Konsumsi Bahan Kering Ransum
Konsumsi bahan kering induk tidak bunting, bunting dan laktasi tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Konsumsi Bahan Kering Domba Induk
Peubah Perlakuan 1) Rataan Pj Po Pj+o Tidak Bunting (n=3) (n=0) (n=2) Konsumsi BK Hijauan (g/e/h) 169,35±18,25 - 147,95±21,56 158,65±21.91 Konsumsi BK Konsentrat (g/e/h) 316,34±21,07 - 295,52±7,56 305,93±15,32 Konsumsi BK Ransum (g/e/h) 485,69±82,42 - 443,48±86,21 464,59±86,32 (g/kg BB0,75) 44,11±4,47 44,06±3,37 44,08±3,95 (%BB) 1,98 - 2,04 2,01 Rasio Hijauan:Konsentrat 35:65 - 33: 67 34:66 Akhir Kebuntingan (n=2) (n=5) (n=3) Konsumsi BK Hijauan (g/e/h) 178,71±11,21 174,05±4,09 163,36±18,99 172,04±12,43 Konsumsi BK Konsentrat (g/e/h) 279,04±34,73 307,95±16,76 344,59±46,57 310,53±33,79 Konsumsi BK Ransum (g/e/h) 457,75±61,64 482,00±71.51 507,95±104,23 482,57±80,14 (g/kg BB0,75) 37,451±11,18 47,36±2,08 48,02±4,83 44,28±7,03 (%BB) 2,42 2,23 2,26 2,30 Rasio Hijauan:Konsentrat 39:61 36:64 32:68 36:64 Laktasi (n=1) (n=4) (n=3) Konsumsi BK Hijauan2) (g/e/h) 179,21 B 184,38±9,12A 153,24±6,67B 172,28±7,80 Konsumsi BK Konsentrat (g/e/h) 337,56 364,65±35,32 396,68±24,54 366,30±29,93 Konsumsi BK Ransum (g/e/h) 516,77 549,03±99,28 549,91±134,30 538,57±117,79 (g/kg BB0,75) 51,16 54,20±0,37 50,49±1,12 51,95±46,76 (%BB) 2,37 2,48 2,28 2,38 Rasio Hijauan:Konsentrat 35:65 34: 66 27:73 32:68 Keterangan : 1) Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung
Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok
Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok 2)
Superskrip yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perlakuan yang berbeda nyata (P<0,05).
21 Hasil penelitian menunjukan bahwa perlakuan secara umum tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap keseluruhan data konsumsi, namun berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap konsumsi hijauan induk laktasi.
Konsumsi induk tidak bunting pada penelitian ini tetap diamati untuk mengetahui rata-rata konsumsi induk tidak bunting hingga berakhirnya masa penelitian. Induk tidak bunting terdapat dua data yaitu Pj dan Pj+o, karena Po mencapai persentase kebuntingan 100%. Rataan konsumsi bahan kering induk tidak bunting yaitu 464,59 g/ekor/hari, konsumsi berdasarkan bobot badan metabolis yaitu 44,08 g/kg BB0,75 dan berdasarkan persen bobot badan yaitu 2,01% BB. Konsumsi bahan kering berdasarkan NRC (2006) dengan bobot badan 20 kg yaitu 400 g/ekor. Rata-rata konsumsi bahan kering induk tidak bunting pada penelitian lebih baik dari yang disarankan NRC (2006).
Konsumsi bahan kering induk bunting Pj, Po dan Pj+o yaitu 457,75; 482,00 dan 507,95 g/ekor/hari dengan rata-rata konsumsi bahan kering induk bunting yaitu 482,57 g/ekor/hari atau 44,28 g/kg BB0,75 berdasarkan bobot badan metabolis dan 2,30% BB. NRC (2006) menyatakan bahwa domba dengan bobot badan 20-30 kg membutuhkan bahan kering berkisar 3% dari bobot badannya yaitu 600 g/ekor/hari. Rata-rata konsumsi berdasarkan bobot badan metabolis dan persen bobot badan pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Mathius (1996) yang menyatakan bahwa domba bunting mengkonsumsi pellet yaitu 63,85 g/kgBB0,75 dan Kearl (1982) menyatakan bahwa domba yang sedang bunting dapat mengkonsumsi bahan kering sebesar 3,3% BB.
