• Tidak ada hasil yang ditemukan

Shalat Jenazah :

Dalam dokumen Hukum hukum seputar shalat.pdf (Halaman 79-81)

B. SHALAT

16. Shalat Jenazah :

Hukum memandikan mayat adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Rasulullah s.a.w. berkenaan dengan seorang yang terjatuh dari untanya :

“Mandikanlah dia oleh kalian dengan air dan daun kayu gaharu”.

Adapun orang yang syahid dunia akhirat, yaitu orang yang gugur fi sabilillah, maka dia tidak boleh dimandikan berdasarkan sebuah riwayat yang mengmukakan :

“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda berkenaan dengan para syuhada perang Uhud : Janganlah kalian memandikan mereka, karena setiap luka atau setiap darah (yang menetesnya) pada hari kiamat akan semerbak mewangi ( bagaikan) minyak wangi kasturi”.

Begitu juga mereka itu tidak boleh dishalatkan.

Hukum mengkafani mayit adalah fardu kifayah berdasarkan sabda Nabi s.a.w. berkenaan dengan seorang yang sedang berihram yang tersungkur jatuh dari untanya lalu wafat :

Sedikitnya mengkafani mayat adalah menutupi aurat seperti orang hidup dan sunatnya dengan tiga lapis kain, yakni : Satu lapis kain sarung dan dua lapis kain putih yang menutupi seluruh badannya, sebagaimana diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :

“Rasulullah s.a.w. dikafani dengan tiga lapis kain putih bersih yang terbuat dari kapas di dalamnya tidak ada baju dan tidak pula ada serban”.

Disunatkan kain kafan itu yang baik berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :

“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah bersabda :Apabila seseorang di antara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah dia mengkafaninya dengan yang bagus”.

Adapun mengkafani mayat perempuan, maka sunatnya dengan lima lapis kain, sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan bersanad dari Laila binti Qanif Ats Tsaqafiah Ash Shahabiah r.a. yang mengatakan :

“Aku adalah termasuk orang yang memandikan puteri Rasulullah s.a.w. Maka yang pertama- tama diberikan kepada kami oleh Rasulullah s.a.w. adalah kain basahan, kemudian baju, kemudian tutup kepala, kemudian kerudung, kemudian sesudah itu dikafani dengan kain lain (yang menutupi seluruh badannya). Dia berkata : Saat itu Rasulullah s.a.w. duduk di tengah-tengah pintu dengan membawa kain kafannya dan memberikannya kepada kami satu helai -satu helai”.

Seusai mayat dimandikan dan dikafani ia wajib dishalatkan kecuali bila mayat itu wafat syahid, maka ia tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits tentang para syuhada Uhud seperti yang telah diutarakan di atas. Hukum menyolatkan mayat adalah fardu kifayah :

Sabda Rasulullah s.a.w. :

“Shalatlah kalian atas sahabat kalian”.

Sudah dianggap cukup ketika seseorang telah menyolatkannya dan diperbolehkan menyolatkannya di sepanjang waktu sebagaimana diperbolehkannya di masjid dan di luar masjid berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. :

“Sesungguhnya Nabi s.a.w. telah menyolatkan Suhail bin Baidha’ di Masjid”.

Syarat sah menyolatkan mayat adalah : Suci, menutup aurat, berdiri, dan menghadap kiblat karena menyolatkan mayat (shalat janazah) tak ubahnya sama dengan syarat fardu, sehingga syarat- syaratnya juga harus sama dengan syarat-syarat bagi sahnya shalat fardu. Kemudian daripada itu disunatkan bagi imam shalat janazah berdiri di samping kepala mayat bila mayat itu laki-laki, dan disamping perutnya bila mayat itu perempuan.

