• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA 2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen - DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA Repository - UNAIR REPOSITORY

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA 2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen - DUALISME PENYELESAIAN SENGKETA ALTERNATIF DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA Repository - UNAIR REPOSITORY"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEWENANGAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM SENGKETA ASURANSI JIWA

2.1 Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen) secara tegas dinyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Sehingga Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha yaitu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (selanjutnya disebut BPSK).

Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa BPSK adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Selain itu, BPSK sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif diluar pengadilan yang diberi kewenangan yudikatif untuk menyelesaikan sengketa konsumen secara cepat, mudah, dan murah.7 BPSK memiliki fungsi sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dan lembaga ini dibentuk di kabupaten atau kota serta berfungsi untuk menegakkan hak-hak konsumen. Dalam menjalankan fungsinya berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, BPSK memiliki tugas dan wewenang meliputi:

(2)

a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;

b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen;

c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klasula baku;

d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran kententuan dalam undang-undang ini;

e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

f. Melakukan penelitian dan pemerikasaan sengketa perlindungan konsumen; g. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran

terhadap undang-undang perlindungan konsumen;

h. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;

i. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli atau setiap orang yang sebagaimana dimaksud para huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;

j. Mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pmeriksaan;

k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;

l. Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;

m.Menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini, berupa penetapan ganti rugi yang besarnya hingga Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(3)

Konsumen. Oleh karena itu yang menjadi dasar Kewenangan BPSK dalam menyelesaiakan sengketa karena adanya kesepakatan dari para pihak sesuai dalam perjanjian atau polis asuransi jiwa.

Penyelesaian sengketa konsumen ini bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak pasif sebagai konsiliator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh majelis yang bertindak aktif sebagai mediator. Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara arbitrasi dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh majelis yang bertindak sebagai arbiter.

2.2 Hubungan Antara Konsumen dengan Tertanggung dan Pelaku Usaha dengan Penanggung Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

Dilihat dari tugas dan wewenang BPSK maka perlu ditinjau pula mengenai hubungan antara konsumen dan pelaku usaha dengan tertanggung dan penanggung. Pengertian Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindugan Konsumen adalah: “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup

lain dan tidak untuk diperdagangkan.” Berdasarkan pengertian konsumen tersebut terdapat unsur-unsur sebagai berikut:8

a. Setiap orang

8

(4)

Istilah “orang” sebetulnya menimbulkan keraguan, apakah hanya orang individual yang lazim disebut natuurlijke persoon atau termasuk juga badan hukum (rechtspersoon). Hal ini berbeda dengan pengertian yang diberikan

untuk “Pelaku usaha” dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang secara eksplisit membedakan kedua pengertian persoon di atas, dengan menyebutkan kata-kata: “orang perseorangan atau badan usaha”. Tentu yang paling tepat tidak membatasi pengertian kosumen itu sebatas pada orang perseorangan. Namun, konsumen harus mencakup juga badan usaha dengan makna lebih luas daripada badan hukum. Selain itu dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen United Kingdom (UK) Tahun 1987 menyatakan: In s.20(6) of the Consumer Protection Act 1987, which states:9

„consumer‟

(a) in relation to any goods, means any person who might wish to be supplied

with the goods for his own private use or consumption;

(b) in relation to any services or facilities, means any person who might wish

to be provided with the services or facilities otherwise than for the

purposes of any business of his; and

(c) in relation to any accommodation, means any person who might wish to

occupy the accommodation otherwise than for the purposes of any business

of his

(5)

Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen UK Tahun 1987, konsumen diartikan sebagai penggunaan secara pribadi atau penggunaan untuk bisnis yang berkaitan dengan barang, fasilitas, layanan, dan akomodasi.

b. Pemakai

Sesuai dengan Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan

Konsumen, kata “pemakai” menekankan, konsumen adalah konsumen akhir

(ultimate consumer). Istilah “pemakai” dalam hal ini tepat digunakan dalam rumusan ketentuan tersebut, sekaligus menunjukan, barang dan /atau jasa yang dipakai tidak serta-merta hasil dari transaksi jual beli. Artinya, sebagai konsumen tidak selalu harus memberikan prestasinya dengan cara membayar uang untuk memperoleh barang dan/atau jasa itu. Dengan kata lain, dasar hubungan hukum antara konsumen dan pelaku usaha tidak perlu harus kontraktual (the privity of contract).

c. Barang dan/atau jasa

Berkaitan dengan istilah barang dan/atau jasa, sebagai pengganti terminologi tersebut digunakan kata produk. Dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengartikan barang sebagai setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak menjelaskan perbedaan istilah-istilah “dipakai,

(6)

Sementara itu, jasa diartikan setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.

Pengertian “disediakan bagi masyarakat” menunjukkan, jasa itu harus ditawarkan kepada masyarakat. Artinya, harus lebih dari satu orang.

d. Yang tersedia dalam masyarakat

Barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat sudah harus tersedia dipasaran. Dalam perdagangan yang makin kompleks dewasa ini, syarat itu tidak mutlak lagi dituntut oleh masyarakat konsumen. Bahkan untuk jenis-jenis transaksi konsumen tertentu, seperti futures trading, keberadaan barang yang diperjualbelikan bukan sesuatu yang diutamakan.

e. Baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain

Unsur yang diletakkan dalam definisi itu mencoba untuk memperluas pengertian kepentingan. Kepentingan ini tidak sekedar ditujukan untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga barang dan/atau jasa itu diperuntukan bagi orang lain (diluar diri sendiri dan keluarganya), bahkan untuk makhluk hidup lain, seperti hewan dan tumbuhan. Dari sisi teori kepentingan, setiap tindakan manusia adalah bagian dari kepentingannya. Oleh sebab itu, penguraian unsur itu tidak menambah makna apa-apa karena pada dasarnya tindakan memakai suatu barang dan/atau jasa (terlepas ditujukan untuk siapa dan makhluk hidup lain), juga tidak terlepas dari kepentingan pribadi.

