• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perempuan sejak zaman pra-sejarah hingga sekarang masih dianggap makhluk kelas dua setelah kaum laki-laki (De Beauvoir, 1953:83). Kemampuan, kreativitas dan kinerja sangat tidak identik dengan perempuan. Isu-isu yang sangat penting seperti mencari penghidupan atau bekerja di luar rumah sangat jauh dari perempuan. Hal produktif seperti menafkahi keluarga dilakukan oleh kaum laki-laki, sehingga laki-laki menjadi subjek penting. “He is the Subject, he is the Absolute – she is the Other” (De Beauvoir, 1953:16).

Konsep tradisional yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua telah mengakar dalam masyarakat patriarki. Oxford Advanced Learner’s Dictionary menyebutkan patriarchy refers to a society, a system, or a country that is ruled or controlled by men (2000: 1110). Setiap kekuasaan dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki dikontrol oleh laki-laki. Perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh dalam masyarakat atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat. Mereka secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi tergantung pada laki-laki, khususnya dalam institusi pernikahan, sehingga dalam keluarga maupun masyarakat perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Menurut Madsen, pekerjaan perempuan hanya pada wilayah domestik,

(2)

2 mengurus suami, menjadi ibu dengan mengurus anak-anaknya. Peran-peran domestik tersebut dilekatkan pada sosok perempuan oleh masyarakat yang menganut sistem patriarki (2000:2).

Mendobrak stereotip perempuan pada zamannya, penulis perempuan mulai menampilkan tokoh perempuan yang tidak mengikuti pola dalam masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa dalam masyarakat patriarkat yang menempatkan posisi laki-laki di atas perempuan, masih terdapat tokoh perempuan yang bisa berjuang untuk hidupnya sehingga bisa ditempatkan sejajar dengan laki-laki. Tokoh-tokoh perempuan yang berusaha melepaskan label inferior dengan kemandiriannya ini terdapat dalam beberapa karya Jane Austen dengan latar Inggris dan Selasih yang berlatar Indonesia.

Jane Austen yang melihat ketimpangan posisi perempuan dalam masyarakatnya, mengkritik hal tersebut lewat karyanya, salah satunya Mansfield Park. Mansfield Park merupakan novel ketiga Jane Austen setelah Sense and Sensibility dan Pride and Prejudice, yang diterbitkan pada Juli 1814. Jane Austen adalah seorang novelis Inggris yang sering menyorot tajam kondisi sosial masyarakat pada masanya lewat karyanya, yang menjadikannya salah satu penulis terkenal dalam kesusastraan Inggris. Realitas zaman di saat Jane Austen hidup terefleksi jelas dalam banyak novelnya. Inilah masa dimana keluarga duduk dan berkumpul bersama di waktu malam, perempuan belajar dan praktik menjahit dan menenun, saling mengunjungi keluarga, dan membaca dengan suara keras-keras di pelataran. Seting

(3)

3 sosial di masa itu ditandai oleh semaraknya pesta-pesta dansa (balls) yang diadakan oleh orang-orang kelas atas sebagai sarana mencari pasangan hidup yang sepadan. Semua unsur ini secara jelas terekam dalam novel Austen, terutama Pride and Prejudice dan Mansfield Park. Austen merupakan penulis pertama yang dalam novelnya menyuguhkan tokoh-tokoh modern yang relatif berbeda lewat kecerdasan, realisme, simpati dan gaya prosa ala Austen. Ia mendasarkan gayanya pada kecerdasan dan ironi, dan memberikan definisi baru untuk sebuah konsep tokoh utama atau „pahlawan‟. Lazimnya, tokoh utama dalam banyak karya sastra di era kebangkitan romantis (the Romantic Revival) dan masa Viktoria (Victorian era) masih didominasi oleh laki-laki dan dari kalangan keluarga berada. Namun, ini semua menjadi tidak begitu signifikan dalam karya-karya Jane Austen. Hal yang menjadi krusial adalah bagaimana seorang tokoh, sebagaimana terbaca dalam karya-karyanya, membuktikan dirinya pantas memperoleh penghormatan dan pujian dalam masyarakat.

Jane Austen hidup pada masa pergerakan feminis gelombang pertama. Bentuk awal pergerakan feminis pada masa ini menyangkut persamaan hak antara perempuan dan laki-laki dalam kehidupan publik, lebih jauhnya berhubungan dengan persamaan status legal dalam rumah tangga. Ada beberapa teori feminisme gelombang pertama. Pertama, feminisme liberal yang menekankan pada hak individu serta kesempatan yang sama antara perempuan dan laki-laki. Paham ini menuntut perubahan kebijakan dengan melibatkan perempuan sebagai pengambil keputusan dan kebijakan, akar teori

(4)

4 ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama dan di awal abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan. Kedua, feminisme radikal yang memfokuskan pada ketertindasan perempuan. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan beberapa hal seperti tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas, seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. Ketiga, feminisme Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa negara bukan hanya sekedar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum perempuan sebagai pekerja. Sedangkan feminisme sosialis muncul sebagai kritik atas feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Aliran ini sepaham dengan feminism Marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan.

(5)

5 Akan tetapi, aliran feminisme sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap bahwa partiarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Dapat disimpulkan bahwa feminisme sosialis menekankan pada penindasan gender dan kelas, sedangkan Marxis menekankan pada masalah kelas sebagai penyebab perbedaan fungsi dan status perempuan (Tong, 1997).

Mansfield Park menyorot masalah perempuan yang sejalan dengan pergerakan feminis gelombang pertama. Mansfield Park terbit pada tahun 1814 yang merupakan masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) yang juga merupakan masa awal terjadinya revolusi industri sebelum masuknya masa Viktoria (Victorian era). Revolusi industri yang terjadi pada masa ini mempengaruhi kehidupan orang Inggris. Pada masa ini terjadi migrasi besar-besaran masyarakat desa yang sebelumnya bekerja sebagai petani, ke kota untuk bekerja pada sektor industri. Namun, bagi perempuan, rumah tetap menjadi tempat mereka bekerja (Mulgan, 1947:112). Pada masa ini, perempuan tidak memiliki hak politik, hak untuk menuntut dan hak atas kepemilikan. Perempuan tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Satu-satunya tempat bekerja bagi perempuan adalah di dalam rumah tangga melalui pernikahan. Pada masa ini, ketidakpastian pendapatan dan keadaan finansial seorang perempuan membuat mereka menjadi beban bagi keluarga mereka. Mendapatkan pernikahan ideal adalah salah satu cara untuk mendapatkan financial security. Untuk mendapatkan suami yang mapan, perempuan disiapkan seperti kuda pacuan. Selain

(6)

6 harus bisa menyanyi, memainkan alat musik dan bisa berbahasa Perancis atau Italia, kualitas yang harus dimiliki perempuan pada masa ini adalah berbudi luhur, lugu, patuh, dan tidak peduli terhadap pendapat intelektual (Cunnington, 1990:117).

