TESIS
Oleh
KIKI PUSPITA MAYASARI
107011119/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
KIKI PUSPITA MAYASARI
107011119/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : KIKI PUSPITA MAYASARI
Nomor Pokok : 107011119
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)
Pembimbing Pembimbing
(Notaris Syafnil Gani, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
Anggota : 1. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Dedi Harianto, SH, MHum
Nama : KIKI PUSPITA MAYASARI
Nim : 107011119
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN
KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN
SECARA CROSS COLLATERAL (STUDI DI PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK MEDAN IMAM BONJOL)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama :KIKI PUSPITA MAYASARI
i
dengan agunan fasilitas kredit. Oleh karena itu, hukum harus mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap variasi pemberian agunan fasilitas kredit tersebut. Variasi dan perlindungan hukum ini, antara lain berkaitan dengan adanya cross collateraldan cross default dalam agunan kredit. Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur (borrower), ada 3 (tiga) macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara yang pertama, debitur memperoleh kredit hanya dari satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara yang kedua, debitur memperoleh kredit dari suatu sindikasi yang anggotanya terdiri atas lembaga-lembaga pemberi kredit. Pada cara yang kedua ini, terdapat satu perjanjian kredit saja, perjanjian antara debitur dengan sindikasi sebagai pemberi kredit, hal ini dikenal dengan sindikasi kredit. Cara yang ketiga, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dan masing-masing lembaga pemberi kredit tersebut. Secara hukum, masing-masing perjanjian kredit itu tidak berhubungan satu sama lain kecuali apabila di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkan cross default clause(klausula ingkar janji silang).
Pelaksanaan sistem pemberian kredit dengan jaminan secara cross collateral dilakukan melalui pembuatan perjanjian kredit oleh masing-masing kreditur dengan debitur dengan pemberian jaminan yang dapat berupa Hak Tanggungan. Dalam sistem pemberian kredit dengan jaminan secara cross collateral, para kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur lainnya terutama pada saat pembagian hasil penjualan eksekusi jaminan apabila debitur cidera janji, meskipun berdasarkan UUHT mereka sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang berbeda. Selain Hak Tanggungan, maka perjanjian berbagi jaminan memberi kepastian hukum atas jaminan pelunasan kredit yang telah diberikan oleh para kreditur kepada debitur dan dapat meminimalisir potensi konflik yang ada antara sesama kreditur yang tergabung dalam sistem pemberian kredit secaracross collateralini.
Adapun jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) sedangkan sifat penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis,. Diperlukan peraturan khusus yang mengatur tentang cross collateral. Hal ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik itu terhadap kreditur maupun debitur dalam melakukan perjanjian kredit khususnya bila perjanjian tersebut menggunakan agunan yang saling silang ataucross collateral.
ii
should be able to provide proper legal protection to the variation of giving this credit facility collateral. Variation and legal protection are closely related to cross collateral and cross default in credit collateral. Viewed from legal correlation between a lender (person who gives credit) and a debtor (borrower), there are three kinds of method for a debtor in obtaining credit from a loan institution for his business. The first method is that a debtor obtains credit from only one loan institution for his business. The second method is that a debtor obtains a credit from loan syndication whose members consist of some loan institutions. In the latter method, there is only one credit contract; namely, a contract between a debtor and a loan syndication which is known as loan syndication. The third method is that a debtor obtains credit from some different loan institutions so that he can obtain the credit for covering all he needs for his business. It means that there are some bilateral credit contracts between the debtor and the loan institutions respectively. Legally, each credit contract does not have any correlation with one another unless a cross default clause is attached in each credit contract.
The implementation of giving credit with cross collateral method is done by making a credit contract with hypothecation by each creditor. In giving credit with cross collateral, each creditor has the same right, especially in obtaining the share of the proceeds of the sale of the execution when the debtor breaches the contract although based on UUHT, as the holders of hypothecation, they have different levels. Besides hypothecation, the agreement in sharing the collateral gives legal certainty in the debtor’s paying off the credit and can minimize potential conflict among the creditors who jointly give credit with cross collateral method.
The type of the research was judicial normative which was categorized as a descriptive analytic method. It is recommended that a specific regulation should be needed to regulate this collateral method in order to give legal certainty and legal protection, either to creditors or to debtors in implementing credit contract, especially when the contract uses cross collateral hypothecation.
iii
perlindungan-Nya karena hanya dengan berkat rahmat dan karunia-Nya penulisan
tesis berjudul ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PEMBERIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SECARA CROSS COLLATERAL
(STUDI DI PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK CABANG MEDAN IMAM
BONJOL) dapat terlaksana. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan
untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn.) Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang
mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat
terpelajar, Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS, CN., Bapak Notaris
Syafnil Gani, S.H., M.Hum dan Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, MHum
selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan
dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Demikian pula ucapan terima
kasih kepada Dosen Penguji Ujian TesisBapak Dr. Dedi Herianto, S.H., MHum.,
dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, S.H., MS., yang telah memberikan masukan
iv
sempurna dan terarah.
Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
dalam menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada
Penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., MS, CN, selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
tesis ini.
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi A, S.H., CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan dorongan kepada Penulis untuk segera menyelesaikan penulisan
v
proses kegiatan belajar mengajar di bangku kuliah.
6. Seluruh Staf/Pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan bantuan kepada
Penulis selama menjalani pendidikan.
7. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi di Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, khususnya Angkatan Tahun 2008 yang telah
banyak memberikan motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar
selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah
kepada kita semua.
Penyusunan tesis ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun
kenyataannya masih ditemukan kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan
ilmu pengetahuan yang dimiliki. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan tesis ini.
