• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sektor Unggulan

Perencanaan pembangunan wilayah dari sudut pandang aspek ekonomi adalah penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam mencapai target pertumbuhan yang selanjutnya diikuti oleh kegiatan investasi pembangunan baik investasi pemerintah maupun swasta. Berbagai keterbatasan sumber daya dan sumber pendanaan yang dimiliki oleh suatu daerah menuntut kejelian pemerintah daerah untuk menentukan suatu skala prioritas pembangunan. Tidak mungkin bagi suatu daerah untuk membiayai semua sektor secara bersama-sama karena keterbatasan sumber pendanaan. Untuk itu perlu ditetapkan suatu sektor unggulan (leading sector) dimana sektor ini diharapkan dapat menggerakkan sektor-sektor lainnya.

Dalam analisis input output menurut Arief (1993), kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan sektor unggulan (leading sector) adalah sektor-sektor yang :

a. mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan keterkaitan ke depan (forward linkage) yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya

b. menghasilkan output bruto yang relatif tinggi sehingga mampu mempertahankan permintaan akhir yang relatif tinggi pula

c. mampu menghasilkan penerimaan devisa yang relatif tinggi d. mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang relatif tinggi

Selanjutnya Amir dan Nazara (2005), menyatakan juga bahwa sektor-sektor dengan angka pengganda output (output multiplier) yang besar mempunyai potensi menjadi sektor unggulan dalam pembangunan perekonomian daerah. Menurut Rustiadi et al. (2004), bahwa syarat suatu sektor layak dijadikan sebagai unggulan di dalam perekonomian daerah ialah memiliki kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pencapaian tujuan pembangunan perekonomian daerah serta mempunyai keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya baik ke depan dan ke belakang yang besar.

Di sisi lain, menurut Saefulhakim (2004a), skala prioritas di dalam pembangunan diperlukan atas pemahaman bahwa: (a) setiap sektor mempunyai sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional); (b) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (c) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumber daya alam, buatan, dan sosial yang ada.

Penentuan peranan sektor-sektor pembangunan dalam konsep pengembangan wilayah diharapkan dapat mewujudkan keserasian antarsektor pembangunan sehingga dapat meminimalisasikan inkompatibilitas antarsektor dalam pemanfaatan ruang, mewujudkan keterkaitan antarsektor baik ke depan maupun ke belakang, dan proses pembangunan yang berjalan secara bertahap ke arah yang lebih maju serta menghindari kebocoran dan kemubaziran sumber daya (Anwar dan Hadi 1996).

Untuk mengetahui prioritas pembangunan sektoral yang mengarah pada sektor unggulan, maka perlu diketahui dampak antarsektor dalam perekonomian. Dampak keterkaitan antarsektor akan memberikan gambaran yang jelas mengenai sektor-sektor yang mempunyai peranan besar, baik bagi sektornya sendiri maupun sektor lainnya (Miyarto et al. 1993). Dengan demikian kebijakan yang berkaitan dengan perencanaan perekonomian wilayah akan lebih diprioritaskan pada sektor tersebut.

Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Berbasis Sektor Unggulan

Perencanaan telah didefinisikan secara berbeda-beda, namun dalam pengertian yang sederhana, perencanaan adalah suatu cara rasional untuk mempersiapkan masa depan (Kelly dan Becker 2000) dalam Rustiadi et al.

(2004). Sedangkan Kay dan Alder (1999), menyatakan bahwa perencanaan adalah suatu proses menentukan apa yang ingin dicapai di masa yang akan datang serta menetapkan tahapan-tahapan yang dibutuhkan untuk mencapainya. Dari berbagai pendapat dan definisi yang dikembangkan mengenai perencanaan secara umum

12

hampir selalu terdapat dua unsur penting, yakni (1) unsur hal yang ingin dicapai dan (2) unsur cara untuk mencapainya.