Baik menikah maupun lajang, perempuan pada masa Georgia dituntut untuk menjadi lemah dan tidak berdaya, halus dan rapuh, yang tidak mampu membuat keputusan di luar hal memilih menu masakan dan merawat anak. Perempuan yang baik dan berkedudukan diharuskan bisa memastikan bahwa rumah adalah tempat yang nyaman untuk suami dan anak-anaknya. Fungsi utama perempuan adalah untuk mengelola dan mengurus rumah tangga sehingga suaminya tidak perlu repot memikirkan hal-hal domestik. Semua hal rumah dibebankan pada perempuan sehingga laki-laki bisa melanjutkan mencari nafkah di luar rumah.

Kehidupan rumah tangga bagi keluarga kelas pekerja sangat jauh dari kata nyaman. Daerah penuh sesak London merupakan daerah endemik yang dihuni oleh kelas pekerja. Pekerjaan domestik bagi perempuan tanpa pelayan berarti banyak mencuci pakaian dan gorden, serta membersihkan rumah dari debu pabrik yang menempel. Perabotan di dalam rumah akan sangat berdebu dan menghitam oleh asap batubara yang dikepulkan dari pabrik-pabrik di sekitar pemukiman mereka (Murray, 1982:179).

Dalam hal hidup berpasangan, perempuan diharapkan hanya berhubungan dengan satu orang, yaitu suaminya. Sebaliknya, adalah hal yang dapat diterima jika

(7)

7 seorang laki-laki memiliki banyak istri maupun simpanan dalam hidupnya. Jika perempuan berhubungan dengan laki-laki selain suaminya, mereka akan dicap jelek dan dijauhi masyarakat. Karya sastra pada masa tersebut banyak mendeskripsikan keadaan ini. Perzinahan yang berakhir tragis dapat ditemukan dalam Anna Karenina oleh Tolstoy (1877) dan Madam Bovary oleh Flaubert (1856). Sedangkan dalam Tess of the d’Ubervilles (1891), Thomas Hardy menggambarkan seorang tokoh pahlawan perempuan (heroine) yang dihukum oleh komunitasnya karena kehilangan keperawanannya sebelum menikah. Perempuan diharapkan tunduk pada aturan masyarakat dan hanya mengabdi pada seorang laki-laki yaitu suaminya.

Ketidakadilan juga ditemukan dalam hal pendidikan. Pada masa ini, perempuan tidak diberikan kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang sifatnya komersial dan berkelanjutan. Pendidikan dikategorikan berdasarkan gender, perempuan diberi kesempatan untuk mempelajari mata pelajaran umum seperti sejarah dan sastra umum yang memberikan topik menarik, namun tidak kontroversial untuk didiskusikan (Perkin,1993:89-90). Hal ini menyebabkan perempuan sulit untuk membebaskan diri dari batasan-batasan sosial untuk mencapai status ekonomi yang independen.

Mendobrak stereotip perempuan pada masa itu, Jane Austen menghadirkan tokoh Fanny Price yang memiliki independensi untuk bersikap. Sebagai anak perempuan yang dibesarkan oleh kerabatnya, Fanny tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Namun Fanny yang memiliki keingintahuan yang tinggi, tidak

(8)

8 menjadikan hal itu sebagai keterbatasan untuk memperoleh pengetahuan. Ia banyak belajar dari Edmund, putra kedua Sir Thomas dan juga satu-satunya penghuni Mansfield Park yang ramah terhadap Fanny, sehingga pola pikirnya berkembang. Fanny jauh lebih pintar dan cepat tanggap dibandingkan Maria dan Julia Bertram yang kekanak-kanakan, yang dibesarkan dengan harta berlimpah. Fanny merupakan karakter yang kuat dan menarik karena untuk ukuran perempuan pada zamannya, Fanny merupakan perempuan yang berbeda karena ia mampu menyuarakan pendapatnya di bawah dominasi laki-laki. Melalui tokoh Fanny, Austen menggambarkan sindiran-sindiran terhadap masyarakat Inggris pada masa itu, yang mengatur pernikahan berdasarkan kebutuhan finansial, dan bukanlah cinta.

Ketidakadilan gender tidak hanya terjadi di Inggris pada masa Georgia, melainkan juga terlihat dalam beberapa karya sastra Indonesia pada masa penjajahan Belanda, salah satunya pada roman Kalau Tak Untung karangan Selasih. Selasih adalah seorang penulis dari angkatan Balai Pustaka. Selasih merupakan nama samaran Sariamin Ismail. Ia dilahirkan di Talu, Sumatra Barat pada 31 Juli 1909. Setelah lulus SD (Gouvernement School) pada 1921, ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah guru (Meisjes Normaal School) dan tamat tahun 1925. Sejak itu ia terjun di dunia pendidikan. Sejalan dengan pekerjaannya sebagai guru, Selasih giat dalam pertunjukan sandiwara bertema pendidikan. Menulis di zaman penjajahan tidaklah mudah. Selain berbagai pembatasan yang dikenakan terhadap karya tulis, pengarang setiap saat juga harus siap mempertanggungjawabkan pikiran-pikiran yang

(9)

9 diuraikan di dalam tulisannya tersebut. Sariamin yang aktif sebagai anggota organisasi politik Indonesia Muda dan Gerakan Ingin Merdeka merasakan bahwa dirinya selalu berada di bawah ancaman jika ditemukan bukti melakukan perlawanan terhadap penjajah. Pada zaman itu, menjadi pengarang adalah sekaligus sebagai pejuang untuk kemerdekaan tanah air. Oleh karena itu, ia menggunakan sejumlah nama samaran agar ia dapat terhindar dari penciuman pihak keamanan (polisi) kolonial.

Kalau Tak Untung yang terbit pada tahun 1933, menampakkan tema yang kentara tentang takdir dan upaya menempatkan perempuan pada kedudukannya yang utama sebagai sumber kearifan. Emansipasi yang digagas RA Kartini diterima Selasih dengan cara yang khas, tegas, namun dilandasi cinta kasih. Karena itu, Aman Datuk Madjoindo memberi komentar lewat Radio beberapa hari setelah novel itu diluncurkan, bahwa telah lahir pujangga putri pertama di Hindia Belanda. Selasih juga disebut sebagai pioner dalam penulisan novel dari gendernya.

Melalui Kalau Tak Untung, Selasih memperlihatkan adanya nilai-nilai perempuan yang bergeser dari masa ke masa, khususnya perempuan Minangkabau. Selasih adalah penulis yang mampu menampilkan perempuan sebagai sosok yang kuat, pintar tapi tidak melupakan adat dan tata krama yang akan dikagumi pembaca. Selasih yang dilahirkan pada awal tahun 1900-an dan dibesarkan dalam pendar-pendar primordialistik Minang, melalui novelnya memperlihatkan bagaimana pendidikan adalah hal yang langka pada waktu itu, khususnya bagi kaum perempuan

(10)

10 di Minangkabau. Pada waktu itu, jika seseorang berasal dari keluarga biasa, tidak mempunyai harta dan kedudukan dalam nagari (kampung), adalah mustahil baginya untuk dapat menyekolahkan anaknya, terutama anak perempuan. Kalau pun ada yang bersekolah, pada akhirnya hanya akan putus di tengah jalan.

Banyaknya anak yang tidak dapat bersekolah disebabkan karena situasi ekonomi yang sangat sulit pada masa itu dan pengetahuan masyarakat yang sangat minim tentang pentingnya pendidikan. Yang dapat bersekolah hingga lulus hanyalah anak orang berada, yang memiliki harta dan kedudukan dalam masyarakat. Dan kebanyakan dari anak-anak yang bersekolah itu adalah anak laki-laki. Pada masa itu, anak perempuan hanya disuruh di rumah, mengerjakan pekerjaan rumah serta bekerja ke sawah dan ladang.