(7)

Pengertian konsumen dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen ini dipertegas, yakni hanya konsumen akhir. Batasan ini sudah biasa dipakai dalam peraturan perlindungan konsumen di berbagai negara. Secara teoritis hal demikian terasa cukup baik untuk mempersempit ruang lingkup pengertian konsumen, walaupun kenyataannya, sulit menetapkan batas-batas seperti itu. Selain itu, dalam Pasal 1 angka 11 Peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Disektor Jasa Keuangan, konsumen adalah pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di Lembaga Jasa Keuangan antara lain nasabah pada perbankan, pemodal di pasar modal, pemegang polis pada perasuransian, dan peserta pada dana pensiun, berdasarkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Dalam Black‟s Law Dictionary mendefinisikan konsumen sebagai

berikut: “A person who buys goods or service for personal, family, or house-hold

use, with no intention or resale; a natural person who use products for personal

rather than business purpose”.10

Selain itu, dalam Business English Dictionary menyebutkan consumer adalah person or company which buys and uses goods and service.11 Sedangkan menurut Inosentius Samsul menyebutkan konsumen adalah penguna atau pemakai akhir suatu produk, baik sebagai pembeli maupun diperoleh melalui cara lain, seperti pemberian, hadiah, dan undangan.12

10Bryan A. Garner,”Black‟s Law Dictionary”,

St. Paul, Minnesota: West Publishing, 2004, Eight Edition, h.335.

11

(8)

Pengertian pelaku usaha menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 adalah Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Dalam penjelasan pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang termasuk dalam pelaku usaha adalah perusahaan, korporasi, BUMN, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain.

(9)

2.3 Perjanjian Asuransi Jiwa

Dalam KUHDagang mengatur mengenai asuransi jiwa, pengaturannya hanya terdiri dari tujuh (7) pasal yaitu Pasal 302 sampai Pasal 308. Dalam Pasal 302 merupakan dasar asuransi jiwa, yang menyatakan “jika seseorang dapat guna keperluan seseorang yang berkepentingan, dipertanggungkan, baik untuk selama

hidupnya jiwa itu, baik untuk suatu waktu yang ditetapkan dalam perjanjian.”

Selain itu, berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Pererasuransian, bahwa usaha asuransi jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan resiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

Berdasarkan pasal 1 sub a dari “Ordonantie op het levens verzekering

bedrijf” memberikan pengertian asuransi jiwa sebagai berikut:13 “Persetujuan

untuk mengadakan pembayaran sejumlah uang dengan menerima premi dan yang ada hubungannya dengan hidup atau matinya seseorang manusia”. Selain berdasarkan pengertian formiil yang terdapat di dalam undang-undang, ada juga pendapat ahli hukum megenai pengertian asuransi jiwa. Menurut Santoso Pudjisoebroto yang ditulis dalam disertasinya bahwa pertanggungan jiwa ialah

“Suatu perjanjian dimana penanggung sengan menerima suatu premi mengikat

(10)

dirinya terhadap tertanggung, untuk memberi suatu pembayaran kepada tertanggung atau tertunjuk, manakala terjadi suatu peristiwa yang tidak pasti yang harus ada hubungannya dengan meninggalnya tertanggung tadi”.14

Dan menurut H.M.N. Purwosutjipto bahwa Asuransi jiwa dapat diartikan sebagai

“pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik antara penutup (pengambil)

asuransi dengan penanggung dengan mana penutup asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung sebagai akibat langsung dari meninggalnya orang yang jiwanya dipertanggungkan atau telah lampaunya suatu jangka waktu yang diperjanjikan mengikat diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang

yang ditunjuk untuk penutup asuransi sebagai penikmatnya.”15

Sedangkan menurut Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), asuransi jiwa adalah program perlindungan dalam bentuk pengalihan resiko ekonomis atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan Jika dianalogikan, asuransi jiwa sering diandaikan sebagai payung di rumah anda, pelampung di kapal atau pesawat udara. Sangat dibutuhkan karena berguna pada saat tertentu tetapi seringkali tidak terpikirkan ketika keadaan aman.16

Perjanjian asuransi/pertanggungan jiwa pada asasnya dapat terjadi atas dasar adanya kata sepakat para pihak.17

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perjanjian asuransi jiwa maka perlu diketahui pula mengenai perjanjian secara

14

Santoso Poedjosoebroto, Beberapa Aspekta Hukum Pertanggungan Jiwa di Indonesia, Jakarta: Bharata, 1929, hlm.14 (dalam buku Sri Redjeki Hartono, yang berjudul Asuransi dan Hukum Asuransi di

Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Pusat Informasi(apa yang dimaksud asuransi jiwa?) http://www.aaji.or.id/infocenter/Faq.aspx yang diakses pada tanggal 9 Juli 2015

17

(11)

umum. Mengenai syarat sah perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa terdapat empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu:

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya

Kesepakatan mengandung pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk menutup suatu perjanjian atau pernyataan pihak yang lain.18 Pernyataan Kehendak tidak selalu harus dinyatakan secara tegas namun dapat dengan tingkah laku atau hal-hal lain yang mengungkapkan pernyataan kehendak para pihak.19

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan

Kecakapan merupakan kemampuan yang menurut hukum untuk membuat suatu perbuatan (perikatan atau perjanjian). Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar, berikut ini:20

a) Person (pribadi), diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig); dan Usia kedewasaan menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 330 KUHPerdata adalah menggunakan standar usia 21 tahun atau telah menikah walaupun sebelum genap berusia 21 tahun. Khusus yang bercerai sebelum umur 21 tahun tetap dianggap cakap hukum. Walaupun standar kedewasaan berusia 21 tahun atau telah menikah, tetapi tidak semua yang mencapai usia 21 tahun dianggap cakap karena berada dibawah pengampuan.

