• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nomor varietas dan galur padi Tabela

SETELAH PADI SAWAH PENDAHULUAN

Percobaan V, dilakukan untuk mengembangkan budidaya kedelai setelah padi sawah TOT untuk memanfaatkan bahan organik yang terakumulasi, residu pupuk dan sisa air tanah tersedia. Umumnya setelah 2 musim tanam padi sawah di jalur pantura Jawa Barat lahan sawah dibiarkan bera, sedangkan di Jawa Tengah ditanami palawija, khusunya kedelai. Perubahan kondisi dari basah menjadi kering menjadikan tanah lebih subur karena dekomposisi bahan organik berlangsung secara cepat, dan dengan ketersediaan air dan unsur hara maka dapat menunjang pertumbuhan kedelai.

Pengalaman Tjitrosemito (2005) menunjukkan bahwa penanaman kedelai dengan cara ditugalkan sesudah padi "marengan" (gadu) dipanen dan jerami dibabat telah lama dilakukan petani di Jawa Tengah dan praktek seperti itu mungkin sekarang disebut sebagai teknik TOT, karena tanah tidak olah. Tanahnya kering dan sangat keras serta pecah-pecah permukaannya "telo". Begitu kerasnya tanah, beberapa petani menugal tanah dengan linggis, selain itu ada juga yang menanam biji kedelai dalam telo karena adanya embun di dalam telo, cukup bagi biji kedelai untuk berkecambah. Ternyata kedelai yang ditanam dengan cara tersebut di atas tumbuh tidak seragam dan bahkan banyak petani yang gagal panen terutama pada musim kemarau. Telo bisa terbentuk sebagai akibat cara budidaya padi OTS sebelumnya.

Budidaya padi sawah OTS secara terus-menerus memberikan dampak kurang menguntungkan pada tanaman kedelai sesudahnya. Apabila sawah dikeringkan terutama menjelang panen, tanah menjadi retak-retak dan membentuk bongkahan yang besar terutama tanah yang mengandung liat tinggi. Dengan kandungan bahan organik rendah dan tingginya evaporasi (terutama musim kemarau), menyebabkan tanah tersebut tidak dapat menyimpan air cukup untuk menunjang pertumbuhan kedelai secara optimal (Manwan et al. 1990). Pengamatan dilapangan menunjukkan, kedelai yang ditanam setelah padi sawah OTS, tumbuh tidak seragam dan tidak merata dan bahkan mati sebelum panen terutama pada musim kemarau. Sebaliknya jika lahan sawah diolah secara TOT beberapa musim tanam, kemudian ditanami kedelai maka pertumbuhan dan hasil kedelai masih lebih tinggi karena dengan akumulasi bahan organik dalam tanah

70 sawah menjadikan sifat fisik menjadi lebih baik, tanah tidak retak-retak dan air cukup tersedia menunjang pertumbuhan kedelai (Sumarno et al. 1994).

Menanam kedelai secara TOT segera setelah padi sawah dipanen berarti menyisakan banyak jerami dan sisa gulma dipermukaan tanah. Menurut Sanchez (1976) sisa tumbuhan dipermukaan tanah terutama berpengaruh terhadap temperatur, kelembaban dan agregasi tanah. Sisa tanaman dan gulma serta sekresi dari jasad hewan, dan mikroba adalah sumber bahan organik tanah. TOT dapat meningkatkan akumulasi bahan organik dan apabila bahan organik dari sisa tumbuhan dikelola dengan baik maka produktivitas tanah meningkat (Utomo 1996 dan Tjitrosemito 2005).

Mineral tanah tidak menghasilkan nitrogen, sehingga suplai dari luar sangat diperlukan. Nitrogen dibutuhkan kedelai untuk menghasilkan pertumbuhan secara optimal dan hasil biji kedelai tinggi. Jika N berlebihan maka akibatnya pertumbuhan vegetatif berlebihan, sebaliknya jika nitrogen tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman kedelai, maka bisa jadi pertumbuhan tidak optimal dan hasil biji kedelai menjadi rendah. Tanaman kedelai, membutuhkan N dalam jumlah sedikit sebagai starter untuk menstimulir pertumbuhan awal dan pembentukan bintil akar, yang kalau N diberikan dalam jumlah berlebihan maka pembentukan bintil akar terhambat dan akibatnya mengganggu atau menghambat fiksasi N dari udara oleh bakteri Rhizobium.

