atau melaksanakan kegiatan tersebut walaupun sebenarnya kontrol masih memungkinkan. Keadaan helplessness ini dipengaruhi 3 hal, yaitu: locus of control individu (internal atau eksternal), stabilitas penyebab situasi helplessness (konstan, atau bisa berubah tergantung keadaan), dan konteks penyebab situasi helplessness (global atau spesifik). Hasil eksperimen Seligman juga menyimpulkan bahwa partisipan yang sudah direkayasa agar dirinya merasa tidak memiliki kontrol apa pun atas eksperimen tersebut juga mengaplikasikan keadaan helpless-nya pada situasi lainnya juga.

Salah satu penelitian yang membahas mengenai sense of control sendiri dilakukan oleh Ross dan Sastry (1999). Konsep ini dalam psikologi kognitif dikenal sebagai locus of control. Saat individu belajar bahwa apa yang terjadi pada dirinya

(45)

merupakan akibat dari kuasa eksternal seperti individu lain yang memegang kuasa, keberuntungan, atau takdir, akan merasa bahwa hal yang dilakukan oleh dirinya tidak akan berdampak apa pun dan akan memiliki locus of control external atau tidak memiliki sense of control. Sedangkan individu yang belajar bahwa apa yang terjadi pada kehidupannya merupakan akibat dari perbuatannya sendiri percaya bahwa dirinya mampu membawa perubahan. Individu seperti ini memiliki locus of control internal atau memiliki sense of control yang tinggi.

Konsep locus of control dan learned helplessness ini kemungkinan besar terbentuk saat individu tumbuh sampai dengan masa anak-anak saat mereka masih belum memiliki otonomi sepenuhnya dan pengaruh lingkungan masih sangat krusial. Individu yang berhasil mempelajari bahwa dirinya memegang kendali atas apa yang terjadi pada dirinya sendiri memiliki rasa kontrol yang lebih tinggi. Sedangkan individu yang belajar bahwa apa yang terjadi pada hidupnya cenderung merupakan hasil dari apa yang lingkungannya lakukan kepadanya dan dirinya hanya memiliki sedikit sampai tidak ada pengaruh terhadap lingkungannya akan memiliki rasa kontrol yang rendah. Individu yang merasa memiliki sangat sedikit sampai tidak ada kontrol terhadap hidup maupun lingkungannya, pada keadaan tertentu akan masuk ke dalam keadaan helpless (Haidt & Rodin, 1999).

Faktor lain yang mungkin juga mempengaruhi terbentuknya kontrol pada individu adalah status dan kelas sosial. Kelompok yang kelas sosial ekonominya lebih tinggi menunjukkan tingkatan powerlessness yang lebih rendah dari kelompok dengan status sosioekonomi yang lebih rendah. Bidang sosioekonomi mencakup pendapatan keluarga, pendapatan pribadi, tingkat pendidikan dan status

(46)

pekerjaan (Haidt & Rodin, 1999; Keeton & Sayer, 2008). Kekuatan objektif juga menunjang tingkatan kontrol. Individu yang diberikan otonomi untuk memilih apa dan bagaimana dia harus bekerja atau melakukan pekerjaan, dan saat dia merasa mampu melakukan hal tersebut akan merasa tingkatan kontrolnya lebih tinggi (Keeton & Sayer, 2008).

Sense of control memang mirip dengan self-efficacy yang mana kedua konsep ini merupakan persepsi individu terhadap kemampuannya dalam menyelesaikan pekerjaan maupun tantangan. Perbedaan dari kedua konsep ini terletak pada konteksnya, yang mana cakupan konsep kontrol bersifat lebih umum sedangkan self-efficacy terfokus pada kegiatan-kegiatan spesifik. Individu yang merasa memegang kontrol yang tinggi cenderung percaya diri dalam menyelesaikan masalah serta tantangan yang datang ke arahnya. Sedangkan individu dengan self-efficacy tinggi percaya pada kemampuannya dalam menyelesaikan tugas spesifik misalnya dalam bermain alat musik. Penulis lebih tertarik dalam melihat dari sudut pandang kontrol karena dirasa lebih baik dalam mendeskripsikan penggunaan internet bermasalah yang mungkin terjadi karena berbagai sebab.