18

J.H. Niewenhuis, Pokok-pokok Hukum Perikatan,(terjemahan Djasadin Saragih), Surabaya, 1985, Hlm. 56. (dalam buku .Agus Yudha Hernako yang berjudul Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial hlm. 162)

19

Agus Yudha Hernako, Hukum Perjanjian Asas Proposionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta:Kencana, 2011, hlm.162

20

(12)

b) Rechtpersoon (badan hukum), diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid).

Kewenangan yang dimaksud adalah kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya.

c. Suatu hal tertentu

Ketentuan untuk hal tertentu ini menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Mengenai hal dan objek tertentu ini dapat dilihat dalam Pasal 1332, 1333, dan 1334 KUHPerdata. Substansi pasal-pasal tersebut memberikan pedoman bahwa dalam berkontrak harus terpenuhi hal atau objek tertentu.21 Hal ini dimaksudkan agar sifat dan luasnya kewajiban para pihak (prestasi) dapat dilaksanakan oleh para pihak.22

d. Suatu sebab yang halal

Suatu sebab yang halal dapat dilihat dari substansi pasal 1335 dan pasal 1337 KUHPerdata, adapun sebab yang diperbolehkan maksudnya adalah bahwa apa yang hendak dicapai para pihak dalam perjanjian atau kontrak tersebut harus disertai itikad baik dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan.23

Sebagaimana halnya dengan perjanjian pada umumnya, perjanjian asuransi tunduk pada 4 (empat) asas penting bagi sahnya suatu perjanjian dalam KUHPerdata yaitu sebagai berikut:24

a. Asas kebebasan berkontrak

21

Agus Yudha Hernako, op.cit., hlm. 192 22

Ibid.

23 Ibid, hlm.193-199 24

(13)

Asas kebebasan berkontrak tercemin dari substansi Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kebebesan

berkontrak disini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun (tertulis, lisan, scriptless, paperless, autentik, nonautentik, sepihak/eenzijdig, adhesi, standar/baku, dan

lain-lain), serta dengan isi atau substansi sesuai yang diinginkan para pihak. b. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme sebagaimana terdapat dalam Pasal 1320 angka 1 jo 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa adanya kesepakatan, dimana menurut asas ini perjanjian ini telah lahir cukup dengan adanya kata sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian, maka sejak saat itu perjanjian telah sah dan mengikat serta berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. c. Asas daya mengikat / Asas pacta Sunt Servanda

Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang

menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang”.Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan

(14)

d. Asas itikad baik

Asas itikad baik didasarkan pada 1338 ayat (3) KUHPerdata, yang menetapkan bahwa persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik (contractus bonafidei). Maksudnya perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan

keadilan.

Sebagaimana yang dibahas diatas maka perjanjian asuransi jiwa yaitu berhubungan dengan kepentingan finansial dan bersifat perjanjian kemungkinan. Sebagaimana pada perjanjian asuransi/pertanggungan yang untuk sahnya perjanjian lain, disyaratkan adanya kata kesepakatan dari para pihak dan syarat itu tentu saja para pihak disini haruslah yang mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum sesuai dengan yang disyaratkan oleh Undang-undang.25

Oleh karena itu dapat disimpulkan perjanjian asuransi jiwa sama dengan perjanjian pada umumnya yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dalam pengertian perjanjian asuransi jiwa terdapat kata “polis”. Kata polis dalam perjanjian asuransi jiwa memiliki pengertian sebagai berikut:

a. Menurut Pasal 1 angka 1 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, “polis asuransi adalah polis atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi,

termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan,

antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung.”

25

(15)

b. Menurut AXA Indonesia, polis adalah Surat kontrak yang memuat perjanjian asuransi jiwa antara Pemegang Polis dan Penanggung.26

c. Pengertian Polis Asuransi Jiwa (Life Insurance Policy) menurut definisi dari LOMA (Life Office Management Association) adalah: “Polis Asuransi Jiwa (Life Insurance Policy) adalah polis di mana di dalam polis tersebut perusahaan asuransi berjanji untuk membayar manfaat atas kematian orang yang diasuransikan/tertanggung.”27

d. Menurut Asiosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Polis berisi kontrak antara perusahaan asuransi jiwa dan pemegang polis dimana perusahaan Asuransi Jiwa mempunyai kewajiban untuk memberikan sejumlah uang yang telah ditentukan kepada yang ditunjuk (biasanya ahli waris) jika terjadi kematian, atau tetap hidupnya tertanggung pada akhir masa kontrak. (Sesuai masa pertanggungan). Sebagai imbalan atas pengalihan resiko tersebut pemegang polis mempunyai kewajiban kepada perusahaan asuransi jiwa, yang disebut dengan pembayaran premi.28

Polis asuransi jiwa juga diatur dalam dalam pasal 304 KUHDagang, yang menentukan syarat umum polis asuransi jiwa yang harus memuat:

1) Hari ditutupnya pertanggungan; 2) Nama si tertanggung;

3) Nama orang yang jiwanya dipertanggungkan;

4) Saat mulai berlaku dan berakhirnya bahaya bagi si penanggung;

26

AXA Indonesia, Istilah Asuransi, http://axa.co.id/layanan-nasabah/informasi-umum/istilah-asuransi/ diakses pada tanggal 9 Juli 2015

27

Iqbal Fadjar, Pengertian Polis Asuransi Jiwa, http://konsultanprusyariah.com/pengertian-polis-asuransi-jiwa/ diakses pada tanggal 19 juli 2015

(16)

5) Jumlah uang untuk mana diadakan pertanggungan; 6) Premi pertanggungan tersebut.

