• Tidak ada hasil yang ditemukan

Serat Musarar Joyoboyo

Dalam dokumen Menuju Nusantara Jaya (Halaman 30-35)

Di dalam uraian ini saya akan mengawali dengan menandai suatu masa atau periode dalam Sinom bait 18 yang berbunyi :

”Dene jejuluke nata, Lung gadung rara nglingkasi, Nuli salin gajah meta, Semune tengu lelaki, Sewidak warsa nuli, Ana dhawuh-ing bebendu, Kelem negaranira, Kuwur tatandhawuh-ing negari, Duk semana pametune wong ing ndesa.”

Ø ”Nama rajanya Lung gadung rara nglikasi kemudian berganti gajah meta semune tengu lelaki. Enam puluh tahun menerima kutukan sehingga tenggelam negaranya dan hukum tidak karu-karuan. Waktu itu pajaknya rakyat adalah..”

Lung gadung rara nglikasi memiliki makna yaitu pemimpin yang penuh inisiatif (cerdas) namun memiliki kelemahan sering ter-goda wanita. Perlambang ini menunjuk kepada presiden pertama RI, Soekarno. Sedangkan Gajah meta semune tengu lelaki bermakna

Ingat, usia kemerdekaan NKRI di tahun 2007 saat ini adalah 62 tahun.

Dalam bait 20 dikatakan :

”Bojode ingkang negara, Narendra pisah lan abdi, Prabupati so-wang-sowang, Samana ngalih nagari, Jaman Kutila genti, Kara murka ratunipun, Semana linambangan, Dene Maolana Ngali, Panji loro semune Pajang Mataram.”

Ø ”Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti jaman Kutila. Rajanya Kara Murka. Lambangnya Panji loro semune

Pajang Mataram.”

Bait ini menggambarkan situasi negara yang kacau. Pemimpin jauh dari rakyat, dan dimulainya era baru dengan apa yang dina-makan otonomi daerah sebagai implikasi bergulirnya reformasi (Jaman Kutila). Karakter pemimpinnya saling jegal untuk saling menjatuhkan (Raja Kara Murka). Perlambang Panji loro semune

Pajang – Mataram bermakna ada dua kekuatan pimpinan yang berseteru, yang satu dilambangkan dari trah Pajang (Joko Tingkir), dan yang lain dilambangkan dari trah Mataram (Pakubuwono). Hal ini menunjuk kepada era Gus Dur dan Megawati.

Lalu pada bait 21 tertulis :

”Nakoda melu wasesa, Kaduk bandha sugih wani, Sarjana sirep sadaya, Wong cilik kawelas asih, Mah omah bosah-basih, Katarajang marga agung, Panji loro dyan sirna, Nuli Rara ngangsu sami,

Randha loro nututi pijer tetukar.”

Ø ”Nakhoda ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (orang pandai) tidak berdaya. Rakyat kecil sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan be-sar. Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu,

randha loro nututi pijer tetukar.”

Situasi negara dalam bait ini digambarkan bahwa kekuatan asing memiliki pengaruh yang sangat besar. Orang pandai berpendi-dikan tinggi dilambangkan tidak berdaya (pinter keblinger). Kondisi rakyat kecil makin sengsara saja. Perlambang Rara ngangsu, randha

loro nututi pijer tetukar bermakna seorang pemimpin wanita yang selalu diintai oleh dua saudara wanitanya seolah ingin mengganti-kan. Perlambang ini menunjuk kepada Megawati, presiden RI ke-lima yang selalu dibayangi oleh Rahmawati dan Sukmawati.

Pada bait 22 dikatakan :

”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih, Lajen-gipun sinung lambang, Dene Maolana Ngali, Samsujen Sang-a Yogi, Tekane Sang Kala Bendu, Ing Semarang Tembayat, Poma den samya ngawruhi, Sasmitane lambang kang kocap punika.”