Pada tingkat daerah, regional, atau wilayah, khususnya pada perencanaan ekonomi regional, para pelaksana dan pengambil keputusan menghadapi tantangan bagaimana caranya agar perekonomian wilayah tersebut dapat mencapai keadaan yang lebih baik di masa mendatang dibandingkan dengan keadaan sekarang. Pada daerah yang belum berkembang, Hirschman dalam Todaro (1989), mengemukakan bahwa pembangunan tak seimbang adalah pola pembangunan yang lebih cocok untuk mempercepat proses pembangunan daerah. Alasan yang mendasari pembangunan tidak seimbang adalah :

1. secara historis pembangunan ekonomi yang terjadi coraknya tidak seimbang 2. untuk mempertinggi efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia

3. pembangunan tidak seimbang akan menimbulkan kemacetan (bottlenecks)

atau gangguan-gangguan dalam proses pembangunan tetapi akan menjadi pendorong bagi pembangunan selanjutnya.

Lebih lanjut Hirschman mengatakan bahwa proses pembangunan yang terjadi antara dua periode waktu tertentu akan tampak bahwa berbagai sektor kegiatan ekonomi mengalami perkembangan dengan laju berbeda, yang berarti pula pembangunan berjalan dengan tidak seimbang. Perkembangan sektor pemimpin (leading sector) akan merangsang perkembangan sektor lainnya. Pembangunan tidak seimbang ini juga dianggap lebih sesuai untuk dilaksanakan di negara atau daerah berkembang karena daerah-daerah tersebut juga menghadapi masalah kekurangan sumber daya.

Pengembangan wilayah merupakan berbagai upaya untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan, dan ketimpangan kesejahteraan antarwilayah. Konsep pengembangan wilayah setidaknya didasarkan pada prinsip (1) berbasis sektor unggulan, (2) dilakukan atas dasar karakteristik daerah, (3) dilakukan secara komprehensif dan terpadu, (4) mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang, dan (5) dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi (Herry 2004). Sedangkan Nelson dalam Sutriadi (2002), menyatakan bahwa pengembangan wilayah adalah langkah atau tindakan yang dapat mengubah

produktivitas daerah melalui penduduk, tenaga kerja, tingkat pendapatan, dan nilai tambah yang diperoleh melalui industri. Perubahan tersebut juga akan terjadi pada pengembangan dari aspek sosial seperti peningkatan kualitas prasarana dan sarana publik, kesejahteraan, dan kualitas lingkungan.

Selanjutnya Sutriadi menyatakan bahwa dalam prakteknya teori pengembangan wilayah telah melalui beberapa tahapan, diantaranya adalah

a. Teori Neo Klasik, Arthur Lewis berpendapat bahwa tingkat pendapatan suatu wilayah tidak akan berbeda jauh dibandingkan dengan wilayah lainnya mengingat aliran kapital akan selalu berpindah sesuai dengan mekanisme

demand dan supply.

b. Teori Economic Base, pada dasarnya aktivitas yang terdapat di dalam suatu wilayah terbagi menjadi dua, yaitu sektor basis (aktivitas ekonomi yang berorientasi ekspor) dan sektor non basis/servis (aktivitas ekonomi yang melayani sektor basis). Perkembangan wilayah akan sangat tergantung dari fungsi aktivitas basis yang dimilikinya.

c. Teori Pentahapan Wilayah, diperkenalkan oleh Rostow yang berpendapat bahwa perkembangan wilayah harus melalui lima fase, yaitu subsistensi, spesialisasi lokal, perdagangan antarwilayah, industrialisasi, dan spesialisasi industri tersier.

d. Teori Pertumbuhan Wilayah Tidak Seimbang (Imbalanced Growth), dikemukakan oleh Myrdal yang beranggapan bahwa terdapat dua proses yang bekerja bersama dalam pengembangan wilayah, yakni backwash effect (proses pengurasan sumber daya wilayah terbelakang oleh wilayah maju) dan spread effect (gaya yang ditimbulkan oleh wilayah yang maju untuk mendorong pengembangan wilayah belakang atau hinterland).

Secara simplistik, konsep pengembangan wilayah sendiri terbagi dua dan saling berseberangan, dominasi pertama menyatakan bahwa dalam mengembangkan suatu wilayah harus berawal dari penentuan kebijakan yang berasal dari pusat dengan anggapan bahwa pengembangan wilayah tidak dapat dilakukan secara serentak melainkan harus melalui beberapa sektor unggulan (leading sector) yang kemudian akan menjalar kepada sektor-sektor lainnya dan

14

perekonomian secara keseluruhan. Proses ini terjadi karena adanya keterkaitan ke depan (forward linkage) dan keterkaitan ke belakang (backward linkage).