Mengenai polis asuransi secara umum diatur juga dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian menyatakan bahwa:

(1) Perusahaan Perasuransian wajib memenuhi standar perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai:

a. polis;

b. Premi atau Kontribusi;

c. urderwriting dan pengenalan Pemegalg Polis, Tertanggung, atau Peserta; d. penyelesaian klaim;

e. keahlian di bidang perasuransian; f. distribusi atau pemasaran produk;

g. penarlganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta; dan h. standar lain yang penyelenggaraan usaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Berdasarkan Pasal 8 dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, mensyaratkan bahwa setiap perusahaan asuransi dalam membuat polis asuransi harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan mengenai:

a. saat berlakunya pertanggungan,

b. uraian manfaat yang diperjanjikan,

c. cara pembayaran premi,

d. tenggang waktu (grace period) pembayaran premi,

e. kurs yang digunakan untuk Polis Asuransi dengan mata uang asing apabila pembayaran premi dan manfaat dikaitkan dengan mata uang rupiah,

f. waktu yang diakui sebagai saat diterimanya pembayaran premi,

g. kebijakan perusahaan yang ditetapkan apabila pembayaran premi dilakukan melewati tenggang waktu yang disepakati;

h. periode dimana pihak perusahaan tidak dapat meninjau ulang keabsahan kontrak asuransi (incontestable period);

(17)

j. perhitungan dividen polis atau yang sejenis, bagi Polis Asuransi jiwa yang menjanjikan dividen polis atau yang sejenis;

k. penghentian pertanggungan, baik dari pihak penanggung maupun dari pihak pemegang polis, termasuk syarat dan penyebabnya;

l. syarat dan tata cara pengajuan klaim, termasuk bukti pendukung yang diperlukan dalam mengajukan klaim;

m.pemilihan tempat penyelesaian perselisihan;

n. bahasa yang dijadikan acuan dalam hal terjadi sengketa atau beda pendapat, untuk Polis Asuransi yang dicetak dalam 2 (dua) bahasa atau lebih.

Ada kalanya perjanjian pertanggungan jiwa dihentikan sebelum jangka waktu yang perjanjikan berakhir, yaitu apabila:29

1) Atas kemauan pihak pemegang polis/pengambil asuransi atau tertanggung.

2) Diberhentikan oleh pihak penanggung karena pemegang polis/pengambil

asuransi atau tertanggung tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya.

3) Perjanjian asuransi jiwa terhenti karena keadaan terpaksa mutlak atau force

majeure.

2.4 Bentuk-Bentuk Penyelesain Sengketa Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

Berdasarkan tugas dan wewenang BPSK, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu:

a. Konsiliasi

Menurut Pasal 1 angka 9 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan

29

(18)

BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui konsiliasi dalam Pasal 29 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK adalah sebagai berikut:

a) Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

b) Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;

c) Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan.

b. Mediasi

Menurut Pasal 1 angka 10 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.

(19)

a) Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;

b) Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa; c) Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan

mengeluarkan ketentuan. c. Arbitrase

Menurut Pasal 1 angka 11 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menyatakan bahwa, arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.

Tata cara penyelesaian sengketa konsumen melalui arbitrase dalam Pasal 33 sampai 34 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK adalah sebagai berikut:

(20)

b) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.

c) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajibmendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.

d) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.

Dalam pasal 36 ayat (3) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.

2.5 Putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen

(21)

ketua dan anggota majelis. Sedangkan dengan hasil penyelesaian konsumen melalui cara arbitrase dibuat dalam bentuk putusan majelis yang ditanda-tangani oleh ketua dan anggota majelis. Putusan majelis adalah putusan BPSK. Putusan BPSK dapat berupa:

a. Perdamaian;

b. Gugatan ditolak dan c. Gugatan dikabulkan.

Dalam hal kegiatan dikabulkan, maka amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha. Kewajiban tersebut berupa pemenuhan:

a. Ganti rugi;

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh konsumen dan yang dapat dikabulkan oleh Majelis BPSK diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Penyelesaian Konsumen yaitu berupa:

a) Pengembalian uang;

b) Pengembalian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; c) Perawatan kesehatan; dan/atau

d) Pemberian santunan.

(22)

Sengketa konsumen yang dapat diselesaiakan melalui BPSK berdasarkan Pasal 1 angka 8 Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa. Pada umumnya sengketa asuransi jiwa dalam Pasal 17 ayat (1) Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sengketa yang terkait masalah klaim, penuntutan jasa, dan penafsiran ketentuan polis. Dalam sengketa ini sering terjadi kekurangan barang bukti yang berakibat permohonan penyelesaian sengketa konsumen ditolak oleh Ketua BPSK. Apabila sudah memenuhi semua persyaratan maka permohonan dapat diterima oleh Ketua BPSK.

