• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seksualitas perempuan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada anak gadisnya. Millet menyatakan bahwa ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Misalnya, menstruasi dianggap sebagai hal yang rahasia dan kutukan Tuhan pada tubuh perempuan. Selain itu, perempuan diasingkan pada pondok di tepi desa pada kehidupan primitif. Selanjutnya ia mengatakan kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan melakukan aborsi meskipun kehamilan itu berbahaya baginya atau mereka dipaksa melakukan aborsi yang berbahaya jika mereka belum menikah (1970: 47).

Hal di atas dapat menjadikan penindasan seksual terhadap perempuan. Pada dasarnya sexual oppression pada perempuan terjadi di semua lini kehidupannya,

25 bahkan mulai masa kanak-kanak sampai mereka dewasa. Pertama, terkait akan perbedaan fisik anak laki-laki dan perempuan secara seksual. Anak gadis tidak memiliki penis dan mereka menganggap bahwa mereka memiliki tubuh lengkap. Tetapi kemudian anak gadis diperlihatkan berbeda oleh masyarakat dengan memberikan hak istimewa kepada laki-laki. Sehingga anak gadis menganggap bahwa perbedaan perlakuan oleh masyarakat diciptakan karena laki-laki dan perempuan berbeda secara seksual. Pada akhirnya anak gadis merasa inferior jika mereka bukan laki-laki (De Beauvoir, 1953: 3).

Perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan perbedaan sikap masyarakat terhadap keduanya. Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki dianggap kurang karena dia tidak memiliki penis seperti laki-laki. De Beauvoir menyatakan ketidakberadaan penis pada tubuh perempuan memainkan peranan penting bagi nasibnya.

Inferioritas perempuan berlanjut sampai masa pubertas. Pengalaman pubertas perempuan lebih cepat daripada laki-laki. Fase ini juga membawa perubahan penting bagi anak gadis. Tidak seperti laki-laki yang mengalami pubertas dengan bangga, anak gadis menghadapinya dengan rasa malu. Ketika payudara dan rambut yang ada ditubuhnya tumbuh, mereka terkejut. Rasa sakit yang mengikuti perubahan ini juga mengganggunya dan puncak dari rasa itu ketika mereka mengalami menstruasi pertama (De Beauvoir, 1953: 58).

26 Menstruasi pertama dianggap sebagai hal yang memalukan bagi perempuan. Perempuan biasanya akan malu jika seseorang mengetahui kondisinya. Perasaan ini menimbulkan inferioritas bagi perempuan (De Beauvoir, 1953: 62).

Anak gadis diharapkan menjadi perempuan. Sayangnya, masyarakat patriarki menempatkannya pada posisi marginal. Anak gadis itu diharuskan melakukan tugas rumah. Mereka diharapkan tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga diajari menjadi perempuan seutuhnya dengan konsep feminin yaitu lemah lembut, pasif, dan penurut. Mereka harus menekan kata hatinya untuk memuaskan permintaan masyarakat (De Beauvoir, 1953: 231).

Sexual Oppression pada perempuan berlanjut sampai dewasa. Sexual oppression akan lebih sering terjadi ketika mereka menikah. Perempuan diharapkan menikah. Menurut De Beauvoir, pernikahan dianggap takdir bagi perempuan. Masyarakat yang menganut budaya patriarki menganggap perempuan itu dinikahkan, direncanakan menikah, dan akan menderita jika tidak menikah (1953: 225).

Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki biasanya dijodohkan, sehingga dia tidak bisa memilih calon suaminya. Sebaliknya, laki-laki dapat memilih calon istrinya. Perempuan diharapkan dapat memberikan anak dan melayani kebutuhan seksual suaminya. Selain itu mereka juga mengurus rumah tangga. Mereka berpikir bahwa pernikahan adalah karir yang menguntungkan karena mereka akan mendapatkan dukungan ekonomi dari suaminya. Apa yang mereka lakukan hanya membuat suaminya senang dengan memberikan pelayanan seksual dan

27 melakukan pekerjaan domestik (De Beauvoir, 1953:231-232). Kenyataannya anggapan ini hanya membuat perempuan semakin tergantung dengan suaminya. Hal itu sering menimbulkan kekerasan domestik dan sexual oppression tidak dapat diselesaikan.