Medan, Juli 2012 Penulis,
vi
Nama : Kiki Puspita Mayasari
Tempat / Tanggal Lahir : Sidikalang, 20 Maret 1987
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Karyawan BUMN
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
Alamat Rumah : Jalan Bakti Indah V No.44 Medan
Telepon/HP : 061- 8441084 / 081263227720
II. PENDIDIKAN FORMAL
1. SD Negeri Barisan Nauli Sidikalang Lulus tahun 1999
2. SLTP Negeri 1 Sidikalang Lulus tahun 2002
3. SMU Negeri 4 Medan Lulus tahun 2005
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus tahun 2009
5. S-2 Program Magister Kenotariatan FH USU Lulus tahun 2012
III. PENDIDIKAN INFORMAL IEC (International Education Centre) Jl. Hayam Wuruk No.17 Medan Tertanggal : 2008 s/d 2009
vii
ABSTRAK... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP... vi
DAFTAR ISI... vii
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Manfaat Penelitian ... 14
E. Keaslian Penelitian... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 15
1. Kerangka Teori... 15
2. Konsepsi….. ... 21
G. Metode Penelitian... 23
1. Jenis Penelitian ... 24
2. Sifat Penelitian ... 25
3. Sumber Data ... 25
4. Teknik Pengumpulan Data ... 26
5. Analisis Data…… ... 27
BAB II PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT SECARACROSS COLLATERALPADA PT BANK MANDIRI (PERSERO), TBK... 28
A. Gambaran Umum PT Bank Mandiri (Persero),Tbk ... 28
viii
1. Proses Permohonan Kredit ... 45
2. Proses Analisa Kredit ... 50
3. Proses Persetujuan Kredit ... 51
4. Peran Notaris dalam Pemberian Kredit ... 52
D. Cross Collateral dan Cross Default (Jaminan Silang dan Ingkar Janji Silang)... 55
1. Cross Collateral/ Joint Collateral(Jaminan Silang/ Agunan Bersama)... 56
2. Cross Default... 66
3. Cross Default Sepihak ... 73
4. Sharing Collateral... 74
E. Perjanjian Kredit SecaraCross Collateralpada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk... 82
1. Pengaturan Perjanjian Kredit Secara Umum... 82
2. Pengaturan Perjanjian Kredit Secara Cross Collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk ... 91
BAB III PELAKSANAAN SISTEM PEMBERIAN KREDIT SECARA CROSS COLLATERAL DENGAN PEMBERIAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA PT BANK MANDIRI (PERSERO) TBK ... 94
A. Hak Tanggungan sebagai Salah Satu Jaminan Kredit... 94
1. Asas-asas Hak Tanggungan... 96
2. Objek Hak Tanggungan... 108
3. Hapusnya Hak Tanggungan ... 109
B. Pemberian Kredit dengan Jaminan Kredit ... 113
1. Jaminan Kredit ... 113
ix
3. KedudukanSecurity Agent (Agen Jaminan) Dalam
Perjanjian Berbagi Jaminan...……… 124
4. Perjanjian Berbagi Jaminan di PT Bank Mandiri (Persero), Tbk ... 126
D. Tahap Pembebanan Objek Jaminan Kebendaan dengan Hak Tanggungan Pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk 126 BAB IV PENYELESAIAN KREDIT BERMASALAH BAGI DEBITUR YANG WANPRESTASI DALAM ...PENGIKATAN KREDIT SECARA CROSS COLLATERAL PADA PT BANK MANDIRI, (PERSERO) TBK ... 131
A. Kelalaian atauDefaultdalam Suatu Perjanjian... 131
B. Eksekusi Hak Tanggungan Sebagai Bentuk Penyelesian Kredit Bermasalah... 136
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 144
A. Kesimpulan ... 144
B. Saran ... 145
i
dengan agunan fasilitas kredit. Oleh karena itu, hukum harus mampu memberikan perlindungan yang memadai terhadap variasi pemberian agunan fasilitas kredit tersebut. Variasi dan perlindungan hukum ini, antara lain berkaitan dengan adanya cross collateraldan cross default dalam agunan kredit. Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur (borrower), ada 3 (tiga) macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara yang pertama, debitur memperoleh kredit hanya dari satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan kreditnya. Cara yang kedua, debitur memperoleh kredit dari suatu sindikasi yang anggotanya terdiri atas lembaga-lembaga pemberi kredit. Pada cara yang kedua ini, terdapat satu perjanjian kredit saja, perjanjian antara debitur dengan sindikasi sebagai pemberi kredit, hal ini dikenal dengan sindikasi kredit. Cara yang ketiga, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya, terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dan masing-masing lembaga pemberi kredit tersebut. Secara hukum, masing-masing perjanjian kredit itu tidak berhubungan satu sama lain kecuali apabila di dalam masing-masing perjanjian kredit dicantumkan cross default clause(klausula ingkar janji silang).
Pelaksanaan sistem pemberian kredit dengan jaminan secara cross collateral dilakukan melalui pembuatan perjanjian kredit oleh masing-masing kreditur dengan debitur dengan pemberian jaminan yang dapat berupa Hak Tanggungan. Dalam sistem pemberian kredit dengan jaminan secara cross collateral, para kreditur mempunyai kedudukan yang sama dengan kreditur lainnya terutama pada saat pembagian hasil penjualan eksekusi jaminan apabila debitur cidera janji, meskipun berdasarkan UUHT mereka sebagai pemegang Hak Tanggungan dengan peringkat yang berbeda. Selain Hak Tanggungan, maka perjanjian berbagi jaminan memberi kepastian hukum atas jaminan pelunasan kredit yang telah diberikan oleh para kreditur kepada debitur dan dapat meminimalisir potensi konflik yang ada antara sesama kreditur yang tergabung dalam sistem pemberian kredit secaracross collateralini.
Adapun jenis penelitian atau metode pendekatan yang dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) sedangkan sifat penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-analitis,. Diperlukan peraturan khusus yang mengatur tentang cross collateral. Hal ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum baik itu terhadap kreditur maupun debitur dalam melakukan perjanjian kredit khususnya bila perjanjian tersebut menggunakan agunan yang saling silang ataucross collateral.
ii
should be able to provide proper legal protection to the variation of giving this credit facility collateral. Variation and legal protection are closely related to cross collateral and cross default in credit collateral. Viewed from legal correlation between a lender (person who gives credit) and a debtor (borrower), there are three kinds of method for a debtor in obtaining credit from a loan institution for his business. The first method is that a debtor obtains credit from only one loan institution for his business. The second method is that a debtor obtains a credit from loan syndication whose members consist of some loan institutions. In the latter method, there is only one credit contract; namely, a contract between a debtor and a loan syndication which is known as loan syndication. The third method is that a debtor obtains credit from some different loan institutions so that he can obtain the credit for covering all he needs for his business. It means that there are some bilateral credit contracts between the debtor and the loan institutions respectively. Legally, each credit contract does not have any correlation with one another unless a cross default clause is attached in each credit contract.
The implementation of giving credit with cross collateral method is done by making a credit contract with hypothecation by each creditor. In giving credit with cross collateral, each creditor has the same right, especially in obtaining the share of the proceeds of the sale of the execution when the debtor breaches the contract although based on UUHT, as the holders of hypothecation, they have different levels. Besides hypothecation, the agreement in sharing the collateral gives legal certainty in the debtor’s paying off the credit and can minimize potential conflict among the creditors who jointly give credit with cross collateral method.
The type of the research was judicial normative which was categorized as a descriptive analytic method. It is recommended that a specific regulation should be needed to regulate this collateral method in order to give legal certainty and legal protection, either to creditors or to debtors in implementing credit contract, especially when the contract uses cross collateral hypothecation.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Bank sebagai lembaga intermediasi, memiliki fungsi sebagai perantara
keuangan. Dalam peranannya tersebut, terdapat hubungan antara bank dan nasabah
didasarkan pada dua unsur yang saling terkait, yaitu hukum dan kepercayaan. Suatu
bank hanya dapat melakukan kegiatan dan mengembangkan banknya, apabila
masyarakat “percaya” untuk menempatkan uangnya dalam produk-produk perbankan
yang ada pada bank tersebut. Berdasarkan kepercayaan masyarakat tersebut, bank
dapat memobilisasi dana dari masyarakat untuk ditempatkan di banknya dan
menyalurkan kembali dalam bentuk kredit serta memberikan jasa-jasa perbankan.1
Transaksi perbankan merupakan hubungan hukum antara bank dan nasabah di
bidang bisnis, yang di dalamnya kedua belah pihak saling membutuhkan. Transaksi
perbankan terdiri atas transaksi di bidang pendanaan dan transaksi di bidang
perkreditan.
Transaksi perbankan di bidang perkreditan memberikan peran bagi bank
sebagai lembaga penyedia dana bagi debitur. Bentuknya dapat berupa kredit, seperti
kredit investasi, kredit modal kerja, kredit usaha kecil, dan jenis-jenis kredit lainnya
sesuai dengan kebutuhan debiturnya. Hubungan antara debitur dan bank merupakan
1Johannes Ibrahim,Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit
hubungan interpersonal di bidang perkreditan bertumpu pada suatu kepercayaan atau
lebih lazim dikenal dengan kredit.