Dalam hal sengketa yang diterima oleh Ketua BPSK dan gugutannya dikabulkan maka putusan yang sesuai dengan sengketa asuransi jiwa adalah ganti rugi pengembalian jasa karena dalam hal pengembalian jasa merupakan bentuk prestasi yang disediakan oleh pihak penanggung ( perusahaan asuransi) yang dapat dimanfaatkan oleh pihak tertanggung. Selain itu juga dapat berupa sanksi adminitstarif yaitu penetapan ganti rugi paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

(23)

(tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan. Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima dan menolak putusan BPSK. Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK dibacakan.

(24)

Penetapan eksekusi diatur juga dalam Pasal 7 Perma Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengajuan Keberatan Terhadap Putusan BPSK. Konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada pengadilan negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang telah diperiksa melalui prosedur keberatan, ditetapkan oleh pengadilan negeri yang memutus perkara keberatan bersangkutan. Oleh karena itu, pengadilan negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan dalam waktu paling lambat 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan. Terhadap putusan pengadilan negeri tersebut, para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.

2.6 Pemilihan Forum Penyelesaian Sengketa dalam Asuransi Jiwa

2.6.1 Sebelum adanya Undang-Undang 40 Tahun 2014 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

(25)

Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi ini sudah mengatur bahwa dalam polis asuransi harus memuat mengenai pemilihan forum penyelesaian perselisihan. Akan tetapi, dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut belum menjabarkan secara rinci mengenai tempat yang sesuai untuk penyelesaian sengketa atau perselisihan perkara asuransi.

Pada peraturan perundang-undangan tersebut mengandung multi tafsir yang oleh sebagian besar orang memiliki pemahaman atau penafsiran yang berbeda-beda. Hal yang sangat wajar apabila kemudian muncul banyak pertanyaan seputar tempat penyelesaian sengketa yang sesuai dan seperti apa yang dimaksudkan dalam peraturan perundang-undangan tersebut. Klausula penyelesaian sengketa sesuai dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 422/KMK.06/2003 diwajibkan mencantumkan Klausula Penyelesaian Sengketa (Disputes Clause) pada umumnya dicantumkan dua (2) pilihan forum penyelesaian sengketa yaitu Pengadilan dan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Arbitrase, Mediasi, dan Ajudikasi).

Sengketa di dalam asuransi jiwa antara Tertanggung dengan Penanggung, Penanggung dengan Penanggung Ulang dapat diselesaikan melalui forum sebagai berikut :

a) Pengadilan

(26)

Proses peradilan yang lengkap berupa pemeriksaan bukti-bukti, saksi-saksi dan lain-lain dilakukan di tingkat pengadilan tingkat pertama (PN). Hasil akhir dari proses di Pengadilan Negeri berupa putusan yang hasilnya bisa bermacam-macam. Putusan Pengadilan ini akan memenangkan salah satu pihak. Apabila salah satu pihak yang tidak puas atau merasa dirugikan terhadap putusan Pengadilan Negeri bisa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi maupun upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Upaya hukum banding dan kasasi merupakan upaya hukum biasa, karena upaya hukum tersebut dilakukan atas putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Sedangkan untuk upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap adalah Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa dan hanya dapat dilakukan sekali dengan alasan antara lain sebagai berikut :

1. Putusan yang jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau kekeliruan. 2. Putusan mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut atau melebihi dari apa

yang dituntut.

3. Suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.

(27)

5. Adanya novum (bukti baru) yaitu bukti yang benar-benar baru tidak pernah diungkap di dalam persidangan sebelumnya. Sedangkan bukti ini sangat menentukan.

b) Arbitrase

Penyelesaian sengeketa melalui arbitrase terdapat ada 2 (dua) macam yaitu:

1. Arbitrase Ad Hoc

Arbitrase ad hoc merupakan arbitrase yang memiliki sifat sementara dan dibentuk oleh para pihak yang bersengketa.

2. Arbitrase institusi

Arbitrase institusi memang merupakan badan arbitrase yang mempunyai jasa khusus untuk penyelesaian sengketa, contohnya Badan Arbitrasi Nasional Indonesia (BANI). BANI mempunyai list dari arbiter-arbiter yang dapat ditunjuk oleh siapa saja dan juga mempunyai Peraturan Prosedur Arbitrase (Rules of Arbitral Procedure).

(28)

c) Badan Mediasi Asuransi Indonesia 30

Badan Mediasi Asuransi Indonesia ( selanjutnya disebut BMAI) didirikan pada tanggal 12 Mei 2006 dan mulai beroperasi pada tanggal 25 September 2006. Pendiriannya ini sejalan dengan Surat Keputusan Bersama empat Menteri yaitu:

a) Menteri Koordinator Bidang Perekonomian

No.KEP.45/M.EKON/07/2006;

b) Gubernur Bank Indonesia No.8/50/KEP.GBI/ 2006; c) Menteri Keuangan No.357/KMK.012/2006; dan

d) Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara No.KEP-75/MBU/2006 Tentang Paket Kebijakan Sektor Keuangan yang ditetapkan di Jakarta tanggal 5 Juli 2006.

Pendirian BMAI digagas oleh beberapa Asosiasi Perusahaan Perasuransian Indonesia yang berada di bawah FAPI (Federasi Asosiasi Perasuransian Indonesia) yaitu Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) dan Asosiasi Asuransi Jaminan Sosial Indonesia (AAJSI) dan didukung penuh oleh Biro Perasuransian, Bapepam-LK, Dept. Keuangan Republik Indonesia.