C. Mahasiswa dan Adiksi Game Online

Menurut KBBI, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Sarwono (1978) mengatakan bahwa mahasiswa merupakan setiap orang yang secara resmi telah terdaftar untuk mengikuti pelajaran di perguruan tinggi dengan batas usia sekitar 18 – 30 tahun dan mahasiswa juga adalah satu kelompok dalam

(47)

masyarakat yang memperoleh status karena memiliki ikatan dengan perguruan tinggi serta merupakan seorang calon intelektual ataupun cendekiawan muda dalam suatu lapisan masyarakat.

Mahasiswa dengan umur 18-25 tahun dikategorikan sebagai individu dewasa awal (Santrock, 2009). Individu pada masa dewasa awal ini mengalami tugas perkembangan untuk mencapai komitmen permanen, baik dalam bidang hubungan romantis maupun pekerjaan. Ciri-ciri yang khas pada individu di masa ini adalah seringnya terjadi eksplorasi identitas individu, terlebih pada bagian percintaan dan pekerjaan. Individu pada rentang usia ini juga cenderung fokus dalam memperhatikan diri mereka sendiri, menyebabkan autonomi yang tinggi dan tidak banyak terpengaruh tuntutan lingkungan (Berk, 2007; Santrock, 2009).

Individu pada masa ini juga biasanya dipaparkan pada masalah yang mungkin menjadi stresor, terlebih pada mahasiswa. Saat individu memasuki masa ini, salah satu stresor yang sering dihadapi adalah stres akademik. Stres ini ada karena individu dipaparkan terhadap tugas perkuliahan baru yang lebih sulit, nilai dan kompetisi dengan teman sebaya, lingkungan perkuliahan serta tenaga pengajar yang ditemui, tuntutan yang dapat berasal dari keluarga maupun dari lingkungan perkuliahan, ujian, memikirkan karir dan masa depan, hingga metode belajar yang juga berbeda. Stresor serta ciri-ciri individu yang sedang berada dalam rentang usia ini mungkin menjadi penyebab mengapa orang-orang dalam rentang umur ini mudah terpapar substance abuse seperti alkohol maupun obat-obatan terlarang (Santrock, 2009).

(48)

Mahasiswa merupakan kelompok individu yang sangat sering berhubungan dengan internet. Pasalnya untuk melakukan interaksi sosial dengan teman sebaya yang menjadi prioritas mereka pada masa ini, internet merupakan media utama yang dapat menyediakan hal tersebut. Tugas dan pekerjaan serta usaha untuk menambah pengetahuan pada mahasiswa juga sangat mungkin dibantu oleh tersedianya layanan internet. Selanjutnya mahasiswa juga seharusnya sudah memiliki kapasitas untuk memiliki alat elektroniknya sendiri sehingga untuk mendapatkan hiburan, internet juga menjadi salah satu media yang sering digunakan karena akses yang mudah dan cepat (Li et al., 2008).

Karena tingginya akses interaksi mahasiswa dengan internet, sangat mungkin bagi mereka untuk mengalami penggunaan yang bermasalah tanpa mereka sadari. Hal ini juga mungkin didukung oleh stres baru yang mereka hadapi saat memasuki masa dewasa awal (Santrock, 2009). Mahasiswa yang memiliki coping strategy yang kurang baik atau mahasiswa yang berada dalam lingkungan yang kurang suportif juga memungkinkan terjadinya adiksi game online pada mahasiswa (Yan et al, 2013).

