• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.6 Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa dalam Asuransi Jiwa

2.6.2 Setelah Adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Berkaitan dengan pemilihan tempat penyelesaian sengketa terhadap nasabah asuransi jiwa yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lebih jelas dibandingkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Dapat dilihat dalam Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai lembaga penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Mengenai perlindungan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam hal penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 54 adalah:

(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.

31 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, “Hukum Tentang Perlindungan Konsumen”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001, h.97

(2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial.

(3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.

(4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para Pihak.

(5) Ketentuan Iebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan Otoritas Jasa keuangan tersebut mengatur sebagai berikut:

1. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa

(1) Pengaduan wajib dilakukan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa Keuangan.

(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian Pengaduan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan dapat melakukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau melalui pengadilan.

2. Dalam Pasal 4, menyatakan bahwa:

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang:

a. Mempunyai layanan penyelesaian sengketa paling kurang berupa: 1) Mediasi;

2) Ajudikasi; dan 3) Arbitrase.

b. Mempunyai peraturan meliputi: 1) Layanan penyelesaian sengketa; 2) Prosedur penyelesaian sengketa; 3) Biaya penyelesaian sengketa;

5) Ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi meditor, ajudikator, dan arbiter; dan

6) Kode etik bagi meditor, ajudikator, dan arbiter;

c. Menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan dan efisensi dan efektifitas dalam setiap peraturannya;

d. Mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan penyelesaian sengketa;

e. Didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization.

3. Dalam Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa keuangan yang dikoordinasi oleh masing-masing sektor jasa keuangan. 4. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :

Contoh pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.

Maka dapat disimpulkan dari penjelasan peraturan perundang-undangan diatas bahwa penyelesaian sengketa asuransi jiwa dapat dilakukan melalui pengadilan atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dikordinasi oleh Lembaga Jasa Keuangan yang bersangkutan.

Dari hasil wawancara dengan Bapak Wahyu Diono32, mengatakan bahwa BPSK masih berwenang karena di undang-undang perlindungan konsumen jelas membahas bahwa BPSK menanggani penyelesaian sengketa mengenai barang maupun jasa.

32

Oleh karena adanya dualisme kewenangan Penyelesaian Sengeka Alternatif maka sebaiknya digunakan asas lex specialis derogat legi generalis. Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex specialis derogat legi generalis, yaitu:33

1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

Selain menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis perlu juga dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan polis atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan, antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung ( Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

33

Letezia Tobing, Mengenai asas lex specialis derogat legi generalis, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt509fb7e13bd25/mengenai-asas-lex-specialis-derogat-legi-generalis diakses pada tanggal 10 Maret 2015

Dikarenakan polis asuransi merupakan suatu perjanjian maka berlaku asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.

Salah satu contoh polis asuransi jiwa sebelum adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dan peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah polis asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan nomor polis 4262243746 dan tertanggung bernama Theresia Angelica Vanesa serta mulai berlaku tanggal 12 Oktober 2010 (terlampir) menyatakan bahwa dalam pasal 12 mengenai penyelesaian masalah atau sengketa adalah sebagai berikut:34

Segala masalah atau sengketa yang timbul dari pertanggungan ini atau pelaksanaannya akan terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah. Apabila cara musyawarah tidak dapat menyelesaikan masalah atau sengketa

34

tersebut, penanggung dan/atau pemegang polis dapat melakukan upaya-upaya hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Upaya hukum mediasi dapat dilakukan sebelum para pihak memilih upaya hukum melalui pengadilan atau arbitrase. Upaya ini dapat diajukan kepada badan mediasi dibidang asuransi di Indonesia melalui BMAI (Badan Mediasi Asuransi Indonesia) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BMAI. Dalam hal upaya yang dilakukan melalui pengadilan maka akan dipilih Pengadilan Negeri pada domisili Pemegang Polis yang terdekat dengan domisili Penanggung. Dalam hal upaya hukum dilakukan melalui arbitrase, Penanggung dan/atau Pemegang Polis dapat mengajukan masalah atau sengketa tersebut kepada lembaga aribtrase berdasarkan aturan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), san sepenuhnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan arbitrase.

Dari polis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan penyelesaian sengketa alternatif antara tertanggung (Theresia Angelica Vanesa) dan Penanggung (PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia) adalah BMAI (Badan Medasi Asuransi Indonesia) dan BANI (badan Arbitase

Nasional Indonesia). Tetapi dalam polis tersebut terdapat kata “upaya ini dapat dilakukan...” arti kata dapat menyebabkan keterbukaan norma yaitu

membuka peluang atau tidak wajib untuk melakukan penyelesaian sengketa alternatif melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia.

Selain contoh tersebut, terdapat contoh polis asuransi jiwa sesudah adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dan

peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah Polis Asuransi Jiwa dari PT. Axa Mandiri Finacial Service35 yang dikeluarkan pada tanggal 20 Februari 2015 yang menyatakan bahwa dalam pasal 18 mengenai penyelesaian perselisihan adalah sebagai berikut:

1. Apabila terjadi sengketa, kontroversi, atau perselisihan amtara Penanggung, dengan Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan

dengan Polis ini (untuk selanjutnya disebut “perselisihan”), akan

diselesaikan secara musyawarah. Apabila Perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah pemberitahuan tertulis oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya, maka Penanggung atau Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan dengan polis ini dapat memilih cara penyelesaian Perselisihan dengan melalui Lembaga alternatif penyelesaian sengketa Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Arbitrase, atau Pengadilan Negeri.