Dalam istilah umum, kredit perbankan hampir dipersamakan dengan utang
piutang pada umumnya. Namun senyatanya dalam kaidah hukum perdata, antara
utang dan kredit merupakan dua perbuatan hukum yang berbeda dan memiliki
konsekuensi yuridis yang berbeda pula.2
Utang piutang pada umumnya disebut dengan pinjam habis pakai atau dengan
istilah verbuikleen dalam bahasa Belanda yang kemudian diartikan lebih lanjut
sebagai pinjam mengganti.3 Pinjam mengganti menurut hukum perdata, yaitu salah
satu pihak melepaskan sejumlah uang atau barang tertentu kepada pihak lain yang
menghabiskannya apabila dipakai dengan janji bahwa di kemudian hari uang atau
barang tersebut dikembalikan dalam jumlah yang sama, dalam keadaan yang sejenis,
dalam keadaan yang sama.4
Ketentuan di atas sebagaimana dimuat dalam Pasal 1757 KUHPerdata
menyatakan bahwa :
“Apabila sang debitur tidak membayar bunga atas pinjamannya maka kreditur tidak dapat membayar bunga atas pinjamannya maka kreditur tidak dapat menuntut kebatalan atas perjanjian utang piutangnya apabila bunga atas utang tidak diperjanjikan sebelumnya”.
2Harun Badriyah,Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,
2010, hal.1
3Ibid
4Lihat Pasal 1754 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pradnya
Dengan kata lain, tidak ada bunga utang piutang bila tidak diperjanjikan oleh
para pihak sebelumnya. Ketentuan dalam pinjam mengganti atau utang piutang pada
umumnya ini berbeda dengan ketentuan dalam kredit perbankan yang memiliki
kekhasan tersendiri.
Istilah kredit berasal dari bahasa Latin “credere” (lihat pula “credo” dan
“creditum”), yang kesemuanya berarti kepercayaan (dalam bahasa Inggris “faith” dan
”trust”). Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur (yang memberi kredit,
lazimnya bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah, penerima
kredit) mempunyai kepercayaan, bahwa debitur dalam waktu dan dengan
syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan (membayar kembali) kredit
yang bersangkutan.5
Dalam membangun suatu kepercayaan, antara para pihak dibutuhkan berbagai
informasi. Informasi-informasi yang dibutuhkan dari nasabah akan diminta pihak
bank yang dikenal dengan persyaratan-persyaratan kredit.
Untuk memperoleh keyakinan, sebelum mengabulkan kredit, pihak kreditur
atau bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan,
modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Dalam dunia perbankan kelima faktor
diatas dikenal dengan sebutan “the five c’s of credit analysis” atau prinsip 5 C’s,
5Rachmadi Usman,Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
yaitu Character (sifat/watak), Capacity (kemampuan), Capital (modal), Collateral
(agunan) danCondition of Economy(keadaan/prospek ekonomi).6
Demi tercapainya falsafah tesebut maka apabila ada pihak yang ingin
mengajukan permohonan kredit, bank harus melakukan pertimbangan dan analisa
terhadap berbagai hal seperti analisa 5 C’s, kemampuan bank itu sendiri dalam
memberikan kredit serta melaksanakan prinsip kehati-hatian yang tercantum dalam
Pasal 8 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan.7
Untuk dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu kesepakatan
antara bank sebagai kreditur dengan nasabah penerima kredit sebagai debitur yang
dituangkan dalam suatu bentuk perjanjian. Adapun M. Yahya Harahap memberikan
definisi perjanjian sebagai berikut :8
“Perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.”
Perjanjian antara bank dengan nasabah penerima kredit disebut juga sebagai
Perjanjian kredit dimana perjanjian ini berakar pada perjanjian pinjam meminjam
sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata yang mempunyai definisi sebagai
suatu perjanjian dengan pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat
6 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan,
Jakarta, 1995, hal. 28
7Ibid ,hal.30
8 Sri Soesilowati, et al, Hukum Perdata (Suatu Pengantar), Gitama Jaya Jakarta, Jakarta,
bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis
dan mutu yang sama pula.9
Dilihat dari hubungan hukum antara pemberi kredit (lender) dan debitur
(borrower), ada 3 (tiga) macam cara bagi seorang debitur dalam memperoleh kredit
untuk keperluan usahanya dari lembaga pemberi kredit. Cara yang pertama, debitur
memperoleh kredit hanya dari satu lembaga pemberi kredit bagi seluruh kebutuhan
kreditnya. Cara yang kedua, debitur memperoleh kredit dari suatu sindikasi yang
anggotanya terdiri atas lembaga-lembaga pemberi kredit. Pada cara yang kedua ini,
terdapat satu perjanjian kredit saja, perjanjian antara debitur dengan sindikasi sebagai
pemberi kredit, hal ini dikenal dengan “sindikasi kredit”.10
Cara yang ketiga, debitur menerima kredit dari beberapa lembaga pemberi
kredit secara terpisah guna memperoleh seluruh jumlah kebutuhan kreditnya. Artinya,
terdapat beberapa perjanjian kredit bilateral antara debitur dan masing-masing
lembaga pemberi kredit tersebut. Secara hukum, masing-masing perjanjian kredit itu
tidak berhubungan satu sama lain kecuali apabila di dalam masing-masing perjanjian
kredit dicantumkancross default clause(“klausula ingkar janji silang”).
Klausul tersebut berisi pernyataan hukum yang mengikat para pihak bahwa
apabila debitur mengalami kemacetan kredit yang diperoleh dari lembaga pemberi
kredit yang lain maka kredit yang diterima debitur berdasarkan perjanjian tersebut
9R. Subekti,Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 125.
10Sindikasi kredit atauloan syndicationberbeda dengan kredit sindikasi atausyndicated loan.
menjadi demi hukum ingkar janji (default) dan dengan demikian pemberi kredit
berhak untuk seketika dan sekaligus menagih seluruh kredit sekalipun jangka waktu
kredit belum berakhir atau masa penyicilan belum tiba saatnya. Hal ini disebut
dengan sistem “joint financing”.11
Dalam joint financing kredit diberikan kepada pelanggan perusahaan
pembiayaan (multifinance company) atau kepada debitur bank dengan sumber dana
yang berasal dari beberapa bank atau bank dengan perusahaan pembiayaan non
bank.12
Perikatan ditinjau dari segi pemenuhan pembayaran kembali uang yang
dipinjam dapat dibagi menjadi dua jenis perikatan. Pertama, transaksi kredit “tanpa
jaminan” atau “unsecured transaction” yang dapat dijabarkan sebagai perjanjian yang
11Sutan Remy, Sjahdeini,Kredit Sindikasi Proses, Teknik Pemberian, dan Aspek Hukumnya,
PT Kreatama, Jakarta, 2006, hlm. 1.
