• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

B. Orientasi Belanja

1. Shopping Enjoyment

pengalaman itu sendiri.

2. Brand and fashion conscious shopper, mencari merek-merek terkenal dan lebih trendi

3. Price conscious, adalah pembeli yang mencari harga produk yang lebih rendah

4. Shopping confidence, adalah pembeli yang yakin pada kemampuan mereka untuk menjadi pembeli yang bijaksana

5. Convenience/time conscious, lebih mencari transaksi pembelian yang membuat mereka nyaman

6. In-home shopping, adalah pembeli yang lebih suka berbelanja dari rumah

7. Brand/store loyalty, merupakan segmen yang menujukkan para pembeli yang setia terhadap merek atau toko tertentu.

1. Shopping Enjoyment

Shopping Enjoyment atau kesenangan belanja diartikan sebagai kesenangan yang diperoleh dari proses belanja (Beatty dan Ferrell dalam Kwek et al.,2010:8). Kenikmatan belanja diidentifikasi menjadi tiga jenis konstruk, yang meliputi pelarian, kesenangan, dan gairah. Pelarian tercermin dalam kenikmatan yang berasal dari melakukan

kegiatan yang menarik, sampai ke titik yang menawarkan pelarian diri dari tuntutan dunia sehari-hari. Kesenangan adalah sejauh mana seorang merasa gembira, bahagia, atau puas dalam belanja online. Sedangkan gairah adalah sejauh mana seorang merasa terangsang, aktif, atau waspada selama melakukan belanja online (Menon dan Khan dalam Kwek et al.,2010:8). Konsumen yang masuk dalam kategori shopping enjoyment, akan mencapai kesenangannya dengan menghabiskan waktu untuk melakukan browsing produk yang diinginkannya (Seock dan Bailey, 2008:118). Seock dan Bailey juga menjadikan suasana hati yang bagus sebagai salah satu alat ukur dari shopping enjoyment. Suasana hati yang bagus atau positif dapat

berupa perasaan suka, bagus dan senang (Peter dan Olson, 1999).

Menurut Menon dan Kahn dalam Kwek et al (2010), pengalaman yang menyenangkan atau membangkitkan akan berdampak pada pengalaman berikutnya. Jika pelanggan merasa senang dan membangkitkan rangsangan selama pengalaman belanja online mereka, mereka lebih cenderung terlibat dalam perilaku pembelian berikutnya. Kenikmatan belanja diciptakan dari kesenangan dari pengalaman belanja online, bukan dari penyelesaian aktivitas berbelanja. Dengan demikian kenikmatan belanja mencerminkan persepsi pelanggan mengenai hiburan dalam berbelanja online.

2. Brand/Fashion Conscious

Brand/Fashion Conscious adalah pembeli yang mencari merek yang sudah dikenal (Shim dan Kotsiopulos dalam Zhang, 2010). Brand/fashion conscious shopper memiliki arti konsumen yang sadar akan merek atau mode. Pembeli yang sadar akan merek dan mode akan mengunjungi situs web untuk memeriksa produk terbaru dari situs tersebut dan mereka akan membelinya jika sesuai dengan selera mereka (Seock dan Bailey, 2008:118). Merek didefinisikan sebagai pembeda nama atau simbol (seperti logo, merek dagang dan desain package) yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa penjual atau pengecer, dan membedakan mereka dari pesaingnya (Aaker dalam Tjiptono, 2007). Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan, atau kombinasi dari semuanya, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa penjual atau kelompok penjual dan untuk mendiferensiasikannya dari barang atau jasa pesaing (Kotler, 2009:332). Merek lebih dari sekedar nama dan simbol. Merek adalah elemen penting dalam hubungan perusahaan dengan konsumen. Merek merepresentasikan persepsi konsumen dan perasaan terhadap produk dengan kinerja produk tersebut (Kotler dan Armstrong, 2010:260). Bagi banyak penjual online, nama merek adalah nama perusahaan dalam lingkungan e-commerce. Perusahaan yang terpercaya dan nama merek digunakan untuk menggantikan informasi mengenai suatu produk oleh konsumen yang ingin

melakukan pembelian online (Ward dan Lee dalam Kwek et al., 2010). Nama merek yang kuat bukan hanya menarik pelanggan yang baru, tapi juga memiliki kemampuan untuk membuat pelanggan merasa nyaman dengan keputusan pembelian mereka (Kwek et al., 2010).