Melawan arus pada masanya, dalam novelnya Selasih menghadirkan tokoh Rasmani, yang dibesarkan dalam keluarga yang tidak berada namun mengutamakan pendidikan. Kesulitan hidup yang dijalani keluarga Rasmani sangat jelas digambarkan dalam novel. Namun kesulitan ini tidak menjadi penghambat bagi orangtuanya untuk menyekolahkan Rasmani. Hal ini menjadi pro dan kontra dalam masyarakat. Sebagian berpendapat bahwa orangtua Rasmani sangat pintar mengelola keuangan hingga bisa menyekolahkan anaknya pada pendidikan formal dan juga menyekolahkan mengaji. Padahal mereka tidak punya harta pusaka, sawah dan ladang yang dikelolanya harus disewa dan kerbau pembajaknya pun kepunyaan orang lain. Tidak hanya disekolahkan, tetapi anaknya juga dididik seperti anak orang

(11)

11 berkedudukan pada masa itu; diajarkan menjahit dan merenda, menyulam, menerawang, memasak, membuat kue dan lain-lain. Hal ini mereka terapkan pada anak-anaknya agar mereka dapat tumbuh mandiri tanpa harus tergantung pada laki-laki, walaupun mereka perempuan.

Dalam kedua novel ini penulis menemukan dua karakter heroine yang sama-sama kuat dan terbelenggu pada zaman dan budaya yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Masing-masing novel ini menceritakan tentang perempuan yang hidup dalam aturan masyarakat yang menyebabkan keduanya memiliki keterbatasan dalam menyampaikan pendapat sehingga mereka hanya mampu memendam apa yang dirasakan. Kedua tokoh ini sebenarnya merupakan tokoh yang kuat secara rasio, yang menunjukkan bahwa mereka berbeda dari perempuan-perempuan pada zamannya. Melalui penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa perempuan bukanlah warga kelas dua dan perempuan berhak untuk berpendapat seperti halnya laki-laki.

Berdasarkan alasan di atas penulis tertarik untuk menganalisa Mansfield Park dan Kalau Tak Untung dari sudut pandang feminisme. Penulis ingin membandingkan tindakan perempuan dengan latar belakang yang berbeda dalam mengambil keputusan, terutama dalam urusan domestik dan pilihan hidup. Pada dasarnya, keduanya tidak berani mengungkapkan perasaan karena posisi mereka sebagai warga kelas dua yang selalu didominasi oleh laki-laki. Akan tetapi, dalam perjalanannya, mereka berani bersuara sebagai bentuk independensinya.

(12)

12 1.2 Rumusan Masalah

Karya sastra yang ditulis oleh perempuan biasanya mencerminkan keadaan masyarakat tempat karya sastra tersebut lahir, dimana isu gender selalu hadir di dalamnya. Mansfield Park dan Kalau Tak Untung yang lahir pada masa dimana kebebasan perempuan untuk bersuara sangat terbatas, memperlihatkan adanya bentuk perlawanan atas keinferioritasan perempuan melalui independensi tokoh perempuan dalam masing-masing nove. Permasalahan yang ada dalam novel dapat dielaborasi sebagai berikut:

1. Independensi perempuan pada ranah domestik dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih.

2. Independensi perempuan pada ranah publik dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki dua tujuan, tujuan umum dan khusus. Tujuan khusus penlitian ini adalah untuk menjawab permasalahan di atas, yaitu sebagai berikut:

1. Mengungkap independesi perempuan pada ranah domestik pada masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) di Inggris dan masa penjajahan Belanda di Indonesia khususnya di Minangkabau.

(13)

13 2. Mengungkap independensi perempuan pada ranah publik pada masa kebangkitan romantis (the Romantic Revival) di Inggris dan masa penjajahan Belanda di Indonesia khususnya di Minangkabau.

Dengan menjawab pertanyaan mengenai perempuan dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih, dapat ditarik tujuan umum yang lebih luas. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memberikan pengetahuan terhadap pembaca dan mengubah persepsi tentang karakteristik dan stereotip perempuan, khususnya dalam pandangan patriarki.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis. Manfaat teoritis penelitian ini adalah untuk menerapkan kritik sastra feminis pada karya sastra. Manfaat praktis penelitian ini adalah untuk referensi penelitian-penelitian kritik sastra feminis berikutnya.

1.5 Tinjauan Pustaka

Banyak karya sastra yang telah dianalisa dengan perpekstif kritik sastra feminis menggunakan beberapa pendekatan. Beberapa melihat posisi perempuan dalam masyarakat, namun penulis belum menemukan yang menganalisa dengan melihat independensi sebagai bentuk perjuangan perempuan. Dyen Siska dalam

(14)

14 Masculinity over Femininity in Shakespeare’s Disguise Heroine (2008) telah menganalisa sifat maskulinitas tokoh heroin di bawah kekuasaan dan dominasi laki-laki di dalam karya William Shakespeare dan menemukan bahwa Shakespeare sebagai pengarang menginginkan tidak ada lagi dominasi laki-laki terhadap perempuan dengan menampilkan tokoh perempuan berkarakter kuat, mandiri, cerdik, pemberani melebihi perempuan pada umumnya. Dapat disimpulkan bahwa walaupun perempuan sering mendapat posisi di bawah laki-laki, mereka bisa berjuang untuk hidupnya sendiri seperti halnya laki-laki. Kesimpulan lain adalah bahwa oposisi biner yang disampaikan oleh Cixous tidak selalu benar.

Resti Sriningsih dalam Perempuan dan Mitos (2008) menganalisa pola pembagian kerja perempuan dari masa ke masa dan menyimpulkan bahwa walaupun perempuan dari dahulunya ditempatkan dalam ranah domestiknya, seiring perkembangan zaman perempuan mulai merambah ke ranah laki-laki dan bisa mandiri dengan kemampuannya sendiri.

S.E. Peni Adji dalam Karya Religius Danarto: Kajian Kritik Sastra Feminis (2003) menyebutkan bahwa perspektif ideologis dalam kritik sastra feminis menghasilkan kontruksi sikap dan posisi perempuan dalam cerpen-cerpen Danarto. Sikap-sikap perempuan sangatlah ambivalen dan posisi mereka juga bervariasi. Ambivalensi ini juga tercermin dalam sikap implied author dalam memandang patriarki dan isu gender. Di satu sisi ia menyadari adanya ketimpangan dalam sistem patriarki dalam menempatkan perempuan sehingga ia menyetujui gerakan feminis

(15)

15 yang berusaha menggugat ketimpangan patriarki itu, sebatas gerakan itu tidak menyebabkan perempuan memiliki citra negatif: jahat dan membunuh. Namun disisi lain ia juga tidak begitu menginginkan perubahan pada kemapanan dan kekokohan sistem patriarki itu sendiri sehingga keberhasilan perjuangan feminis baru dengan isu gendernya itu juga akan sulit terwujud.