12Joint financingberbeda dengan kredit sindikasi, adapun perbedaan tersebut terletak
tidak mempunyai jaminan (not guaranteed) atau tidak ada perlindungan (not
protected) atas pemenuhan pembayaran kembali hutangnya. Dalam hal ini, pelunasan
pembayaran kembali hutang, tidak dijamin dengan sesuatu barang yang mempunyai
nilai atau harga yang sama atau melebihi jumlah pinjaman. Itulah sebabnya, ditinjau
dari aspek bisnis, transaksi tersebut dapat dikategorikan sebagai unsecured debt
karena merupakan transaksi utang tanpa jaminan sedangkan dari aspek yuridis,
disebut tuntutan tanpa jaminan (unsecured claim) dan krediturnya dikategorikan
kreditur tanpa jaminan (unsecured kreditur).13
Apabila tidak ada jaminan khusus yang diberikan oleh debitur kepada kreditur
maka apabila debitur lalai/cidera janji (wanprestasi) dalam memenuhi kewajibannya
membayar hutang maka kreditur harus mengajukan gugatan untuk membuktikan
kelalaian debitur dan apabila putusan telah menyatakan debitur lalai, kreditur dapat
langsung memohon penetapan kepada Pengadilan Negeri setempat untuk
mengeksekusi benda yang dijaminkan dalam perjanjian kredit tersebut. Setelah
permohonan dikabulkan maka kelanjutan sita eksekusi adalah penjualan lelang. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 200 ayat (1)Herziene Indlansch Reglement (“HIR”) dan
Pasal 218 ayat (2) Rechtsreglement Voor de Buitengewesten (“Rbg”) yang pada
intinya menyatakan bahwa penjualan barang yang disita dilakukan dengan
perantaraan Kantor Lelang, oleh pejabat yang menyita barang itu atau orang lain yang
cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut pertimbangan Ketua Pengadilan
13 M. Yahya, Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar
Negeri setempat. Jadi setelah sita eksekusi dilaksanakan, Undang-undang
memerintahkan penjualan barang sitaan. Cara penjualannya dengan perantaraan
Kantor Lelang dan penjualannya disebut Penjualan Lelang (executoriale verkoopatau
foreclosure sale).
Kedua, transaksi kredit yang “dilindungi jaminan” atau secured transaction,
dimana terhadap utang atau pinjaman, debitur memberi barang jaminan sebagai
perlindungan pemenuhan pembayaran kepada kreditur. Apabila debitur ingkar atau
lalai memenuhi pembayaran utang sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian,
pemenuhan dapat dipaksa (imposed) dengan jalan eksekusi barang jaminan di mana
kreditur dilindungi dengan hak preferensi (untuk menerima pelunasan terlebih dahulu
dibanding kreditur lainnya) dan hak separatis serta hak parate eksekusi yang
menyebabkan kreditur dapat memperoleh pelunasan piutangnya melalui “penjualan
lelang” berdasarkan penetapan pengadilan tanpa perlu mengajukan gugatan terlebih
dahulu atau melalui penjualan barang jaminan di bawah tangan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak.
Dari segi bisnis, transaksi ini dikategorikan sebagai transaksi utang yang
dilindungi jaminan (secured debt) dan kreditur berada dalam posisi terjamin (secured
creditor) sedangkan dari segi hukum, tuntutan pemenuhan pembayaran utang
dilindungi dengan barang jaminan, sehingga dikategorikan sebagai secured claim
dengan jalan menjual atau mengeksekusi barang jaminan melalui pengadilan.14
Adapun dalam transaksi perkreditan atau peminjaman uang, jaminan yang
diserahkan debitur harus dibuat dengan perjanjian antara pemilik jaminan dengan
kreditur atau bank yang disebut perjanjian pengikatan jaminan yang sifatnya
accesoir.15
Sebagaimana telah disebutkan di atas, jaminan utang dapat berupa barang
(benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan
utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak
kebendaan kepada pemegang jaminan. Suatu hak kebendaan (zakelijk recht) ialah
suatu hak memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda, yang dapat
dipertahankan terhadap tiap orang.16
Secara umum, benda dalam Pasal 504 KUH Perdata dibagi dalam 2 (dua)
kelompok besar, yaitu yang bergerak dan yang tidak bergerak, maka tanggung jawab
si berhutang menurut Pasal 1131 KUH Perdata, pada asasnya meliputi seluruh harta si
berhutang, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, dan yang dipakai sebagai
patokan untuk mengukur ”yang sudah atau akan ada” adalah saat hutang dibuat.17
Hukum Jaminan dan untuk masing-masing kelompok benda oleh KUH
Perdata diberikan lembaga jaminannya masing-masing. Untuk benda bergerak
disediakan lembaga jaminan berbentuk gadai (diatur dalam Pasal 1150 KUH Perdata)
dan Fidusia (diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia)
15Accesoirartinya perjanjian pengikatan jaminan merupakan perjanjian tambahan yang
eksistensinya atau keberadaannya mengikuti perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit.
16R. Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hlm. 62. 17J. Satrio,Hukum Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT Citra Aditya Bakti,
sedangkan untuk benda tetap (tidak bergerak) disediakan lembaga hipotik untuk kapal
yang terdaftar dengan isi kotor 20 m3 (dua puluh meter kubik) atau lebih dan pesawat
terbang (diatur dalam Pasal 1162 KUH Perdata) dan Hak Tanggungan untuk benda
tidak bergerak berupa tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996
Tentang Hak Tanggungan (”UUHT”).18
Tanah digolongkan benda tidak bergerak menurut sifatnya di mana tiap bagian
dari bumi yang dapat diberi batas dan segala sesuatu yang langsung atau tidak
langsung melekat padanya dalam satu kesatuan, yakni tanah dengan segala sesuatu
yang melekat dengan tanah, baik organis maupun mekanis, termasuk pekarangan
serta kebun dan segala sesuatu yang tumbuh di atas tanah.19
Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling
disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit sebab tanah pada
umumnya mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak dan
sulit untuk digelapkan dan dapat dibebani dengan hak tanggungan yang merupakan
jaminan khusus yang memberikan hak istimewa kepada kreditur sebagaimana telah
dijelaskan di atas.
Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan)
bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan dibandingkan dengan kreditur lainnya, Hak
Tanggungan juga selalu mengikuti obyek yang dijaminkan dalam tangan siapa pun
obyek itu berada dan Hak Tanggungan juga memenuhi asas spesialitas dan publisitas
18Salim, HS,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 94.
19
sehingga dapat mengikat pihak ketiga, memberikan kepastian hukum kepada pihak
pihak yang berkepentingan dan mudah serta pasti pelaksanaan eksekusinya.
Konsep mengenai kepastian hukum bagi para kreditur yang memberikan
kredit dengan sistem cross collateral terutama dalam mengeksekusi jaminan Hak
Tanggungan apabila debitur ingkar janji atau wanprestasi (default) merupakan topik
yang sangat perlu diteliti, karena dalam kasus ini pemberian kredit diberikan oleh
lebih dari satu kreditur kepada satu debitur yang sama dalam waktu yang berbeda
atau tidak secara bersamaan dengan jaminan berupa tanah sehingga atas tanah
tersebut dibebankan lebih dari 1 (satu) peringkat Hak Tanggungan kepada masing
masing kreditur.