3. Convenience/Time Conscious

Convenience/Time Conscious dapat diartikan sebagai pembeli yang sadar akan waktu dan kenyamanan. Pembeli dengan tipe ini

memiliki kecenderungan untuk berbelanja di toko yang dapat menghemat waktu ketika mereka melakukan kegiatan belanja (Seock dan Bailey, 2008:119). Convenience atau kenyamanan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan penghematan dimensi waktu dan usaha dalam melakukan suatu transaksi pembelian. Kenyamanan jasa adalah persepsi konsumen terhadap waktu dan usaha berkaitan dengan pembelian atau pemakaian suatu jasa. Konseptualisasi ini menggunakan dimensi waktu dan usaha sebagai manfaat kenyamanan (penghematan waktu dan atau usaha) atau biaya atau beban ketidaknyamanan (pemborosan waktu dan atau usaha) (Berry et al, dalam Tjiptono, 2007:60). Dilihat dari sisi e-commerce, kenyamanan dapat mengacu pada sejauh mana pelanggan merasa bahwa suatu situs web bersifat sederhana, intuitif, dan mudah digunakan (Srinivasan et al, 2002).

Beberapa studi menunjukkan bahwa kenyamanan adalah motivator utama bagi pelanggan untuk berbelanja online dan berinteraksi dengan vendor online (Meuter et al dalam Kwek et al, 2010:8). Kemungkinan pembelian online akan meningkat seiring dengan peningkatan persepsi pelanggan terhadap kenyamanan belanja online (Bhatnagar et al dalam Kwek et al, 2010:8). Beberapa jenis kemudahan dapat dianggap sebagai keseluruhan proses berbelanja. Sebagai contoh, produk yang mudah dijangkau memiliki “kemudahan akses”, sedangkan produk-produk yang mudah untuk ditemukan dan dibandingkan menunjukkan “kenyamanan pencarian”. “kenyamanan kepemilikan” terjadi ketika produk mudah diperoleh, sedangkan kemudahan pembelian dan pengembalian memungkinkan pembeli untuk memiliki “kenyamanan transaksi”. Selain itu, belanja yang cepat dan tanpa penundaan mewujudkan “kenyamanan waktu”

(Seiders et al dalam Kwek et al, 2010:8).

Kenyamanan sering dikonseptualisasikan sebagai gagasan berorientasi waktu, meskipun ada bukti bahwa kemudahan tidak terdiri dari dimensi ruang dan usaha. Masing-masing mungkin termotivasi oleh satu atau semua dimensi. Misalnya belanja online mengeliminasi waktu berkendara dan memungkinkan pembeli untuk mengakses toko yang jauh (Gehrtet al dalam dalam Kwek et al, 2010:9).

4. Price Conscious

Price conscious adalah pembeli yang memusatkan perhatian pada harga suatu barang. Mereka mencari dan membandingkan suatu penawaran dengan harga yang lebih rendah. Konsumen akan mengunjungi situs internet untuk mencari tahu tentang penjualan atau penawaran promosi, atau untuk membandingkan harga dari situs perusahaan yang berbeda. Harga yang rendah dapat menjadi faktor yang menyebabkan seorang konsumen memilih salah satu situs web mana yang akan mereka pilih (Seock dan Bailey, 2008:118). Calon pembeli yang sadar akan harga sering juga dikatakan sebagai economic shopper (pembeli ekonomis). Pembeli ekonomis adalah mereka yang berkeliling-keliling sebelum melakukan keputusan pembelian (Vijayasarathy dan Jones dalam Kwek et al, 2010:8). Pendapat lain mengatakan pembeli ekonomis adalah mereka yang menaruh perhatian pada penghematan uang (Shim dan Kotsiopulos dalam Zhang, 2010:12). Pembeli ekonomis juga dideskripsikan sebagai kelompok yang memiliki perhatian utama pada harga berbagai produk sehingga mereka akan berbelanja untuk pilihan harga dan kualitas yang terbaik (Lumpkin dalam Zhang, 2010:11).

Harga adalah sejumlah uang yang dibebankan untuk sebuah produk atau jasa, atau sejumlah nilai yang pelanggan tukarkan atas kepemilikan atau penggunaan manfaat dari sebuah produk atau jasa (Kotler dan Armstrong, 2010: 314). Harga adalah sejumlah nilai tukar

yang dibebankan untuk mendapatkan suatu produk atau jasa. Pada zaman dahulu, untuk mendapatkan suatu barang atau jasa biasa dilakukan dengan barter. Namun seiring perkembangan zaman, kini masyarakat telah mengenal uang sebagai alat tukar untuk mendapatkan barang atau jasa yang diinginkan.