Hubungan seksual tidak dapat dipisahkan dari pernikahan. Hubungan seksual dianggap sebagai indikasi kebahagiaan dalam pernikahan. Namun kenyataannya, hubungan seksual kadangkala mengakibatkan sexual oppression bagi perempuan. De Beauvoir menyatakan ada dua bentuk sexual oppression pada perempuan yaitu keperawanan dan kenikmatan seksual. Perempuan harus dalam kondisi perawan ketika menikah dengan laki-laki dikarenakan laki-laki ingin menjadi pemilik eksklusif dari tubuh perempuan. Mereka meyakinkan kalau perempuan tidak membawa benih yang buruk. Selanjutnya dia menyatakan bahwa keperawanan hanya untuk perempuan karena laki-laki memperoleh kenikmatan dari hubungan seksual pertama dalam pernikahannya. Perempuan tidak dapat merasakan kesenangan seksual dan hanya laki-laki yang selalu memperolehnya. Bahkan sebaliknya, perempuan akan mendapatkan beban fungsi reproduksi setelah mereka melakukan hubungan seksual (hamil) (1953:244-245).

28 1.6.4 Independensi

Kebebasan dalam konteks ini dihubungkan dengan cara berpikir dan bertindak. Pemikir seperti John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx serta para pemikir kritis lainnya pada berbagai era dalam sejarah yang berbeda memikirkan dan mendeskripsikan kemungkinan realisasinya.

Secara umum, diskusi tentang kebebasan ditandai oleh tiga hal pokok, yaitu cara mendefenisikan kebebasan, cara merealisasikan dan menjamin kebebasan, dan posisi batasan kebebasan dalam sebuah masyarakat.

“Kebebasan alami manusia ialah terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada kemauan atau kekuasaan seorang manusia (raja),melainkan sepenuhnya mengikuti aturan alami sebagai landasan hak-haknya. Kebebasan seorang manusia dalam sebuah masyarakat tidak berbasis pada kekuasaan (orang) lain yang dipaksakan berdasarkan keturunan, juga tidak pada kekuasaan dan keinginan atau keterbatasan sebuah undang-undang selain yangdiputuskan dalam parlemen yang bisa dipercaya.” (Locke 1977: 213)

Dalam tradisi Locke, tedapat tiga dimensi kebebasan: kebebasan diri sendiri, kebebasan terkait pemikiran dan perasaan sendiri serta kebebasan dari barang yang secara legal adalah miliknya. Tiga dimensi kebebasan ini mewarnai berbagai

29 konstitusi dan penetapan hak-hak asasi manusia. Banyak teori juga mengacu dan merupakan interpretasi defenisi kebebasannya John Locke.

John Locke berangkat dari kebebasan alami yang dimiliki setiap manusia, bukan dikembangkan dalam masyarakat, tetapi sudah ada sejak dilahirkan. Namun, „hak alami‟ ini hanya bisa ditransformasikan dan ditanamkan menjadi hak setiap individu dalam sebuah masyarakat. Argumentasi Locke ini pada intinya mengikuti perubahan sesuai dengan perbedaan filosofis yang ada, hingga saat ini masih berfungsi dan selalu menjadi rujukan bila ingin memahami kebebasan sebagai sebuah nilai dasar. Locke dianggap sebagai pemikir liberalisme terpenting.

Meskipun demikian, defenisi yang selalu menjadi rujukan tidak bisa menyembunyikan bahwa ini sekedar masalah historis yang tidak bisa dipahami tanpa mencermati persyaratan atau penyebab kelahirannya. Selain itu, hal ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam kondisi hari ini. Hal ini juga bisa dilihat dari pertanyaan bagaimana kebebasan dalam sebuah masyarakat dijamin serta diwujudkan.

Locke mengemukakan argumentasi melawan keyakinan bahwa ketidaksamaan manusia secara alami menjadi alasan ketidakbebasan sebagian besar manusia. Kebebasan alami dan dengan demikian kebebasan yang berlaku sama bagi semua, adalah sebuah argumentasi yang bersifat revolusioner dalam sebuah masyarakat absolutis di mana para raja melegitimisai kekuasaannya sebagai pemberian Tuhan, sama halnya laki-laki melegitimasi kekuasaannya atas perempuan sebagai aturan sosial.

30 Meskipun demikian, bagi Locke, kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan secara alami, tapi harus lewat kontrak sosial dalam sebuah masyarakat sebagai sesuatu yang alami.