Selain itu, penulis juga menemukan analisa novel Mansfield Park dengan menggunakan teori yang berbeda. Tutik Mayasari dalam The English Social Condition as Reflected in Jane Austen Mansfield Park: A Sociological Study (2005), menemukan bahwa gereja memegang peranan penting dalam masyarakat, dimana semua hal diatur secara agama termasuk pernikahan, pendidikan, dan ekonomi.

Yuda Iskandar dalam The Impacts of Male Domination toward Female Character in Jane Austen’s Mansfield Park (2008) menemukan bahwa penindasan dari kaum patriarki yang dialami perempuan disebabkan oleh adanya pembagian kedudukan antara laki-laki dan perempuan berdasarkan jenis kelamin (gender). Pembagian ini menempatkan laki-laki sebagai superior dan perempuan sebagai inferior. Posisi laki-laki sebagai superior dalam masyarakat menjadikan dia berkuasa penuh terhadap kehidupan perempuan dengan cara mengaturnya sesuai keinginan mereka. Kekuasaan inilah yang membuat perempuan tertindas oleh dominasi kaum laki-laki dalam masyarakat.

Penelitian ini jelas berbeda dengan penelitian sebelumnya, karena disini yang dianalisa adalah tentang independensi perempuan dalam masyarakat yang

(16)

16 menempatkan perempuan sebagai kelas dua yang bertujuan untuk mengubah persepsi pembaca tentang karakteristik dan stereotip perempuan dalam pandangan patriarki. Penulis berharap penelitian ini memiliki dampak lebih baik dari pada penelitian sebelumnya yang berada dalam ruang lingkup kritik sastra feminis.

1.6. Landasan Teori

Karya sastra yang mengangkat tema perempuan tidak lepas dari pengaruh perkembangan pergerakan feminis. Feminisme menurut Goefe (Sugihastuti, 2003:37) adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan. Kepentingan ini diperjuangkan karena perempuan telah sejak lama tersubordinasi dan menjadi objek dominasi laki-laki.

Dipandang dari sudut sosial, feminisme muncul dari rasa ketidakpuasan terhadap sistem patriarki yang ada pada masyarakat. Pendapat tersebut dikemukakan oleh Millet (Selden, 1996:139) yang menggunakan istilah patriarki (pemerintahan ayah) untuk menguraikan sebab penindasan terhadap perempuan. Patriarki menurut Bhasin (1996:3) merupakan sebuah sistem dominasi dan superioritas laki-laki, sistem kontrol terhadap perempuan, dimana perempuan dikuasai. Dalam patriarki melekat ideologi yang menyatakan bahwa laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah bagian dari

(17)

17 milik laki-laki (Bhasin, 1996:4). Dengan demikian, terciptalah konstruksi sosial yang tersusun atas perempuan dan laki-laki berkuasa penuh mengendalikan hal tersebut. Patriarki meletakkan perempuan sebagai inferior dan laki-laki superior. Kekuatan digunakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam kehidupan sipil dan rumah tangga untuk membatasi perempuan.

1.6.1 Kritik Sastra Feminis

Landasan teori yang dipakai untuk menjawab permasalahan yang telah dikemukakan di atas adalah kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis ini terdiri dari beberapa perspekstif. Yang pertama adalah kritik ideologis, kritik ini melibatkan perempuan, khususnya feminis sebagai pembaca (Djajanegara, 2008: 28-29). Yang menjadi pusat perhatian pembaca adalah deskripsi serta stereotip perempuan dalam karya sastra. Pada dasarnya kritik ini merupakan cara menafsirkan suatu teks, khususnya teks tentang perempuan.

Perspektif kedua adalah ginokritik yang mengkaji penulis-penulis perempuan. Kajian dalam kritik ini adalah masalah perbedaan antara tulisan laki-laki dan perempuan. Perspektif ketiga adalah sosialis atau marxis yang merupakan kritik sastra feminis yang meneliti tokoh-tokoh perempuan dari sudut pandang sosialis, yaitu kelas-kelas masyarakat tokoh perempuan dalam karya sastra lama adalah perempuan yang tertindas yang tenaganya dimanfaatkan untuk keperluan kaum laki-laki yang menerima bayaran.

(18)

18 Perspektif keempat adalah psikoanalitik, kritik sastra feminis yang diterapkan pada tulisan-tulisan perempuan, karena para feminis percaya bahwa pembaca perempuan biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada si tokoh perempuan dalam karya sastra, sedang tokoh perempuan tersebut pada umumnya merupakan cermin penciptanya.

Kritik sastra feminis ras atau kritik sastra feminis etnik merupakan perspektif kelima yang mengkaji tentang adanya diskriminasi seksual dari kaum laki-laki kulit putih atau hitam dan diskriminasi rasial dari golongan mayoritas kulit putih, baik laki-laki maupun perempuan.

Perspektif terakhir adalah kritik feminis lesbian, kritik sastra feminis yang yang hanya meneliti penulis atau tokoh perempuan saja. Dalam kritik ini, para pengkritik sastra lesbian lebih keras untuk memasukkan perspektif feminis lesbian ke dalam kritik sastra feminis serta memasukkan teks-teks lesbian ke dalam ruang lingkup tradisional maupun feminis.

Dalam penelitian ini Penulis menerapkan tiga perspektif dalam kritik sastra feminis yaitu kritik ideologis, ginokritik dan kritik sosialis. Secara ideologis, Penulis sebagai pembaca perempuan berusaha untuk menafsirkan stereotip perempuanyang terdapat dalam kedua novel. Dalam penelitian ini Penulis juga mengkaji tentang kedua pengarang novel yang merupakan perempuan yang menghadirkan tokoh perempuan dalam novelnya dengan dua latar belakang sosial yang berdeda. Penulis menerapkan kritik sosialis untuk melihat pengaruh latar belakang sosial dan kelas masyarakat dalam karya yang menyebabkan perempuan tertindas.

(19)

19 Dalam menganalisa karya sastra feminis, diperlukan teori pendukung yang akan mengungkap permasalahan seputar isu feminis di dalam karya. Pengaplikasian teori-teori ini akan memperjelas tujuan feminisme melalui karya sastra.

1.6.2 Superioritas dan Inferioritas dalam Patriarki

Rueda mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki-laki dianggap memiliki kekuatan lebih dibandingkan perempuan, berada pada posisi lebih tinggi atau disebut juga dengan istilah superior. Pada semua bidang kehidupan, masyarakat memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya, sebagai pihak yang tertindas (inferior). Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).

Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan dianggap sebagai awal pembentukan budaya patriarki. Masyarakat memandang perbedaan biologis antara keduanya merupakan status yang tidak setara. Perempuan yang tidak memiliki otot

(20)

20 dipercayai sebagai alasan mengapa masyarakat meletakkan perempuan pada posisi lemah (inferior). Millet menyatakan bahwa muscular weakness tidak dapat digunakan sebagai alasan peletakan perempuan pada posisi inferior. Laki-laki dianggap memiliki fisik kuat. Tetapi kekuatan fisik itu bukanlah sebuah faktor penting dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan. Peradaban modern mampu menggantikan kekuatan fisik seperti, teknik persenjataan dan pengetahuan. Perbedaan yang lebih dalam antara laki-laki dan perempuan tampak karena masyarakat memperlakukan keduanya secara berbeda (1970: 27).