Sedangkan konsep lainnya beranggapan bahwa pengembangan wilayah harus dimulai dari dalam ’wilayah’ itu sendiri (development from below) yang bertujuan untuk menciptakan wilayah otonomi melalui integrasi berbagai sektor yang terdapat di dalam wilayah tersebut.

Pada intinya, pengembangan wilayah bertujuan untuk (1) mendayagunakan sumber daya alam secara optimal melalui pengembangan ekonomi lokal, (2) mengurangi kesenjangan antarwilayah, (3) pembangunan berkelanjutan dengan tidak melakukan eksploitasi secara berlebihan, dan (4) mempertahankan atau meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi regional. Namun dalam mencapai tujuan ini, tidak semua tujuan dapat dicapai secara bersama-sama karena adanya keterbatasan-keterbatasan, oleh karena itu tujuan pengembangan wilayah hanya difokuskan pada satu tujuan tanpa mengabaikan tujuan yang lainnya.

Perencanaan dan Keuangan Daerah

Dalam era otonomi daerah, pemerintah daerah dituntut untuk mampu menciptakan sistem manajemen yamg mampu mendukung operasionalisasi pembangunan daerah. Salah satu aspek dari pemerintah daerah yang harus diatur dengan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah.

Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah juga didukung oleh peran kelembagaan. Kelembagaan mempunyai dua pengertian, yaitu kelembagaan sebagai suatu aturan main (rule of the game) dan kelembagaan sebagai suatu organisasi. Dalam pengertian ekonomi, kelembagaan sebagai organisasi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga-harga tetapi oleh mekanisme kewenangan administrasi.

Adanya perubahan institusi (otonomi daerah) akan berdampak terhadap keragaan sistem organisasi kelembagaan pada kegiatan sektor ekonomi secara keseluruhan. Kebijakan otonomi daerah secara langsung atau tidak langsung akan

berpengaruh dalam pelaksanaan pembangunan di daerah secara sektoral maupun regional.

Desentralisasi fiskal merupakan salah satu komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan fungsinya secara efektif dan diberikan kebebasan dalam pengambilan keputusan penyediaan pelayanan di sektor publik, maka pemerintah daerah harus didukung oleh dengan sumber-sumber keuangan yang memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan bukan pajak, pinjaman, maupun subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Desentralisasi di bidang administrasi antara lain berkenaan dengan transfer personal pegawai termasuk penggajiannya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa prinsip money follow function

belum berjalan dengan efektif karena pelimpahan personil pegawai pemerintah pusat ke pemerintah daerah diikuti oleh penggajian yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, sehingga keuangan pemerintah daerah menjadi berat dengan kewajiban membayar gaji pegawai negeri. Lebih lanjut Lewis (2001) dalam Landiyanto (2005), menyatakan bahwa hal ini terjadi karena Dana Alokasi Umum (DAU ) yang menjadi sumber penerimaan terbesar dalam pendapatan daerah pada umumnya sebagian besar digunakan untuk membiayai pengeluaran rutin sehingga anggaran pembangunan menjadi kecil.

Menurut Riyadi dan Bratakusumah (2004), sistem perencanaan pembangunan di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi empat tahap perencanaan pembangunan, dimana satu dengan yang lainnya saling terkait. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

1. Tahap perencanaan kebijakan pembangunan, perencanaan yang disusun lebih bersifat politis dengan mengemukakan berbagai kebijakan umum pembangunan sebagai suatu produk kebijakan nasional.

2. Tahap perencanaan program pembangunan, perencanaan pembangunan yang sudah disusun lebih khusus dan mencerminkan langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk program-program pemerintah,

16

3. Tahap perencanaan strategis pembangunan, perencanaan pembangunan lebih terfokus pada sektor-sektor pembangunan yang akan diimplementasikan oleh instansi-instansi teknis

4. Tahap perencanaan operasional pembangunan, perencanaan pembangunan sudah lebih teknis dan operasional sampai pada tahapan detail pelaksanaannya. Tahapan ini sudah dipolakan dalam bentuk tahunan.

