• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT SECARA CROSS

D. Cross Collateral dan Cross Default (Jaminan Silang dan

4. Sharing Collateral

Sasaran akhir dari adanya cross defaulttentunya berkaitan dengan pembagian hasil eksekusi agunan yang dijadikancross collateral. Oleh karena itu, jika dilakukan cross collateral, seyogianya dibuat juga sharing collateral. Dalam hal ini terdapat

beberapa perjanjian kredit yang di-crossdefault-kan merupakan satu debitur, misalnya antara kredit investasi di-crossdefault-kan dengan kredit modal kerja (untuk debitur yang sama dan oleh kreditur yang sama), sekalipun tidak dibuat security sharing agreement, maka pembagian hasil penjualan agunan tidak begitu rumit karena debiturnya satu dan dikelola oleh kreditur yang sama. Namun demikian, jika yang di- crossdefault-kan meupakan beberapa debitur, apalagi debitur dikelola oleh bank berbeda, dapat dipastikan pembagian hasil penjualan agunan debitur akan mengalami kesulitan, terutama terkait dengan bagian masing-masing kreditur.

Jika para pihak menghendaki adanya cross default di masing-masing perjanjian kredit, maka seyogianya dinyatakan juga dalam klausula terdapat pada perjanjian-perjanjian kreditnya (seluruh perjanjian yang di-crossdefault-kan) bahwa akibat hukum dari wanprestasi tersebut, yaitu munculnya hak kreditur untuk melakukan eksekusi pada seluruh agunan yang menjadi jaminan kredit pada masing- masing fasilitas kredit yang di-crossdefault-kan. Hal demikian untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya perbedaan interprestasi bahwa atas cross default tersebut hanya berkaitan dengan wanprestasi pada masing-masing perjanjian kredit saja dan tidak menyangkut mengenai sisi agunan kredit.

Untuk memberikan kemudahan pemahaman mengenai cross defaultini, dapat diberikan ilustrasi sebagai berikut. Dalam suatu perjanjian fasilitas kredit tertentu, misalnya perjanjian kredit diberi nama A, dimana atas perjanjian kredit A tersebut mempunyai agunan kredit, yaitu benda B. Di sisi lain, terdapat perjanjian fasilitas kredit, misalnya bernama C, yang mempunyai agunan kredit berupa benda D. dalam

hal ini,perjanjian yang di-cross default-kan tersebut adalah antara perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C.

Ilustrasi tersebut berbeda dengan apa yang telah dijelaskan di atas mengenai cross default sepihak. Dalam contoh tersebut (cross default murni), berarti jika perjanjian kredit C default, maka perjanjian kredit A menjadi jatuh tempo seketika (dalam hal ini perjanjian A tidakdefault,tetapi jatuh tempo seketika), sedangkan jika perjanjian kredit C dinyatakan default, maka perjanjian kredit A tidak terpengaruh. Dalam perjanjian kredit yang di-cross default-kan tersebut (cross default murni), jika perjanjian kredit A default, berarti juga perjanjian kredit C juga default, demikian sebaliknya. Jika perjanjian kredit Cdefault, berarti perjanjian kredit A juga default.

Jika dalam suatu kasus bahwa perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C telah dinyatakan default, maka pada masing-masing perjanjian kredit yang telah di-cross default-kan itu dipastikan terlebih dahulu telah memuat atau termasuk juga mengatur mengenai cross collateral. Dengan adanya default atas perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C, otomatis hal ini berarti terhadap agunan masing-masing perjanjian kredit A yaitu, berupa benda B dan perjanjian kredit C dengan agunan berupa benda D, dapat dilakukan eksekusi berdasarkan eksekusi hak-hak agunan kredit.