Konsumsi bahan kering induk laktasi Pj, Po dan Pj+o yaitu 516,77; 549,03 dan 549,91 g/ekor/hari dengan rata-rata konsumsi bahan kering 538,57 atau 51,59 g/kg BB0,75 berdasarkan bobot badan metabolis atau 2,38% BB. Mathius (1996) dalam penelitiannya dengan induk mengkonsumsi pellet saat laktasi yaitu sebesar 69,63 g/kg BB0,75. Kearl (1982) yang menyatakan bahwa domba laktasi dapat mengkonsumsi bahan kering sebesar 5% BB.
Konsumsi hijauan induk laktasi 0,24 g/ekor/hari lebih tinggi bila dibandingkan dengan induk bunting dan 13,63 g/ekor/hari bila dibandingkan dengan induk tidak bunting. Rata-rata konsumsi hijauan pada domba laktasi yang diberi konsentrat ternyata dapat meningkatkan konsumsi hijauan. Mardalena et al. (2008)
22 menyatakan konsumsi hijauan pada kambing PE yang memperoleh konsentrat Suplemen Blok (KSB) mampu mengkonsumsi hijauan melebihi yang tidak diberi KSB. Konsentrat dan suplemen merupakan sumber protein (non protein nitrogen), energi, mineral dan dapat meningkatkan konsumsi zat-zat makanan dari pakan yang berserat kasar tinggi (Rukmana, 2005).
Pola Konsumsi Bahan Kering Ransum
Pola konsumsi bahan kering ransum induk tiga bulan akhir kebuntingan dan dua bulan laktasi tercantum pada Gambar 3.
Gambar 3. Grafik Rataan Konsumsi Bahan Kering Induk Tiga Bulan Akhir Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi
Secara umum Gambar 3 memperlihatkan rata-rata konsumsi bahan kering induk menurun dengan meningkatnya umur kebuntingan induk dan meningkat kembali saat laktasi. Konsumsi induk yang menurun diduga karena keterbatasan rongga perut untuk menampung pakan. Robinson (1986) menyatakan bahwa bertambah besarnya perkembangan fetus dalam saluran reproduksi menyebabkan semakin mengecilnya rongga perut yang tersedia untuk dapat menampung pakan. Ramsey et al. (1994) menambahkan bahwa semakin banyak fetus yang dikandung maka semakin kecil ruang untuk volume perut, sehingga dapat menurunkan tingkat konsumsi induk domba. 0 100 200 300 400 500 600 3 4 5 1 2 R at aa n K o n sum si B ah an K er in g (g/ e/h ) Bulan Pj Po Pj+o Tiga Bulan Akhir
Kebuntingan
23 Rata-rata konsumsi bahan kering induk laktasi meningkat cukup tinggi. Konsumsi induk meningkat diduga karena induk membutuhkan energi yang tinggi pasca melahirkan yang digunakan untuk pemulihan kondisi pasca melahirkan dan untuk produksi susu. Forbes (2007) menyatakan bahwa konsumi induk meningkat setelah beranak disebabkan produksi susu yang tinggi serta volume perut yang lebih besar karena tidak adanya fetus.
Penampilan Reproduksi Domba Induk
Penampilan reproduksi domba induk yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum pada Tabel 5.