Perkembangan otonomi daerah bukan berarti harus memisahkan antara konsep-konsep pembangunan daerah dengan pusat melainkan tetap harus berjalan seiring dan harmonis. Perbedaannya adalah, dengan berlakunya otonomi daerah, pembangunan yang dulunya cenderung lebih sentralistik dan menempatkan daerah sebagai bawahan pusat telah berubah dengan lebih menempatkan daerah sebagai partner dari pemerintah pusat dalam melaksanakan pembangunan untuk mencapai tujuan nasional.

Sebelum UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional berlaku, perencanaan pembangunan selama ini mengacu kepada GBHN yang ditetapkan oleh MPR dan dilaksanakan oleh presiden selaku mandataris. Bagi daerah perencanaan yang akan dilaksanakan tersebut dijabarkan lebih lanjut di dalam Pola Dasar (POLDAS) yang mengacu kepada GBHN yang telah ditetapkan. Selanjutnya POLDAS akan dirinci lebih lanjut di dalam Propeda yang mempunyai dimensi waktu lima tahun dan Renstra yang berlaku selama 1 tahun. Pelaksanaaan operasional lebih lanjut dirinci di dalam APBD yang ditetapkan tiap-tiap tahun oleh gubernur/bupati/walikota atas persetujuan DPRD provinsi/kabupaten/kota.

Berubahnya sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya adalah pemilihan presiden secara langsung, membawa konsekuensi tidak adanya lagi mandaris MPR sehingga secara otomatis GBHN juga tidak ada lagi. Program yang akan dilaksanakan oleh presiden terpilih adalah visi, misi, dan strategi yang disampaikan pada saat kampanye pemilihan umum. Namun, hal ini bukan berarti sistem perencanaan pembangunan secara nasional tidak diperlukan lagi. Untuk menjaga kesinambungan perencanaan pembangunan nasional maka ditetapkan UU No 25/2004.

UUD 1945 POLDAS POLDAS GBHN PUSAT KABUPATEN/KOTA PROPINSI PROPENAS PROPEDA PROPEDA RENSTRA DEPT/LEMBAGA REPETA / APBN RENSTRA (Daerah/Dinas) RENSTRA (Daerah/Dinas) APBD PROP. APBD Kab/ Kota Sumber : Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 3 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sebelum UU 25/2004.

RPJP NASIONAL RPJM NASIONAL Pedoman RKP RENSTRA KL RENJA KL Dijabarkan Pedoman Diacu Pedoman RJA-KL Pedoman RAPBN Pedoman RINCIAN APBN APBN RPJP DAERAH RPJM DAERAH Pedoman RKP DAERAH Dijabarkan RAPBD Pedoman APBD RENSTRA KL RENJA KL Pedoman Pedoman RJA-KL Pedoman RINCIAN APBN Diacu Diacu Diperhatikan P E M E RI NT AH PU SA T PE M E R IN T AH DA E R A H Rencana Pembangunan Jangka Panjang 20 Tahun Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5 Tahun Rencana Pembangunan Tahunan 1 Tahun UU 25 TAHUN 2004 - SPPN UU 17 TAHUN 2004 - KN

Sumber : UU 17 Tahun 2004 dan 25 Tahun 2004.

Gambar 4 Bagan alir sistem perencanaan pembangunan sesuai UU 25/2004 dan mekanisme penyusunan APBD dan APBD sesuai UU 17/2004.

Dalam undang-undang ini, perencanaan pembangunan dibagi dalam tiga dimensi waktu, yaitu jangka panjang 25 tahun, jangka menengah 5 tahun, dan rencana pembangunan tahunan. Oleh karena itu, dalam penyampaian visi, misi, dan strategi pemilihan presiden berikutnya harus mengacu kepada perencanaan

18

pembangunan 25 tahun mendatang sehingga terjadi kesinambungan antarpimpinan. Hal ini juga berlaku di dalam pemilihan kepada daerah, karena Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJP Daerah) mengacu kepada RPJP Nasional.