Ketentuan Hak Tanggungan sendiri mengatur bahwa suatu obyek Hak
Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin
pelunasan lebih dari satu hutang.20 Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani
dengan lebih dari satu Hak Tanggungan maka masing-masing Hak Tanggungan
diberikan peringkat yang ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada kantor
pertanahan.21Selanjutnya dalam hal debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan
peringkat pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
20Pasal 5 ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 TentangHak Tanggungan atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
21Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 TentangHak Tanggungan atas Tanah
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut.22
Dengan ketentuan tersebut maka dalam hal joint financing kredit dengan
pemberian jaminan tanah dan bangunan yang diikat dengan Hak Tanggungan tidak
menutup kemungkinan akan timbul masalah dikemudian hari terkait dengan proses
penjualan objek jaminan, pelunasan hutang dan pelaksanaanjoint financingkredit itu
sendiri. Disebabkan karena kreditur kedua dan/atau seterusnya selaku pemegang Hak
Tanggungan selain peringkat pertama atau terdahulu menurut ketentuan UUHT lebih
memberikan hak preferen atau hak didahulukan pada kreditur pemegang Hak
Tanggungan pertama dibandingkan dengan kreditur kedua dan atau seterusnya guna
menjamin pelunasan hutangnya debitur (lebih utama pemegang Hak Tanggungan
pertama).
Dalam penelitian ini Bank Mandiri merupakan bank yang dijadikan objek dari
penelitian mengenai cross collateral. Bank Mandiri merupakan bank terbesar milik
pemerintah saat ini yang menjadi pelaku ekonomi yang memiliki peran yang strategis
di Indonesia. Yang tentu saja memiliki banyak permasalahan kompleks berkaitan
dengan kredit perbankan.
Adapun sasaran penelitian ini adalah untuk mengetahui hakikat dari cross
defaultdan cross collateraldalam perjanjian kredit serta upaya yang dapat dilakukan
22Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah
bank dalam mengeksekusi jaminan yang diikat secara cross collateralbila si debitur
wanprestasi.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian yang dimuat dalam latar belakang tersebut diatas,
maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pengaturan pemberian kredit secara cross collateral pada PT
Bank Mandiri (Persero), Tbk ?
2. Bagaimanakah pelaksanaan sistem pemberian kredit secaracross collateral pada
PT Bank Mandiri (Persero), Tbk ?
3. Bagaimanakah penyelesaian kredit bermasalah terhadap debitur pemegang hak
tanggungan yang jaminannnya diikat secara cross collateral pada PT Bank
Mandiri (Persero), Tbk?
C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada judul dan permasalahan dalam penelitian ini, maka dapat
dikemukakan bahwa tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan pemberian kredit secaracross collateral pada PT
Bank Mandiri (Persero), Tbk.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan sistem pemberian kredit secara cross collateral
pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk.
3. Untuk mengetahui penyelesaian kredit bermasalah terhadap debitur pemegang
hak tanggungan yang jaminannnya diikat secara cross collateral pada PT Bank
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis
maupun praktis sebagai berikut :
1. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan bagi perkembangan ilmu
pengetahuan hukum, khususnya di dalam bidang hukum perbankan, hukum jaminan
dan hukum kepailitan yang menyangkut dalam hal proses pemberian kredit cross
collateral.
2. Secara Praktis
Penelitian ini dapat memberikan pemahaman dan gambaran yang jelas kepada
praktisi hukum khususnya notaris dan kalangan perbankan serta masyarakat luas
dalam melaksanakan perjanjian kredit, khususnya perjanjian kredit secara cross
collateral.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana,
maka penelitian dengan judul“Tinjauan Yuridis Terhadap Pemberian Kredit Dengan
Jaminan Hak Tanggungan Secara Cross Collateral Pada Perbankan (Studi di PT
Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Iman Bonjol)” , belum pernah ada yang
melakukan penelitian sebelumnya.
Namun sebagai bahan referensi terdapat penelitian yang dilakukan oleh
judul ”Analisis Yuridis Perjanjian Kredit Sindikasi Dengan Jaminan Hak Tanggungan
“ (Studi di Bank UOB Indonesia)”. Penelitian ini dilakukan pada tahun 2010 dan
objek penelitiannya yaitu pada bank UOB Indonesia. Sedangkan penelitian tesis ini
menjadikan PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol menjadi
objek yang diteliti.
Penelitian tersebut secara spesifik membahas jenis perjanjian kredit yaitu
sindikasi dan akibat hukumnya bila terjadi wanprestasi.
Dengan demikian, maka penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat
dipertangungjawabkan dari segi isinya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti
perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi
yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup
dan fakta yang luas.23
Sedangkan menurut Bintaro Tjokromijoyo dan Mustofa Adidjoto “teori
diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan causal yang logis di antara
perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai
23Soejono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,
kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani
permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut”.24
Adapun teori sistem dari Mariam Darus yang mengemukakan bahwa sistem
adalah kumpulan asas-asas hukum yang terpadu yang merupakan landasan di atas
mana dibangun tertib hukum.25
Dari beberapa pengertian teori di atas dapat disimpulkan bahwa maksud
kerangka teori adalah pengetahuan yang diperoleh dari tulisan dan dokumen serta
pengetahuan kita sendiri yang merupakan kerangka dari pemikiran dan sebagai
lanjutan dari teori yang bersangkutan, sehingga teori penelitian dapat digunakan
untuk proses penyusunan maupun penjelasan serta meramalkan kemungkinan adanya
gejala-gejala yang timbul. Dengan kata lain menurut M.Solly Lubis, kerangka teori
adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis mengenai suatu
kasus atau permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan
teoritis.26
Menurut Soejono Soekanto, kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis
atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum
tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosiologi dan
kurang relevan bagi ilmu hukum.27
24Bintaro Tjokroamidjoyo dan Mustofa Adijoyo,Teori dan Strategi Pembangunan Nasional,
Haji Mas Agung, Jakarta, 1998, hal 12
25Mariam Darus Badrulzaman,Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Bandung, Alumni,
1983, hal 15
Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara
khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian hukum normatif. Penelitian
ini berupaya guna menganalisis secara hukum terhadap pemberian kredit secaracross
collateral, artinya memahami asas hukum perjanjian (sebagai subjek), asas hukum
jaminan (sebagai objek) serta akibat hukumnya bila terjadi wan prestasi.
Dalam perjanjian kredit yang dilaksanakan antara kreditur dan debitur memuat
seperangkat hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan atau ditepati oleh para pihak
yang dinamakan prestasi. Menepati (“nakoming”) berarti memenuhi isi perjanjian,
atau dalam arti yang lebih luas melunasi (“betaling”) pelaksanaan perjanjian, yaitu
memenuhi dengan sempurna segala isi, tujuan dari ketentuan sesuai dengan kehendak
yang telah disetujui oleh para pihak.28
Dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, terdapat empat syarat untuk
sahnya perjanjian yaitu, kata sepakat kecakapan, hal tertentu dan sebab yang halal.
Untuk mengetahui kapan terjadinya kata sepakat, KUH Perdata sendiri tidak
mengaturnya, tetapi dalam ilmu pengetahuan terdapat beberapa teori sebagai
berikut:29
1. Teori Kehendak (wilstheorie): Dalam teori ini kata sepakat dianggap telah terjadi
manakala para pihak menyatakan kehendaknya untuk mengadakan suatu
perjanjian.
2. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie): Berdasarkan teori kepercayaan, kata
sepakat dalam suatu perjanjian dianggap telah terjadi pada saat pernyataan salah
satu pihak dapat dipercaya secara obyektif oleh pihak yang lainnya.
3. Teori ucapan (uitingstheorie): Dalam teori ini yang dilihat adalah ucapan
(jawaban) debitur. Kata sepakat dianggap telah terjadi pada debitur mengucapkan
persetujuannya terhadap penawaran yang dilakukan kreditur. Kalau dilakukan
dengan surat, maka kata sepakat terjadi pada saat menulis surat jawabannya.