Tabel 5. Penampilan Reproduksi Domba Induk
Peubah Perlakuan Rataan
Pj Po Pj+o
Jumlah Induk Awal (ekor) 5,00 5,00 5,00 5,00 Berdasarkan USG1)
Jumlah Induk Bunting1) (ekor) 2,00 5,00 3,00 3,33 Jumlah Induk Bunting (%) 40 100 60 60,67 Jumlah Fetus1)
Total (ekor) 6,00 9,00 6,00 7,00 Rata-rata/Induk (ekor) 3,00 1,80 2,00 2,27 Jumlah Anak Lahir:
Total 1,00 6,00 3,00 3,33
Rata-rata/Induk 0,50 1,20 1,00 0,90 Mortalitas Fetus (%) 83,33 33,33 50 55,56
Lambing Rate (%) 50 120 100 90,00
Rasio Anak Lahir (%)
Jantan:Betina 100:0 67:33 67:33 78:22 Tunggal:Kembar 100:0 50:50 100:0 83:17 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung
Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok
Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok 1)
24
Persentase Kebuntingan
Keberhasilan kebuntingan seekor induk adalah saat terjadinya pertumbuhan fetus di dalam perut induk setelah dilakukan proses perkawinan dan berhasil dipertahankan hingga lahir. Jumlah induk yang digunakan pada penelitian ini lima ekor per perlakuan, dengan keberhasilan kebuntingan yang bervariasi antar perlakuan. Jumlah induk yang bunting dalam penelitian ini mengacu pada Sitepu (2010) dengan menggunakan induk dan perlakuan yang sama. Jumlah induk yang bunting diketahui dengan cara melakukan pengecekan dengan menggunakan alat USG (Ultra Sonografi) dengan sistem trans rektal yang dilakukan sekitar satu bulan umur kebuntingan.
Secara deskriptif diketahui bahwa persentase kebuntingan dengan pemberian ransum sumber karbohidrat yang berasal dari onggok lebih baik bila dibandingkan dengan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan kombinasi keduanya. Persentase kebuntingan Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 40, 100 dan 60%. Tingkat keberhasilan kebuntingan pada ransum Po yang lebih baik diduga karena konsumsi induk Po lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain pada saat sebelum kawin. Rata-rata konsumsi Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 477,70, 497,66 dan 477,76 g/ekor/hari (Sitepu, 2010). Konsumsi pakan induk sebelum bunting diduga berpengaruh terhadap reproduksi salah satunya adalah tingkat ovulasi. Konsumsi ransum berpengaruh pada tingkat ovulasi dimana pemberian pakan sebelum atau sesudah kawin (flushing) dapat meningkatkan tingkat ovulasi dan kesuburan ternak (Docic dan Bilkei, 2001). Teknologi flushing dapat meningkatkan pertumbuhan folikel (Docic dan Bilkei, 2001), dengan pertumbuhan folikel yang meningkat maka akan semakin meningkatkan laju ovulasi, dengan tingkat ovulasi yang tinggi maka keberhasilan kebuntingan pun akan tinggi (Sumaryadi dan Wasman, 1996).
Kandungan karbohidrat pada perlakuan ini diduga juga berdampak terhadap keberhasilan kebuntingan induk. Keberhasilan kebuntingan induk Po lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Kandungan karbohidrat onggok sekitar 97,27% (Halid, 1991). Kandungan karbohidrat yang tinggi pada onggok diduga berpengaruh terhadap kandungan pati yang tinggi. Onggok merupakan bahan pakan yang kaya akan kandungan pati, yaitu suatu bahan pakan sumber energi yang
25 tergolong karbohidrat mudah terpakai (RAC) (Sumangkut et al., 1976). Kandungan karbohidrat yang mudah terpakai pada onggok diduga mempunyai peranan besar ketika masa ovulasi pada induk.
Jumlah Fetus
Jumlah fetus dalam penelitian ini mengacu pada Sitepu (2010). Jumlah fetus pada Po memperlihatkan nilai rata-rata lebih baik bila dibandingkan dengan Pj dan Po+j. Rata-rata jumlah fetus Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 6,00, 9,00 dan 6,00 ekor. Banyaknya jumlah fetus pada Po dibandingkan dengan perlakuan yang lain, diduga saat ovulasi hingga terbentuk fetus induk membutuhkan pakan yang tinggi. Kebutuhan akan pakan yang tinggi oleh induk dapat dipenuhi oleh konsumsi. Rata-rata konsumsi induk Po sebelum bunting hingga saat awal kebuntingan lebih tinggi bila dibandingkan dengan Pj dan Pj+o. Konsumsi induk pada saat sebelum bunting yaitu 497,66 g/ekor/hari, sedangkan saat awal kebuntingan yaitu 542,02 g/ekor/hari (Sitepu, 2010). Rata-rata jumlah fetus pada penelitian ini adalah 2,27 ekor/induk. Hasil yang didapatkan lebih baik bila dibandingkan dengan Mathius (1996) yang memberikan energi dan protein kepada domba selama bunting menghasilkan rata-rata jumlah fetus sebesar 1,6 ekor/induk. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa flushing dapat meningkatkan jumlah fetus.