BMAI didirikan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan transparan yang berbasis pada kepuasan dan perlindungan serta penegakkan hak-hak Tertanggung atau Pemegang Polis melalui proses Mediasi dan Ajudikasi. BMAI dibentuk dengan tujuan untuk memberikan

30

Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Pendirian BMAI,

(29)

representasi yang seimbang antara Tertanggung dan/atau Pemegang Polis dan Penanggung (Perusahaan Asuransi). Tertanggung atau Pemegang Polis yang tidak menyetujui penolakan tuntutan ganti rugi atau manfaat polisnya oleh Penanggung (Perusahaan Asuransi) dapat meminta bantuan BMAI untuk menyelesaikan sengketa antara mereka. BMAI senantiasa berupaya untuk menyelesaikan sengketa klaim asuransi secara lebih cepat, adil, murah dan informal.

Penyelesaian sengketa klaim (tuntutan ganti rugi/ manfaat) dilakukan oleh BMAI dalam 3 (tiga) bagian yaitu:

1. Mediasi

Permohonan Penyelesaian Sengketa Klaim Asuransi yang diterima BMAI akan ditangani oleh Mediator yang akan berupaya agar Tertanggung atau Pemegang Polis dan Penanggung (Perusahaan Asuransi) dapat mencapai kesepakatan untuk menyelesaian sengketa secara damai dan wajar bagi kedua belah pihak. Mediator akan bertindak sebagai penengah antara Tertanggung atau Pemegang Polis (Pemohon) dan Penanggung atau Perusahaan Asuransi (Termohon).

2. Ajudikasi

(30)

3. Arbitrase

Atas sengketa klaim yang tidak dapat diselesaikan pada proses Mediasi atau Ajudikasi dan yang nilai sengketanya melebihi Batas Nilai Tuntutan Ganti Rugi dilakukan proses Arbitrase. Sengketa klaim akan diperiksa dan diadili oleh Arbiter Tunggal atau Majelis Arbitrase. Keputusan arbitrase bersifat final dan mengikat para Pihak dan tidak dapat dimintakan banding, kasasi atau upaya hukum lainnya.

Mengenai batas nilai tuntutan untuk proses Mediasi dan Ajudikasi, nilai tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi Rp 750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) per klaim untuk asuransi kerugian/umum dan Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) per klaim untuk asuransi jiwa atau Asuransi jaminan sosial.

d) Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

Dalam hal penyelesaian sengeketa asuransi melalui BPSK (BPSK) tertanggung berada dalam posisi sebagai konsumen yang menerima jasa pelayanan dari pihak asuransi yang telah memberikan jaminan terhadap segala kemungkinan peristiwa yang akan terjadi pada diri tertanggung.

(31)

menggugat pelaku usaha dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui BPSK atau dengan cara mengajukan gugatan ke badan peradilan. Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh BPSK besifat final dan mengikat. Walaupun demikian, para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk diputus.31

2.6.2 Setelah Adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Berkaitan dengan pemilihan tempat penyelesaian sengketa terhadap nasabah asuransi jiwa yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dan dijelaskan lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan lebih jelas dibandingkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian. Dapat dilihat dalam Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan mengenai lembaga penyelesaian sengketa adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian

Mengenai perlindungan pemegang polis, tertanggung atau peserta dalam hal penyelesaian sengketa diatur dalam Pasal 54 adalah:

(1) Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib menjadi anggota lembaga mediasi yang berfungsi melakukan penyelesaian sengketa antara Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.

(32)

(2) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat independen dan imparsial.

(3) Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan.

(4) Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi para Pihak.

(5) Ketentuan Iebih lanjut mengenai lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

b. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan

Sebagaimana ketentuan dalam pasal 54 Undang-Undang 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian dijelaskan lebih lanjut dalam peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan. Dalam peraturan Otoritas Jasa keuangan tersebut mengatur sebagai berikut:

1. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa

(1) Pengaduan wajib dilakukan terlebih dahulu oleh Lembaga Jasa Keuangan.

(2) Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian Pengaduan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), Konsumen dan Lembaga Jasa Keuangan dapat melakukan penyelesaian sengketa diluar pengadilan atau melalui pengadilan.

2. Dalam Pasal 4, menyatakan bahwa:

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dimuat dalam Daftar Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meliputi Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa yang:

(33)

5) Ketentuan benturan kepentingan dan afiliasi bagi meditor, ajudikator, dan arbiter; dan

6) Kode etik bagi meditor, ajudikator, dan arbiter;

c. Menerapkan prinsip aksesibilitas, independensi, keadilan dan efisensi dan efektifitas dalam setiap peraturannya;

d. Mempunyai sumber daya untuk dapat melaksanakan pelayanan penyelesaian sengketa;

e. Didirikan oleh Lembaga Jasa Keuangan yang dikoordinasikan oleh asosiasi dan/atau didirikan oleh lembaga yang menjalankan fungsi self regulatory organization.

3. Dalam Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :

Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa dibentuk oleh Lembaga Jasa keuangan yang dikoordinasi oleh masing-masing sektor jasa keuangan. 4. Dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1), menyatakan bahwa :

Contoh pembentukan Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Perbankan dibentuk oleh bank-bank yang dikoordinasikan oleh asosiasi di sektor Perbankan, misalnya Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas), Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), Perhimpuan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), dan Asosiasi Bank Asing Indonesia.

Maka dapat disimpulkan dari penjelasan peraturan perundang-undangan diatas bahwa penyelesaian sengketa asuransi jiwa dapat dilakukan melalui pengadilan atau melalui lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan dikordinasi oleh Lembaga Jasa Keuangan yang bersangkutan.

Dari hasil wawancara dengan Bapak Wahyu Diono32, mengatakan bahwa BPSK masih berwenang karena di undang-undang perlindungan konsumen jelas membahas bahwa BPSK menanggani penyelesaian sengketa mengenai barang maupun jasa.