4. Teori pengiriman (verzendingstheorie): Dalam teori ini kata sepakat dianggap
telah terjadi pada saat debitur mengirimkan surat jawaban kepada kreditur. Jika
dilakukan pengirimannya melalui pos, maka kata sepakat dainggap telah terjadi
pada saat surat jawaban tersebut distempel (cap) oleh kantor pos.
5. Teori penerimaan (ontvangstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap
telah terjadi pada saat kreditur menerima surat jawaban dari debitur. Tepatnya
pada saat kreditur membaca surat jawaban tersebut, karena saat itu ia mengetahui
kehendak debitur.
6. Teori pengetahuan (vernemingstheorie): Menurut teori ini kata sepakat dianggap
telah terjadi pada saat kreditur mengetahui bahwa debitur telah menyatakan
menerima penawarannya. Tampak teori ini lebih luas dari teori penerimaan,
karena dalam teori ini memandang kreditur mengetahui kehendak debitur baik
Dalam hukum perjanjian juga dikenal beberapa asas yaitu asas
konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas kepribadian. 30 Asas
konsensualisme adalah kesepakatan, maka asas ini menetapkan terjadinya suatu
perjanjian setelah tercapainya kata sepakat kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian. Sebagaimana telah diketahui, kata sepakat diatur dalam Pasal 1320 KUH
Perdata yang merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.
Sedangkan menurut asas kebebasan berkontrak yaitu setiap orang mempunyai
kebebasan untuk mengadakan suatu perjanjian yang berisi apa saja dan macam apa
saja, asalkan perjanjian itu tidak bertentangan dengan kepatutan, kebiasaan dan
undang-undang.
Dalam KUH Perdata asas kebebasan berkontrak terdapat dalam Pasal 1339.
Asas tersebut sebenarnya malah membatasi kebebasan seseorang, karena tidak dapat
menikmati kebebasan yang sebebas-bebasnya. Meskipun demikian asas ini
dimaksudkan agar setiap orang selalu dapat membuat perjanjian demi kebaikan dan
tidak merugikan pihak lain. Berikutnya yaitu asas kepribadian menurut asas ini
seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan diri untuk kepentingan dirinya sendiri
dalam perjanjian. Asas tersebut diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama
sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri.
Pemenuhan prestasi yang dituntut pihak kreditur terhadap debitur dengan
maksud agar kreditur tidak menderita suatu kerugian. Dengan mengatur saat-saat
seseorang debitur berada dalam keadaan lalai, pembentuk undang-undang bermaksud
untuk menentukan saat yang pasti pada pihak debitur dan kreditur dalam hal debitur
tidak memenuhi kewajibannya, sehingga dengan mudah dapat ditentukan jumlah
pembayaran ganti rugi, biaya dan bunga.
Kelalaian atau kegagalan merupakan suatu situasi yang terjadi karena salah
satu pihak tidak melakukan kewajibannya atau membiarkan suatu keadaan
berlangsung sedemikian rupa (non performance), sehingga pihak lainnya dirugikan
secara tidak adil karena tidak dapat menikmati haknya berdasarkan kontrak yang
telah disepakati bersama. Karena itu, biasanya cedera janji dirumuskan secara aktif
dalam arti bahwa cedera janji dirumuskan secara aktif dalam arti bahwa cedera janji
terjadi jika pihak yang berkewajiban tidak melaksanakan kewajibannya atau secara
pasif dengan membiarkan keadaan (yang seharusnya dicegah) sebagaimana yang
dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan tertentu.31
Akibat dari tidak dipenuhinya perikatan, kreditur dapat meminta ganti rugi
dan bunga yang dideritanya. Untuk adanya kewajiban ganti rugi yang dideritanya.
Untuk adanya kewajiban ganti rugi bagi debitur maka undang–undang menentukan
bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan dalam keadaan lalai (ingebreke
stelling). Lembaga pernyataan lalai ini adalah merupakan upaya hukum untuk sampai
pada suatu fase, dimana debitur dinyatakan ingkar janji (wanprestasi).
31Budiono Kusumohamidjojo,Panduan Untuk Merancang Kontrak,Jakarta, Gramedia, 2001,
Pasal 1243 KUH Perdata mengatakan : “Penggantian biaya, rugi dan bunga
karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan apabila debitur
setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya,tetap melalaikannyam atau jika
sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu tertentu telah
dilampauinya.”
Jadi yang dimaksud dengan “berada dalam keadaan lalai” ialah peringatan
atau pernyataan dari kreditur tentang saat itu dilampauinya, maka debitur ingkar janji
(wanprestasi).32
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi , antara abstraksi
dan realitas.33 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstaksi yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi
operasional.34 Pentingnya defenisi operasional adalah untuk menghindarkan
perbedaan pengertian atau penafsiran mendua(dubius)dari suatu istilah yang dipakai.
Selain itu dipergunakan juga untuk memberikan pegangan pada proses
penelitian. Berikut peneliti akan sampaikan beberapa konsep dasar dalam rangka
menyamakan persepsi, yang berkenaan dengan penulisan tesis ini sebagai rangkaian
operasional, yaitu sebagaimana yang tertera di bawah ini:
32
Mariam Darus Badrulzaman,Op.cit, hal.19
33
1. Kredit adalah “Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-memimjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.35
2. Perjanjian kredit Bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank
secara sepihak alam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum
antara bank dengan nasabah (debitur).36
3. Bank adalah “Badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”37
4. Kreditur adalah Pihak yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang
tertentu.
5. Debitur adalah Pihak yang berhutang dalam suatu hubungan hutang piutang
tertentu.
6. Cross Collateral adalah jaminan yang diserahkan oleh debitur yang telah diikat
sesuai dengan jenis jaminannya akan mengkait ke beberapa debitur pada bank atau
kreditur yang sama.38
35Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
36Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni,
Bandung, 2006, hal 33 37
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 TentangPerubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.
7. Wanprestasi menurut Subekti adalah “Apabila ia berutang (debitur) tidak
melakukan apa yang diperjanjikannya, maka ia dikatakan melakukan “wan
prestasi”, ia alpa atau lalai atau ingkar janji atau juga ia melanggar perjanjian, bila
ia melakukan atau berbuat sesuatu yang tidak boleh dilakukannya”.39
Sedangkan menurut Yahya Harahap yang dimaksud dengan wan prestasi
adalah “Pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak
menurut selayaknya. Seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wan
prestasi, apabila ia dalam melakukan pelaksanaan perjanjian telah lalai sehingga
‘terlambat’ dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi
tidak menurut sepatutnya/selayaknya”.40
G. Metode Penelitian
Dalam setiap penelitian pada hakekatnya mempunyai metode penelitian
masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan
penelitian.41 Kata Metode berasal dari bahasa Yunani “methods” yang berarti cara
atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara
kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan.42
Metode Penelitian disebut juga sebagai metodologi yang berarti “jalan ke”
Terhadap “metodologi”, biasanya diberikan arti-arti sebagai berikut :
1. Logika dari penelitian ilmiah
39Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1884, hal 45 40Yahya Harahap,Op.cit,hal.60
41Jujun Suria Sumantri,Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, 1995 hal.328
42 Koenjtaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
2. Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian
3. Suatu sistem dari prosedur dan teknik penelitian.43
Adapun dalam penulisan tesis ini, digunakan metode penelitian sebagai
berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, adapun jenis penelitian atau metode pendekatan yang
dilakukan adalah metode penelitian hukum normatif (yuridis normatif) atau disebut
juga penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.44
Ronny Hanitijo Soemitro menyatakan bahwa penelitian yuridis-normatif
terdiri atas :45
a. Penelitian inventarisasi hukum positif
b. Penelitian terhadap asa-asas hukum
c. Penelitian untuk menemukan hukum in-konkrito
d. Penelitian terhadap sistematika hukum
e. Penelitian terhadap sinkronisasi vertikal dan horizontal.