Tanaman kedelai menambat (mengikat) nitrogen dari udara dengan bantuan bakteri Rhizobium pada bintil akarnya sehingga suplai nitrogen dari luar hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit “sebagai starter”, maka tanaman kedelai tumbuh secara optimal dan menghasilkan biji yang tinggi. Jenis kedelai yang digunakan adalah kedelai PTR-6 (Plantaro 6), merupakan satu dari beberapa jenis kedelai PTR berumur dalam yang telah dikembangkan Dr. Fred Rumawas sejak tahun 1980an di Institut Pertanian Bogor.

Tujuan percobaan adalah mendapatkan dosis pupuk urea optimal pada persiapan lahan TOT untuk pengembangan kedelai setelah padi Tabela kuadrat.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di R & D Station PT. Syngenta, Cikampek, Jawa Barat, Jenis tanah adalah Regosol, dan dilaksanakan pada awal MH 2000/2001, mulai akhir bulan Oktober 2000 hingga pertengahan bulan Maret 2001.

Bahan dan Alat. Bahan yang digunakan adalah kedelai PTR.6, pupuk urea, TSP, dan KCl; insektisida Dursban 200 EC (Klorpirifos: 200 g/l), Furadan 3 G (Karbofuran) dan Supracide 40 EC (Metidation 40 g/l), fungisida Anvil 50 SC (Heksakonazol: 50 g/l) dan Marshal. Untuk mengendalikan gulma pada persiapan lahan digunakan herbisida Polaris 240 AS (Isopropil amina glifosat: 240 g/l).

Alat yang digunakan: traktor mini, knapsack sprayer, penakar curah hujan, oven, seed counter, seed moisture tester, timbangan dan meteran.

Metode Penelitian

Percobaan ini disusun dalam rancangan petak terpisah (split plot design) dalam rancangan acak kelompok dengan empat ulangan.

Perlakuan yang dicobakan terdiri atas dua faktor yakni: A. Petak utama adalah dosis pupuk urea mencakup:

1. Dosisi urea 0 kh/ha (tanpa pupuk urea).

2. Dosis urea 50 kg/ha, diberikan 1 x pada saat umur 21 Hst. 3. Dosis urea 100 kg/ha, diberikan 2 x pada saat umur 21 & 42 Hst. B. Anak petak adalah persiapan lahan setelah padi sawah mencakup:

1. OTS(1,2,3,4), (OTS musim tanam 1,2,3,4)

2. OTS(1,2)-OTM(3,4), (OTS musim tanam 1,2 dan OTM musim tanam 3,4) 3. OTS(1,2)-TOT(3,4), (OTS musim tanam 1,2 dan TOT musim tanam 3,4) 4. OTM(1,2,3,4), (OTM musim tanam 1,2,3,4)

5. OTM(1,2)-OTS(3,4), (OTM musim tanam 1,2 dan OTS musim tanam 3,4) 6. OTM(1,2)-TOT(3,4), (OTM musim tanam 1,2 dan TOT musim tanam 3,4) 7. TOT(1,2,3,4), (TOT musim tanam 1,2,3,4)

8. TOT(1,2)-OTM(3,4), (TOT musim tanam 1,2 dan OTM musim tanam 3,4) 9. TOT(1,2)-OTS(3,4), (TOT musim tanam 1,2 dan OTS musim tanam 3,4)

Tata letak percobaan didasarkan pada pertimbangan bahwa lahan bekas padi sawah Tabela kuadrat berbeda karena jumlah pupuk urea yang diberikan berbeda. Selain itu lahan percobaan cukup luas sehingga tidak cukup waktu mengamati setiap peubah secara seksama dalam waktu bersamaan.