Jumlah Anak Sekelahiran
Jumlah anak yang lahir pada Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 1,00, 6,00 dan 3,00 ekor, dengan rata-rata jumlah anak yang lahir yaitu 3,33 ekor. Rata-rata jumlah anak yang dilahirkan pada penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan hasil penelitian Jurmuji (2008) dan Harahap (2008) dengan menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun yang dipelihara secara ekstensif masing-masing yaitu 1,3 ekor dan 1,15 ekor.
Mortalitas Fetus
Terdapat perbedaan antara jumlah fetus hasil USG dengan jumlah anak yang dilahirkan. Kematian fetus Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 83,33, 33,33 dan 50%. Kematian fetus terbanyak yaitu pada ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung. Sumber protein pada penelitian ini berasal dari bungkil kelapa, kandungan protein yang tinggi akan berdampak terhadap produksi NH3 yang tinggi,
26 sehingga membutuhkan kerangka C untuk dapat menangkap kandungan NH3 yang tinggi. Jagung sebagai bahan pakan sumber karbohidrat non struktural yang lambat terdegradasi di dalam rumen sedikit mengandung kerangka C yang dapat menangkap NH3 sehingga akan berdampak terhadap kematian fetus didalam kandungan.
Abortus pada induk berdampak juga terhadap persentase mortalitas fetus yang cukup tinggi pada penelitian ini. Abortus pada induk yang terjadi pada penelitian ini bukan disebabkan karena perlakuan, abortus diduga karena induk yang digunakan belum dapat menampung fetus lebih dari satu didalam kandungan. Fetus yang keluar saat induk abortus dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Fetus yang Mati saat Abortus
Induk yang digunakan pada penelitian ini merupakan induk-induk primipara (beranak pertama kali). Induk primipara cenderung tidak mampu mempertahankan kandungan dengan jumlah fetus lebih dari satu. Hasil yang didapatkan sesuai dengan pernyataan Inounu (1993), induk primipara cenderung tidak mampu mempertahankan anak lebih dari satu dan menghasilkan bobot lahir lebih rendah bila dibandingkan dengan induk yang telah beranak dua kali. Abortus pada penelitian ini menyebabkan kematian pada induk. Kematian pada induk bukan disebabkan oleh perlakuan, melainkan induk setelah abortus mengalami infeksi sistemik sehingga menimbulkan kerusakan di organ- organ vital (Hasil Pemeriksaan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB, 2010).
Lambing Rate
Lambing rate adalah persentase antara banyaknya anak yang dilahirkan per induk bunting setelah dikawinkan. Lambing rate pada Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 50, 120 dan 100% dengan rata-rata lambing rate pada penelitian ini
27 yaitu 90%. Hasil yang didapatkan lebih rendah bila dibandingkan dengan Frimawaty (1998) dengan menggunakan domba ekor tipis yang mendapat perbaikan pakan memiliki nilai lambing rate mencapai 120%.
Rasio Anak Lahir
Rasio anak jantan dan betina dengan induk yang mendapatkan ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada penelitian ini bervariasi antar perlakuan. Rasio anak jantan dan betina pada Pj, Po dan Pj+o adalah 100:0; 67:33 dan 67:33%. Rataan rasio anak jantan dan betina pada penelitian ini adalah 78:22%. Saputra (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan induk domba Jonggol berumur satu tahun melaporkan bahwa rasio kelahiran anak jantan dan betina adalah 39:61%. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa ransum yang diberikan dapat meningkatkan jumlah anak jantan yang dilahirkan.