Maka dengan kata lain peneliti akan melakukan penelitian hukum dengan
melakukan abstraksi melalui proses deduksi dari hukum positif yang berlaku, yang
merupakan sistematisasi hukum dan sinkronisasi hukum secara horizontal terhadap
43Soejono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2008, hal.5-6 44Soejono Soekanto dan Sri Mamuji, 2003, Op.cit, hal.13-14
45Ronny Hanitijo Soemitro,Metode Penelitian Hukum, Ghalian Indonesia, Jakarta, 1982,
perjanjian kredit secara cross collateral pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk,
Cabang Imam Bonjol Medan.
2. Sifat Penelitian
Sebagai suatu hasil karya ilmiah yang memenuhi nilai-nilai ilmiah, maka
menurut sifatnya penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagai penelitian
yang bersifat deskriptif-analitis, maksudnya adalah suatu analisis data yang
berdasarkan pada teori hukum yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan
tentang seperangkat data yang lain.46
Artinya penelitian ini termasuk lingkup penelitian yang menggambarkan,
menelaah, dan menjelaskan secara tepat serta menganalisa peraturan
perundang-undangan yang berlaku maupun dari berbagai pendapat ahli hukum, sehingga
diharapkan dapat diketahui gambaran jawaban atas permasalahan mengenai
Pemberian Kredit Secara Cross Collateral, khusunya implikasinya bila terjadi wan
prestasi oleh debiturnya pada PT Bank Mandiri (Persero), Tbk Cabang Imam Bonjol
Medan.
3. Sumber Data
Sebagai penelitian hukum normatif, penelitian ini menitikberatkan pada studi
kepustakaan yang telah ditekankan pada pengambilan data sekunder.47 Adapun
sumber data yang digunakan dalam penulisan ini adalah terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang diurut
berdasarkan hierarki perundang-undangan yang meliputi:
46Bambang Sunggono, Metodologi Penellitian Hukum, PT Raja Grafindo, Persada, Jakarta,
1997, hal 38
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
b. Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
c. Akta Perjanjian Kredit yang berlaku di PT Bank Mandiri, (Persero), Tbk.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan tentang bahan
hukum primer, yang meliputi :
a. Literatur yang membahas mengenai masalah perbankan
b. Literatur yang membahas mengenai masalah perjanjian
c. Literatur yang membahas mengenai masalah hukum jaminan
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa berbagai referensi lainnya yangberkaitan
dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier ini memberikan informassi lebih
lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, antara lain
dapat berupa kamus hukum, kamus bahasa Belanda dan kamus bahasa Inggris
serta berbagai majalah hukum dan klipping dari media massa dan internet yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti tersebut.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum, dikenal paling sedikit 3 (tiga) alat pengumpulan data
atau alat penelitian (research instrument), yaitu studi dokumen akta perjanjian kredit
atau bahan pustaka, pengamatan dan wawancara atau interview. Ketiga alat penelitian
tersebut dapat dipergunakan masing-masing maupun secara bergabung.48
a. Studi dokumen, dipakai terhadap kajian buku-buku, hasil penelitian dalam
bentuk disertasi dan tesis, peraturan perundangan, terbitan berkala seperti
majalah,bulletin dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah penelitian.
Metode yang dipakai untuk mengetahui isi dokumen tersebut adalah analisis isi
(content analysis).
b. Wawancara yang dilakukan adalah dengan Legal Document and Safe Keeping
pada unit bisnis Consumer Loan Business Center, Legal Officer pada unit
Recovery Credit Regional dan Relationship Officer pada unit Business Banking
Center. Kesemua unit tersebut merupakan unit bisnis pada PT Bank Mandiri
(Persero), Tbk Cabang Medan Imam Bonjol Medan.
5. Analisis Data
Teknik analisis data penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis
kualitatif, yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data
yang diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian
dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga
diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedang metode deskriptif yaitu metode analisis
dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya dilapangan.
Seluruh data primer dan sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan dan
pustaka diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan
acuan dalam melaksanakan analisis. Langkah selanjutnya data sekunder yang telah
disusun dan ditetapkan sebagai sumber dalam penyusunan tesis ini kemudian
BAB II
PELAKSANAAN PEMBERIAN KREDIT SECARA CROSS COLLATERAL PADA PT BANK MANDIRI, (PERSERO) TBK
A. Gambaran Umum PT Bank Mandiri Persero, Tbk
Bank Mandiri didirikan pada 2 Oktober 1998, sebagai bagian dari program
restrukturisasi perbankan yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Pada bulan
Juli 1999, empat bank pemerintah yaitu Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara,
Bank Ekspor Impor Indonesia dan Bank Pembangunan Indonesia dilebur menjadi
Bank Mandiri. Masing-masing dari keempatlegacy banksmemainkan peran yang tak
terpisahkan dalam pembangunan perekonomian Indonesia. Sampai dengan hari ini,
Bank Mandiri meneruskan tradisi selama lebih dari 140 tahun memberikan kontribusi
dalam dunia perbankan dan perekonomian Indonesia.49
Segera setelah merger, Bank Mandiri melaksanakan proses konsolidasi secara
menyeluruh. Pada saat itu, kami menutup 194 kantor cabang yang saling berdekatan
dan rasionalisasi jumlah karyawan dari jumlah gabungan 26.600 menjadi 17.620.
Brand Bank Mandiri diimplementasikan ke semua jaringan dan seluruh kegiatan
periklanan dan promosi lainnya. Selain itu, Bank Mandiri berhasil
mengimplementasikancore banking systembaru yang terintegrasi menggantikancore
banking system legacyyang terpisah.
Semenjak didirikan, kinerja Bank Mandiri terus meningkat terlihat dari laba
yang terus meningkat dari Rp 1,18 Triliun di tahun 2000 hingga mencapai Rp 5,3
Triliun di tahun 2004. Selain itu, Bank Mandiri juga mencatat prestasi penting dengan
melakukan penawaran saham perdana pada 14 Juli 2003 sebesar 20% atau ekuivalen
dengan 4 Milliar lembar saham.
Pada tahun 2005 Bank Mandiri mengalami permasalahan yang
mengakibatkan menurunnya kinerja bank. Salah satunya adalah dengan
meningkatnya kredit bermasalah, tercermin dari rasio Non Performing Loan (NPL)
net konsolidasi yang meningkat dari 1,60% di tahun 2004 menjadi 15,34% di tahun
2005. Hal ini secara langsung berdampak pada penurunan laba Bank Mandiri secara
signifikan dari sebelumnya sebesar Rp 5,3 Triliun di tahun 2004, menjadi Rp 603
Miliar di tahun 2005 atau mengalami penurunan sebesar sekitar 80%. Dari sisi
kepercayaan investor di bursa, harga saham Bank Mandiri juga mengalami penurunan
dari Rp 2.050 pada Januari 2005 hingga ke level Rp 1.110 pada November 2005.