Mehroof dan Griffiths (2010) dalam penelitiannya mendukung pendapat bahwa mahasiswa merupakan salah satu kelompok masyarakat yang terpapar resiko adiksi terhadap game online. Mahasiswa mengalami peningkatan beban kerja yang drastis jika dibandingkan dengan tingkatan akademik mereka sebelumnya. Peningkatan ini menyebabkan kecemasan pada mahasiswa yang membuat mereka memilih kegiatan bermain game sebagai bentuk strategi koping dengan harapan membuat mood mereka lebih baik.

(49)

D. Sense of Control Mahasiswa dengan Adiksi Game Online

Kontrol merupakan sebuah kebutuhan psikologis manusia (Leotti, Iyengar, & Ochsner, 2010), walaupun bukan sebuah kebutuhan yang primer (Skinner dalam Reich & Infurna, 2016). Adalah masuk akal jika manusia mencoba untuk memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dirinya. Individu yang merasa bahwa dirinya tidak memegang kontrol, tentunya usaha-usaha untuk mendapatkan kembali kontrol sangat mungkin untuk dilakukan. Salah satu metode yang bisa digunakan oleh individu untuk mencapai kontrol yang tidak dimilikinya adalah dengan menerapkan secondary control.

Secondary control adalah usaha yang dilakukan oleh individu untuk mengubah diri atau cara pandang mereka demi mengurangi rasa terancam saat primary control gagal didirikan (Rothbaum, Weisz & Snyder, 1982). Saat primary control memiliki definisi bahwa individu mampu mengubah lingkungan, secondary control memiliki pengertian bahwa individu mengubah tujuannya agar mengikuti apa yang menurut lingkungannya baik (Skinner dalam Reich & Infurna, 2016). Secondary control juga memiliki 2 bentuk, salah satunya adalah individu akan berhenti melanjutkan sebuah usaha saat dirinya sadar bahwa usahanya untuk mendapat kontrol telah gagal dan akhirnya memilih untuk mengikuti apa yang dilakukan orang lain. Bentuk lainnya adalah individu akan mengganti target aktivitas atau objek yang hendak dikontrol saat target utamanya telah gagal memberikan rasa kontrol terhadap individu. Target aktivitas atau objek yang baru ini juga merupakan sesuatu yang lebih mungkin dikontrol daripada target

Gambar

Gambar 1. Histogram Normalitas Kecenderungan Adiksi Game Online ........... 58  Gambar 2
Tabel    7  menunjukkan  nilai  rata-rata  dan  standar  deviasi  usia,  tingkat  kecenderungan adiksi game online, serta tingkat sense of control partisipan dalam  penelitian ini
Gambar 1. Histogram Normalitas KAGO

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran adiksi bermain game online pada anak usia sekolah di warung internet penyedia game online Jatinangor Sumedang.. Penelitian ini

ANTISOSIAL DENGAN ADIKSI ONLINE GAME PADA REMAJA. PENGUNJUNG GAME CENTRE

26 Adanya masalah antara saya dengan orangtua, dikarenakan waktu saya habis untuk bermain game online. 27 Saya tidak senang ketika orangtua meminta saya berhenti bermain

“saya merasa selama ini game ini akan memberikan dampak yang kurang bagus karena, dengan bermain game akan memakan waktu, sehingga berdampak pada hal lain terutama

Adapun dampak dari bermain game online adalah kualitas tidur yang buruk pada mahasiswa yang mana bisa mengakibatkan mahasiswa menjadi kurang berkonsentrasi,

Untuk itu, penelitian ini akan mengisi gap tersebut dengan menggali pengalaman pemain perempuan saat mereka bermain game dan melakukan interaksi dengan pemain lain

Seringkali dari mereka yang bermain game online lebih mementingkan bermain game dibanding melakukan aktivitas lainnya, Karna keberdaaan game online dapat menjadi candu

Menurut Febrina 2014, intensitas bermain game online mengukur frekuensi atau jumlah satuan waktu durasi yang digunakan untuk aktivitas bermain game online dengan dorongan emosional