Sumber Pendapatan Daerah

Bentuk dan hubungan keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah semenjak berlakunya otonomi daerah meliputi hubungan desentralisasi, dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan pinjaman daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi didanai melalui APBD, urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur/bupati /walikota dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi didanai melalui APBN, sedangkan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan didanai atas beban anggaran pemerintah yang menugaskan. Sumber-sumber pendanaan pemerintah daerah sesuai UU 33 Tahun 2004 terdiri atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah.

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah dalam menggali pendanaan dalam melaksanakan otonomi daerah sebagai perwujudan azas desentralisasi.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan daerah yang bersumber dari APBN. Terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam mendanai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan pemerintah antara pusat dan daerah. serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan pemerintah antardaerah.

Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber pembiayaan yang bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang bersumber dari pinjaman harus dikelola

secara benar agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi keuangan daerah sendiri serta stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional.

Pajak Daerah Retribusi Daerah Pengelolaan Daerah Yg

Dipisahkan Lain-Lain PAD Yang

Sah Da n a B a g i Ha s il D a na A lok a s i U m u m D a na A lok a s i K hu s us Pemerintah

Pemerintah Daerah Lain Lembaga Keuangan Bank

Lembaga Keuangan Bukan Bank Masyarakat H ib a h Ya n g Be ra s a l Da ri Pe m e ri n ta h a n As in g D a n a D a ru ra t Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Dana Perimbangan Pinjaman Daerah

Lain-Lain Pendapatan Daerah Yang Sah SUMBER SUMBER PENDANAAN DAERAH

PBB BPHTB PPh Psl 25, Psl 29, Psl 21 Kehutanan Pertambangan Umum Perikanan Pertambangan Minyak Bumi

Pertambangan Gas Bumi Pertambangan Panas Bumi

Digunakan Untuk Mendanai Kegiatan Khusus di Luar DAU

Sumber : Dimodifikasi dari Riyadi dan Bratakusumah D S (2004).

Gambar 5 Sumber-sumber pendanaan daerah.

Dari empat komponen sumber pendanaan bagi pemerintah daerah sebagaimana Gambar 5, sumber pendanaan yang berasal dari dana perimbangan masih merupakan komponen yang paling besar dibandingkan dengan sumber-sumber pendanaan yang lainnya. Hal ini bisa diartikan bahwa masih tingginya ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat di dalam memperoleh dana bagi pelaksanaan pembangunan.

Menurut Sidiq (2002), pola bagi hasil ini akan menimbulkan ketimpangan horizontal (horizontal imbalance) antardaerah penghasil dan non penghasil. Hal ini disebabkan hanya beberapa daerah di Indonesia yang memiliki potensi SDA dan pajak yang sangat signifikan. Sementara ini berkembang tuntutan dari daerah-daerah untuk mendapatkan bagi hasil dari penerimaan pusat lainnya di luar yang

20

sudah dibagihasilkan. Opsi yang berkembang menurut Sidiq (2002) adalah ’piggy backing’ atau opsen, yaitu penetapan tambahan atas pajak pusat yang besar tarif penetapan tambahannya ditentukan oleh pemerintah daerah sendiri.

Dana Bagi Hasil

Dana Perimbangan yang berasal dari Dana Bagi Hasil (DBH) bersumber dari penerimaan pajak dan sumber daya alam. Untuk mengurangi kesenjangan vertikal (vertical imbalance) antara pusat dan daerah dilakukan sistem bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak antara pusat dan daerah. Pola bagi hasil penerimaan ini dilakukan dengan persentase tertentu yang didasarkan atas daerah penghasil.