Teknis pelaksanaan dari cross default dan cross collateral tersebut adalah sebagai berikut:

1. Masing-masing perjanjian kredit A dan C dicantumkan klausula cross default. Kemudian, dalam akta pemberian agunannya untuk masing-masing perjanjian

kredit, yaitu dlam akta pemberian hak tanggungan atau akta pemberian fidusia atau akta pemberian hipotek atau akta gadai menunjuk seluruh perjanjian kredit yang di-crossdefault-kan, dalam hal ini adalah perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C (perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C sebagai perjanjian pokok). Dalam hal ini, untuk benda-benda yang menjadi objek jaminan yang sama dapat dibuatkan 1 (satu) akta pemberian jaminan. Jadi hanya ada 1 (satu) akta pemberian agunan untuk masing-masing APHT atau APJF atau akta pemberian hipotek atau akta gadai. Untuk benda agunan yang berbeda, misalnya benda berupa tanah dan kendaraan bermotor dapat dibuatkan masing-masing akta pemberian jaminan. Yaitu untuk benda berupa tanah dibuat akta pemberian hak tanggungan dan untuk kendaraan bermotor dibuatkan akta pemberian jaminan fidusia.

Kemudian, terhadap perjanjian ikutannya tersebut didaftarkan pada kantor pendaftaran hak agunan, yaitu pada kantor pendaftaran tanah untuk akta pemberian hak tanggungan, kantor pendaftaran fidusia untuk akta pemberian jaminan fidusia, dan kantor pendaftaran hipotek untuk akta pemberian hipotek. Lahirnya hak preferent atas pemberian fasilitas kredit berdasarkan perjanjian kredit A dan perjanjian kredit C adalah pada saat pendaftaran agunan di masing- masing kantor pendaftaran. Sebagai bukti adanya hak preferent adalah sertifikat hak tanggungan atau sertifikat jaminan fidusia ataugrosse acte hipotek.

Dengan demikian, atas seluruh hakpreferent tersebut lahirnya secara bersamaan, tidak ada hak preferent yang lahir lebih dahulu dari yang lain. Lahirnya hak

preferent atau pendaftaran tersebut merupakan hal yang sangat penting karena jika terdapat selisih waktu pendaftaran, maka mempunyai akibat hukum yang sangat luas, yaitu seperti berikut ini.

a. Jika benda yang dijadikan jaminan kredit adalah objek jaminan fidusia, maka pendaftaran atau hak preferent yang diakui hanya terhadap pendaftaran pertama kali atau yang lebih dahulu dan pendaftaran yang kedua dan seterusnya menjadi batal demi hukum. Pasal 17 UU Jaminan Fidusia menyatakan bahwa pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar. Dengan demikian, sebagai tanda bukti hak preferent yang benar adalah sertipikat jaminan pertama yang didaftarkan lebih dahulu. Pendaftaran atas objek jaminan kedua dan seterusnya dilarang dan dengan demikian, dapat menjadi batal demi hukum. Hal yang menjadi kendala adalah jika debitur diberikan fasilitas kredit modal kerja oleh beberapa lembaga pembiayaan, misalnya beberapa lembaga perbankan, maka mungkin sekali atas stok dan/atau piutang debitur yang bersangkutan telah saling didaftarkan pada kantor pendaftaran fidusia oleh masing-masing bank yang memberikan fasilitas kredit modal kerja karena untuk kredit modal kerja, sebagai agunan utama adalah berupa stok dan piutang.

Untuk memudahkan pembagian hasil eksekusi atas barang yang dijadikan jaminan, maka seyogianya jika krediturnya lebih dari 1 subjek hukum perlu mengadakan perjanjian pembagian hasil eksekusi atau security sharing

agreement. Dalam security sharing agreement tersebut mungkin diatur pembagiannya secara paripasu atau sama rata dan lain sebagainya.

b. Jika objek jaminan menyangkut objek hak tanggungan atau objek hipotek yang bendanya sama, maka pendaftaran yang pertama akan diberikan status hak tanggungan peringkat I (satu) dan selanjutnya tanpa batas atas hipotek peringkat I (satu) dan selanjutnya tanpa batas. Artinya jika terdapat pendaftaran kembali terhadap benda agunan fasilitas kredit yang telah didaftarkan pada kantor pendaftaran hak tanggungan atau kantor pendaftaran hipotek, maka sertipikat hak tanggungan atau grosse acte hipotek yang pertama kali didaftarkan akan menjadi hak tanggungan peringkat I (satu) atau hipotek peringkat I (satu), sedangkan pendaftaran kedua dan seterusnya diberikan hak tanggungan peringkat II dan seterusnya atau hipotek II dan seterusnya.