Menurut Millet, institusi dasar dalam pembentukan budaya patriarki adalah keluarga, di mana ideologi patriarki terpelihara dengan baik dalam masyarakat tradisional maupun modern. Sebagai unit terkecil dari patriarki, keluarga memberikan kontribusi besar dalam penguatan ideologi ini (1970: 33). Keluarga mendorong setiap anggotanya untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat yang menganut patriarki.

Ideologi patriarki dikenalkan kepada setiap anggota keluarga, terutama kepada anak. Anak laki-laki maupun perempuan belajar dari perilaku kedua orang tuanya mengenai bagaimana bersikap, karakter, hobi, status, dan nilai-nilai lain yang tepat dalam masyarakat. Perilaku yang diajarkan kepada anak dibedakan antara bagaimana bersikap sebagai seorang laki-laki dan perempuan. Menurut Millet, ideologi patriarki disosialisasikan ke dalam tiga kategori. Pertama, temperament, merupakan komponen psikologi yang meliputi pengelompokan kepribadian seseorang berdasar pada

(21)

21 kebutuhan dan nilai-nilai kelompok yang dominan. Hal itu memberikan kategori stereotype kepada laki-laki dan perempuan; seperti kuat, cerdas, agresif, efektif merupakan sifat yang melekat pada laki-laki, sedangkan tunduk (submissive), bodoh (ignorant), baik (virtuous), dan tidak efektif merupakan sifat yang melekat pada perempuan. Kedua, sex role, merupakan komponen sosiologis yang mengelaborasi tingkah laku kedua jenis kelamin. Hal ini membedakan gesture dan sikap pada setiap jenis kelamin. Sehingga terjadi pelekatan stereotype pada perempuan sebagai pekerja domestik (domestic service) dan laki-laki sebagai pencari nafkah. Ketiga, status yang merupakan komponen politis dimana laki-laki memiliki status superior dan perempuan inferior (1970: 26).

Ideologi patriarki sangat sulit untuk dihilangkan dari masyarakat karena masyarakat tetap memeliharanya. Stereotip yang melekat kepada perempuan sebagai pekerja domestik membuatnya lemah karena dia tidak mendapatkan uang dari hasil kerjanya mengurus rumah tangga. Pekerjaan domestik tersebut dianggap remeh dan menjadi kewajibannya sebagai perempuan. Dia tidak perlu mendapatkan uang dari hasil kerjanya dan berakibat dia selalu tergantung kepada suaminya. Millet menyatakan bahwa ideologi patriarki tidak dapat diruntuhkan karena secara ekonomi perempuan tergantung pada laki-laki. Ketergantungan itu terjadi dalam seluruh kehidupannya. Secara konvensional laki-laki merupakan sumber utama pendapatan dalam keluarga sedangkan perempuan merupakan pengurus rumah tangga. Laki-laki bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah sedangkan perempuan bekerja di dalam

(22)

22 rumah untuk melakukan semua pekerjaan rumah. Perempuan tidak diijinkan mencari uang sendiri karena laki-laki menjadikannya sebagai property ketika mereka menikah (1970: 40).

Selain itu, keluarga yang menganut sistem patriarki memberi kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi kepada anak laki-laki daripada perempuan. Biasanya orang tua lebih mementingkan anak laki-lakinya untuk sekolah yang tinggi sedangkan anak perempuannya diminta di rumah. Sehingga anak perempuan kesulitan untuk mendapatkan akses pengetahuan. Sistem ini menurut Millet menjadikan kesempatan perempuan memperoleh pekerjaan lebih rendah dibandingkan laki-laki, sehingga perempuan tidak memiliki kapasitas ketika dirinya menikah meskipun ia mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Hal ini karena perempuan memiliki tanggung jawab ganda, yakni sebagai ibu yang harus merawat anak-anaknya dan istri yang melayani suaminya di rumah. Inilah yang mengakibatkan ketimpangan atau ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dalam berbagai hal (1970: 42).

Ketimpangan atau bias gender terepresentasi melalui tokoh-tokoh dalam karya sastra dan menggambarkan baik diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, pembagian kerja, stereotip, maupun kekerasan terhadap perempuan yang tertuang di dalamnya.

Gender adalah sebuah bentuk perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan yang lebih bersifat perilaku (behavioral differences) yang dikonstruksi secara

(23)

23 sosial dan kultural dan berlangsung dalam sebuah proses yang panjang. Jadi, gender merupakan bentukan sosial, maka penempatannya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat universal, artinya antara masyarakat yang satu dengan yang lain mempunyai pengertian yang berbeda-beda dalam memahami gender. Gender berbeda dengan istilah seks. Seks merujuk pada perbedaan jenis kelamin yang secara biologis melekat pada diri perempuan dan laki-laki. (Oakley dalam Fakih, 2001:71-72).

Menurut Fakih, dari analisis gender ternyata banyak ditemukan manifestasi ketidakadilan terhadap perempuan. Pertama, terjadi marginalisasi atau pemiskinan ekonomi. Kedua, subordinasi berupa akses pendidikan yang rendah bagi perempuan. Selain itu, perempuan tidak bisa menjadi pemimpin karena pembawaan perasaan atau emosionalnya. Ketiga, pelekatan stereotip tertentu yang membatasi dan menyulitkan kaum perempuan. Keempat adalah perbedaan peran yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan. Kelima adalah tindak kekerasan fisik maupun mental terhadap perempuan. Hal inilah yang menimbulkan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan (2001: 72-76).

Ketika hak-hak perempuan untuk memperoleh kesetaraan peran dalam keluarga maupun dalam masyarakat tidak dijamin maka terjadi tindak kekerasan terhadap perempuan oleh laki-laki. Dalam sistem patriarki laki-laki memiliki kuasa penuh terhadap perempuan sehingga mereka dapat melakukan apapun yang

(24)

24 diinginkan terhadap istrinya. Secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya karena mereka tidak memperoleh uang atas jerih payah kerjanya. Menurut De Beauvoir, istri dianggap sebagai budak, sedangkan suami adalah tuannya. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (1953: xv).

1.6.3 Sexual Oppression

Seksualitas perempuan merupakan sesuatu yang harus disembunyikan karena tidak pantas untuk diperdengarkan ke masyarakat. Orang tua biasanya tidak menjelaskan mengenai perkembangan seksualitas perempuan dengan detail kepada anak gadisnya. Millet menyatakan bahwa ada banyak hal tabu pada seksualitas perempuan. Misalnya, menstruasi dianggap sebagai hal yang rahasia dan kutukan Tuhan pada tubuh perempuan. Selain itu, perempuan diasingkan pada pondok di tepi desa pada kehidupan primitif. Selanjutnya ia mengatakan kebebasan seksual perempuan dianggap tabu dan mereka dituntut masih perawan sebelum menikah. Keperawanan dianggap sesuatu hal yang paling penting bagi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan melakukan aborsi meskipun kehamilan itu berbahaya baginya atau mereka dipaksa melakukan aborsi yang berbahaya jika mereka belum menikah (1970: 47).