32

(34)

Oleh karena adanya dualisme kewenangan Penyelesaian Sengeka Alternatif maka sebaiknya digunakan asas lex specialis derogat legi generalis. Menurut Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56), ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas lex

specialis derogat legi generalis, yaitu:33

1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);

3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

Selain menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis perlu juga dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan polis atau perjanjian asuransi, atau dengan nama apapun serta dokumen lain yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan perjanjian asuransi, termasuk tanda bukti kepesertaan asuransi bagi pertanggungan kumpulan, antara pihak penanggung dan pihak pemegang polis atau tertanggung ( Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 422/KMK.06/2003 tentang Penyelenggaran Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

33

(35)

Dikarenakan polis asuransi merupakan suatu perjanjian maka berlaku asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan “perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang”. Artinya bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian yang telah disepakati seperti mentaati undang-undang. Oleh karena itu, akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan dari pihak lain. Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata yaitu “suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah

pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan

cukup untuk itu”.

Salah satu contoh polis asuransi jiwa sebelum adanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang perasuransian dan peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah polis asuransi jiwa PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia dengan nomor polis 4262243746 dan tertanggung bernama Theresia Angelica Vanesa serta mulai berlaku tanggal 12 Oktober 2010 (terlampir) menyatakan bahwa dalam pasal 12 mengenai penyelesaian masalah atau sengketa adalah sebagai berikut:34

Segala masalah atau sengketa yang timbul dari pertanggungan ini atau pelaksanaannya akan terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah. Apabila cara musyawarah tidak dapat menyelesaikan masalah atau sengketa

34

(36)

tersebut, penanggung dan/atau pemegang polis dapat melakukan upaya-upaya hukum sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Upaya hukum mediasi dapat dilakukan sebelum para pihak memilih upaya hukum melalui pengadilan atau arbitrase. Upaya ini dapat diajukan kepada badan mediasi dibidang asuransi di Indonesia melalui BMAI (Badan Mediasi Asuransi Indonesia) sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh BMAI. Dalam hal upaya yang dilakukan melalui pengadilan maka akan dipilih Pengadilan Negeri pada domisili Pemegang Polis yang terdekat dengan domisili Penanggung. Dalam hal upaya hukum dilakukan melalui arbitrase, Penanggung dan/atau Pemegang Polis dapat mengajukan masalah atau sengketa tersebut kepada lembaga aribtrase berdasarkan aturan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), san sepenuhnya mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan arbitrase.

Dari polis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam melakukan penyelesaian sengketa alternatif antara tertanggung (Theresia Angelica Vanesa) dan Penanggung (PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia) adalah BMAI (Badan Medasi Asuransi Indonesia) dan BANI (badan Arbitase

Nasional Indonesia). Tetapi dalam polis tersebut terdapat kata “upaya ini

dapat dilakukan...” arti kata dapat menyebabkan keterbukaan norma yaitu

membuka peluang atau tidak wajib untuk melakukan penyelesaian sengketa alternatif melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia.

(37)

peraturan Otoritas Jasa keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Di Sektor Jasa Keuangan adalah Polis Asuransi Jiwa dari PT. Axa Mandiri Finacial Service35 yang dikeluarkan pada tanggal 20 Februari 2015 yang menyatakan bahwa dalam pasal 18 mengenai penyelesaian perselisihan adalah sebagai berikut:

1. Apabila terjadi sengketa, kontroversi, atau perselisihan amtara Penanggung, dengan Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan

dengan Polis ini (untuk selanjutnya disebut “perselisihan”), akan

diselesaikan secara musyawarah. Apabila Perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan dalam kurun waktu 90 (sembilan puluh) hari kalender setelah pemberitahuan tertulis oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya, maka Penanggung atau Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan dengan polis ini dapat memilih cara penyelesaian Perselisihan dengan melalui Lembaga alternatif penyelesaian sengketa Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI), Arbitrase, atau Pengadilan Negeri.

2. Bila maksud untuk menyelesaikan perselisihan tidak diberitahukan, atau tidak disetujui, maka penyelesaian perselisihan akan diselesaikan melalui Pengadilan Negeri sesuai dengan domisili Penanggung di wilayah hukum Republik Indonesia dengan tidak mengesampingkan hak pemegang polis atau pihak yang berkepentingan atas polis ini untuk menyampaikan perselisihan yang timbul ke Pengadilan Negeri yang memiliki yurisdiksi atas domisili Pemegang Polis atau pihak yang berkepentingan atas Polis ini di wilayah hukum Republik Indonesia.

3. Arbitrase

Bila Penanggung atau Pemegang Polis memilih penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan sebagai berikut:

3.1. Segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini akan diselesaikan secara Arbitrase yang akan dilakukan oleh 3(tiga) orang Arbiter, yang mana penyelesaiannya akan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku di Indonesia. 3.2. 3(tiga) orang arbiter tersebut ditunjuk berdasarkan Undang-Undang

Arbitrase yang berlaku mengenai penunjukan Arbitrator.

3.3. Proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase harus sesuai dengan hak dari masing-masing pihak untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang diajukan, hak

35

(38)

mendatangkan atau menghadirkan saksi-saksi termasuk saksi ahli dan hak untuk mengadakan petisi baik lisan maupun tertulis. 3.4. Majelis arbitrase memiliki wewenang untuk memberikan

keputusan baik secara sementara, memerintah atau menerima atau keputusan lainnya berdasarkan Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Arbitrase.