Dalam sebuah masyarakat kebebasan dijabarkan lewat kepemilikan seseorang, begitu pula kebebasan pikiran dan perasaan harus dijaga lewat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara kebebasan memiliki sesuatu memerlukan kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki akses ke dunia luar. Kebebasan alami, dengan demikian tidak begitu saja diperoleh, tetapi harus dijamin lewat aturan-aturan dalam masyarakat.

Ketika pertanyaan mengarah pada bagaimana merealisasikan kebebasan, sudah sejak abad ke-18 terdapat kritik terhadap teori John Locke. Pengritik terpenting adalah Jean-Jacques Rousseau, yang membantah sekaligus memperkaya Locke dalam empat butir utama berikut ini:

1. Sebuah kontrak sosial yang baik hanya bisa berfungsi ketika semua manusia sewaktu melahirkan (tatanan) masyarakat mengembalikan hak alaminya untuk kembali memperoleh hak-haknya sebagai warga dari tatanan tersebut.

2. Kontrak sosial mengacu pada masyarakat warga monarkis, bukanlah kontrak yang baik.

3. Kebebasan hanya bisa langgeng bila semua keputusan terkait hukum berlaku sama untuk semua. Dengan begitu, setiap manusia berada di bawah kemauannya sendiri dan bebas.

31 4. Lebih dari itu, bagi Rousseau, kebebasan juga terkait dengan perkembangan pemikiran. Pada setiap orang, ia melihat adanya kemampuan untuk mengembangkan berbagai kemampuan (perfectibilité) (Benner/Brüggen, 1996: 24). Kemampuan bukanlah sesuatu yang terlahir, tetapi dikembangkan lewat kemungkinan-kemungkinan belajar dan hidup dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sosial perempuan dipandang dengan banyak perspektif, secara umum perempuan dipandang sebagai sosok yang menanggung sektor domestik (memasak, mencuci, mengurus anak dan mengatur hal-hal di rumah tangga). Dalam kacamata sosiologi, perempuan bisa dikaji dengan banyak persektif, bisa mengguanakan kacamata teoritis, positivis maupun konflik. Dalam kacamata positivis yang dipelopori oleh Auguste Comte, secara garis besar masyarakat merupakan bentuk dari kesatuan yang tidak bisa terpisah dan selalu dalam keadaan stabil. Keadaan stabil ini disebabkan oleh adanya pemenuhan fungsi yang dijalankan oleh individu dalam masyarakat sehingga masyarakat selalu dalam keadaan yang equilibrium. Jika ada individu yang tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat, maka individu tersebut dianggap menyimpang dan menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat.

Mengenai perempuan, Comte menganggap bahwa perempuan menjadi subordinat laki-laki jika perempuan tersebut sudah menikah. Hal ini disebabkan karena secara konstitusional perempuan bersifat inferior terhadap laki-laki, karena

32 kedewasaan mereka berakhir pada masa kanak-kanak (Ollenburber, 2002:2). Jika perempuan menolak menjadi subordinat laki-laki, maka dia dianggap tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat dan menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat.

Menurut perspektif konflik, masyarakat selalu berada dalam keadaan penuh pertentangan karena selalu adanya distingsi atau ketimpangan dalam masyarakat. Karl Marx menyebutkan bahwa di dalam masyarakat terdapat dikotomi antara kelas borjuis dan proletar. Dalam kajian khususnya mengenai perempuan, Fredrick Engles salah satu sahabat Marx mengungkapkan bahwa perempuan telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kapitalis dan para lelaki dengan budaya patriarkinya. Hal ini terjadi karena perempuan khususnya kalangan menengah ke bawah harus menanggung beban ganda dengan bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga tidak bisa meninggalkan sektor domestik yang dibebankan pada perempuan. Selain itu, perempuan yang hanya berkutat pada sektor domestik saja juga mengalami kekerasan dan penindasan karena suami yang bekerja pada sektor publik untuk mencari nafkah merasa lebih superior karena menafkahi keluarga, sementara istri inferior karena menurut mereka urusan sektor domestik tidak lebih penting dari sektor publik. Kapitalisme dan patriarki telah bergandengan tangan melakukan penindasan terhadap perempuan.

Independensi dalam perspektif feminis adalah ketika terciptanya struktur masyarakat yang harmonis yang menempatkan perempuan pada posisi sejajar dengan laki-laki. Perempuan dapat memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki, memiliki

33 hak untuk mengatur bisnis dan kekuatan legal yang dibutuhkan untuk mengejar kebebasan yang diinginkannya (De Beauvoir, 1953:160).