Diriwayatkan dalam sebuah hadits :

“Sesungguhnya Anas r.a. menyolatkan seorang mayat laki-laki, maka dia berdiri di samping kepalanya dan (dia pun menyolatkan ) seorang mayat perempuan, maka dia berdiri di samping perutnya. Kemudian Al ‘Ala’ bin Ziyad bertanya kepadanya : Begitukah Rasulullah s.a.w. cara menyolatkan mayat perempuan, yakni (berdiri) di samping perutnya dan untuk mayat laki-laki (berdiri ) di samping kepalanya ? Dia menjawab : Ya !”.

Apabila seseorang bermaksud hendak shalat janazah, hendaklah ia niat shalat untuknya dan ini hukumnya fardu karena shalat janazah juga sama dengan shalat yang lain. Kemudian ia bertakbir empat kali berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Jabir r.a. :

“Sesungguhnya Nabi s.a.w. shalat untuk Najasyi. Maka beliau takbir untuknya sebanyak empat kali”.

Kemudian sesudah takbir yang pertama membaca Fatihahatul Kitab berdasarkan hadits Ibnu Abbas r.a. :

“Sesungguhnya ia shalat janazah, lalu ia pun membaca Fatihatul Kitab(surah Al Fatihah ) dan ia berkata : Hendaklah kalian mengetahui, sesungguhnya itu adalah sunnah (Rasul)”.

Selanjutnya sesudah takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. sebagai salah satu fardu shalat janazah dan sesudah takbir ketiga mendo’akan mayat dengan do’a apa saja. Sedangkan berdo’a dengan do’a yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. adalah lebih afdol. Di antara do’a-do’a yang dicontohkan oleh beliau, yaitu: Seperti do’a yang terdapat dalam hadits riwayat Muslim dan An Nasai dari ‘Auf bin Malik yang mengatakan :

“Aku mendengar Nabi s.a.w. saat shalat janazah membaca : Ya Allah, ampunilah dia, kasihilah dia, muliakanlah kediaman dia, mandikanlah dia dengan air, dengan es, dengan embun, sucikanlah dia dari berbagai kesalahan seperti kain putih yang dibersihkan dari kotoran, gantilah rumah dia dengan rumah yang lebih bagus dari rumahnya dahulu, dan gantilah ahli keluarga dia dengan ahli keluarga yang lebih baik dari ahli keluarganya dahulu”.

Dan terakhir dari rangkaian fardu shalat janazah ini adalah sesudah takbir keempat membaca salam.

Dalam hadits yang diriwayatkan dari Umamah bin Sahl, bahwasanya seorang laki-laki dari kalangan sahabat Nabi s.a.w. memberi tahu kepadanya :

“Sesungguhnya sunnah dalam shalat janazah, yaitu : Imam bertakbir kemudian membaca Fatihatul Kitab sesudah takbir yang pertama dengan lirih dalam dirinya, kemudian membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. dan berdo’a untuk mayat dengan tulus ikhlas dalam takbir-takbir berikutnya, dan dia tidak boleh membaca apapun daripadanya, kemudian membaca salam dengan lirih dalam dirinya”.

Apabila mayat telah dishalatkan hendaklah segera dimakamkan dan tidak usah ditangguhkan untuk menunggu kehadiran orang yang hendak menyolatkannya, kecuali walinya saja untuknya boleh ditangguhkan untuk menunggu kehadirannya bila memang tidak dikhawatirkan akan membusuk. Barangsiapa di antara kaum muslimin wafat ( gugur ) dalam berperang dengan orang-orang kafir sebelum perang itu berakhir, maka ia dianggap syahid sehingga tidak boleh dimandikan dan tidak boleh dishalatkan berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Jabir r.a. :

“Sesungguhnya Rasulullah s.a.w telah memerintahkan berkenaan dengan para syuhada Perang Uhud agar menguburkan mereka bersama darahnya dan tidak menyolatkan serta tidak memandikannya”.

Sedangkan apabila ia terluka saat dalam pertempuran dan wafat sesudah perang berakhir, maka ia harus dimandikan dan dishalatkan.

Dalam dokumen Hukum hukum seputar shalat.pdf (Halaman 79-81)