2. Bila maksud untuk menyelesaikan perselisihan tidak diberitahukan, atau tidak disetujui, maka penyelesaian perselisihan akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili Penanggung di wilayah hukum Republik Indonesia dengan tidak mengesampingkan hak pemegang polis atau pihak yang berkepentingan atas polis ini untuk menyampaikan perselisihan yang timbul ke Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi atas domisili Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan atas Polis ini di wilayah hukum Republik Indonesia.

3. Arbitrase

Bila Penanggung atau Pemegang Polis memilih penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan sebagai berikut:

3.1. Segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini akan diselesaikan secara Arbitrase yang akan dilakukan oleh 3(tiga) orang Arbiter, yang mana penyelesaiannya akan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia. 3.2. 3(tiga) orang arbiter tersebut ditunjuk berdasarkan Undang-Undang

Arbitrase yang berlaku mengenai penunjukan Arbitrator.

3.3. Proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase harus sesuai dengan hak dari masing-masing pihak untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan, hak

35

mendatangkan atau menghadirkan saksi-saksi termasuk saksi ahli dan hak untuk mengadakan petisi baik lisan maupun tertulis. 3.4. Majelis arbitrase memiliki wewenang untuk memberikan

keputusan baik secara sementara, memerintah atau menerima atau keputusan lainnya berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Arbitrase.

3.5. Majelis arbitrase akan memutuskan jadwal proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dan memiliki wewenang untuk mengubah jadwal tersebut setiap saat dengan segala pertimbangan yang dapat diterima.

3.6. Peraturan arbitase yang merupakan mandat dari majelis arbitrase sepenuhnya diwakili semua bagian yang tercantum dalam polis dan berlaku terus sampai dengan keputusan arbitrase yang diputuskan oleh majelis arbitrase tercapai.

3.7. Semua keputusan arbitrase yang dibuat dan diputuskan oleh Majelis arbitrase adalah mutlak, terikat dan tidak dapat diganggu gugat dan dapat digunakan dasar proses pengadilan di wilayah hukum Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang Arbitrase.

3.8. Majelis arbitrase tidak dapat mengubah isi polis ini.

3.9. Semua biaya yang timbul dari proses Arbitrase (termasuk dan tanpa batasan atas biaya-biaya yang timbul atas penunjukan 3(tiga) majelis aribtrase) akan dibayarkan sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Arbitrase.

3.10. Para pihak dengan ini menyatakn bahwa dalam membuat keputusannya, majelis arbitrase terikat pada hukum yang berlaku dan tidak berhak menyerahkan keputusannya dengan cara ex aequo et bono.

3.11. Para pihak setuju bahwa Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase akan diberlakukan dan karenanya peraturan yang tercantum dalam pasal 18 ayat 3 menghilangkan hak dari semua pihak untuk melakukan penyelesaian perselisihan atas polis ini ke Pengadilan Negeri setempat, kecuali untuk menguatkan hasil keputusan arbitrase sesuai dengan pasal 18 ayat 3 atau jika tidak berdasarkan pada Undang-Undang Arbitrase.

3.12. Selama jangka waktu pengajuan petisi sampai dengan arbitrase dan seterusnya sampai dengan keputusan arbitrase, para pihak harus, kecuali dalam hal polis jatuh tempo, melaksanakan dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Polis tanpa melihat pada hasil akhir yang akan dicapai dalam proses arbitrase.

4. Mediasi

Bila Penanggung dan Tertanggung memilih penyelesaian melalui mediasi, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan sebagai berikut:

4.1. Segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini, akan diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi

Indonesia (BMAI) yang mana penyelesaiannya akan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

4.2. Sengketa yang dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI adalah dengan ketentuan sebagai berikut:

(i) Jumlah tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

(ii) Jawaban penolakan final.

(iii)Sengketa yang tidak melebihi masa jangka waktu 6 (enam) bulan sejak penanggung memberikan sengketa yang tidak pernah atau tidak sedang disidangkan di pengadilan serta tidak sedang dalam proses investigasi oleh pihak yang berwajib.

5. Ketentuan yang tercsntum dalam pasal 18 ini akan tetap berlaku meskipun polis ini diakhiri dan/atau berakhir.

Berdasarkan isi polis tersebut bahwa yang berwenang dalam menyelesaikan sengeketa melalui penyelesaian sengketa alternatif adalah BMAI dan Arbitrase melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dapat dilihat

dari kalimat yang berbunyi “para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan... segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini, akan

diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)...” maka dalam

kalimat ini mengikat para pihak untuk tunduk dan wajib menyelesaikan sengketa sesuai dengan ketentuan tersebut

Oleh karena itu, terdapat perbedaan yang sangat jelas antara polis PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (sebelum adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014) dengan polis PT. Axa Mandiri Finacial Service (sesudah adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014) bahwa sebelum adanya adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dalam polis masih membuka norma atau peluang dalam penyelesaian sengketa

alternatif tetapi sesudah adanya adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dalam polis tidak membuka norma atau peluang dalam penyelesaian sengketa alternatif.

Maka dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis maka Badan Penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memiliki wewenangnya karena asuransi memiliki peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur secara khusus yaitu Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Juncto Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Selain itu, dapat dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan suatu perjanjian maka berlaku asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang.

Dokumen terkait