Hal di atas dapat menjadikan penindasan seksual terhadap perempuan. Pada dasarnya sexual oppression pada perempuan terjadi di semua lini kehidupannya,

(25)

25 bahkan mulai masa kanak-kanak sampai mereka dewasa. Pertama, terkait akan perbedaan fisik anak laki-laki dan perempuan secara seksual. Anak gadis tidak memiliki penis dan mereka menganggap bahwa mereka memiliki tubuh lengkap. Tetapi kemudian anak gadis diperlihatkan berbeda oleh masyarakat dengan memberikan hak istimewa kepada laki-laki. Sehingga anak gadis menganggap bahwa perbedaan perlakuan oleh masyarakat diciptakan karena laki-laki dan perempuan berbeda secara seksual. Pada akhirnya anak gadis merasa inferior jika mereka bukan laki-laki (De Beauvoir, 1953: 3).

Perbedaan tubuh antara laki-laki dan perempuan mengakibatkan perbedaan sikap masyarakat terhadap keduanya. Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki dianggap kurang karena dia tidak memiliki penis seperti laki-laki. De Beauvoir menyatakan ketidakberadaan penis pada tubuh perempuan memainkan peranan penting bagi nasibnya.

Inferioritas perempuan berlanjut sampai masa pubertas. Pengalaman pubertas perempuan lebih cepat daripada laki-laki. Fase ini juga membawa perubahan penting bagi anak gadis. Tidak seperti laki-laki yang mengalami pubertas dengan bangga, anak gadis menghadapinya dengan rasa malu. Ketika payudara dan rambut yang ada ditubuhnya tumbuh, mereka terkejut. Rasa sakit yang mengikuti perubahan ini juga mengganggunya dan puncak dari rasa itu ketika mereka mengalami menstruasi pertama (De Beauvoir, 1953: 58).

(26)

26 Menstruasi pertama dianggap sebagai hal yang memalukan bagi perempuan. Perempuan biasanya akan malu jika seseorang mengetahui kondisinya. Perasaan ini menimbulkan inferioritas bagi perempuan (De Beauvoir, 1953: 62).

Anak gadis diharapkan menjadi perempuan. Sayangnya, masyarakat patriarki menempatkannya pada posisi marginal. Anak gadis itu diharuskan melakukan tugas rumah. Mereka diharapkan tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Mereka juga diajari menjadi perempuan seutuhnya dengan konsep feminin yaitu lemah lembut, pasif, dan penurut. Mereka harus menekan kata hatinya untuk memuaskan permintaan masyarakat (De Beauvoir, 1953: 231).

Sexual Oppression pada perempuan berlanjut sampai dewasa. Sexual oppression akan lebih sering terjadi ketika mereka menikah. Perempuan diharapkan menikah. Menurut De Beauvoir, pernikahan dianggap takdir bagi perempuan. Masyarakat yang menganut budaya patriarki menganggap perempuan itu dinikahkan, direncanakan menikah, dan akan menderita jika tidak menikah (1953: 225).

Perempuan dalam masyarakat yang menganut budaya patriarki biasanya dijodohkan, sehingga dia tidak bisa memilih calon suaminya. Sebaliknya, laki-laki dapat memilih calon istrinya. Perempuan diharapkan dapat memberikan anak dan melayani kebutuhan seksual suaminya. Selain itu mereka juga mengurus rumah tangga. Mereka berpikir bahwa pernikahan adalah karir yang menguntungkan karena mereka akan mendapatkan dukungan ekonomi dari suaminya. Apa yang mereka lakukan hanya membuat suaminya senang dengan memberikan pelayanan seksual dan

(27)

27 melakukan pekerjaan domestik (De Beauvoir, 1953:231-232). Kenyataannya anggapan ini hanya membuat perempuan semakin tergantung dengan suaminya. Hal itu sering menimbulkan kekerasan domestik dan sexual oppression tidak dapat diselesaikan.

Hubungan seksual tidak dapat dipisahkan dari pernikahan. Hubungan seksual dianggap sebagai indikasi kebahagiaan dalam pernikahan. Namun kenyataannya, hubungan seksual kadangkala mengakibatkan sexual oppression bagi perempuan. De Beauvoir menyatakan ada dua bentuk sexual oppression pada perempuan yaitu keperawanan dan kenikmatan seksual. Perempuan harus dalam kondisi perawan ketika menikah dengan laki-laki dikarenakan laki-laki ingin menjadi pemilik eksklusif dari tubuh perempuan. Mereka meyakinkan kalau perempuan tidak membawa benih yang buruk. Selanjutnya dia menyatakan bahwa keperawanan hanya untuk perempuan karena laki-laki memperoleh kenikmatan dari hubungan seksual pertama dalam pernikahannya. Perempuan tidak dapat merasakan kesenangan seksual dan hanya laki-laki yang selalu memperolehnya. Bahkan sebaliknya, perempuan akan mendapatkan beban fungsi reproduksi setelah mereka melakukan hubungan seksual (hamil) (1953:244-245).

(28)

28 1.6.4 Independensi

Kebebasan dalam konteks ini dihubungkan dengan cara berpikir dan bertindak. Pemikir seperti John Locke, Immanuel Kant, Karl Marx serta para pemikir kritis lainnya pada berbagai era dalam sejarah yang berbeda memikirkan dan mendeskripsikan kemungkinan realisasinya.

Secara umum, diskusi tentang kebebasan ditandai oleh tiga hal pokok, yaitu cara mendefenisikan kebebasan, cara merealisasikan dan menjamin kebebasan, dan posisi batasan kebebasan dalam sebuah masyarakat.

“Kebebasan alami manusia ialah terbebas dari setiap kekuasaan duniawi (yang lebih tinggi), tidak tunduk pada kemauan atau kekuasaan seorang manusia (raja),melainkan sepenuhnya mengikuti aturan alami sebagai landasan hak-haknya. Kebebasan seorang manusia dalam sebuah masyarakat tidak berbasis pada kekuasaan (orang) lain yang dipaksakan berdasarkan keturunan, juga tidak pada kekuasaan dan keinginan atau keterbatasan sebuah undang-undang selain yangdiputuskan dalam parlemen yang bisa dipercaya.” (Locke 1977: 213)

Dalam tradisi Locke, tedapat tiga dimensi kebebasan: kebebasan diri sendiri, kebebasan terkait pemikiran dan perasaan sendiri serta kebebasan dari barang yang secara legal adalah miliknya. Tiga dimensi kebebasan ini mewarnai berbagai

(29)

29 konstitusi dan penetapan hak-hak asasi manusia. Banyak teori juga mengacu dan merupakan interpretasi defenisi kebebasannya John Locke.

John Locke berangkat dari kebebasan alami yang dimiliki setiap manusia, bukan dikembangkan dalam masyarakat, tetapi sudah ada sejak dilahirkan. Namun, „hak alami‟ ini hanya bisa ditransformasikan dan ditanamkan menjadi hak setiap individu dalam sebuah masyarakat. Argumentasi Locke ini pada intinya mengikuti perubahan sesuai dengan perbedaan filosofis yang ada, hingga saat ini masih berfungsi dan selalu menjadi rujukan bila ingin memahami kebebasan sebagai sebuah nilai dasar. Locke dianggap sebagai pemikir liberalisme terpenting.

Meskipun demikian, defenisi yang selalu menjadi rujukan tidak bisa menyembunyikan bahwa ini sekedar masalah historis yang tidak bisa dipahami tanpa mencermati persyaratan atau penyebab kelahirannya. Selain itu, hal ini tidak bisa dicangkokkan ke dalam kondisi hari ini. Hal ini juga bisa dilihat dari pertanyaan bagaimana kebebasan dalam sebuah masyarakat dijamin serta diwujudkan.