Jika hak tanggungan peringkat I atau hipotek peringkat I belum dilakukan eksekusi, maka hak tanggungan peringkat II atau hipotek peringkat II tidak dapat langsung melakukan eksekusi, sekalipun telah terjadi default. Acara yang dapat dilakukan adalah gugatan kepada pengadilan.

Selanjutnya, jika hak tanggungan peringkat I telah hapus atau hipotek peringkat I telah hapus, maka hak tanggungan peringkat II atau hipotek peringkat II berubah menggantikan kedudukannya menjadi hak tanggungan peringkat I atau hipotek peringkat I.

Untuk memudahkan pembagian hasil eksekusi atas barang yang dijadikan jaminan, seyogyanya jika kreditornya lebih dari 1 subjek hukum, maka perlu diadakan perjanjian pembagian hasil eksekusi atausecurity sharing agreement. Dalam security sharing agreement diatur pembagian hasil penjualan agunan kredit secara paripasu atau sama rata dan lain sebagainya.

2. Dalam hal masing-masing perjanjian kredit A dan C telah terdapat/dicantumkan klausula cross default dan dalam pemberian agunannya, baik dalam akta pemberian hak tanggungan atau akta pemberian jaminan fidusia, atau akta pemberian hipotek atau akta gadai tidak menunjuk seluruh perjanjian kredit yang di-cross default-kan, maka terdapat perbedaan interpretasi yaitu, sebagai berikut a. Perjanjiancross defaulthanya menyangkut wanprestasi ataudefaultsaja, tidak

menyangkut terhadap jaminannya. Artinya, terhadap jaminan agunan berlaku pada masing-masing akta pemberian jaminan agunan yang menunjuk pada perjanjian kredithanya yang ditunjuk saja, hal ini didasarkan pada pendapat bahwa yang ditunjuk dalam perjanjian pemberian agunan adalah hanya nomor dan tanggal perjanjian itu saja, tidak menunjuk perjanjian kredit lainnya. b. Perjanjian cross default tersebut tidak hanya menyangkut wanprestasi saja,

tetapi juga telah menyangkut agunannya, karena sekalipun yang ditunjuk dalam perjanjian pemberian agunan adalah hanya nomor dan tanggal perjanjian itu saja, tidak menunjuk perjanjian kredit lainnya, tetapi dalam pengertian luas, perjanjian lain tersebut telah ditunjuk di-renvoi oleh perjanjian yang satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu, agar lebih memberikan perlindungan kepada kreditur, maka dalam perjanjian kredit yang dimaksudkan adanya klausula cross default juga perlu ditindaklanjuti dengan adanya cross collateral dan juga adanya security sharing agreement.

Jika suatu kredit hendak di-crossdefault-kan dengan suatu fasilitas kredit existing, maka pelaksanaan cross default dalam perjanjian kredit yang existing tentunya sepenuhnya tergantung addendum (perubahan) terhadap perjanjian kredit. Artinya, jika para pihak dlam pemberian fasilitas kredit yang existing tidak bersedia melakukan perubahan terhadap perjanjian fasilitas, maka tidak akan terjadi cross collateral default murni, tetapi cross default sepihak. Apalagi jika fasilitas kredit yangexistingtersebut ternyata mempunyai kondisi yang lebih baik, maka hal tersebut biasanya akan ada keengganan untuk melakukancross default dengan fasilitas kredit lainnya yang belum jelas prospeknya.63

Pengertian addendum dalam hal ini adalah perubahan terhadap perjanjian kredit. Secara teknis, perubahan demikian dapat dibuat secara lengkap atau secara sederhana. Yaitu melalui surat-menyurat yang dapat dijadikan bukti adanya saling setuju mengenai perubahan perjanjian, sepanjang memenuhi persyaratan sahnya perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

E. Perjanjian Kredit SecaraCross Collateralpada PT Bank Mandiri (Persero),

Dokumen terkait