Independensi perempuan sering diartikan dengan kemandirian kaum perempuan seingga tidak bergantung pada orang lain termasuk suami dalam urusan ekonomi dan peningkatan taraf hidup keluarga. Perempuan yang mandiri akan berdaya lebih baik dalam mayarakat secara umum dan keluarga secara khusus.

Perempuan hendaknya bisa keluar rumah dengan bebas, bisa melihat dunia luar sehingga pandangan dan pengetahuannya terbuka. Perempuan bisa mengikuti rapat dan majelis kemasyarakatan, bisa menyuarakan pendapatnya dan dipertimbangkan dalam masyarakat. Perempuan hendaknya bisa bebas memilih bentuk tubuh yang diinginkannya tanpa harus mengikuti keinginan laki-laki dan norma yang berlaku di masyarakat. Perempuan hendaknya bebas memilih untuk menikah atau tidak, serta bebas memilih pasangan hidupnya. Namun pada kenyataannya, perempuan banyak yang terkurung di rumah tanpa hak-hak ekonomi, politik maupun seksual. Perempuan dinyatakan tercipta bagi keluarga, untuk kehidupan rumah tangga, bukan untuk politik dan bukan untuk fungsi publik. Menurut Auguste Comte, terdapat perbedaan-perbedaan radikal, fisik, dan moral antara laki-laki dan perempuan yang membuat statusnya terpisah (Ollenburber, 2002:5).

Masalah mendasar perempuan terkait independensi adalah kebebasan perempuan menyesuaikan antara peran reproduksi dan peran kerja produktifnya. Sejak awal sejarah perempuan telah ditempatkan pada pekerjaan domestik yang

34 menghalanginya turut ambil peran diluar rumah, diluar dunianya, yang merupakan bentuk pemenjaraan perempuan pada fungsi generatif. Perempuan sebagai subjek yang mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga merawat dan membesarkan. Hal ini mennyebabkan pembagian kerja tergender yang hanya menempatkan perempuan pada wilayah domestik dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki.

Pembagian kerja secara seksual mengakibatkan perempuan dijauhkan dari pekerjaan tertentu karena dianggap tidak mampu melakukannya. Hal ini menunjukkan realitas bahwa masyarakat telah mengatur alokasi aktivitas dan tanggung jawab secara murni dengan basis gender.

Peran domestik membatasi alokasi waktu perempuan. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat anak, dan pekerjaan rumah tangga lain sangat memakan waktu. Bisa disimpulkan bahwa waktu yang dipunyai perempuan diatur untuk pemenuhan kebutuhan hidup anggota rumah tangga lainnya tanpa henti. Di lain pihak, tugas yang dilakukan laki-laki dalam ranah domestik hanyalah terbatas pada tugas yang sifatnya berkala seperti membuang sampah, memperbaiki kerusakan pipa air atau memotong rumput halaman. Jenis tugas ini tidak menuntut waktu banyak dan terus menerus, jadwalnya pun dapat diatur sebagai priotitas kesekian. Waktu yang dibutuhkan perempuan untuk mengurusi ranah domestik membuat mereka kesulitan untuk berkarya layaknya laki-laki di sektor publik. Pembatasan pada perempuan berdasarkan gender dan seksualitas ini mempersempit ruang privat mereka dan menjadikan laki-laki dominan di ruang publik. Jika bias gender ini bisa diabaikan

35 dengan adanya berbagai kesempatan untuk memberdayakan perempuan, tentunya hal ini bisa memberikan dampak pada struktur masyarakat yang lebih stabil.

Posisi perempuan yang lemah dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih stabil memicu berbagai lembaga mengadakan program-program pemberdayaan perempuan. Dengan memberdayakn perempuan, diharapkan akan meningkatkan kemandirian perempuan dalam masyarakat. Kemandirian yang dimiliki perempuan, misalnya dalam bidang ekonomi dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya, yang secara tidak langsung juga meningkatkan income per capita suatu daerah.

Perempuan hendaknya juga diberi akses pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Mengurus ranah domestik bukan berarti menghambat perempuan pada ilmu pengetahuan di luar ranah domestik. Perempuan berpendidikan dan memiliki kemandirian ekonomi akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik dan pola pikir yang lebih terbuka dari pada perempuan yang memiliki keterbatasan untuk menambah ilmu pengetahuannya dan mengembangkandiri serta wawasannya

Dokumen terkait