Model matematik dari percobaan tersebut adalah: Yijkl=µ+ρi+Nj+γij+Pk+(NP)jk+δijk

72

µ dan ρi = rataan umum dan pengaruh kelompok ke i Nj, dan Pk = Pengaruh perlakuan ke j dan ke k

γij = galat dari kelompok ke i dengan perlakuan ke j (NP)jk = pengaruh interaksi perlakuan ke jk

εijk= galat dari kelompok ke i pada perlakuan ke j dan ke k.

Untuk menguji nilai tengah perlakuan, digunakan prosedur yang disarankan Gomez dan Gomez (1984), sebagaimana pada percobaan Tabel 10 di atas dengan suatu nilai t terboboti yaitu: t = (u-1)Ebtb + Eata/(u-1)Eb+Ea

Pelaksanaan a. Persiapan Lahan

Petak-petak percobaan untuk perlakuan dosis pupuk urea (sebagai PU) masing-masing seluas 72 m x 5 m sebanyak 3 x 4 unit (12 unit) dan petak perlakuan persiapan lahan (sebagai AP) berukuran 24 m x 5 m sebanyak 3 x 9 x 4 t (108 unit).

b. Penanaman

Benih kedelai ditanam secara larikan 1 biji tiap lubang, dengan jarak tanam antar baris 40 cm dan dalam baris 10 cm. Benih ditanam pada kedalaman 3-4 cm. Sebelum tanam benih dicampur dengan rhizopus 7.5 g/kg benih kedelai. Seminggu sesudah tanam, dilakukan penyulaman untuk mendapatkan pertanaman kedelai seragam. Tanaman penyulam adalah berumur sama, diambil dari petakan yang telah disediakan.

c. Pemupukan dan Pemeliharaan

Pemupukan urea dilakukan sesuai dengan perlakuan. Pupuk urea diberikan pada saat umur 21 dan 42 hari setelah tanam (hst) dengan dosis sesuai perlakuan. Sebagian pupuk dasar diberikan adalah TSP dan KCl, diberikan saat tanam, dengan dosis masing-masing adalah 50 kg TSP/ha, dan 50 kg KCl/ha. Pupuk diberikan di antara baris tanaman dengan kedalaman 5-10 cm dari permukaan tanah.

Untuk mencegah serangan hama, digunakan insektisida Dursban 200 EC (klorfiripos: 200 g/l) dosis 2 l/ha dengan volume semprot 500 l/ha dan Furadan 3 G (Karbofuran), sedangkan untuk penyakit digunakan Delsene MX 200 (Carbendazim: 6.2% dan Mancozeb: 73.8%), dosis 5 l/ha dengan volume

semprot 500 l/ha. Pengendalian gulma pada pertanaman kedelai dilakukan 1 kali secara manual yakni pada fase kritis (30-35 hst.) dan fase pengisian biji.

Pengamatan

Peubah yang diamati terdiri dari:

1. Tinggi tanaman kedelai, diamati pada umur 80 hst. 2. Jumlah bintil akar, diamati pada umur 60 hst

3. Jumlah cabang produktif, diamati pada umur 80 hst.

4. Indeks cabang produktif (%), diamati umur 80 Hst, yaitu perbandingan jumlah cabang produktif terhadap jumlah seluruh cabang yang terbentuk.

5. Jumlah polong isi, diamati saat panen(110-115 Hst).

6. Indeks polong isi (%), diamati saat panen, yaitu perbandingan jumlah polong isi terhadap jumlah seluruh polong yang terbentuk.

7. Bobot bahan kering total atau brangkasan (g/m2). Pengamatan dilakukan pada saat panen. Bahan bagian atas tanaman (termasuk kulit polong) diambil pada petak contoh berukuran 1 m2, kemudian dipisahkan biji kedelai dan selanjutnya dikeringkan dalam oven selama 48 jam pada suhu 80oC. 8. Bobot kering biji (ton/ha), diamati pada saat panen. Biji dikeringkan dan

ditimbang pada kadar air mencapai 14%.

9. Indeks panen (%), diamati pada saat panen, yakni perbandingan bobot biji terhadap bobot bahan kering total (IP= Hasil biji/Hasil biologi).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dokumen terkait