Tipe kelahiran anak terdiri dari tipe kelahiran tunggal dan kembar. Seekor induk mampu melahirkan satu, dua, bahkan tiga dalam satu kali kelahiran. Rata-rata rasio anak tunggal dan kembar pada penelitian ini yaitu 83:17%. Rasio kelahiran anak kembar pada penelitian ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kelahiran tunggal. Hal tersebut diduga karena umur induk yang digunakan pada penelitian ini. Konig et al. (2006) menyatakan bahwa kelahiran anak kembar dipengaruhi oleh umur induk domba. Induk domba dengan umur satu tahun memiliki kemungkinan menghasilkan anak kembar yaitu 10%. Induk domba dengan umur 2 sampai dengan 3 tahun memiliki kemungkinan melahirkan anak kembar 40-50%.
Penampilan Produksi Domba Induk
Pertambahan Bobot Badan Induk
Penampilan produksi domba induk yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum pada Tabel 6. Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan induk bunting dan laktasi. Rata-rata pertambahan bobot badan induk bunting Pj, Po dan Pj+o masing-masing yaitu 19,44, 40,00 dan 166,67 g/ekor/hari. Hasil pertambahan bobot badan induk bunting Pj+o lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain, hal tersebut diduga karena saat bunting konsumsi induk Pj+o lebih tinggi bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
28 Tabel 6. Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Bunting dan Laktasi
Peubah Perlakuan Rataan Pj Po Pj+o (n=2) (n=5) (n=3) BB Awal (kg/ekor) 20,25±1,77 19,4±1,19 20,17±1,15 19,94±0,34 BB Sesaat Setelah Melahirkan (kg/ekor) (n=1) 22,00 (n=4) 23,00±2,35 (n=3) 25,17±1,04 23,39±0,92 PBB Bunting (g/e/h) 19,44 40,00±2,35 166,67±1,04 38,33±0,92 BB Saat Sapih (Kg/ekor) 21 22,00±2,35 19,33±7,01 20,78±3,30 PBB Selama Laktasi
(g/e/h) -17,86 -17,86±1,08 -104,29±7,11 -46,61±4,27 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung
Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok
Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok
Robinson (1986) menyatakan bahwa pertambahan bobot badan induk domba saat bunting selain dipengaruhi oleh konsumsi juga dipengaruhi oleh jumlah fetus yang terdapat di dalam kandungan.
Rata-rata pertambahan bobot badan induk bunting pada penelitian ini yaitu 38,33 g/ekor/hari. Wardhani (2006) dalam penelitiannya dengan induk digembalakan dipadang rumput Brachiaria Humidicola yang mendapat pakan tambahan dedak padi dan Saputra (2008) dengan induk dipelihara secara ekstensif tanpa mendapatkan pakan tambahan memiliki rata-rata pertambahan bobot badan 47 dan 69,9 g/ekor/hari.
Penurunan bobot badan induk laktasi Pj, Po dan Pj+o masingmasing yaitu -17,86, -17,86 dan -104,29 g/ekor/hari. Rata-rata penurunan bobot badan induk domba pada penelitian ini yaitu -46,61 g/ekor/hari. Penurunan bobot badan induk laktasi diduga karena pakan yang dikonsumsi oleh induk belum dapat memenuhi kebutuhan pada saat laktasi. Saat bulan pertama laktasi induk membutuhkan nutrisi yang tinggi (NRC, 2006). Kebutuhan nutrisi yang tinggi tidak dapat dicukupi oleh konsumsi pakan yang diberikan sehingga terjadi mobilisasi lemak, dan akan berdampak terhadap kehilangan bobot badan selama awal laktasi (Mathius, 1996).
Pola Pertambahan Bobot Badan Induk
Pola pertambahan bobot badan induk tiga bulan akhir kebuntingan dan dua bulan laktasi tercantum pada Gambar 5.
29 Gambar 5. Grafik Rataan Pertambahan Bobot Badan Induk Tiga Bulan Akhir
Kebuntingan dan Dua Bulan Laktasi
Secara umum Gambar 5, memperlihatkan rata-rata bobot badan induk yang menurun seiring meningkatnya umur kebuntingan, penurunan bobot badan secara drastis pada bulan pertama laktasi dan naik kembali pada bulan kedua laktasi.