Visi dari Bank Mandiri adalah membangun masyarakat Indonesia mandiri
melalui program PKBL sebagai inspirasi guna menjadi lembaga keuangan Indonesia
yang progresif dan tumbuh bersama Indonesia50. Sedangkan Misinya adalah menjadi
mitra utama terpercaya bagi pengembangan masyarakat yang mandiri dan sejahtera.
Dengan melakukan hal-hal sebagai berikut :
1. Menjalankan program PKBL yang memperkuat strategi Bank Mandiri dengan
governance yang terbaik.
2. Menjadi bagian strategi komprehensif branding Bank Mandiri sebagai lembaga
keuangan bagi semua stakeholders.
Tahun 2005 menjadi titik balik bagi Bank Mandiri, dimana Bank Mandiri
memutuskan untuk menjadi Bank yang unggul di regional atau menjadi Regional
Champion. Bank Mandiri mencanangkan program Transformasi yang dilaksanakan
melalui 4 (empat) strategi utama, yaitu :51
1. Implementasi budaya, melalui restrukturisasi organisasi berbasis kinerja,
penataan ulang sistem penilaian berbasis kinerja, pengembanganleadership dan
talent, serta penyesuaian sumber daya manusia dengan kebutuhan strategis.
2. Pengendalian Non Performing Loansecara agresif, dimana Bank Mandiri fokus
pada penanganan kredit macet dan memperkuatrisk management system.
3. Meningkatkan pertumbuhan bisnis yang melebihi rata-rata pertumbuhan pasar
melalui strategi dan value preposition yang distinctive untuk masing-masing
segmen.
4. Pengembangan dan pengelolaan program aliansi antar Direktorat atau Business
Unit dalam rangka optimalisasi layanan kepada nasabah, serta untuk lebih
menggali potensi bisnis nasabah-nasabah eksisting maupun value chain dari
nasabah-nasabah dimaksud.
Untuk dapat meraih aspirasinya menjadi Regional Champion Bank, Bank
Mandiri melakukan transformasi secara bertahap melalui 3 (tiga) fase:
51
1. Fase pertama"Back on Track"(2006 - 2007), yakni fokus untuk membenahi dan
membangun dasar-dasar pertumbuhan Bank Mandiri di masa datang;
2. Fase kedua "Outperform the Market" (2008 - 2009), yakni fokus pada
pertumbuhan bisnis Bank Mandiri agar dapat tumbuh signifikan di seluruh
segmen dan memiliki profitabilitas diatas rata-rata pasar;
3. Fase ketiga "Shaping the End Game" (2010), yakni fase dimana Bank Mandiri
dapat memiliki peranan aktif dalam proses konsolidasi sektor Perbankan
Indonesia.
Proses transformasi yang telah dijalankan Bank Mandiri sejak tahun 2005
hingga tahun 2010 secara konsisten berhasil meningkatkan kinerja Bank Mandiri,
tercermin dari peningkatan berbagai parameter finansial. Kredit bermasalah turun
signifikan, tercermin dari rasio NPL net konsolidasi yang turun dari sebesar 15,34%
di tahun 2005 menjadi 0,62% di tahun 2010. Selain itu laba bersih Bank Mandiri juga
tumbuh sangat signifikan dari Rp 0,6 Triliun di tahun 2005 menjadi Rp 9,2 Triliun di
tahun 2010.
Sejalan dengan transformasi bisnis, Bank Mandiri juga melakukan
transformasi budaya dengan merumuskan kembali nilai-nilai budaya untuk menjadi
pedoman pegawai dalam berperilaku. Bank Mandiri menetapkan 5 (lima) nilai
budaya perusahaan yang disebut "TIPCE" yaitu: Kepercayaan (Trust), Integritas
(Integrity), Profesionalisme (Professionalism), Fokus pada pelanggan (Customer
Bank Mandiri juga berhasil mencatat sejarah dalam peningkatan kualitas
layanan. Selama empat tahun berturut-turut pada tahun 2007, 2008, 2009 dan 2010,
Bank Mandiri berhasil menempati posisi sebagai service leader perbankan nasional
berdasarkan survey Marketing Research Indonesia (MRI) dengan menempati urutan
pertama pelayanan prima. Selain itu, Bank Mandiri juga mendapat apresiasi dari
berbagai pihak dalam hal penerapanGood Corporate Governance.
Kinerja Bank Mandiri yang terus meningkat ini direspon positif oleh investor
yang tercermin dari meningkatnya harga saham Bank Mandiri secara signifikan dari
posisi terendah Rp 1.110 per lembar saham pada tanggal 16 November 2005 menjadi
Rp 6.500 per lembar saham pada akhir tahun 2010. Dalam kurun waktu kurang lebih
5 tahun, nilai kapitalisasi pasar Bank Mandiri meningkat sekitar 6 kali lipat dari
sebelumnya hanya sebesar Rp 21,8 Triliun menjadi Rp 136,5 Triliun.
Bank Mandiri saat ini sedang dalam tahap pelaksanaan transformasi lanjutan
tahun 2010-2014 dimana Bank Mandiri telah melakukan revitalisasi visinya untuk
"Menjadi Lembaga Keuangan Indonesia yang paling dikagumi dan selalu progresif".
Dengan visi tersebut Bank Mandiri mencanangkan untuk mencapai milestone
keuangan di tahun 2014, yaitu nilai kapitalisasi pasar mencapai di atas Rp 225 Triliun
dengan pangsa pasar pendapatan mendekati 16%, ROA mencapai kisaran 2,5% dan
ROE mendekati 25%, namun tetap menjaga kualitas asset yang direfleksikan dari
rasio NPL gross di bawah 4%. Pada tahun 2014, Bank Mandiri ditargetkan mampu
mencapai nilai kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia serta masuk dalam jajaran Top
dapat masuk dalam jajaran Top 3 di ASEAN dalam hal nilai kapitalisasi pasar dan
menjadi pemain utama di regional.
Untuk mewujudkan visi tersebut, transformasi bisnis di Bank Mandiri tahun
2010 - 2014 akan difokuskan pada 3 (tiga) area bisnis yaitu:
1. Wholesale transaction: Bank Mandiri akan memperkuat leadership-nya dengan
menawarkan solusi transaksi keuangan yang komprehensif dan membangun
hubungan yang holistik melayani institusi corporate & commercial di Indonesia.
2. Retail deposit & payment:Bank Mandiri memiliki aspirasi untuk menjadi bank
pilihan nasabah di bidang retail deposit dengan menyediakan pengalaman
perbankan yang unik dan unggul bagi para nasabahnya.
3. Retail financing: Bank Mandiri memiliki aspirasi untuk meraih posisi nomor 1
atau 2 dalam segmen pembiayaan ritel, terutama untuk memenangkan persaingan
di bisnis kredit perumahan, personal loan, dan kartu kredit serta menjadi salah
satu pemain utama dimicro banking.
Ketiga area fokus tersebut didukung dengan penguatan organisasi dan
peningkatan infrastruktur (cabang, IT, operation, risk management) untuk
memberikan solusi layanan terpadu. Disamping itu, Bank Mandiri memiliki
dukungan Sumber Daya Manusia (SDM) yang handal, teknologi yang selaluupdate,
penerapan manajemen risiko dalam menjalankan bisnis secaraprudentdan penerapan