Harga merupakan aspek penting dalam belanja online. Kekuatan harga terbukti nyata dalam peringkat format toko. Beberapa pembeli sangat sensitif terhadap harga dan karena itu melihat barang yang murah. Individu itu akan secara aktif mencari dan membeli produk dari internet untuk mendapatkan harga yang lebih rendah, karena harga rendah merupakan alasan utama mengapa pembeli berbelanja di toko online (Forrester Research dalam Kim et al, 2000:689). Bakos dalam Korgaonkar dan Silverblatt (2003) menegaskan bahwa internet menurunkan biaya pencarian untuk mendapatkan informasi tentang harga dan penawaran produk, dan mengurangi inefisiensi yang disebabkan oleh pencarian harga dari pembeli. Dalam temuannya tersebut tersirat bahwa internet secara signifikan mengurangi biaya mencari harga bagi konsumen yang sadar akan harga dengan menyediakan akses informasi cepat mengenai produk dan jasa kepada mereka.

5. Shopping Confidence

Shopping confidence adalah konsumen yang merasa aman dengan kemampuan mereka dalam membuat keputusan pembelian (Shim dan Kotsiopulos dalam Zhang, 2010). Pengertian lain dari shopping confidence ini adalah konsumen yang merasa percaya diri dalam berbelanja. Mereka telah mengetahui apa yang akan mereka beli dan tempat yang akan dikunjungi, dan menganggap bahwa dirinya adalah pembeli yang baik. Beberapa pembeli pakaian (terutama wanita) merasa percaya diri dalam kemampuan mereka untuk memilih pakaian yang tepat untuk diri mereka sendiri, sedangkan yang lainnya lebih memerlukan kepastian dan bimbingan dari orang lain saat berbelanja (Tatzel et al dalam Hansen dan Jensen, 2009:1157).

6. Brand/Store Loyalty

Brand loyalty atau loyalitas merek adalah suatu ukuran

keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan

beralih ke merek lain yang ditawarkan oleh kompetitor, terutama jika pada merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lainnya (Aaker, 1997). Loyalitas merek

merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan terhadap sebuah merek. Ukuran ini mampu memberikan gambaran tentang mungkin tidaknya seorang pelanggan beralih ke merek produk yang lain,

menyangkut harga ataupun atribut lain (Durianto dkk, 2004:126). Oliver dalam Tjiptono (2007:387) mengemukakan bahwa loyalitas merek adalah komitmen yang dipegang teguh untuk membeli ulang atau berlangganan dengan produk atau jasa yang disukai secara konsisten di masa datang, sehingga menimbulkan pembelian merek atau rangkaian merek yang sama secara berulang.

Loyalitas pelanggan dipandang sebagai kekuatan hubungan antara sikap relatif (relative attitude) individu dan pembelian ulang (repeat patronage) (Dick dan Basu dalam Tjahyadi, 2006). Dick dan basu mengembangkan suatu kerangka konseptual baru untuk memahami lebih lengkap faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan sikap relatif pembelian ulang dan konsekuensinya.

Gambar. 2.1

Hubungan Sikap Relatif Pada Pembelian Ulang

Repeat Patronage

High Low

Relative attitude

High Loyalty Latent Loyalty

Low Spurious Loyalty No Loyalty

Sumber: Dick dan Basu dalam Tjiptono (1994)

Berdasarkan gambar di atas, loyalitas terjadi ketika pembelian ulang muncul bersama sikap relatif yang tinggi. Konsumen

mengetahui perbedaan kualitas merek dibanding pesaing, dan konsumen tersebut memiliki tingkat pembelian yang tinggi. Spurious loyalty terjadi ketika konsumen memiliki sikap relatif yang rendah dan pembelian ulangnya tinggi. Pembelian ulang terjadi karena hanya ada satu merek yang tersedia dan ditawarkan. No loyalty terjadi ketika konsumen memiliki sikap relatif dan pembelian yang rendah. Kondisi ini terjadi ketika konsumen mengetahui tidak adanya perbedaan di antara merek yang ada. Terakhir, latent loyalty terjadi ketika konsumen memiliki sikap yang relatif tinggi, tetapi tingkat pembelian ulangnya rendah. Hal ini terjadi karena keadaan lingkungan atau faktor situasional yang mempengaruhi tingkat pembelian konsumen tersebut.

Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa loyalitas merek merupakan suatu ukuran keterkaitan pelanggan kepada sebuah merek melalui preferensi terhadap merek tersebut dibanding merek lain, terutama jika dalam merek tersebut didapati adanya perubahan, baik menyangkut harga ataupun atribut lain dan dapat dilihat dengan melakukan pembelian secara berulang.

C. Gender Difference

Oakley dalam Relawati dan Sukesi (2011) menyatakan gender adalah perbedaan kebiasaan atau tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang

dikonstruksikan secara sosial, yang dibuat oleh laki-laki dan perempuan itu sendiri.

Dalam penelitian yang dilakukan Slyke et al.dalam Prabowo dan Suwarsi

(2009), ditemukan bahwa ada perbedaan antara pria dan wanita dalam persepsi mereka mengenai pembelian online. Lebih lanjut lagi Slyke et al. menemukan bahwa persepsi pria terhadap online shopping lebih baik daripada wanita. Hasil studi lain yang dilakukan oleh Rodger dan Harris (2003) menunjukkan bahwa laki-laki lebih memiliki kepercayaan yang tinggi dalam hal internet shopping dan menerima internet sebagai outlet belanja yang lebih nyaman daripada wanita. Dalam penelitian berbeda yang dilakukan oleh Leonard dan Tweney dalam Lim et al (2010) mengenai perbedaan gender, hasilnya ditemukan bahwa pria meneliti dan membeli lebih banyak produk dan jasa melalui internet dibandingkan dengan wanita. Singkatnya, pria ditemukan cenderung lebih aktif dalam belanja online daripada wanita. Menurut Leonard, pria menyukai pembelian hardware, software, dan perangkat elektronik sedangkan wanita lebih menyukai pembelian produk makanan, minuman dan pakaian. Penelitian lain yang dilakukan oleh Seock dan Bailey (2008) juga mengungkapkan bahwa pria dan wanita memiliki perbedaan dalam orientasi belanja, pencarian informasi online, maupun pembelian online.

D. Information Search

Pencarian informasi adalah tahap proses keputusan pembelian dimana konsumen terangsang untuk mencari informasi lebih lanjut. Konsumen

mungkin hanya menaruh perhatian yang tinggi atau pergi ke satu pencarian informasi yang aktif. Hal ini termasuk yang berasal dari sumber pribadi (keluarga, teman, tetangga, kenalan), sumber komersial (iklan, penjual, situs penjual), sumber publik (media massa, organisasi rating konsumen, pencarian melalui internet), dan sumber berdasarkan pengalaman dalam menangani, memeriksa atau menggunakan sebuah produk (Kotler dan Armstrong, 2010:178).

Ottman dalam Mowen dan Minor (2002:18) memecah kegiatan pencarian informasi dalam dua kategori. Kategori pertama disebut pencarian sebelum pembelian (prepurchase search), yaitu kegiatan mencari informasi dimana para konsumen terlibat untuk memudahkan pengambilan keputusan mengenai pembelian spesial setelah melewati tahap pengenalan masalah. Sedangkan kategori pencarian kedua adalah pencarian secara terus-menerus (ongoing search), yaitu kegiatan pencarian yang independen dari kebutuhan pembelian atau keputusan yang khusus. Orang akan melakukan pencarian kategori ini karena mereka sangat berminat atas kelas produk tersebut. Mereka berusaha untuk membentuk bank informasi yang akan digunakan di masa depan atau hanya karena mereka memperoleh kepuasan yang mendalam dari keterlibatannya dalam kegiatan seperti itu.

1. Online Information Search

Pencarian informasi online merupakan proses pencarian informasi yang dilakukan konsumen dengan menggunakan media internet. Pencarian informasi dalam pengaturan online terdiri dari dua tahap yang menggabungkan perencanaan dengan tindakan (Payne et al dalam Punj dan Moore, 2009:646). Pada tahap awal melibatkan penyaringan alternatif pilihan dengan melakukan pencarian ulang untuk mengidentifikasi alternatif yang sesuai kebutuhan. Sekali teridentifikasi, alternatif selanjutnya dapat diperiksa dan diteliti untuk informasi lebih lanjut.

Dalam proses pencarian informasi online, Chen (2009) membagi menjadi dua bagian, yaitu pencarian informasi dan evaluasi online, dan proses informasi online/pengalaman yang bermanfaat. Pada bagian pencarian informasi dan evaluasi online, Chen membagi menjadi dua tahap. Tahap pertama adalah untuk mencari tahu fungsi dan spesifikasi dari produk yang dibutuhkan, kemudian beberapa kandidat toko online terpilih akan masuk ke dalam tahap dua, yaitu tahap perbandingan harga. Mengenai produk fashion, pencarian informasi karakteristik produk meliputi harga, ukuran, warna dan bahan (Ha dan Stoel dalam Wynn dalam Chen, 2009: 31).