Induk yang mendapatkan ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung, mulai bulan ke-3 hingga bulan ke-1 laktasi terjadi penurunan bobot badan dan bobot badan naik kembali pada bulan ke-2 laktasi. Induk yang mendapat ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok mengalami peningkatan pertambahan bobot badan dari tiga bulan umur kebuntingan ke-4 bulan umur kebuntingan (2,5 kg/ekor menjadi 2,56 kg/ekor). Selanjutnya menurun pada bulan ke-5 (beranak). Penurunan bobot badan terjadi setelah domba beranak hingga bulan ke-1 laktasi, kemudian kembali meningkat hingga bulan ke-2 laktasi. Penurunan bobot badan pada bulan ke-1 laktasi mencapai -0,75 kg/ekor dan meningkat kembali hingga 1,13 kg/ekor pada bulan ke-2 laktasi.
Pertambahan bobot badan induk dengan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok meningkat secara cepat pada bulan ke-4 bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pertambahan bobot badan induk pada bulan ke-3 kebuntingan adalah 1,8 kg/ekor menjadi 2,52 kg/ekor. Selanjutnya terjadi pula penurunan bobot badan yang lebih cepat bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain pada saat bulan ke-5 (beranak). Penurunan bobot badan bulan ke-5
1.8 1.14 0.76 0.1 0.98 2.5 2.56 1.4 -0.75 1.13 1.8 2.52 0.28 -1.12 1.48 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3 4 5 1 2 R at aa n P er ta m b ah an B o b o t B ada n In duk ( kg/eko r) Bulan Pj Po Pj+o Dua Bulan Laktasi
30 (beranak) adalah 0,28 kg/ekor dan terus menurun hingga -1,12 kg/ekor pada laktasi ke-1 dan meningkat kembali sebesar 1,48 pada laktasi ke-2.
Pertambahan bobot badan induk menurun seiring meningkatnya umur kebuntingan, hal tersebut disebabkan kapasitas rongga perut untuk menampung pakan mengecil akibat dari bertambah besarnya fetus (Forbes, 2007). Bulan pertama laktasi terjadi penurunan bobot badan yang drastis, hal tersebut disebabkan terjadi aliran metabolit darah yang cepat yang digunakan untuk produksi susu, namun konsumsi pakan induk tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut sehingga terjadi mobilisasi cadangan lemak tubuh oleh induk untuk produksi susu (Mathius, 1996; Forbes, 2007). Pertambahan bobot badan induk akan meningkat setelah puncak laktasi karena produksi susu semakin menurun, sehingga nutrisi yang ada digunakan untuk pertambahan bobot badan induk (Freer dan Dove, 2002).
Penampilan Produksi Anak
Penampilan produksi anak domba Jonggol umur 0-28 dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum pada Tabel 7.
Tabel 7. Penampilan Produksi Anak Domba Jonggol Umur 0-28 Hari
Peubah Perlakuan Rataan
Pj Po Pj+o Bobot Lahir (kg/ekor) (n=1) 2,85 (n=6) 2,79±0,43 (n=3) 2,64±0,03 2,79±0,23 Bobot Hari Ke 28 (kg/ekor) 7,10 7,83±0,22 7,03±0,81 7,32±0,52 PBB Hari Ke 0-28 (g/e/h) 151,79 179,73±8,09 156,90±30,10 162,81±19,10 Produksi Susu Hari Ke 0-28 (g/e/h) 910,71 1078,39±48,53 941,43±180,63 976,85±114,58 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung
Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok
Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok Bobot Lahir
Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot lahir anak. Bobot lahir anak domba Jonggol dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada penelitian ini berkisar 2,64-2,85 kg/ekor dengan rata-rata bobot lahir 2,79 kg/ekor. Hasil yang didapatkan
31 lebih tinggi bila dibandingkan dengan Harahap (2008) dalam penelitiannya terhadap domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola yaitu sebesar 1,82 kg/ekor. Inounu (1996) dan Tiesnamurti (2002) menyatakan bahwa bobot lahir domba Priangan masing-masing adalah 3,4 kg dan 2,39 kg. Setyawati (2000) melaporkan bahwa bobot lahir domba Garut yaitu 1,56 kg.