Locke mengemukakan argumentasi melawan keyakinan bahwa ketidaksamaan manusia secara alami menjadi alasan ketidakbebasan sebagian besar manusia. Kebebasan alami dan dengan demikian kebebasan yang berlaku sama bagi semua, adalah sebuah argumentasi yang bersifat revolusioner dalam sebuah masyarakat absolutis di mana para raja melegitimisai kekuasaannya sebagai pemberian Tuhan, sama halnya laki-laki melegitimasi kekuasaannya atas perempuan sebagai aturan sosial.

(30)

30 Meskipun demikian, bagi Locke, kebebasan bukanlah sesuatu yang diberikan secara alami, tapi harus lewat kontrak sosial dalam sebuah masyarakat sebagai sesuatu yang alami.

Dalam sebuah masyarakat kebebasan dijabarkan lewat kepemilikan seseorang, begitu pula kebebasan pikiran dan perasaan harus dijaga lewat partisipasi dalam pengambilan keputusan. Sementara kebebasan memiliki sesuatu memerlukan kebebasan bagi setiap orang untuk memiliki akses ke dunia luar. Kebebasan alami, dengan demikian tidak begitu saja diperoleh, tetapi harus dijamin lewat aturan-aturan dalam masyarakat.

Ketika pertanyaan mengarah pada bagaimana merealisasikan kebebasan, sudah sejak abad ke-18 terdapat kritik terhadap teori John Locke. Pengritik terpenting adalah Jean-Jacques Rousseau, yang membantah sekaligus memperkaya Locke dalam empat butir utama berikut ini:

1. Sebuah kontrak sosial yang baik hanya bisa berfungsi ketika semua manusia sewaktu melahirkan (tatanan) masyarakat mengembalikan hak alaminya untuk kembali memperoleh hak-haknya sebagai warga dari tatanan tersebut.

2. Kontrak sosial mengacu pada masyarakat warga monarkis, bukanlah kontrak yang baik.

3. Kebebasan hanya bisa langgeng bila semua keputusan terkait hukum berlaku sama untuk semua. Dengan begitu, setiap manusia berada di bawah kemauannya sendiri dan bebas.

(31)

31 4. Lebih dari itu, bagi Rousseau, kebebasan juga terkait dengan perkembangan pemikiran. Pada setiap orang, ia melihat adanya kemampuan untuk mengembangkan berbagai kemampuan (perfectibilité) (Benner/Brüggen, 1996: 24). Kemampuan bukanlah sesuatu yang terlahir, tetapi dikembangkan lewat kemungkinan-kemungkinan belajar dan hidup dalam masyarakat.

Dalam kehidupan sosial perempuan dipandang dengan banyak perspektif, secara umum perempuan dipandang sebagai sosok yang menanggung sektor domestik (memasak, mencuci, mengurus anak dan mengatur hal-hal di rumah tangga). Dalam kacamata sosiologi, perempuan bisa dikaji dengan banyak persektif, bisa mengguanakan kacamata teoritis, positivis maupun konflik. Dalam kacamata positivis yang dipelopori oleh Auguste Comte, secara garis besar masyarakat merupakan bentuk dari kesatuan yang tidak bisa terpisah dan selalu dalam keadaan stabil. Keadaan stabil ini disebabkan oleh adanya pemenuhan fungsi yang dijalankan oleh individu dalam masyarakat sehingga masyarakat selalu dalam keadaan yang equilibrium. Jika ada individu yang tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat, maka individu tersebut dianggap menyimpang dan menyebabkan ketidakstabilan dalam masyarakat.

Mengenai perempuan, Comte menganggap bahwa perempuan menjadi subordinat laki-laki jika perempuan tersebut sudah menikah. Hal ini disebabkan karena secara konstitusional perempuan bersifat inferior terhadap laki-laki, karena

(32)

32 kedewasaan mereka berakhir pada masa kanak-kanak (Ollenburber, 2002:2). Jika perempuan menolak menjadi subordinat laki-laki, maka dia dianggap tidak bisa memenuhi fungsinya dalam masyarakat dan menciptakan ketidakstabilan dalam masyarakat.

Menurut perspektif konflik, masyarakat selalu berada dalam keadaan penuh pertentangan karena selalu adanya distingsi atau ketimpangan dalam masyarakat. Karl Marx menyebutkan bahwa di dalam masyarakat terdapat dikotomi antara kelas borjuis dan proletar. Dalam kajian khususnya mengenai perempuan, Fredrick Engles salah satu sahabat Marx mengungkapkan bahwa perempuan telah mengalami kekerasan yang dilakukan oleh kapitalis dan para lelaki dengan budaya patriarkinya. Hal ini terjadi karena perempuan khususnya kalangan menengah ke bawah harus menanggung beban ganda dengan bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan juga tidak bisa meninggalkan sektor domestik yang dibebankan pada perempuan. Selain itu, perempuan yang hanya berkutat pada sektor domestik saja juga mengalami kekerasan dan penindasan karena suami yang bekerja pada sektor publik untuk mencari nafkah merasa lebih superior karena menafkahi keluarga, sementara istri inferior karena menurut mereka urusan sektor domestik tidak lebih penting dari sektor publik. Kapitalisme dan patriarki telah bergandengan tangan melakukan penindasan terhadap perempuan.

Independensi dalam perspektif feminis adalah ketika terciptanya struktur masyarakat yang harmonis yang menempatkan perempuan pada posisi sejajar dengan laki-laki. Perempuan dapat memiliki pekerjaan yang sama dengan laki-laki, memiliki

(33)

33 hak untuk mengatur bisnis dan kekuatan legal yang dibutuhkan untuk mengejar kebebasan yang diinginkannya (De Beauvoir, 1953:160).

Independensi perempuan sering diartikan dengan kemandirian kaum perempuan seingga tidak bergantung pada orang lain termasuk suami dalam urusan ekonomi dan peningkatan taraf hidup keluarga. Perempuan yang mandiri akan berdaya lebih baik dalam mayarakat secara umum dan keluarga secara khusus.

Perempuan hendaknya bisa keluar rumah dengan bebas, bisa melihat dunia luar sehingga pandangan dan pengetahuannya terbuka. Perempuan bisa mengikuti rapat dan majelis kemasyarakatan, bisa menyuarakan pendapatnya dan dipertimbangkan dalam masyarakat. Perempuan hendaknya bisa bebas memilih bentuk tubuh yang diinginkannya tanpa harus mengikuti keinginan laki-laki dan norma yang berlaku di masyarakat. Perempuan hendaknya bebas memilih untuk menikah atau tidak, serta bebas memilih pasangan hidupnya. Namun pada kenyataannya, perempuan banyak yang terkurung di rumah tanpa hak-hak ekonomi, politik maupun seksual. Perempuan dinyatakan tercipta bagi keluarga, untuk kehidupan rumah tangga, bukan untuk politik dan bukan untuk fungsi publik. Menurut Auguste Comte, terdapat perbedaan-perbedaan radikal, fisik, dan moral antara laki-laki dan perempuan yang membuat statusnya terpisah (Ollenburber, 2002:5).