Selanjutnya pada bagian kedua, yaitu proses informasi online/pengalaman yang bermanfaat, dalam penelitian yang dilakukan

oleh Chen (2009) ditemukan bahwa lebih dari setengah sampel penelitiannya melakukan pencarian informasi dan evaluasi untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai berbagai macam produk dalam rangka untuk mengetahui kebutuhan mereka. Dari penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa mereka melakukan perbandingan harga untuk mencegah pembayaran yang berlebih. Berkenaan dengan pengalaman yang bermanfaat dalam pencarian informasi melalui internet, setengah dari sampel penelitian tersebut menyatakan puas dengan pembelian mereka setelah melakukan pencarian informasi dan evaluasi online.

Kegiatan mencari meliputi jumlah website yang dikunjungi oleh konsumen sebelum mereka melakukan pembelian, jenis situs web pencarian, frekuensi browsing online, jumlah pencarian, dan penggunaan istilah pencarian atau kata kunci (Ahuja et al dalam Lim et al, 2010:157). Ahuja meneliti jumlah orang yang mengunjungi situs web sebelum mereka membuat keputusan pembelian. Ia menemukan bahwa baik pelajar maupun non pelajar biasanya mengunjungi antara satu sampai tiga situs sebelum mereka melakukan pembelian. Perencanaan dan penelitian yang baik sebelum konsumen menyelesaikan transaksi pembelian menunjukkan hubungan positif antara aktivitas pencarian dan perilaku pembelian online.

Penelitian yang dilakukan Seock dan Bailey dengan menggunakan sampel mahasiswa perguruan tinggi di USA, menguji hubungan antara

shopping orientations terhadap intensitas pencarian informasi online dan pembelian online. Dari hasil uji tersebut didapatkan hasil bahwa shopping orientations secara signifikan mempengaruhi tingkat pencarian informasi online dan pembelian online (Prabowo dan Suwarsi, 2009:110).

E. Belanja Online

Online shopping atau biasa juga disebut internet shopping atau internet buying merupakan proses dari pembelian produk atau jasa melalui internet (Prabowo dan Suwarsi, 2009:110). Aktivitas belanja dapat diukur dari jumlah waktu yang dihabiskan selama berbelanja, frekuensi berbelanja, dan jumlah uang yang dikeluarkan dalam berbelanja (Magie, 2008:45). Seperti belanja di toko biasa, sebelum melakukan belanja online, seorang konsumen juga dapat mencari dan membandingkan produk atau jasa yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen tersebut. Namun bedanya, dalam belanja online juga menggunakan fasilitas internet dalam pencarian informasi mengenai produk yang diinginkannya. Untuk sistem pembayarannya, pembeli online dapat menggunakan kartu plastik, transfer antar rekening, ataupun dengan transaksi Cash on Delivery dimana seorang konsumen baru akan membayar setelah produk yang dibeli telah sampai ke tangan konsumen. Berbagai metode pembayaran tersebut dapat dipilih sesuai dengan sistem pembayaran yang ditawarkan masing-masing pihak toko online.

F. Penelitian Terdahulu

Dalam penelitian ini Peneliti merujuk pada 4 penelitian terdahulu. Penelitian pertama dilakukan oleh Choon Ling Kwek, et al. Pada tahun 2010

dengan judul “Investigating The Shopping Orientations on Online Purchase Intention in The E-Commerce Environment” yang dilakukan di Malaysia dengan objek penelitian Mahasiswa di sebuah Universitas di Klang Valley, Malaysia. Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi berganda. Data yang dikelola berjumlah 242 kuesioner dari 250 kuesioner yang disebar peneliti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dorongan orientasi pembelian berhubungan secara positif terhadap niat pembelian online. Hal ini ditunjukkan dari hasil perhitungan, dorongan orientasi belanja memiliki nilai sig 0,015. ini berarti nilai probabilitas tersebut lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 (0,015<0,05).