Pertambahan Bobot Badan Anak Umur 0-28 dan 28-56 Hari
Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertambahan bobot badan anak umur 0-28 dan 28-56 hari. Rata-rata pertambahan bobot badan anak umur 0-28 hari (162,81 g/ekor/hari) lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak umur 28-56 hari (127,28 g/ekor/hari). Hal tersebut disebabkan produksi susu induk 0-28 hari (976,85 g/ekor/hari) lebih tinggi bila dibandingkan dengan 28-56 hari (763,69 g/ekor/hari). Dove (1988) menyatakan bahwa untuk membentuk 1 kg bobot badan, anak domba membutuhkan konsumsi susu sebanyak 6 kg. Pertambahan bobot badan anak domba Jonggol pada penelitian ini lebih baik bila dibandingkan dengan Saputra (2008) dalam penelitiannya dengan menggunakan domba Jonggol berumur satu tahun dengan induk digembalakan di padang rumput Brachiaria humidicola yaitu sebesar 41,7 g/ekor/hari.
Bobot Sapih (Hari Ke 56)
Penampilan produksi anak domba Jonggol umur 28-56 dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok tercantum tercantum pada Tabel 8.Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap bobot sapih anak. Bobot sapih yang tidak berbeda nyata diduga karena bobot lahir dan produksi susu induk yang tidak berbeda nyata. Bobot sapih anak domba Jonggol dengan induk mendapatkan ransum sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok pada penelitian ini berkisar 10,50-11,25 kg/ekor dengan rata-rata bobot sapaih anak 10,88 kg/ekor. Hasil yang didapatkan lebih baik bila dibandingkan dengan Harahap (2008) dan Saputra (2008), bahwa bobot sapih anak domba Jonggol dari induk yang dipelihara secara ekstensif yaitu berkisar 3,46-6,58 dan 4,53-7,38 kg/ekor. Hasil yang didapatkan memberikan gambaran bahwa pemberian pakan percobaan dapat mencukupi kebutuhan induk.
32 Tabel 8. Penampilan Produksi Anak Domba Jonggol Umur 28-56 Hari
Peubah Perlakuan Rataan
Pj Po Pj+o Bobot Hari Ke 28 (kg/ekor) (n=1) 7,10 (n=6) 7,83±0,22 (n=3) 7,03±0,81 7,32±0,52 Bobot Hari Ke 56 (kg/ekor) 10,50 11,25±1,19 10,90±0,66 10,88±0,92 PBB Hari Ke 28-56 (g/e/h) 121,43 122,32±37,16 138,10±39,50 127,28±38,33 Produksi Susu Hari
Ke 28-56 (g/e/h) 728,57 733,93±222,95 828,57±237,01 763,69±229,98 Keterangan : Pj : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung
Po : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari onggok
Pj+o : Ransum dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok Produksi Susu Hari Ke 0-28 dan 28-56
Perlakuan memberikan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap produksi susu induk 0-28 dan 28-56 hari. Produksi susu induk 0-28 dan 28-56 hari masing-masing yaitu 976,85 dan 763,69 g/ekor/hari. Produksi susu pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan Raharjo (2008) dalam penelitiannya yang melaporkan bahwa produksi susu domba Jonggol yang digembalakan dengan mendapat pakan tambahan dedak halus adalah 355,29 g/ekor/hari. Grafik produksi susu induk tercantum pada Gambar 6.
Gambar 6. Grafik Produksi Susu Induk 0.00 200.00 400.00 600.00 800.00 1000.00 1200.00 2 4 6 8 Pr o duks i Sus u (gr am /e ko r/h ar i) Minggu Pj Po Pj+o
33 Hasil yang lebih baik diduga karena perbedaan pakan yang diberikan. Induk dalam penelitian ini mendapatkan pakan tambahan berupa konsentrat dengan sumber karbohidrat yang berasal dari jagung dan onggok, sementara pada penelitian Raharjo (2008) induk digembalakan dan mendapat pakan tambahan dedak halus. Kuantitas, kualitas pakan dan perkembangan ambing mempengaruhi pola produksi susu (Sudjatmogo, 1998).
Gambar 6 memperlihatkan, rata-rata produksi susu antar perlakuan bervariasi