3.5. Majelis arbitrase akan memutuskan jadwal proses penyelesaian perselisihan melalui arbitrase dan memiliki wewenang untuk mengubah jadwal tersebut setiap saat dengan segala pertimbangan yang dapat diterima.

3.6. Peraturan arbitase yang merupakan mandat dari majelis arbitrase sepenuhnya diwakili semua bagian yang tercantum dalam polis dan berlaku terus sampai dengan keputusan arbitrase yang diputuskan oleh majelis arbitrase tercapai.

3.7. Semua keputusan arbitrase yang dibuat dan diputuskan oleh Majelis arbitrase adalah mutlak, terikat dan tidak dapat diganggu gugat dan dapat digunakan dasar proses pengadilan di wilayah hukum Republik Indonesia sesuai dengan undang-undang Arbitrase.

3.8. Majelis arbitrase tidak dapat mengubah isi polis ini.

3.9. Semua biaya yang timbul dari proses Arbitrase (termasuk dan tanpa batasan atas biaya-biaya yang timbul atas penunjukan 3(tiga) majelis aribtrase) akan dibayarkan sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Arbitrase.

3.10. Para pihak dengan ini menyatakn bahwa dalam membuat keputusannya, majelis arbitrase terikat pada hukum yang berlaku dan tidak berhak menyerahkan keputusannya dengan cara ex aequo et bono.

3.11. Para pihak setuju bahwa Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase akan diberlakukan dan karenanya peraturan yang tercantum dalam pasal 18 ayat 3 menghilangkan hak dari semua pihak untuk melakukan penyelesaian perselisihan atas polis ini ke Pengadilan Negeri setempat, kecuali untuk menguatkan hasil keputusan arbitrase sesuai dengan pasal 18 ayat 3 atau jika tidak berdasarkan pada Undang-Undang Arbitrase.

3.12. Selama jangka waktu pengajuan petisi sampai dengan arbitrase dan seterusnya sampai dengan keputusan arbitrase, para pihak harus, kecuali dalam hal polis jatuh tempo, melaksanakan dan menjalankan kewajibannya sesuai dengan Polis tanpa melihat pada hasil akhir yang akan dicapai dalam proses arbitrase.

4. Mediasi

Bila Penanggung dan Tertanggung memilih penyelesaian melalui mediasi, maka para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan sebagai berikut:

(39)

Indonesia (BMAI) yang mana penyelesaiannya akan dilakukan di Jakarta dengan menggunakan Bahasa Indonesia.

4.2. Sengketa yang dapat diajukan dan ditangani oleh BMAI adalah dengan ketentuan sebagai berikut:

(i) Jumlah tuntutan ganti rugi atau manfaat polis yang dipersengketakan tidak melebihi jumlah Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

(ii) Jawaban penolakan final.

(iii)Sengketa yang tidak melebihi masa jangka waktu 6 (enam) bulan sejak penanggung memberikan sengketa yang tidak pernah atau tidak sedang disidangkan di pengadilan serta tidak sedang dalam proses investigasi oleh pihak yang berwajib.

5. Ketentuan yang tercsntum dalam pasal 18 ini akan tetap berlaku meskipun polis ini diakhiri dan/atau berakhir.

Berdasarkan isi polis tersebut bahwa yang berwenang dalam menyelesaikan sengeketa melalui penyelesaian sengketa alternatif adalah BMAI dan Arbitrase melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Dapat dilihat

dari kalimat yang berbunyi “para pihak sepakat untuk tunduk pada ketentuan... segala perselisihan yang timbul akibat atau sehubungan dengan polis ini, akan

diselesaikan melalui Badan Mediasi Asuransi Indonesia (BMAI)...” maka dalam

kalimat ini mengikat para pihak untuk tunduk dan wajib menyelesaikan sengketa sesuai dengan ketentuan tersebut

(40)

alternatif tetapi sesudah adanya adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 dalam polis tidak membuka norma atau peluang dalam penyelesaian sengketa alternatif.

Maka dari pernyataan-pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa dengan menggunakan asas lex specialis derogat legi generalis maka Badan Penyelesaian Sengketa Alternatif tidak memiliki wewenangnya karena asuransi memiliki peraturan perundang-undangan sendiri yang mengatur secara khusus yaitu Undang - Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian Juncto Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 Tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan. Selain itu, dapat dilihat dari polis asuransi jiwa karena polis asuransi merupakan suatu perjanjian maka berlaku asas pacta sunt servanda atau asas daya mengikat. Asas pacta sunt servanda didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menegaskan

Referensi

Dokumen terkait

Halaman form Jenis Adat Halaman ini akan tampil jika administrator memilih form input Jenis Adat yang ada pada menu sebelah atas halaman administrator, pada halaman

Hasil pengujian hipotesis kedua antara hubungan dimensi interpersonal terhadap kemampuan literasi media didapatkan koefisien jalur bernilai positif sebesar 0,259

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua

Tujuan dari penelitian skripsi ini untuk membantu memberikan pengetahuan dan referensi kepada guru maupun calon guru agar dapat melaksanakan pembelajaran yang bermakna dengan

Pada penelitian ini Zeolit ZSM-5 digunakan untuk menangani limbah yang. mengandung

Hasil analisis dengan pengujian karakteristik marshall, permeabilitas, dan cantabro mendapatkan data bahwa pada campuran HRA penggantian agregat halus menggunakan

Hal ini sesuai dengan Pasal 6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (RTHKP) menyatakan bahwa jenis Ruang Terbuka

Didalam perspektif perkembangan akan sangat terkait dengan kehadiran institusi-institusi barn di lingkungan kota administratif Depok, hal mana dalam prospek jangka