Hasil berikutnya diperoleh bahwa orientasi belanja berhubungan secara positif terhadap niat pembelian online. Ditunjukkan dengan nilai probabilitas 0,036 (0,036<0,05). Kemudian hasil lain yang didapat dari penelitian ini adalah shopping enjoyment orientation tidak memiliki hubungan yang positif terhadap niat pembelian online. Hal ini terlihat dari nilai probabilitas sebesar 0,263, dimana nilai tersebut lebih besar dari nilai probabilitas 0,05. Terakhir, penelitian ini menunjukkan bahwa convenience orientation berpengaruh secara positif terhadap niat pembelian online. Ini terlihat dari nilai

probabilitas yang lebih kecil dari nilai probabilitas 0,05 yaitu 0,007 (0,007<0,05).

Penelitian kedua dilakukan oleh Tulay Girard Pradeep Korgaonkar dan

Ronnie Silverblatt (2003) dengan judul “Relationship of Type of Product, Shopping Orientations, and Demographics With Preference for Shopping on

The Internet” yang dilakukan pada mahasiswa sebuah universitas di Southeastern United States. Penelitian ini menggunakan alat analisis regresi dengan jumlah sampel sebanyak 120 orang. Korgaonkar dan Silverblatt menemukan hasil bahwa convenience orientation berpengaruh positif terhadap pembelian produk pakaian dan parfum (nilai sig 0,001<0,05). convenience orientation juga perpengaruh secara positif terhadap pembelian produk televisi dan telepon seluler (nilai sig 0,047<0,05) dan berpengaruh secara positif juga terhadap pembelian produk vitamin, dengan nilai probabilitas sebesar 0,03 (0,03<0,05).

Hasil lain yag didapat dari penelitian ini yaitu perbedaan gender berpengaruh dalam pembelian produk online. Pembeli pria lebih banyak melakukan belanja online untuk produk telepon seluler, sedangkan pembeli wanita lebih banyak melakukan pembelian produk pakaian dan parfum.

Penelitian ketiga dengan judul “The Effects of Information Format and Shopping Tasks on Consumers’ Online Shopping Behavior: A Cognitive Fit

Perspective” yang dilakukan oleh Hong et al. tahun 2005. Penelitian ini menggunakan 118 orang mahasiswa bisnis sebagai sampel penelitiannya.

Dalam penelitian ini didapatkan hasil bahwa variabel convenience yang diukur dengan time saving, berpengaruh secara signifikan terhadap variabel pencarian informasi online.

Penelitian keempat yang bertajuk “Effects of Consumer Lifestyles on Purchasing Behavior on The Internet: A Conceptual Framework and

Empirical Validation” yang dilakukan oleh Kim et al. pada tahun 2000. Penelitian ini dilakukan terhadap 306 orang responden. Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa gaya hidup yang berorientasi pada waktu memiliki hubungan secara langsung terhadap perilaku pembelian melalui internet.

G. Kerangka Penelitian

Berdasarkan teori yang ditemukan oleh Seock dan Bailey dalam penelitiannya yang berjudul The Influence of College Students’ Shopping Orientations and Gender Differences on Online Information Searches and

Purchase Behaviours, peneliti kemudian melakukan modifikasi untuk melakukan penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan enam variabel bebas yang terkait dalam orientasi belanja. Keenam variabel tersebut adalah shopping enjoyment, brand conscious, price conscious, shopping confidence, convenience/time conscious, dan brand/store loyalty.

Merujuk pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Prabowo dan Suwarsi, terdapat tiga tahapan dalam pengujian hipotesis penelitian. Pada tahap pertama dilakukan regresi berganda dengan pencarian informasi online

sebagai variabel dependen, dan enam variabel independen orientasi belanja. Tahap selanjutnya yaitu melakukan regresi berganda pada variabel independen yang sama dan menggunakan variabel belanja online sebagai variabel dependen. Tahapan terakhir yang dilakukan dalam pengujian hipotesis ini adalah untuk membedakan orientasi belanja terhadap Pria dan Wanita dengan menggunakan uji beda Independent Sample T Test. Berdasarkan uraian tersebut, maka model penelitiannya adalah sebagai berikut:

Gambar. 2.2

Kerangka Penelitian

H. Hipotesis

Hipotesis adalah dugaan sementara yang perlu dibuktikan kebenarannya.

Hipotesis ditolak apabila faktanya menyangkal dan diterima apabila faktanya Orientasi Belanja (X1)

Gender Differences(X2)

Uji Validitas Uji Reliabilitas

Uji Asumsi Klasik

Uji Regresi Linear Berganda

Uji t

Uji F

Saran Kesimpulan

Pencarian Informasi (Y1)

Dokumen terkait