Tabel 1 Sumber dan besar dana bagi hasil

1 PBB Total Penerimaan 10% 16,2% 64,8% - 81% Upah Pungut 9 persen

Bagian pusat dikembalikan lg ke daerah 2 BPHTB Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80% Bagian pusat

dikembalikan lg ke daerah

3 PPh Psl. Total Penerimaan 80% 12% 8% - 20%

21, 25, 29 4 Kehutanan

-IHPH Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80%

-PSDH Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80%

-Reboisasi Total Penerimaan 60% - 40% - 40%

5 Pertambangan Umum

- Iuran Tetap Total Penerimaan 20% 16% 64% - 80%

- Royalti Total Penerimaan 20% 16% 32% 32% 80%

6 Perikanan Total Penerimaan 20% - 80% - 80% Dibagi merata kepada seluruh kab/kota 7 Pertambangan Minyak Penerimaan dlm 85% 3% 6% 6% 15%

Bumi wilayah setelah dikurangi pajak

8 Pertambangan Gas Penerimaan dlm 70% 6% 12% 12% 30% Bumi wilayah setelah

dikurangi pajak

9 Pertambangan Panas 20% 16% 32% 32% 80%

Bumi

No Jenis Dasar Bagi Hasil Pusat Jumlah Keterangan

Daerah Daerah Bukan Penghasil Kabupaten/Kota Penghasil Propinsi

Sumber : UU No. 33 Tahun 2004.

Dana Alokasi Umum

Tujuan dari Dana Alokasi Umum adalah untuk mengurangi ketimpangan dalam kebutuhan pembiayaan dan penguasaan pajak antara Pusat dan Daerah .

Jumlah total DAU dialokasikan sebesar minimal 26 persen dari pendapatan dalam negeri netto yang telah ditetapkan dalam APBN (Pasal 27 UU 33/2004). Dengan dana perimbangan ini, diharapkan akan memberikan kepastian bagi pemerintah daerah dalam memperoleh sumber-sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran yang menjadi tanggung jawabnya.

Kebutuhan DAU oleh suatu daerah ditentukan dengan menggunakan pendekatan fiscal gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan oleh kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Berdasarkan konsep fiscal gap ini, distribusi DAU kepada daerah-daerah yang memiliki kemampuan relatif lebih besar akan lebih kecil dan sebaliknya daerah-daerah yang mempunyai kemampuan keuangan relatif kecil akan memperoleh DAU yang besar.

Dana Alokasi Khusus

Dana Alokasi Khusus adalah dana yang disediakan di dalam APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan khusus. Sesuai dengan UU Nomor 25 Tahun 1999 jo PP Nomor 104 Tahun 2000, DAK dialokasikan kepada daerah untuk memenuhi kebutuhan khusus dengan memperhatikan ketersediaan dana dari APBN. Kriteria kebutuhan khusus tersebut meliputi, pertama, kebutuhan yang tidak dapat diperhitungkan dengan menggunakan rumus alokasi umum, kedua, kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional, dan ketiga, kebutuhan untuk membiayai kegiatan reboisasi dan penghijauan oleh daerah penghasil. Berdasarkan kriteria kebutuhan khusus tersebut, DAK dibedakan atas DAK dana reboisasi (DAK DR) dan DAK non-dana reboisasi (DAK Non-DR).

Halim (2001) dalam Landiyanto (2005), mengemukakan bahwa ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah: (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola, dan menggunakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, dan (2) ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu PAD harus

22

menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah

Kedua ciri tersebut akan mempengaruhi pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Secara konseptual, pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.

Musgrave (1984), menyatakan dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapat digunakan derajat desentralisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain (1) perbandingan PAD terhadap total penerimaan daerah ⎟

⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ TPD PAD , (2) perbandingan antara bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total penerimaan

daerah ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ TPD BHPBP

, dan (3) perbandingan antara sumbangan pemerintah pusat

terhadap total penerimaan daerah ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ TPD Sum .

Selain itu, dalam melihat kinerja keuangan daerah, dapat menggunakan derajat kemandirian daerah untuk mengukur seberapa jauh penerimaan yang berasal dari daerah dalam memenuhi kebutuhan daerah, menurut Halim (2001), dilakukan dengan melakukan penghitungan terhadap: (1) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap total pengeluaran daerah, (2) perbandingan antara penerimaan asli daerah terhadap pengeluaran rutin, (3) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap total pengeluaran pemerintah, serta (4) perbandingan antara penerimaan asli daerah ditambah dengan bagi hasil pajak dan bukan pajak terhadap pengeluaran rutin daerah.

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan

Dokumen terkait