Ø ”Tan kober paes sarira, Sinjang kemben tan tinolih itu sebuah lambang yang menurut Seh Ngali Samsujen

tinolih bermakna pemimpin yang tidak sempat mengatur negara karena direpotkan dengan berbagai masalah. Ini menunjuk kepada presiden RI keenam saat ini yaitu Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan perlambang Semarang Tembayat merupakan tempat dimana tempat seseorang memahami dan mengetahui solusi dari apa yang terjadi. Semarang Tembayat merupakan tempat yang masih misteri dimana di dalam Surat Terbuka kepada SBY bapak Budi Marhaen menggambarkan sbb :

”Jawaban dan solusi guna mengatasi carut marut keadaan bangsa ini ada di ”Semarang Tembayat” yang telah diungkapkan oleh Prabu Joyoboyo. Guna membantu memecahkan misteri ini dapatlah saya pandu sebagai berikut :

1. Sunan Tembayat adalah Bupati pertama Semarang. Se-dangkan tempat yang dimaksud adalah lokasi dimana Kanjeng Sunan Kalijaga memerintahkan kepada Sunan Tembayat untuk pergi ke Gunung Jabalkat (Klaten). Se-cara potret spiritual, lokasi itu dinamakan daerah “Ringin Telu” (Beringin Tiga), berada di daerah pinggiran Sema-rang.

2. Semarang Tembayat juga bermakna Semarang di balik Semarang. Maksudnya adalah di balik lahir (nyata), ada batin (gaib). Kerajaan gaib penguasa Semarang adalah “Barat Katiga”. Insya Allah lokasinya adalah di daerah “Ringin Telu” itu.

3. Semarang Tembayat dapat diartikan : SEMARANG TEMpatnya BArat DaYA Tepi. Dapat diartikan lokasinya adalah di Semarang pinggiran arah Barat Daya.”

Kemudian pada bait 27 berbunyi :

“Dene besuk nuli ana, Tekane kang Tunjung putih, semune

Pudhak kasungsang, Bumi Mekah dennya lair, Iku kang angratoni, Jagad kabeh ingkang mengku, Juluk Ratu Amisan, Sirep musibating bumi, Wong nakoda milu manjing ing samuwan,”

Ø ”Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune

Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.”

Perlambang Tunjung putih semune Pudak kasungsang memi-liki makna seorang pemimpin yang masih tersembunyi berhati suci dan bersih. Inilah seorang pemimpin yang dikenal banyak orang dengan nama “Satrio Piningit”. Lahir di bumi Mekah merupakan perlambang bahwa pemimpin tersebut adalah seorang Islam sejati yang memiliki tingkat ketauhidan yang sangat tinggi.

Sedangkan bait 28 tertulis :

“Prabu tusing waliyulah, Kadhatone pan kekalih, Ing Mekah in-gkang satunggal, Tanah Jawi kang sawiji, Prenahe iku kaki, Perak lan gunung Perahu, Sakulone tempuran, Balane samya jrih asih, Iya iku ratu rinenggeng sajagad.”

Bait ini menggambarkan bahwa pemimpin tersebut adalah ha-sil didikan atau tempaan seorang Waliyullah (Aulia) yang juga selalu tersembunyi. Berkedaton di Mekah dan Tanah Jawa merupakan perlambang yang bermakna bahwa pemimpin tersebut selain ber-Islam sejati namun juga berpegang teguh pada kawruh Jawa (ajar-an leluhur Jawa tent(ajar-ang laku utama). Sed(ajar-angk(ajar-an gunung Perahu seperti telah disinggung di atas adalah Lebak Cawéné. Kembali lagi, dimana tempatnya ? Kita telah membaca bait 22 di atas. Ya di Semarang Tembayat itulah tempatnya. Sedangkan tempuran adalah pertemuan dua sungai di muara yang biasanya digunakan untuk tempat bertirakat ”kungkum” bagi orang Jawa. Namun di sini tempuran bermakna ”watu gilang” sebagai tempat pertemuan alam fisik dan alam gaib. Dalam budaya spiritual Jawa keberadaan watu gilang sangat lekat dengan eksistensi seorang raja. Insya Allah.. Pemimpin tersebut akan mampu memimpin Nusantara ini dengan baik, adil dan membawa kepada kesejahteraan rakyat, serta menjadikan Nusantara sebagai ”barometer dunia” (istilah Bung Karno : ”Negara Mercusuar”).

Dalam dokumen Menuju Nusantara Jaya (Halaman 30-35)