Masalah mendasar perempuan terkait independensi adalah kebebasan perempuan menyesuaikan antara peran reproduksi dan peran kerja produktifnya. Sejak awal sejarah perempuan telah ditempatkan pada pekerjaan domestik yang

(34)

34 menghalanginya turut ambil peran diluar rumah, diluar dunianya, yang merupakan bentuk pemenjaraan perempuan pada fungsi generatif. Perempuan sebagai subjek yang mengandung anak, tidak hanya bertugas melahirkan, namun juga merawat dan membesarkan. Hal ini mennyebabkan pembagian kerja tergender yang hanya menempatkan perempuan pada wilayah domestik dan alokasi kekuasaan perempuan pada kekuasaan publik laki-laki.

Pembagian kerja secara seksual mengakibatkan perempuan dijauhkan dari pekerjaan tertentu karena dianggap tidak mampu melakukannya. Hal ini menunjukkan realitas bahwa masyarakat telah mengatur alokasi aktivitas dan tanggung jawab secara murni dengan basis gender.

Peran domestik membatasi alokasi waktu perempuan. Memasak, mencuci, membersihkan rumah, merawat anak, dan pekerjaan rumah tangga lain sangat memakan waktu. Bisa disimpulkan bahwa waktu yang dipunyai perempuan diatur untuk pemenuhan kebutuhan hidup anggota rumah tangga lainnya tanpa henti. Di lain pihak, tugas yang dilakukan laki-laki dalam ranah domestik hanyalah terbatas pada tugas yang sifatnya berkala seperti membuang sampah, memperbaiki kerusakan pipa air atau memotong rumput halaman. Jenis tugas ini tidak menuntut waktu banyak dan terus menerus, jadwalnya pun dapat diatur sebagai priotitas kesekian. Waktu yang dibutuhkan perempuan untuk mengurusi ranah domestik membuat mereka kesulitan untuk berkarya layaknya laki-laki di sektor publik. Pembatasan pada perempuan berdasarkan gender dan seksualitas ini mempersempit ruang privat mereka dan menjadikan laki-laki dominan di ruang publik. Jika bias gender ini bisa diabaikan

(35)

35 dengan adanya berbagai kesempatan untuk memberdayakan perempuan, tentunya hal ini bisa memberikan dampak pada struktur masyarakat yang lebih stabil.

Posisi perempuan yang lemah dalam membangun tatanan masyarakat yang lebih stabil memicu berbagai lembaga mengadakan program-program pemberdayaan perempuan. Dengan memberdayakn perempuan, diharapkan akan meningkatkan kemandirian perempuan dalam masyarakat. Kemandirian yang dimiliki perempuan, misalnya dalam bidang ekonomi dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya, yang secara tidak langsung juga meningkatkan income per capita suatu daerah.

Perempuan hendaknya juga diberi akses pada pendidikan dan ilmu pengetahuan. Mengurus ranah domestik bukan berarti menghambat perempuan pada ilmu pengetahuan di luar ranah domestik. Perempuan berpendidikan dan memiliki kemandirian ekonomi akan lebih memiliki akses informasi yang lebih baik dan pola pikir yang lebih terbuka dari pada perempuan yang memiliki keterbatasan untuk menambah ilmu pengetahuannya dan mengembangkandiri serta wawasannya

1.7. Metode Penelitian

Sesuai dengan kerangka teori di atas, metode yang diterapkan dalam tesis ini adalah metode deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka. Adapun metode analisisnya menggunakan metode independensi dengan melihat struktur dan agency dalam masyarakat serta fenomena-fenomena yang terkait dengan independensi perempuan sebagai second sex itu sendiri. Metode ini dianggap mampu memecahkan masalah yang muncul dari konstruksi budaya patriarki yang

(36)

36 menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Sebagai gambaran, berikut ini metode penelitian yang dilakukan.

1.7.1 Metode Pengumpulan Data

Teknik pengambilan data dilakukan secara kualitatif di mana data yang dihasilkan bersifat mendeskripsikan secara detil segala sesuatu yang dianggap relevan sebagai sumber kajian. Sumber data pada penelitian ini adalah novel Mansfiel Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih. Pemilihan novel ini didasarkan pada kesamaan tema dan karakter heroine yang sama-sama kuat dan tekungkung dalam zaman dan budayanya yang menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Pengambilan data akan dilakukan dengan metode penganalisaan langsung kepada objek kajian dan membuktikan bagian-bagian dalam novel yang menunjukkan bentuk independensi perempuan berikut implikasinya di dalam teks. Selain itu, penulis juga menggunakan data sekunder berupa sumber-sumber referensi tertulis (buku, laporan penelitian, makalah, jurnal, dan lain-lain) yang berkaitan dengan objek penelitian.

1.7.2 Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data, hal pertama yang dilakukan adalah membaca kedua novel untuk mendapatkan esensi cerita. Setelah proses pembacaan, hal-hal di dalam novel kemudian dikaitkan dengan situasi masyarakat pada masa itu. Setelah itu, dicari

(37)

37 unsur-unsur sosial yang terdapat pada masyarakat dalam kedua novel tersebut terkait dengan isu feminisme. Hal ini akan membuktikan seperti apa bentuk-bentuk independensi perempuan sebagai second sex yang ingin disampaikan oleh Jane Austen dan Selasih. Isu-isu independensi dan penempatan perempuan sebagai warga kelas dua ini kemudian dielaborasi lagi dan dianalisa sesuai dengan teori.

1.7.3 Sistematika Penyajian

Sistematika penyajian berisi garis besar tentang kerangka penelitian dalam masing-masing bab. Penyajiannya adalah sebagai berikut. Bab I berisi pendahuluan yang berfungsi sebagai pengantar pada pembaca. Bab II berisi pembahasan mengenai independensi perempuan dalam ranah domestik yang terdapat dalam novel Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih. Bab III membahas independensi perempuan dalam ranah publik dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih. Bab IV berisi kesimpulan tentang independensi perempuan sebagai second sex dalam Mansfield Park karya Jane Austen dan Kalau Tak Untung karya Selasih.

Referensi

Dokumen terkait

PENGANGKATAN DOSEN PEMBIMBING SKRIPSI/ TUGAS AKHIR PROGRAM SARJANA (S1) FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMESTER GENAP TAHUN AKADEMIK 2017/2018 PROGRAM STUDI

Hasil persentase luas area fraksi menunjukkan kadar DAG lebih tinggi pada suhu 160°C, hasil tersebut berhubungan dengan hasil kadar ALB yang menunjukkan bahwa asam lemak

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan sistem tanam dan dosis pupuk kandang sapi serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata

(1) PSH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf a digunakan dalam rangka melaksanakan pekerjaan harian non-lapangan, melaksanakan koordinasi pengamanan

Adapun hubungan antar entitas yang terbentuk pada diagram ER desain logikal dalam perancangan basis data ini, disesuaikan dengan informasi yang akan dihasilkan dari sistem

agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Korban bullying menunjukkan fungsi sosial

Profil Lulusan Diploma III Keperawatan Indonesia adalah sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan pada individu, keluarga, dan kelompok khusus di tatanan klinik dan komunitas

Model terbaik adalah hasil pemodelan dari metode RKU yang ditambahkan peubah boneka pada data presipitasi GCM dengan time lag berdasarkan bentuk model yang lebih